Selalu, saya akan karam dalam luasnya danau di keriput garis mata perempuan itu; garis yang berkisah perihal kesabaran, usaha hidup, penderitaan dan pengorbanan serta maaf. Menelusuri peta yang ada di wajahnya, saya tak pernah tersesat dalam membaca atau mencari sebuah kota bernama: keikhlasan.
Kali ini, saya berusaha menyusun kepingan kesabaran dan danau maaf yang ada padanya dari sebuah drama kecil yang meluruhkan air mata saya pada final Februari 2003 lalu, di sebuah bangsal kelas II Rumah Sakit Umum Giriwono, Wonogiri.
Tubuh renta perempuan itu melangkah ragu, mungkin beberapa penggalan disebabkan perjalanan sekitar dua jam dengan menggunakan bus. Ia memang hampir selalu mabuk dalam perjalanan semacam itu kendati hanya dalam bilangan jam.
“Mbah...!” suaranya bergetar ketika berada di ambang pintu. Nanap, ia menatap sesosok badan yang tergolek di atas tempat tidur dengan aneka macam selang; infus, pinjaman pernapasan, dan susukan pembuangan....
Laki-laki yang tergolek itu membalas tatapnya, menahan sejenak, lantas pelan-pelan dialihkan ke tempat lain. Ada sedu tertahan, sesak dalam dada.
“Bagaimana, Mbah?” kembali sapa perempuan itu seraya mendekat dan meraba kening si lelaki. “Yang sakit penggalan mana?” lanjutnya. Tangannya membelai kening lelaki itu dan turun ke telinganya.
Lelaki itu telah dua hari dirawat di rumah sakit lantaran penyakit stroke. Tubuh penggalan kanannya lumpuh.
Lemah, tangan kiri si lelaki berusaha meraih tangan perempuan itu, menggenggamnya lama, tetap dengan mata menghindari bertatap dengannya. Ada kepundan yang bergolak-golak di sana dan tangis yang enggan dipurnakan.
-----
Wanita itu tak lain yakni bekas istri dari lelaki yang kini tergolek tersebut. Lebih dua puluh tahun sudah keduanya berpisah.
Sangat sah bagi si perempuan itu apabila ia membenci bekas suaminya. Begitu banyak luka menganga yang ditinggalkan lelaki itu dalam perjalanan hidup yang ia alami.
Sebelum resmi berpisah, suaminya menelantarkan dirinya berikut anak-anaknya. Suaminya lantas menikah dengan perempuan lain, memenuhi istri mudanya dengan kekayaan dan kebahagian, sedangkan perempuan ini terlunta-lunta memperjuangkan hidup yang ingin ia menangkan.
Ya, nyaris tak ada apa pun yang diberikan suaminya selain penderitaan. Ia bukan resmi dicerai di PA, lantaran itu ia masih menjadi istri jikalau sewaktu-waktu suaminya pulang atau bertandang. Selalu tak ada apa-apa yang di bawa lelaki itu selain perselisihan atau kekesalan pada istri mudanya dan si perempuan akan menerimanya dengan sabar.
Tapi, selalu begitu, sehabis ia kembali mengandung, suaminya akan segera pergi kembali pada istri mudanya, dan kembalilah ia berjuang terlunta-lunta dengan janin dalam kandungan. Tercatatlah, sembilan anak terlahir dari rahimnya, seorang di antaranya meninggal lantaran kekurangan air susu. Asinya tidak keluar oleh lantaran nyaris tak ada makanan layak yang ia konsumsi.
Di lain waktu, pernah selama beberapa ahad ia -berikut anak-anaknya-tidak makan nasi. Tidak ada beras tersisa. Kendati suaminya hidup berkecukupan bahkan boleh dibilang kaya, -- ketika itu, suaminya menjabat kepala desa-ia tak hendak meminta, apalagi menuntut. Untuk bertahan hidup, ia dan anak-anaknya memakan daun-daunan yang direbus dengan adonan sedikit beras hasil utang. Jika waktu makan tiba, ia kumpulkan anak-anak, duduk melingkar memutari kuali tanah berisi bubur daun-daunan tersebut dengan masing-masing memegang satu piring. Lantas, pada piring masing-masing dituang bubur encer terebut. Sungguh jauh dari cukup, apalagi rasa kenyang. Sementara... suami dan istri mudanya sekaligus bawah umur mereka makan dengan kenyang dan berlebihan.
