Udara begitu segar di pagi hari, apalagi semalaman hujan. Saya merapatkan sweater yang diberikan abang sebelum pergi. Hup... terlompati sudah genangan air untuk ke dua kalinya. Stasiun Bogor masih lengang, Alhamdulillah, berarti saya tidak usah berjuang hanya untuk dapat terangkut. Saya duduk dengan hening di gerbong belakang yang sudah terisi sebagian. Hari masih muda, tetapi para pedagang asongan, peminta-minta bahkan pencari dukungan sudah berseliweran dengan suara-suara khas mereka.
Saya mulai mengamati, mencari vitamin hati. Seorang nenek terhuyung-huyung mengedarkan mangkuk berharap gemar memberi memberi uang belas kasihan, sekelompok cowok tuna netra yang hampir semua sepatunya robek-robek mematung menunggu sang nenek pindah ke gerbong lain. Ada seorang wanita yang terus menerus menggumamkan "Lapar... Lapar.." di pojok gerbong, pakaiannya lusuh dan yang terperinci beliau tampaknya kurang waras. Kini giliran bocah pria yang menyapu lantai kereta, hampir sekujur tubuhnya kudisan, mata yang merah, dan kepala diperban, membentak para penumpang jikalau tidak memberinya uang. Sebenarnya saya ingin sekali mengulurkan tangan menyerupai orang lain, jikalau saja dompet yang berisi recehan itu tidak tertinggal di kamar. Saya memang selalu mencari recehan sisa kembalian untuk hal-hal menyerupai ini. Hingga setiap kali tangan atau wadah kawasan belas kasih itu tiba saya menyambutnya dengan senyuman dan kata maaf.
Kereta berhenti di Stasiun Cilebut, ketika seorang bocah laki-laki, berpeci, mengenakan seragam putih hijau, naik. Dengan gugupnya ia berdiri dan sekedar berpidato, pada dasarnya meminta para gemar memberi saling tolong menolong dalam kebenaran dengan bershadaqah untuk panti asuhan yang ditinggalinya. Bulir-bulir keringat menetes dari dahinya, sedangkan tangan mungil itu gemetar, belum lagi kata-kata yang keluar dari awal sudah putus-putus. Saya mengamatinya, mungkin pertama kalinya untuk bocah itu melaksanakan hal ini. Iba hati saya, ketika beliau mengedarkan kotak amal, refleks saya membuka dompet dan memasukkan uangnya ke dalam kotak. Tak disangka-sangka beliau membungkukkan tubuh dan tak henti-henti mengucap "terima kasih kak, terima kasih banyak...". Dia melakukannya agak lama. Saya jadi rikuh ditatap banyak orang.
Sampai di kamar, saya gres tahu kenapa bocah tadi begitu semangat berterima kasih. Uang selembar yang diberikan abang dengan tambahan "Dik, pergunakan uang ini sebaik-baiknya hingga final bulan ... " itulah yang saya masukkan ke dalam kotak, sedangkan selembar uang 500-an yang saya maksudkan untuk bersedekah masih ada di dompet. "Innalillahii.." bisik saya berulang-ulang. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Yang saya patrikan ketika itu ialah "Pasti ada hikmah... niscaya ada hikmahnya".
Siang, Jam menawarkan jarum pendeknya diangka 2. Saya pilih shirah nabawiyah untuk menentramkan gemuruh hati. Kisah-kisah kehidupan nabi Al-Musthafa begitu sempurna. Lapar yang ketika itu saya rasakan belum seberapa dibandingkan dengan Lapar yang dialami Nabi, keluarganya dan para sahabat. Betapa luar biasanya mereka dalam hal zuhud. Saya tergugu ketika membaca dongeng suatu hari Umar R.A bertemu dengan sahabatnya Jabir bin Abdullah dan menemukan sepotong daging ditangannya. Kemudian umar bertanya "Apa itu Jabir", "Aku ingin makan daging, kemudian saya membelinya" begitu legalisasi jabir. Selanjutnya Umar pun bertutur "Apakah setiap yang kau inginkan kau usahakan membelinya? Apakah kau tidak takut ayat ini, "Kamu telah menghabiskan rizkimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja)" (QS Al-Ahqaf: 20).
Saya sering lebih menentukan untuk membeli buku dibandingkan membeli kupon dari pencari dana acara amal. Saya bahkan dengan hati seringan awan menambah koleksi kerudung daripada menambah investasi darul abadi dengan memberi sedekah nenek buta yang setiap hari terlewati. Betapa dungunya saya ketika seorang tetangga tiba ke rumah meminta dukungan untuk membangun rumahnya yang ambruk, saya hanya meminta maaf alasannya ialah memberi alakadarnya, padahal besoknya saya sibuk memilih-milih sepatu di sentra pertokoan. Astaghfirullah...., air mata menetes lagi.
