Wednesday, February 21, 2018

√ [Inilah] Cerita Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja)


[Inilah] Kisah Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja)




Assalammualaikum, Selamat tiba di Kelas IPS. Disini Ibu Guru akan membahas wacana pelajaran Sejarah yaitu Tentang “Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja)“. Berikut dibawah ini penjelasannya:


 Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga  √ [Inilah] Kisah Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja)


Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) yaitu seorang raja pada masa pemerintahan Kerajaan Pajajaran, yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521). Prabu Siliwangi juga dikenal dengan nama, Pangeran Pamanah Rasa. Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya. Nama Prabu Siliwangi, lebih populer di kawasan Jawa Barat. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup.


Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata mendapatkan tahta Kerajaan Galuh dari ayahnya, Prabu Dewa Niskala, yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Kedua, ketika ia mendapatkan tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan kejadian ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi, sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, sehabis “sepi” selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat. Untuk menuliskan situasi kepindahan keluarga kerajaan sanggup dilihat pada Pindahnya Ratu Pajajaran.


Di Jawa Barat, Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam aneka macam versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti dikala Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda).


Menurut tradisi lama, orang segan atau dihentikan menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun memopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:



“Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira”. Yang berarti: “Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Makara nama itu bukan nama pribadinya”.





Masa muda


Saat mudanya Sri Baduga populer sebagai ksatria pemberani dan tangkas, bahkan ia satu-satunya yang bisa mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam aneka macam hal, orang sezamannya senantiasa teringat akan kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat, yang digelari Prabu Wangi.


Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja):



  • “Di medan perang Bubat, ia banyak membinasakan musuhnya lantaran Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain.

  • Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Gajah Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh lantaran itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa.

  • Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat. Kemasyurannya hingga kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa besar hati kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Tatar Sunda. Oleh lantaran itu, nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya kemudian disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah berdasarkan penuturan orang Sunda”.


Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan fakta sejarah menyerupai yang diungkapkan di atas, sangat  gampang diduga. Pangeran Wangsakerta, penanggung jawab penyusunan Sejarah Nusantara, menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi yaitu Maharaja Linggabuana yang gugur di Bubat, sedangkan penggantinya (“silih”nya) bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, yang berdasarkan naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu Wangisutah).


Nah, orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu yaitu “seuweu” Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewati?


Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh. Dalam relasi ini tokoh Sri Baduga memang penerus “langsung” dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar Prabu, sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja (sama menyerupai kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).


Dengan demikian, menyerupai diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai “silih” (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). “Silih” dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad, yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi pribadi dari ayah kepada anak, sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana.




Pasca Penobatan


Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga sehabis resmi dinobatkan jadi raja yaitu menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):



  1. Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan kini di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa.

  2. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan “dasa”, “calagra”, “kapas timbang”, dan “pare dongdang”.


Maka diperintahkan kepada para petugas muara biar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.


Dengan tegas di sini disebut “dayeuhan” (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu “dasa” (pajak tenaga perorangan), “calagra” (pajak tenaga kolektif), “kapas timbang” (kapas 10 pikul) dan “pare dondang” (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut yaitu dasa, calagra, “upeti”, “panggeureus reuma”.


Dalam koropak 406 disebutkan bahwa dari kawasan Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa “kapas sapuluh carangka” (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau berdasarkan Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Makara tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.


“Pare dondang” disebut “panggeres reuma”. Panggeres yaitu hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma yaitu bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang sehabis dipanen dan kemudian ditinggalkan lantaran petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang yaitu alat pikul menyerupai “tempat tidur” persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut “dondang” (berayun). Dondang pun khusus digunakan untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh lantaran itu, “pare dongdang” atau “penggeres reuma” ini lebih bersifat barang antaran.


Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk “dasa” dan “calagra” (Di Majapahit disebut “walaghara=pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara terusan air (ngikis), bekerja di ladang atau di “serang ageung” (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).