Jika malam tiba, gubuk reot yang ia huni itu penuh rebak dengan cerita. Wanita ini gemar sekali mendongeng untuk anak-anaknya; satu-satunya hiburan yang bisa ia berikan pada anak-anak. Dengan sebuah lentera kecil yang berkedip-kedip ditiup angin, ia mendongeng Timun Mas, Kepel, Lutung Kasarung, Roro Mendut-Pronocitro, Minakjinggo-Kenconowungu, dan sekian lagi dongeng yang ia kreasi sendiri. Anak-anaknya mendengarkan dengan mata berbinar-binar. Kadang-kadang pula ia mengajarkan tembang-tembang dolanan yang menjadi senandung riang pembawa semangat anak-anaknya. Sambil bercerita itu, tangannya tak henti bekerja, kadang kala hingga larut malam; menganyam tikar pandan pesanan tetangga, mengupas singkong, oncek dhele, prithil kacang, pipik jagung... pekerjaan-pekarjaan khas para petani yang darinya ia peroleh upah tak seberapa.
Lantas, sementara ia terus mendongeng, satu per satu anak-anaknya terlelap di atas tikar yang berlubang dan bertambal-tambal di sana-sini. Setelah anak-anaknya tertidur, serentak, wajahnya yang semula berbinar-binar tanpa murung itu meredup. Ia menatap anak-anaknya yang tidur dengan ekspresi menganga dan perut berkeriut. Napasnya cekat. Tanpa permisi, air mata berbondong-bondong keluar oleh tindihan rasa nelangsa. Ya... di ketika yang sama, suami dan istri mudanya berikut bawah umur mereka terlelap di atas kasur dengan selimut hangat dan perut kekenyangan.
Baginya, murung itu yakni miliknya sendiri. Jangan hingga memberi anak linangan air mata. Jangan hingga ia berikan duka.
Dirinya masih harus merunut malam yang jauh. Dia tak berpikir akan bertahan hidup, tapi ia tak akan mengakhiri sendiri dengan bodoh; kendati bersama-sama itu pernah terlintas dalam benaknya.
“Saya tak percaya saya masih hidup hingga hari ini,” ungkapnya bertahun-tahun sehabis itu. Yang ada dalam pikirannya yakni 'hidup dan bertahan'. Ia harus menuntaskan semua itu dengan cara-cara pahlawan.
Dengan menjadi buruh tani, ia terus mengais. Pekerjaan itu nyaris tak menjanjikan apa-apa. Tak jarang, ia bekerja di sawah suaminya sendiri sebagai buruh dengan upah yang tidak lebih besar dari buruh yang lain, bahkan cenderung lebih kecil. Entah, bagaimana ia bisa menjalani semua itu.
Lantas, satu per satu anaknya lulus sekolah. Yang pertama menuntaskan SMP, yang kedua bertahan hanya hingga SD, sedangkan yang ketiga tak bisa menuntaskan pendidikan terendah sekalipun kendati justru ia anak paling cerdas di antara anak-anaknya yang lain. Bersama, ketiga anak ini tetapkan merantau ke Jakarta. Tentu saja tak begitu ada cita-cita bekerja di tempat yang nyaman. Ketiganya... menjadi pembantu. Tapi, kendati sedikit, ketiganya mulai bisa mengirim uang untuk orang renta dan adik-adiknya.
Begitulah, perempuan ini telah mengatur rupiah dengan begitu cermat. Ia bahkan tak menyentuh uang-uang kririman itu, tapi kesemuanya dipakai untuk membiayai sekolah lima anaknya yang lain. Cukup ajaib, kelima anaknya tersebut berhasil menamatkan jenjang SLTA.