Maghrib, gres saja terlewati, sementara perut dari tadi hanya diisi air. Subhanallah, apakah ini yang dirasakan mereka yang kelaparan setiap harinya. Perut melilit, bersuara abnormal dan sesekali perih. Ingin rasanya mengetuk pintu kamar sebelah, tapi saya tahu kini bulan sudah tua. Dan saya ingat kemarin pagi para pemilik kamar sudah berkoar-koar tidak karuan ihwal kerontangnya isi dompet mereka. Jika saja uang tadi tidak tertukar, jikalau saja saya lebih berhati-hati, andai saya tadi tertidur,.... Astaghfirullahaladzim....
Saya mengingat banyak hal untuk menghibur hati, diantaranya janji Allah yang disampaikan ustadz di pengajian ahad yang lalu. "Dan barang apa saja yang kau nafkahkan, maka Allah akan menggantinya" (QS. Saba: 39). Lirih lisan berucap "Ya Rabb, saya nrimo dengan skenario ini, mudah-mudahan Engkau mengganti dengan yang lebih baik, alasannya ialah hamba yakin Engkau maha kaya dan tidak akan berkurang sedikitpun alasannya ialah permohonan mahluknya".
Adzan Isya berkumandang, waktu menyerupai cepat bergulir. Belum selesai melipat mukena, pintu kamar diketuk "Mba... ayo ke kawasan makan, mamanya Ayu gres tiba dan membawakan makan malam buat kita semua, cepetan nanti keabisan". Itu niscaya sobat sebelah kamar, suaranya khas. Saya tersenyum, terima kasih ya Allah. Di ruang makan, semuanya nampak bergembira, ibunya Ayu sibuk mempersilahkan mereka, padahal untuk masakan gratis, tanpa dipersilahkan pun semangat kami tetap semangat 45. Lagi asyik-asyiknya menikmati berkah, Ayu tersenyum ke arah saya dan berujar, "Eh mbak, beasiswanya sudah keluar, tadi Ayu liat di kampus. Besok uangnya udah dapat diambil".
Dan hati saya pun luruh. Begitu cepat Engkau menggantinya Ya Allah. (Sebuah kenangan, mahabbah12@yahoo.com)
sumber : eramuslim
Saya mulai mengamati, mencari vitamin hati. Seorang nenek terhuyung-huyung mengedarkan mangkuk berharap gemar memberi memberi uang belas kasihan, sekelompok cowok tuna netra yang hampir semua sepatunya robek-robek mematung menunggu sang nenek pindah ke gerbong lain. Ada seorang wanita yang terus menerus menggumamkan "Lapar... Lapar.." di pojok gerbong, pakaiannya lusuh dan yang terperinci beliau tampaknya kurang waras. Kini giliran bocah pria yang menyapu lantai kereta, hampir sekujur tubuhnya kudisan, mata yang merah, dan kepala diperban, membentak para penumpang jikalau tidak memberinya uang. Sebenarnya saya ingin sekali mengulurkan tangan menyerupai orang lain, jikalau saja dompet yang berisi recehan itu tidak tertinggal di kamar. Saya memang selalu mencari recehan sisa kembalian untuk hal-hal menyerupai ini. Hingga setiap kali tangan atau wadah kawasan belas kasih itu tiba saya menyambutnya dengan senyuman dan kata maaf.
Kereta berhenti di Stasiun Cilebut, ketika seorang bocah laki-laki, berpeci, mengenakan seragam putih hijau, naik. Dengan gugupnya ia berdiri dan sekedar berpidato, pada dasarnya meminta para gemar memberi saling tolong menolong dalam kebenaran dengan bershadaqah untuk panti asuhan yang ditinggalinya. Bulir-bulir keringat menetes dari dahinya, sedangkan tangan mungil itu gemetar, belum lagi kata-kata yang keluar dari awal sudah putus-putus. Saya mengamatinya, mungkin pertama kalinya untuk bocah itu melaksanakan hal ini. Iba hati saya, ketika beliau mengedarkan kotak amal, refleks saya membuka dompet dan memasukkan uangnya ke dalam kotak. Tak disangka-sangka beliau membungkukkan tubuh dan tak henti-henti mengucap "terima kasih kak, terima kasih banyak...". Dia melakukannya agak lama. Saya jadi rikuh ditatap banyak orang.