Dalam kropak 630 disebutkan “wwang tani bakti di wado” (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut sehabis zaman kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna untuk “rodi”. Bentuk dasa diubah menjadi “Heerendiensten” (bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah menjadi “Algemeenediensten” (dinas umum) atau “Campongdiesnten” (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, menyerupai pemeliharaan terusan air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan makan. “Preangerstelsel” dan “Cultuurstelsel” yang keduanya berupa sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini.


Dalam final kala ke-19 bentuknya bermetamorfosis “lakon gawe” dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa “puraga tamba kadengda” (bekerja sekedar untuk menghindari eksekusi atau dendaan). Bentuk dasa intinya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban “gebagan” yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat.


Jadi “gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa”, berdasarkan sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi pandangan gres dasarnya yaitu pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam kala ke-5.


Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa “piteket” lantaran pribadi merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas “kabuyutan” di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai “lurah kwikuan” yang disebut juga desa perdikan, desa bebas pajak.




Carita Parahiyangan


Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian :



“Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa”.



(Artinya: Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan aliran agama).


Dari Naskah ini sanggup diketahui, bahwa pada dikala itu telah banyak Rakyat Pajajaran yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama.




Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2


Naskah ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 serpihan terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. [Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka terlepas dari Pajajaran di Tatar Pasundan (Jawa Barat dan Banten).


Ketika itu Sri Baduga gres saja menempati Istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang berpengaruh berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjaga kemungkinan datangnya serangan Pajajaran.


Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan adonan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Setelah berunding, kesannya Jagabaya menyerahkan diri dan masuk Islam.


Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu sanggup dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. [Cirebon yaitu kawasan warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan kawasan sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang).


Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan penghapusan penyerangan itu bisa diterima oleh penguasa Pajajaran.


Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pelatihan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, menciptakan jalan dan menyusun Pagelaran (formasi tempur) lantaran Pajajaran yaitu negara yang berpengaruh di darat, tetapi lemah di laut.


Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran mempunyai kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri mempunyai pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya mempunyai enam buah Kapal Jung 150 ton dan beberaa lankaras (?) untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun)].


Keadaan makin tegang ketika relasi Demak dan Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada empat pasangan yang dijodohkan, antara lain:



  1. Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi).

  2. Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor.

  3. Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun.

  4. Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa).


Perkawinan Pangeran Sabrang Lor alias Yunus Abdul Kadir dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon.


Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Imperium Portugis Afonso de Albuquerque di Malaka yang ketika itu gres saja gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan Samudera Pasai. Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak.


Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga lantaran masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh lantaran itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan. Sri Baduga hanya tidak bahagia relasi Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak membencinya lantaran salah seorang permaisurinya, Subanglarang, yaitu seorang muslimah dan ketiga anaknya — Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang, dan Raja Sangara yang diizinkan semenjak kecil mengikuti agama ibunya (Islam).


Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing masing pihak sanggup menyebarkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai zaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan zaman Sri Baduga dengan komentar “The Kingdom of Sunda is justly governed; they are honest men” (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka yaitu orang-orang jujur).


Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka hingga ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar=3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.


Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam kala ke-18 dalam bahasa Jawa dan abjad Arab Pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa Gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam zaman Pajajaran.


Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhunan di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482-1521). Ia disebut secara anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya lantaran ia dipusarakan di Rancamaya.




Versi Kitab Suwasit


Dalam Kitab Suwasit, dikisahkan bahwa Pangeran Pamanah Rasa merupakan putra mahkota dari Prabu Anggararang yang menguasai Kerajaan Gajah. Pangeran Pamanah kemudian melanjutkan kepemimpinan ayahnya, Prabu Anggararang sebagai Raja Gajah.


Di tengah memimpin kerajaan gajah, Prabu Pamanah Rasa kerap mengembara ke sesuatu daerah. Di dalam salah satu pengembarannya, Prabu Pamanah Rasa dihadang oleh siluman Harimau Putih di hutan yang terletak di kawasan Majalengka. Pertempuan pun tidak terelakkan.


Prabu Pamanah Rasa dan Siluman Harimau Putih yang diketahui mempunyai kesaktian tinggi itu pun bertarung sengit. Namun kesaktian Prabu Pamanah Rasa berhasil memenangi pertarungan dan menciptakan siluman Harimau Putih tunduk kepadanya.