Hari-hari lesap ke bulan dan bulan karam dalam tahun. Seperti hidupnya, waktu tidak berhenti berjalan. Satu per satu anaknya lulus, bekerja ... dan menikah. Biaya sekolah tidak melulu ditanggung anak pertama, tetapi selalu demikian... setiap ada yang lulus dan mulai bekerja, ia bertugas melanjutkan estafet amanah itu.
Lagi-lagi, keajaiban dan bukti bahwa Allah Mahakasih, empat dari anak-anaknya tersebut lulus tes menjadi pegawai negeri sipil, sebuah pekerjaan yang cukup bergengsi untuk ukuran daerahnya. Saat sekolah pun, rata-rata mereka mendapat beasiswa atau dispensasi biaya sebagai kompensasi dari prestasi yang diraih... atau minimal menjadi juara kelas. Namanya pun menjadi legenda di masyarakatnya bahwa anak-anaknya maupun cucu-cucunya pasti cerdas dan sukses.
Bolehlah dikatakan begitu. Untuk ukuran orang menyerupai dirinya, tentulah apa yang ada kini ini merupakan sukses yang tidak terbilang. Masing-masing anaknya di Jakarta telah mempunyai hunian yang layak -kendati kecil--, anak pertamanya malah berhasil masuk tes PNS di Mabes Polisi Republik Indonesia kendati hanya dengan ijazah SMP. Anak-anaknya pun nyaris semua cukup disegani di lingkungannya, hal mana tidak demikian dengan bawah umur suaminya dari istri mudanya.
Tahun 2002, rumah yang ia huni yang dibangun anak-anaknya pada tahun 1988, ambruk. Kondisinya memang telah reot. Anak-anaknya bukan tidak tahu, tapi mereka tidak memperbaikinya dalam kurun yang cukup usang itu disebabkan mereka dihentikan oleh sang ayah -suami dari perempuan ini-untuk memperbaiki.
Laki-laki itu mungkin hatinya terbuat dari batu, tak juga bisa mencar ilmu dari kejadian-kejadian yang ia alami. Tahun 1988, ketika anak terakhir dari istrinya berusia 10 tahun, ia kembali terpikat perempuan lain; seorang janda muda dari kampung sebelah. Karena tak bisa menikah resmi, keduanya -entahlah, mungkin nikah di bawah tangan-tinggal serumah.
Kali ini, wanitanya tak 'sebaik' dan sesabar' dua istrinya terdahulu. Hartanya habis dalam bilangan tahun. Dan... empat tahun kemudian, jabatannya sebagai kepala desa berakhir.
Hidup dengan sisa-sisa kejayaan masa lalu, perempuan muda ini tidak bertahan. Ia menentukan pergi meninggalkan si lelaki yang kini tak lagi bisa mencukupi kebutuhannya.
Lantas, menyerupai roda... hidup berputar. Allah terus memperjalankan takdirnya yang tak terkata namun penggalan dari hal paling tetap dan niscaya. Bukan karma. Lelaki ini menjalani hidupnya sendiri, menjadi buruh tani -karena sawahnya telah habis terjual-dan tinggal di kesunyian rumahnya: tanpa anak dan istri.
Sementara istrinya -si perempuan ini-mulai merasai kebahagiaan dari hidup yang lebih layak, riang dipenuhi jeritan manja cucu-cucu dan rengekan mereka.
Maka, meradanglah si lelaki ketika anak-anaknya berniat membangun sebuah rumah untuk ibunya lantaran rumah yang kemarin rubuh. Tak hanya fitnah, teror pun dilangsungkan. Anak-anaknya tak menyerah, tetap berusaha membangun rumah itu lantaran memang sudah tidak bisa ditunda lagi. Dulu mereka menahan-nahan niat tersebut selama bertahun-tahun, dan kini tak bisa lagi.
