"Subhanallah, keren.. biar tetap istiqomah." "Bangga punya kau sebagai dewasa Indonesia!" "Keren banget kau Nak." .Itulah sekelumit cuplikan komentar dari nitizen yang admin kutip dari TRIBUNNEWS.COM .
Afi Nihaya Faradisa yaitu seorang dewasa putri, mereka yaitu siswi Sekolah Menengan Atas Negri gambiran Banyuwangi Jawa Timur yang mendadak jadi firal di media sosial. Dengan goresan pena yang luar biasa dan sangat inspiratif bagi kebayakan dewasa seusianaya bahkan siapapun yang membaca akan terdecak kagum.
Tulisan yang lugas, cerdas mengajak mengefaluasi terkait fenomena gaget dan media umum yang dijadikan ajang bukan untuk silaturahmi tetapi justru permusuhan atas nama perbedaan. Ia menulis kalau selama ini selalu banyak pro dan kontra, ketika pro bermusuhan dengan kontra dan sebaliknya bahkan yang netralpun dimusuhinya.
Sampai isu ini kami turunkan yang memberi apresiasi suka dan emotikon sebanyak 23 ribu dan 18.247 kali dibagikan, ini yaitu sebuah capaian yang sangat fantastis, bagaimana tidak seorang dewasa putri yang gres duduk di dingklik sebuah Sekolah Menengan Atas sudah memiliki aliran yang sangat brilian.
ini tulisannya :
Tulisan Afi Nahiya Faradisa yang admin salin dari laman Fb
Aku pernah mematikan total hapeku selama 10 hari. Selama itu, saya tidak bekerjasama dengan dunia luar sama sekali. Hanya dari situ kau dapat mengamati apa yang gadget dan koneksi internet telah renggut selama ini.
Katakanlah saya terjebak dalam sudut pandang yang menggelikan. Katakanlah saya salah menyikapi kemajuan, tapi hal-hal ini yang telah kupelajari dalam 10 hari. Sudahkah kau mencoba sendiri sebelum menjustifikasi?
.
Melalui layar 4 inchi ini, saya memang melihat dunia tanpa batas yurisdiksi.
Namun, kata orang bijak, "You are what you eat". Belakangan saya tahu bahwa hal itu tidak hanya berlaku untuk masakan perut, tapi juga "makanan pikiran". Apa yang telah kita masukkan dalam pikiran, jiwa, dan hati kita selama ini memilih ibarat apa diri kita. Lalu pernahkah bertanya, yang saya telan selama ini lebih banyak racun atau gizinya? Pantas kalau diri kita masih gini-gini saja. Ternyata ini sebabnya.
.
Perhatikan, kondisi "sumber masakan pikiran" kita semakin tercemari.
Aku lelah menjelaskan pada satu persatu orang perihal negatifnya berbagi hoax dan kebohongan.
Kita juga tidak pernah kehabisan alasan untuk saling membenci. Apa-apa dijadikan 'amunisi'.
Sama-sama manusia, kalau beda negara rusuh. Sama-sama Indonesia, kalau beda agama rusuh. Sama agamanya, beda pandangan juga rusuh. Terus gimana nih maunya?
Padahal, kalau bukan Tuhan, kemudian siapa lagi yang membuat SEMUA perbedaan ini? Kalau Dia mau, Dia dapat saja menyebabkan semua insan 'serupa' dalam segala hal. Lalu, kenapa kita lancang menentang Tuhan dengan meludahi perbedaan?
Aku sendiri tidak pernah mengunfriend yang beda pandangan, saya dan kau dapat akrab walaupun kita tidak sepakat. Pernah lihat orang yang penuh permusuhan hidupnya tenang? Bagaimana kita berharap ada bunga yang tumbuh di atas kawah berapi? Yang dirahmati Tuhan yaitu hubungan, bukan permusuhan.
Unity in diversity.
.
Yang saya heran, apa-apa dijadikan perdebatan. Seperti ritual medsos tahunan, mulai dari ucapan natal, perayaan valentine, bahkan juga jumlah penerima unjuk rasa!
Diri ini merasa lebih baik lantaran pihak lain terlihat lebih buruk. Kita merasa bahagia atas ketidakbaikan orang. Tuhan mana yang mendukung abjad ibarat itu?
Padahal, this too shall pass. Semua hal niscaya akan berlalu sendiri silih berganti. 10 tahun lagi, apakah yang kita pertengkarkan ini lebih berharga daripada korelasi baik kita?
.
Padahal, kata "musuh" hanyalah ilusi, sebuah sekat yang kita buat sendiri. Tuhan tidak menyampaikan bahwa Ia hanya dekat dengan pembuluh nadi orang beragama X dan bersuku Y, Tuhan dekat dengan pembuluh nadi semua orang. Sudah lupa, ya?
.
Yang absurd adalah, jikalau tidak pro pokoknya salah! Kontra salah, netral pun juga disalahkan. Tidak ada hal lain yang ditunjukkan kecuali sifat kekanak-kanakan. Boikot terhadap produk perusahaan raksasa tidak akan besar lengan berkuasa sedikitpun pada owner-owner atas yang sudah kaya raya, yang kalian bahayakan yaitu penjual-penjual kecil yang masih gundah cari makan tiap harinya, yang mereka bahkan tidak tahu apa-apa perihal kebijakan perusahaan.
.
