PUBG! Siapa yang tak kenal dengan game online yang satu ini,
PlayerUnknown’s Battlegrounds permainan mode online yang kerap
disebut-sebut PUBG. Dimana pada zaman ini menjadi trend kaum muda, bukan
hanya kelas Regional dan Nasional saja, game ini menjarak pemuda
dikancah Internasional.
Pasalnya, permainan ini sangat digemari masyarakat luas kalangan
pemuda, dimana pada permainan ini mellaui sebuah akun game beberapa
pemain bergabung (berkelompok) untuk menandingi 100 lawan. Dalam ponsel Android
masing-masing para pemain melaksanakan survival atau kemampuan untuk
bertahan, pemain yang bertahan paling selesai ia lah yang menjadi pemenang. Pada
tahun 2018 saja statistika gamers di Indonesia menunjukka angka kisaran 34 juta
jiwa.
Namun disayangkan, adanya game ini menuai banyak perdebatan karena
dianggap mengandung konten kekerasan dan menciptakan seseorang menjadi kecanduan
sama menyerupai Mobile Legend, Garena Free Fire, Vanglory dan yang lainnya.
Tanggapan yang dilayangkan atas permainan PUBG ini lebih parah dari lainnya.
Mengapa?
Karena kejadian penembakan atau serangan teror yang terjadi di
Selandia Baru lebih tepatnya dua masjid Christchurch yang dilakukan oleh
Brenton Tarrant, kejadian tersebut dihubungkan dengan adanya permainan PUBG
ini. Mungkin alasannya yakni satu hal yang sama, “tembak menembak.”
Mengetahui hal ini, Majelis sentra di Jawa Barat menuntut untuk
melakukan anutan Haramnya bermain PUBG, kemudian atas anutan tersebut disusul
oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) melaksanakan kajian terhadap permainan tersebut
dengan diikuti oleh para hebat Kesehatan dan Psikologi.
Para komunitas Game Online sempat melaksanakan pengajuan petisi
saat tersebarnya wacana anutan itu. Petisi dibentuk pada situs Change.org. dengan
12.477 tanda tangan pada 27/03/2019 yang berbunyi “Tolak anutan haram dan
peblokiran PUBG”
Dilansir dari Tribunnews.com ada 4 negara di dunia sudah melakukan
larangan permainan PUBG.
Pertama, China.
Kedua, India. Diketahui dari The Jakarta Post melalui Navbharat
Timus yang merupakan koran terbesar dari negara tersebut. Hal itu menyatakan
bahwa di negara India sudah dihentikan adanya game PUBG ini.
Ketiga, Nepal. Pada 11 April 2019 diketahui negara ini telah
melakukan larangan dan pemblokiran game PUBG di wilayahnya. Hal ini
diketahui melalui Telecommunication Authority milik Nepal.
Keempat, Irak. Melalui media Reuters menyatakan tentag imbas negatif
adanya PUBG ini, dikarenakan hal itu, mereka melarang adanya permainan
tersebut.
Disamping itu, jauh sebelum adanya kasus teror penembakan di
Selandia Baru pada 3 Januari 2018 WHO (World Health Organization) memutuskan
bahwa kecanduan pada game online termasuk sebuah penyakit.
Namun, terdapat pendapat yang berseberangan ditengah perdebatan
larangan penggunaan PUBG ini, Menurut Shawn Green seorang psikolog Universitas
Wisconsin AS (Ameriks Serikat) game online ini sanggup membantu kinerja
otak. “Game video sanggup mengubah otak” katanya.
Dari analisis yang didapat, game ini melaksanakan penembakan dan
berlari dalam waktu yang sama. Dalam hal ini sanggup di kiaskan di dunia nyata
bahwa pemain sanggup melaksanakan pelacakan terhadap musuh, melawan musuh,
kemungkinan arah musuh berlari, arah penembakan, dan waktu yang sempurna dan
efisien untuk menembak serta melaksanakan evakuasi diri. Hal-hal yang seperti
itu tentunya membutuhkan perhitungan dan sanggup melatih kecerdasan otak.
Berfikir wacana kecepatan, ketepatan, dan peluang.
Menurut Atho’il Adli Shiddiqi, (19)-Mahasiswa UINSA Surabaya yang
merupakan pemain PUBG menyatakan bahwa PUBG hanya permainan petualangan untuk
sekedar hiburan, game online di Indonesia sendiri digembor-gemborkan membawa
perekonomian Indonesia maju, dengan adanya turamen menyerupai yang diadakan
Garena, di Asian Game juga ada untuk dipertandingkan.
Dari analisis diatas, dugaan saya adanya perdebatan tersebut karena
lingkungan sekitar yang menjadi memburuk sesudah adanya game online tersebut.
Ditambah lagi rasa takut masyarakat, efek dan sugesti atas hal jelek yang
dikaitkan dengan PUBG.
Sangat dibenarkan bahwa imbas negatif dalam PUBG yakni pemetaan
otak pemain yang cenderung selalu bergairah baik dalam pemikiran, perilaku, emosi
dan kecanduan. Ditambah lagi berkurangnya tenggang rasa serta menjadi anti sosial. Namun
tidak sanggup disalahkan bahwa ada sebagian pakar yang beropini game ini
dapat melatih kecerdasan otak.
Sebagai bakal calon guru MI tidak sanggup dipungkiri teknologi akan
bersaing merajalela dalam kehidupan, dalam PUBG sudah ada peraturan gres dimana
pemain harus berusia 18 ke atas. Dari sana sudah memperlihatkan adanya penjagaan
yang ketat dai pihak pengelola. Tinggal bagaimana mengawasi anak baik orang tua
atau guru menawarkan edukasi kepada anak dengan hal yang positif. Oleh: Dewi
Nur Syafitri
Sumber aciknadzirah.blogspot.com