Tersebutlah, di suatu malam, si perempuan -istrinya yang telah ditelantarkan itu-mendengar bunyi berisik ayam-ayam di kandang. Berjingkat, ia membuka pintu belakang rumah. Masih sempat sekilas ia melihat suaminya menaburkan sesuatu di sudut luar rumah. Kendati dalam remang, ia masih bisa mengenali bahwa sosok itu yakni suaminya.
Paginya, tiba-tiba ia lumpuh. Tubuhnya lemah dan tak bisa berdiri. Orang-orang mengira itu teluh. Setelah dirawat beberapa ketika di RS, alhamdulillah ia sembuh.
Teror tak berhenti. Suaminya, secara terbuka, mendoakan biar kayu-kayu rumahnya keropos dimakan rayap. Dan doanya terkabul, tapi kali ini bukan pada rumah si wanita, melainkan rumahnya sendiri. Beberapa waktu kemudian ia mengancam akan memperabukan rumah itu, dan sekali lagi, rencana itu -kendati bukan dia-terlaksana. Juga bukan pada rumah si wanita, melainkan rumahnya sendiri. Karena lupa memadamkan api di tungku, rumah belakangnya terbakar.
Itu semua belum berakhir. Dalam kesendirian yang diliputi rasa dengki dan iri, ia mendoakan biar si perempuan ini diserang penyakit. Dan lagi.... doanya terkabul, juga bukan untuk si wanita, tapi untuk dirinya sendiri. Tiba-tiba, orang-orang menemukan lelaki itu tak bisa bicara dan sebelah tubuhnya lumpuh. Ia terjangkit stroke untuk pertama kali yang sekaligus masuk dalam stadium kritis.
Anak-anaknya membawanya ke rumah sakit.
Dan... kejadian hari itu yakni kolam sebuah drama nyata. Sebuah babak yang luar biasa indah ketika si perempuan -dengan langkah ragu dan bergetar, sebagian oleh sisa perjalanan yang membuatnya mabuk darat-menjenguk bekas suaminya yang tergolek di rumah sakit. Ada pancaran iba dan kasih yang tulus ketika ia meraba, mengusap, dan bertanya perihal kabar dengan terbata-bata. Mesra sekali ketika ia memijit kaki lelaki itu.
“Piye rasane, Mbah?” tanyanya dengan panggilan mesra. Mbah? Aduhai, nyaman sekali. Saat belum punya anak, ia memanggil lelaki ini dengan sebutan 'Kakang,' ketika sudah punya anak dengan sebutan 'Pak', dan ketika telah dianugerahi cucu demikian banyak, ia memanggilnya 'Mbah'
Gemetar, tangan kiri lelaki ini -karena badan penggalan kanannya lumpuh-menggenggam tangan renta yang mengusap keningnya, seakan ia menikmati belaian lembut tersebut dan menahannya sesaat biar jangan terlalu cepat sirna. Kendati pandangannya dibuang ke sisi lain menghindari wajah -bekas-istrinya ini, ia tak bisa mengingkari ada lautan maaf dan cinta yang telah menggelombanginya.
Melihatnya, saya tak kuasa menahan isak. Seperti lelaki itu, tangis saya cekat di kerongkongan sementara air mata sudah berbondog-bondong menitik tanpa bisa dicegah lagi. Sesak sekali dada saya oleh rasa haru yang menekan-nekan.
Ya... melihat perempuan ini, saya menyerupai karam dalam bahari kesabaran. Dan... dialah perempuan tercantik yang pernah saya jumpai di dunia ini. Dia... tak lain yakni ibu saya.
Ya Allah... ampunilah dosanya, maafkanlah kesalahannya dan kasihilah beliau sebagaimana ia menyayangi kami dalam suka dan duka.
Sakti Wibowo [abu_ahmadi at yahoo dot co dot in]
Malam 1 Juni 03
Kenangan dan doa untuk Bundaku, orang paling berharga dalam hidupku.