Ada sebuah peribahasa Cina yang layak untuk kita renungkan. "Menyimpan dendam ibarat meminum racun tapi berharap orang lain yang mati."
Buddha pun berkata, "Anda tidak dieksekusi KARENA kemarahan Anda, Anda dieksekusi OLEH kemarahan Anda."
.
Jika tetap tidak dapat mengendalikan kemarahan? DIAM!
Setidaknya kemarahan kita tidak akan menjadi alasannya yaitu kemarahan orang lain.
“Barangsiapa yang diam, ia selamat.” (HR. Tirmidzi no. 2501)
.
Dan saya tahu,
Memang ada saatnya memproteksi diri. Ada saatnya mempertahankan kenyamanan pribadi.
Tapi bagiku, ada juga saatnya untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi. Karena itu, saya tidak akan pergi dari sini
Libur Nasional dan Cuti Bersama 2017 Tambah 3 Hari Permendikbud Nomor 47 Tahun 2016 Tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
Katakanlah saya terjebak dalam sudut pandang yang menggelikan. Katakanlah saya salah menyikapi kemajuan, tapi hal-hal ini yang telah kupelajari dalam 10 hari. Sudahkah kau mencoba sendiri sebelum menjustifikasi?
.
Melalui layar 4 inchi ini, saya memang melihat dunia tanpa batas yurisdiksi.
Namun, kata orang bijak, "You are what you eat". Belakangan saya tahu bahwa hal itu tidak hanya berlaku untuk masakan perut, tapi juga "makanan pikiran". Apa yang telah kita masukkan dalam pikiran, jiwa, dan hati kita selama ini memilih ibarat apa diri kita. Lalu pernahkah bertanya, yang saya telan selama ini lebih banyak racun atau gizinya? Pantas kalau diri kita masih gini-gini saja. Ternyata ini sebabnya.
.
Perhatikan, kondisi "sumber masakan pikiran" kita semakin tercemari.
Aku lelah menjelaskan pada satu persatu orang perihal negatifnya berbagi hoax dan kebohongan.
Kita juga tidak pernah kehabisan alasan untuk saling membenci. Apa-apa dijadikan 'amunisi'.
Sama-sama manusia, kalau beda negara rusuh. Sama-sama Indonesia, kalau beda agama rusuh. Sama agamanya, beda pandangan juga rusuh. Terus gimana nih maunya?
Padahal, kalau bukan Tuhan, kemudian siapa lagi yang membuat SEMUA perbedaan ini? Kalau Dia mau, Dia dapat saja menyebabkan semua insan 'serupa' dalam segala hal. Lalu, kenapa kita lancang menentang Tuhan dengan meludahi perbedaan?
Aku sendiri tidak pernah mengunfriend yang beda pandangan, saya dan kau dapat akrab walaupun kita tidak sepakat. Pernah lihat orang yang penuh permusuhan hidupnya tenang? Bagaimana kita berharap ada bunga yang tumbuh di atas kawah berapi? Yang dirahmati Tuhan yaitu hubungan, bukan permusuhan.
Unity in diversity.
.
Yang saya heran, apa-apa dijadikan perdebatan. Seperti ritual medsos tahunan, mulai dari ucapan natal, perayaan valentine, bahkan juga jumlah penerima unjuk rasa!
Diri ini merasa lebih baik lantaran pihak lain terlihat lebih buruk. Kita merasa bahagia atas ketidakbaikan orang. Tuhan mana yang mendukung abjad ibarat itu?
Padahal, this too shall pass. Semua hal niscaya akan berlalu sendiri silih berganti. 10 tahun lagi, apakah yang kita pertengkarkan ini lebih berharga daripada korelasi baik kita?
.
Padahal, kata "musuh" hanyalah ilusi, sebuah sekat yang kita buat sendiri. Tuhan tidak menyampaikan bahwa Ia hanya dekat dengan pembuluh nadi orang beragama X dan bersuku Y, Tuhan dekat dengan pembuluh nadi semua orang. Sudah lupa, ya?
.
Yang absurd adalah, jikalau tidak pro pokoknya salah! Kontra salah, netral pun juga disalahkan. Tidak ada hal lain yang ditunjukkan kecuali sifat kekanak-kanakan. Boikot terhadap produk perusahaan raksasa tidak akan besar lengan berkuasa sedikitpun pada owner-owner atas yang sudah kaya raya, yang kalian bahayakan yaitu penjual-penjual kecil yang masih gundah cari makan tiap harinya, yang mereka bahkan tidak tahu apa-apa perihal kebijakan perusahaan.
.
Ada sebuah peribahasa Cina yang layak untuk kita renungkan. "Menyimpan dendam ibarat meminum racun tapi berharap orang lain yang mati."
Buddha pun berkata, "Anda tidak dieksekusi KARENA kemarahan Anda, Anda dieksekusi OLEH kemarahan Anda."
.
Jika tetap tidak dapat mengendalikan kemarahan? DIAM!
Setidaknya kemarahan kita tidak akan menjadi alasannya yaitu kemarahan orang lain.
“Barangsiapa yang diam, ia selamat.” (HR. Tirmidzi no. 2501)
.
Dan saya tahu,
Memang ada saatnya memproteksi diri. Ada saatnya mempertahankan kenyamanan pribadi.
Tapi bagiku, ada juga saatnya untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi. Karena itu, saya tidak akan pergi dari sini