Sampai di kamar, saya gres tahu kenapa bocah tadi begitu semangat berterima kasih. Uang selembar yang diberikan abang dengan tambahan "Dik, pergunakan uang ini sebaik-baiknya hingga final bulan ... " itulah yang saya masukkan ke dalam kotak, sedangkan selembar uang 500-an yang saya maksudkan untuk bersedekah masih ada di dompet. "Innalillahii.." bisik saya berulang-ulang. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Yang saya patrikan ketika itu ialah "Pasti ada hikmah... niscaya ada hikmahnya".
Siang, Jam menawarkan jarum pendeknya diangka 2. Saya pilih shirah nabawiyah untuk menentramkan gemuruh hati. Kisah-kisah kehidupan nabi Al-Musthafa begitu sempurna. Lapar yang ketika itu saya rasakan belum seberapa dibandingkan dengan Lapar yang dialami Nabi, keluarganya dan para sahabat. Betapa luar biasanya mereka dalam hal zuhud. Saya tergugu ketika membaca dongeng suatu hari Umar R.A bertemu dengan sahabatnya Jabir bin Abdullah dan menemukan sepotong daging ditangannya. Kemudian umar bertanya "Apa itu Jabir", "Aku ingin makan daging, kemudian saya membelinya" begitu legalisasi jabir. Selanjutnya Umar pun bertutur "Apakah setiap yang kau inginkan kau usahakan membelinya? Apakah kau tidak takut ayat ini, "Kamu telah menghabiskan rizkimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja)" (QS Al-Ahqaf: 20).
Saya sering lebih menentukan untuk membeli buku dibandingkan membeli kupon dari pencari dana acara amal. Saya bahkan dengan hati seringan awan menambah koleksi kerudung daripada menambah investasi darul abadi dengan memberi sedekah nenek buta yang setiap hari terlewati. Betapa dungunya saya ketika seorang tetangga tiba ke rumah meminta dukungan untuk membangun rumahnya yang ambruk, saya hanya meminta maaf alasannya ialah memberi alakadarnya, padahal besoknya saya sibuk memilih-milih sepatu di sentra pertokoan. Astaghfirullah...., air mata menetes lagi.
Maghrib, gres saja terlewati, sementara perut dari tadi hanya diisi air. Subhanallah, apakah ini yang dirasakan mereka yang kelaparan setiap harinya. Perut melilit, bersuara abnormal dan sesekali perih. Ingin rasanya mengetuk pintu kamar sebelah, tapi saya tahu kini bulan sudah tua. Dan saya ingat kemarin pagi para pemilik kamar sudah berkoar-koar tidak karuan ihwal kerontangnya isi dompet mereka. Jika saja uang tadi tidak tertukar, jikalau saja saya lebih berhati-hati, andai saya tadi tertidur,.... Astaghfirullahaladzim....
Saya mengingat banyak hal untuk menghibur hati, diantaranya janji Allah yang disampaikan ustadz di pengajian ahad yang lalu. "Dan barang apa saja yang kau nafkahkan, maka Allah akan menggantinya" (QS. Saba: 39). Lirih lisan berucap "Ya Rabb, saya nrimo dengan skenario ini, mudah-mudahan Engkau mengganti dengan yang lebih baik, alasannya ialah hamba yakin Engkau maha kaya dan tidak akan berkurang sedikitpun alasannya ialah permohonan mahluknya".
Adzan Isya berkumandang, waktu menyerupai cepat bergulir. Belum selesai melipat mukena, pintu kamar diketuk "Mba... ayo ke kawasan makan, mamanya Ayu gres tiba dan membawakan makan malam buat kita semua, cepetan nanti keabisan". Itu niscaya sobat sebelah kamar, suaranya khas. Saya tersenyum, terima kasih ya Allah. Di ruang makan, semuanya nampak bergembira, ibunya Ayu sibuk mempersilahkan mereka, padahal untuk masakan gratis, tanpa dipersilahkan pun semangat kami tetap semangat 45. Lagi asyik-asyiknya menikmati berkah, Ayu tersenyum ke arah saya dan berujar, "Eh mbak, beasiswanya sudah keluar, tadi Ayu liat di kampus. Besok uangnya udah dapat diambil".
Dan hati saya pun luruh. Begitu cepat Engkau menggantinya Ya Allah. (Sebuah kenangan, mahabbah12@yahoo.com)
sumber : eramuslim
Sumber http://teenozhealthanalyst.blogspot.com