(Tulisan ini terlah termuat dalam buku “Diari Kehidupan 1,” PT Syaamil Cipta Media, Bandung, 2004)
Kali ini, saya berusaha menyusun kepingan kesabaran dan danau maaf yang ada padanya dari sebuah drama kecil yang meluruhkan air mata saya pada final Februari 2003 lalu, di sebuah bangsal kelas II Rumah Sakit Umum Giriwono, Wonogiri.
Tubuh renta perempuan itu melangkah ragu, mungkin beberapa penggalan disebabkan perjalanan sekitar dua jam dengan menggunakan bus. Ia memang hampir selalu mabuk dalam perjalanan semacam itu kendati hanya dalam bilangan jam.
“Mbah...!” suaranya bergetar ketika berada di ambang pintu. Nanap, ia menatap sesosok badan yang tergolek di atas tempat tidur dengan aneka macam selang; infus, pinjaman pernapasan, dan susukan pembuangan....
Laki-laki yang tergolek itu membalas tatapnya, menahan sejenak, lantas pelan-pelan dialihkan ke tempat lain. Ada sedu tertahan, sesak dalam dada.
“Bagaimana, Mbah?” kembali sapa perempuan itu seraya mendekat dan meraba kening si lelaki. “Yang sakit penggalan mana?” lanjutnya. Tangannya membelai kening lelaki itu dan turun ke telinganya.
Lelaki itu telah dua hari dirawat di rumah sakit lantaran penyakit stroke. Tubuh penggalan kanannya lumpuh.
Lemah, tangan kiri si lelaki berusaha meraih tangan perempuan itu, menggenggamnya lama, tetap dengan mata menghindari bertatap dengannya. Ada kepundan yang bergolak-golak di sana dan tangis yang enggan dipurnakan.
-----
Wanita itu tak lain yakni bekas istri dari lelaki yang kini tergolek tersebut. Lebih dua puluh tahun sudah keduanya berpisah.
Sangat sah bagi si perempuan itu apabila ia membenci bekas suaminya. Begitu banyak luka menganga yang ditinggalkan lelaki itu dalam perjalanan hidup yang ia alami.
Sebelum resmi berpisah, suaminya menelantarkan dirinya berikut anak-anaknya. Suaminya lantas menikah dengan perempuan lain, memenuhi istri mudanya dengan kekayaan dan kebahagian, sedangkan perempuan ini terlunta-lunta memperjuangkan hidup yang ingin ia menangkan.
Ya, nyaris tak ada apa pun yang diberikan suaminya selain penderitaan. Ia bukan resmi dicerai di PA, lantaran itu ia masih menjadi istri jikalau sewaktu-waktu suaminya pulang atau bertandang. Selalu tak ada apa-apa yang di bawa lelaki itu selain perselisihan atau kekesalan pada istri mudanya dan si perempuan akan menerimanya dengan sabar.
Tapi, selalu begitu, sehabis ia kembali mengandung, suaminya akan segera pergi kembali pada istri mudanya, dan kembalilah ia berjuang terlunta-lunta dengan janin dalam kandungan. Tercatatlah, sembilan anak terlahir dari rahimnya, seorang di antaranya meninggal lantaran kekurangan air susu. Asinya tidak keluar oleh lantaran nyaris tak ada makanan layak yang ia konsumsi.
Di lain waktu, pernah selama beberapa ahad ia -berikut anak-anaknya-tidak makan nasi. Tidak ada beras tersisa. Kendati suaminya hidup berkecukupan bahkan boleh dibilang kaya, -- ketika itu, suaminya menjabat kepala desa-ia tak hendak meminta, apalagi menuntut. Untuk bertahan hidup, ia dan anak-anaknya memakan daun-daunan yang direbus dengan adonan sedikit beras hasil utang. Jika waktu makan tiba, ia kumpulkan anak-anak, duduk melingkar memutari kuali tanah berisi bubur daun-daunan tersebut dengan masing-masing memegang satu piring. Lantas, pada piring masing-masing dituang bubur encer terebut. Sungguh jauh dari cukup, apalagi rasa kenyang. Sementara... suami dan istri mudanya sekaligus bawah umur mereka makan dengan kenyang dan berlebihan.
