Saturday, January 27, 2018

√ Apa Salahnya Menangis?


Apa salahnya menangis, kalau memang dengan menangis itu insan menjadi sadar. Sadar akan kelemahan-kelemahan dirinya, ketika tiada lagi yang sanggup menolongnya dari keterpurukan selain Allah Swt. Kesadaran yang membawa manfaat dunia dan akhirat. Bukankah kondisi hati insan tiada pernah stabil? Selalu berbolak balik menuruti keadaan yang dihadapinya. Ketika seseorang menghadapi kebahagiaan maka hatinya akan besar hati dan ketika dilanda petaka tidak sedikit orang yang frustasi bahkan berpaling dari kebenaran.

Sebagian orang menganggap menangis itu ialah hal yang hina, ia merupakan tanda lemahnya seseorang. Bangsa Yahudi selalu mengecam cengeng ketika anaknya menangis dan dikatakan tidak akan bisa melawan musuh-musuhnya. Para orang bau tanah di Jepang akan memarahi anaknya kalau mereka menangis lantaran dianggap tidak tegar menghadapi hidup. Menangis ialah hal yang hanya dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki prinsip hidup.

Bagi seorang muslim yang mukmin, menangis merupakan buah kelembutan hati dan menerangkan kepekaan jiwanya terhadap aneka macam insiden yang menimpa dirinya maupun umatnya. Rasulullah Saw meneteskan air matanya ketika ditinggal mati oleh anaknya, Ibrahim. Abu Bakar Ashshiddiq ra digelari oleh anaknya Aisyah ra sebagai Rojulun Bakiy (Orang yang selalu menangis).

Beliau senantiasa menangis, dadanya bergolak manakala sholat dibelakang Rasulullah Saw lantaran mendengar ayat-ayat Allah. Abdullah bin Umar suatu ketika melewati sebuah rumah yang di dalamnya ada sesorang sedang membaca Al Qur’an, ketika hingga pada ayat: “Hari (ketika) insan bangun menghadap Tuhan semesta alam” (QS. Al Muthaffifin: 6). Pada ketika itu juga dia membisu bangun tegak dan mencicipi betapa dirinya seolah-olah sedang menghadap Robbnya, kemudian dia menangis. Lihatlah betapa Rasulullah Saw dan para sahabatnya benar-benar memahami dan mencicipi getaran-getaran keimanan dalam jiwa mereka. Lembutnya hati mengantarkan mereka kepada derajat hamba Allah yang peka.

Bukankah diantara tujuh golongan insan yang akan mendapat naungan pada hari dimana tiada naungan kecuali naungan Allah ialah orang yang berdoa kepada Robbnya dalam kesendirian kemudian dia meneteskan air mata? Tentunya begitu sulit meneteskan air mata ketika berdo'a sendirian kalau hati seseorang tidak lembut. Yang biasa dilakukan insan dalam kesendiriannya justru maksiat. Bahkan tidak sedikit insan yang bermaksiat ketika sendiri di dalam kamarnya seorang mukmin sejati akan menangis dalam kesendirian dikala berdo'a kepada Tuhannya. Sadar betapa berat kiprah hidup yang harus diembannya di dunia ini.

Di zaman ketika insan lalai dalam gemerlap dunia, seorang mukmin akan senantiasa menjaga diri dan hatinya. Menjaga kelembutan dan kepekaan jiwanya. Dia akan gampang meneteskan air mata demi melihat kehancuran umatnya. Kesedihannya begitu mendalam dan perhatiannya terhadap umat menjadikannya orang yang tanggap terhadap permasalahan umat. Kita tidak akan melihat seorang mukmin bersenang-senang dan bersuka ria ketika tetangganya mengalami kesedihan, ditimpa aneka macam ujian, cobaan, dan fitnah. Mukmin yang sebenarnya akan dengan sigap membantu meringankan segala beban saudaranya. Ketika seorang mukmin tidak bisa menolong dengan tenaga ataupun harta, dia akan berdoa memohon kepada Tuhan semesta alam.

Menangis merupakan sebuah bentuk ratifikasi terhadap kebenaran. “Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada rasul (Muhammad), kau lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri) seraya berkata: “Ya Robb kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Qur’an dan kenabian Muhammad)”. (QS. Al Maidah: 83).

Ja’far bin Abdul Mutholib membacakan surat Maryam ayat ke-16 hingga 22 kepada seorang raja Kristen yang bijak. Demi mendengar ayat-ayat Allah dibacakan, bercucuranlah air mata raja Habsyah itu. Ia mengakui benarnya dongeng Maryam dalam ayat tersebut, ia telah mengenal kebenaran itu dan hatinya yang lembut menimbulkan matanya sembab kemudian menangis. Raja yang rindu akan kebenaran benar-benar merasakannya.

Orang yang keras hatinya, akan sulit menangis ketika dibacakan ayat-ayat Allah. Bahkan ketika tiba teguran dari Allah sekalipun ia justru akan tertawa atau malah berpaling dari kebenaran. Sehebat apapun bentuk penghormatan seorang tokoh munafik Abdullah bin Ubay bin Salul kepada Rasulullah Saw, sedikit pun tidak kuat pada hatinya. Ia tidak peduli ketika Allah Swt mengecam keadaan mereka di darul abadi nanti, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan neraka yang paling bawah. Dan kau sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka”. (QS. An Nisa’: 145)

Barangkali di antara kita yang belum pernah menangis, maka menangislah disaat membaca Al Qur’an, menangislah ketika berdo'a di sepertiga malam terakhir, menangislah lantaran melihat kondisi umat yang terpuruk, atau tangisilah dirimu lantaran tidak bisa menangis ketika mendengar ayat-ayat Allah. Semoga hal demikian sanggup melembutkan hati dan menjadi penyejuk serta penyubur doktrin dalam dada. Ingatlah hari ketika insan banyak menangis dan sedikit tertawa lantaran dosa-dosa yang diperbuatnya selama di dunia. “Maka mereka sedikit tertawa dan banyak menangis, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan”. (QS At Taubah: 82).

Kaprikornus apa salahnya menangis?.

Herman Susilo
pr@ydsf.or.id



sumber : eramuslim

Sumber http://teenozhealthanalyst.blogspot.com