Dengan tunduknya siluman Harimau Putih, maka meluaslah wilayah kerajaan Gajah. Prabu Pamanah Rasa pun selanjutnya mengubah nama kerajaannya menjadi kerajaan Pajajaran. Yang berarti menjajarkan atau menggabungkan kerajaan Gajah dengan kerajaan Harimau Putih.


Siluman Harimau Putih beserta pasukannya selanjutnya dengan setia mendampingi dan membantu Prabu Pamanah Rasa. Salah satunya, kala kerajaan Pajajaran menundukkan kerajaan Galuh. Siluman Harimau Putih juga turut membantu Prabu Pamanah rasa dikala kerajaan Pajajaran diserang oleh kerajaan Mongol.


Seiring meluasnya wilayah kerajaan Gajah, Prabu Pamanah Rasa kemudian menciptakan senjata sakti yang kini menjadi lambang propinsi Jawa Barat, yaitu Kujang. Senjata itu berbentuk melengkung dengan gesekan harimau di gagangnya. Ukiran harimau di gagang Kujang konon sebagai pengingat terhadap pendamping setianya, siluman Harimau Putih.


Kapan Prabu Pamanah Rasa memakai nama Prabu Siliwangi? Nama itu digunakan sehabis ia memutuskan untuk memeluk agama Islam sebagai syarat menikahi Nyi Ratu Subanglarang yang merupakan murid dari Syaikh Quro.


Dari rahim Nyi Ratu Subanglarang lahir Raden Walangsungsang, Nyi Mas Rara Santang  dan Raden Kian Santang. Raden Kian Santang selanjutnya diberi gelar Pangeran Cakrabuana.


Rara Santang kelak diketahui menjadi ibunda salah satu wali dari sembilan wali di Indonesia, yaitu Syarif Hdayatullah atau biasa dikenal dengan Sunan Gunung Jati.




Misteri Hilangnya Prabu Siliwangi


Prabu Siliwangi sendiri tidak diketahui final hidupnya. Banyak yang meyakini jikalau Prabu Siliwangi bersama siluman Harimau Putih menghilang dan memindahkan kerajaan Pajajaran ke alam Gaib.


Dalam versi Babad Tanah Sunda atau Babad Cirebon ketika Raden Pamanah Rasa naik tahta dengan gelar Prabu Siliwangi. Saat memerintah Pajajaran, kala itu ia dihasut oleh Ki Buyut Talibrata untuk tidak tunduk pada Cirebon yang kala itu di pimpin oleh cucu Prabu Siliwangi, Syarif Hidayatullah.


Kala itu, Syarif Hidayatullah menyerukan kepada sebagaian penduduk Padjajaran untuk memeluk agama Islam. Menghadapi seruan ini Prabu Siliwangi menuruti kata-kata Ki Buyut Talibrata yang menyatakan lebih baik “Ngahyang” atau menghilang (moksa) dari Bumi.


Seketika itu juga, ketika Syarif Hidayatullah melaksanakan pengejaran, istana Kerajaan Padjajaran berdasarkan kisah bermetamorfosis hutan belukar. Sang Prabu dan segenap rakyatnya hilang menyerupai ditelan bumi dan kerajaan Padjajaran hilang pada tahun 1482 Masehi.




Cerita Lain


Cerita lainnya menyebutkan Syarif Hidayatullah meminta ayahandanya untuk melaksanakan sunat sebagaimana pemeluk Islam yang lain, namun seruan itu di tolak dan memutuskan untuk pergi dan menghilang.


Konon warga tataran sunda percaya Macan atau harimau yang muncul di Hutan lebat di kawasan Sumedang merupakan perwujudan dari Prabu Siliwangi dan rakyatnya.




Demikian Penjelasan Pelajaran IPS-Sejarah Tentang [Inilah] Kisah Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja) Lengkap





Semoga Materi Pada Hari ini Bermanfaat Bagi Siswa-Siswi, Terima Kasih !!!




Baca Artikel Lainnya:



Sumber aciknadzirah.blogspot.com