Jika malam tiba, gubuk reot yang ia huni itu penuh rebak dengan cerita. Wanita ini gemar sekali mendongeng untuk anak-anaknya; satu-satunya hiburan yang bisa ia berikan pada anak-anak. Dengan sebuah lentera kecil yang berkedip-kedip ditiup angin, ia mendongeng Timun Mas, Kepel, Lutung Kasarung, Roro Mendut-Pronocitro, Minakjinggo-Kenconowungu, dan sekian lagi dongeng yang ia kreasi sendiri. Anak-anaknya mendengarkan dengan mata berbinar-binar. Kadang-kadang pula ia mengajarkan tembang-tembang dolanan yang menjadi senandung riang pembawa semangat anak-anaknya. Sambil bercerita itu, tangannya tak henti bekerja, kadang kala hingga larut malam; menganyam tikar pandan pesanan tetangga, mengupas singkong, oncek dhele, prithil kacang, pipik jagung... pekerjaan-pekarjaan khas para petani yang darinya ia peroleh upah tak seberapa.
Lantas, sementara ia terus mendongeng, satu per satu anak-anaknya terlelap di atas tikar yang berlubang dan bertambal-tambal di sana-sini. Setelah anak-anaknya tertidur, serentak, wajahnya yang semula berbinar-binar tanpa murung itu meredup. Ia menatap anak-anaknya yang tidur dengan ekspresi menganga dan perut berkeriut. Napasnya cekat. Tanpa permisi, air mata berbondong-bondong keluar oleh tindihan rasa nelangsa. Ya... di ketika yang sama, suami dan istri mudanya berikut bawah umur mereka terlelap di atas kasur dengan selimut hangat dan perut kekenyangan.
Baginya, murung itu yakni miliknya sendiri. Jangan hingga memberi anak linangan air mata. Jangan hingga ia berikan duka.
Dirinya masih harus merunut malam yang jauh. Dia tak berpikir akan bertahan hidup, tapi ia tak akan mengakhiri sendiri dengan bodoh; kendati bersama-sama itu pernah terlintas dalam benaknya.
“Saya tak percaya saya masih hidup hingga hari ini,” ungkapnya bertahun-tahun sehabis itu. Yang ada dalam pikirannya yakni 'hidup dan bertahan'. Ia harus menuntaskan semua itu dengan cara-cara pahlawan.
Dengan menjadi buruh tani, ia terus mengais. Pekerjaan itu nyaris tak menjanjikan apa-apa. Tak jarang, ia bekerja di sawah suaminya sendiri sebagai buruh dengan upah yang tidak lebih besar dari buruh yang lain, bahkan cenderung lebih kecil. Entah, bagaimana ia bisa menjalani semua itu.
Lantas, satu per satu anaknya lulus sekolah. Yang pertama menuntaskan SMP, yang kedua bertahan hanya hingga SD, sedangkan yang ketiga tak bisa menuntaskan pendidikan terendah sekalipun kendati justru ia anak paling cerdas di antara anak-anaknya yang lain. Bersama, ketiga anak ini tetapkan merantau ke Jakarta. Tentu saja tak begitu ada cita-cita bekerja di tempat yang nyaman. Ketiganya... menjadi pembantu. Tapi, kendati sedikit, ketiganya mulai bisa mengirim uang untuk orang renta dan adik-adiknya.
Begitulah, perempuan ini telah mengatur rupiah dengan begitu cermat. Ia bahkan tak menyentuh uang-uang kririman itu, tapi kesemuanya dipakai untuk membiayai sekolah lima anaknya yang lain. Cukup ajaib, kelima anaknya tersebut berhasil menamatkan jenjang SLTA.
Hari-hari lesap ke bulan dan bulan karam dalam tahun. Seperti hidupnya, waktu tidak berhenti berjalan. Satu per satu anaknya lulus, bekerja ... dan menikah. Biaya sekolah tidak melulu ditanggung anak pertama, tetapi selalu demikian... setiap ada yang lulus dan mulai bekerja, ia bertugas melanjutkan estafet amanah itu.
Lagi-lagi, keajaiban dan bukti bahwa Allah Mahakasih, empat dari anak-anaknya tersebut lulus tes menjadi pegawai negeri sipil, sebuah pekerjaan yang cukup bergengsi untuk ukuran daerahnya. Saat sekolah pun, rata-rata mereka mendapat beasiswa atau dispensasi biaya sebagai kompensasi dari prestasi yang diraih... atau minimal menjadi juara kelas. Namanya pun menjadi legenda di masyarakatnya bahwa anak-anaknya maupun cucu-cucunya pasti cerdas dan sukses.
Bolehlah dikatakan begitu. Untuk ukuran orang menyerupai dirinya, tentulah apa yang ada kini ini merupakan sukses yang tidak terbilang. Masing-masing anaknya di Jakarta telah mempunyai hunian yang layak -kendati kecil--, anak pertamanya malah berhasil masuk tes PNS di Mabes Polisi Republik Indonesia kendati hanya dengan ijazah SMP. Anak-anaknya pun nyaris semua cukup disegani di lingkungannya, hal mana tidak demikian dengan bawah umur suaminya dari istri mudanya.
Tahun 2002, rumah yang ia huni yang dibangun anak-anaknya pada tahun 1988, ambruk. Kondisinya memang telah reot. Anak-anaknya bukan tidak tahu, tapi mereka tidak memperbaikinya dalam kurun yang cukup usang itu disebabkan mereka dihentikan oleh sang ayah -suami dari perempuan ini-untuk memperbaiki.
Laki-laki itu mungkin hatinya terbuat dari batu, tak juga bisa mencar ilmu dari kejadian-kejadian yang ia alami. Tahun 1988, ketika anak terakhir dari istrinya berusia 10 tahun, ia kembali terpikat perempuan lain; seorang janda muda dari kampung sebelah. Karena tak bisa menikah resmi, keduanya -entahlah, mungkin nikah di bawah tangan-tinggal serumah.
Kali ini, wanitanya tak 'sebaik' dan sesabar' dua istrinya terdahulu. Hartanya habis dalam bilangan tahun. Dan... empat tahun kemudian, jabatannya sebagai kepala desa berakhir.
Hidup dengan sisa-sisa kejayaan masa lalu, perempuan muda ini tidak bertahan. Ia menentukan pergi meninggalkan si lelaki yang kini tak lagi bisa mencukupi kebutuhannya.
Lantas, menyerupai roda... hidup berputar. Allah terus memperjalankan takdirnya yang tak terkata namun penggalan dari hal paling tetap dan niscaya. Bukan karma. Lelaki ini menjalani hidupnya sendiri, menjadi buruh tani -karena sawahnya telah habis terjual-dan tinggal di kesunyian rumahnya: tanpa anak dan istri.
Sementara istrinya -si perempuan ini-mulai merasai kebahagiaan dari hidup yang lebih layak, riang dipenuhi jeritan manja cucu-cucu dan rengekan mereka.
Maka, meradanglah si lelaki ketika anak-anaknya berniat membangun sebuah rumah untuk ibunya lantaran rumah yang kemarin rubuh. Tak hanya fitnah, teror pun dilangsungkan. Anak-anaknya tak menyerah, tetap berusaha membangun rumah itu lantaran memang sudah tidak bisa ditunda lagi. Dulu mereka menahan-nahan niat tersebut selama bertahun-tahun, dan kini tak bisa lagi.
Tersebutlah, di suatu malam, si perempuan -istrinya yang telah ditelantarkan itu-mendengar bunyi berisik ayam-ayam di kandang. Berjingkat, ia membuka pintu belakang rumah. Masih sempat sekilas ia melihat suaminya menaburkan sesuatu di sudut luar rumah. Kendati dalam remang, ia masih bisa mengenali bahwa sosok itu yakni suaminya.
Paginya, tiba-tiba ia lumpuh. Tubuhnya lemah dan tak bisa berdiri. Orang-orang mengira itu teluh. Setelah dirawat beberapa ketika di RS, alhamdulillah ia sembuh.
Teror tak berhenti. Suaminya, secara terbuka, mendoakan biar kayu-kayu rumahnya keropos dimakan rayap. Dan doanya terkabul, tapi kali ini bukan pada rumah si wanita, melainkan rumahnya sendiri. Beberapa waktu kemudian ia mengancam akan memperabukan rumah itu, dan sekali lagi, rencana itu -kendati bukan dia-terlaksana. Juga bukan pada rumah si wanita, melainkan rumahnya sendiri. Karena lupa memadamkan api di tungku, rumah belakangnya terbakar.
Itu semua belum berakhir. Dalam kesendirian yang diliputi rasa dengki dan iri, ia mendoakan biar si perempuan ini diserang penyakit. Dan lagi.... doanya terkabul, juga bukan untuk si wanita, tapi untuk dirinya sendiri. Tiba-tiba, orang-orang menemukan lelaki itu tak bisa bicara dan sebelah tubuhnya lumpuh. Ia terjangkit stroke untuk pertama kali yang sekaligus masuk dalam stadium kritis.
Anak-anaknya membawanya ke rumah sakit.
Dan... kejadian hari itu yakni kolam sebuah drama nyata. Sebuah babak yang luar biasa indah ketika si perempuan -dengan langkah ragu dan bergetar, sebagian oleh sisa perjalanan yang membuatnya mabuk darat-menjenguk bekas suaminya yang tergolek di rumah sakit. Ada pancaran iba dan kasih yang tulus ketika ia meraba, mengusap, dan bertanya perihal kabar dengan terbata-bata. Mesra sekali ketika ia memijit kaki lelaki itu.
“Piye rasane, Mbah?” tanyanya dengan panggilan mesra. Mbah? Aduhai, nyaman sekali. Saat belum punya anak, ia memanggil lelaki ini dengan sebutan 'Kakang,' ketika sudah punya anak dengan sebutan 'Pak', dan ketika telah dianugerahi cucu demikian banyak, ia memanggilnya 'Mbah'
Gemetar, tangan kiri lelaki ini -karena badan penggalan kanannya lumpuh-menggenggam tangan renta yang mengusap keningnya, seakan ia menikmati belaian lembut tersebut dan menahannya sesaat biar jangan terlalu cepat sirna. Kendati pandangannya dibuang ke sisi lain menghindari wajah -bekas-istrinya ini, ia tak bisa mengingkari ada lautan maaf dan cinta yang telah menggelombanginya.
Melihatnya, saya tak kuasa menahan isak. Seperti lelaki itu, tangis saya cekat di kerongkongan sementara air mata sudah berbondog-bondong menitik tanpa bisa dicegah lagi. Sesak sekali dada saya oleh rasa haru yang menekan-nekan.
Ya... melihat perempuan ini, saya menyerupai karam dalam bahari kesabaran. Dan... dialah perempuan tercantik yang pernah saya jumpai di dunia ini. Dia... tak lain yakni ibu saya.
Ya Allah... ampunilah dosanya, maafkanlah kesalahannya dan kasihilah beliau sebagaimana ia menyayangi kami dalam suka dan duka.
Sakti Wibowo [abu_ahmadi at yahoo dot co dot in]
Malam 1 Juni 03
Kenangan dan doa untuk Bundaku, orang paling berharga dalam hidupku.
(Tulisan ini terlah termuat dalam buku “Diari Kehidupan 1,” PT Syaamil Cipta Media, Bandung, 2004)
sumber : eramuslim
Sumber http://teenozhealthanalyst.blogspot.com