Saturday, February 3, 2018

√ Latar Belakang Perang Diponegoro

Assalammualaikum, Selamat tiba di Kelas IPS. Disini Ibu Guru akan membahas wacana pelajaran Sejarah yaitu Tentang “Perang Diponegoro“. Berikut dibawah ini penjelasannya:


 Disini Ibu Guru akan membahas wacana pelajaran  √ Latar Belakang Perang Diponegoro



Latar Belakang Perang Diponegoro


Pangeran Diponegoro (1785-1855) ialah putra Sultan Hamengkubuwono III dari selir Raden Ayu Mengkarawati-putri Bupati Pacitan. Semenjak kecil, diasuh oleh neneknya, Ratu Ageng di Tegalrejo. Sebuah tempat tinggal yang terpencil yang letaknya beberapa kilometer dari istana Yogyakarta.


Disana ia memasuki lingkungan-lingkungan pesantren dan tidak mau menghadap istana yang tidak disukainya lantaran banyak persengkongkolan, kemerosotan akhlak, pelanggaran susila, dan imbas barat yang bersifat merusak. (Ricklefs,1999:177-).


Sekitar tahun 1805 pangeran diponegoro mengalami sebuah insiden spiritual, ia bermimpi bahwa ia ialah calon raja yang memiliki kiprah bahwa ia harus memasuki zaman kehancuran yang harus mensucikanya. Setelah 20 tahun menantikan wkatu yang baik, sementara situasi di jawa bertambah jelek . Pada tahun 1820 mulai terjadi pemberontakan-pemberontakan kecil (Ricklefs,1999:177).




Kronologi Perang Diponegoro


Melihat situasi Jawa yang penuh dengan penderitaan,dengan rakyat dibebani dengan kewajiban membayar pajak. Serta harus memenuhi kebutuhan orang Belanda dan para aristokrat yang menjadi kaki tangan belanda. Hal tersebut menciptakan Pangeran Diponegoro menjadi tidak tahan melihat situasi tersebut. Selain itu ,Belanda pada masa itu ikut campur dalam urusan pemerintah istana, ibarat penobatan Sultan Yogyakarta.


Setelah Sultan Hamengkubuwono IV wafat, Belanda mengangkat putra mahkota, yaitu Jarot sebagai sultan Yogyakarta, Padahal usianya pada ketika itu gres tiga tahun. Sultan hanya dijadikan sebagi simbol pemerintahan saja. Selanjutnya dalam pemerintahan istana Yogyakarta diatur oleh Residen Smissert.


Pada bulam Mei 1825, sebuah jalan dibangun didekat Tegalrejo pihak belanda yang menciptakan jalan dari Yogyakarta ke Magelang melalui Tegalrejo tanpa persetujuan dari pangeran diponegoro. Pangeran diponegoro dan masyarakat merasa tersinggung dan murka lantaran Tegal rejo ialah tempat makam dari leluhur Pangeran Diponegoro (Junaidi, 2007:85). Selain itu pembutan jalan tersebut pembangunan tersebut akan menggusur banyak lahan.


Hal inilah yang menjadi titik tolak terjadinya perang Diponegoro . Untuk menuntaskan dilema tanah itu, gotong royong Residen Belanda, A.H.Smisaert mengundang Pangeran Diponegoro untuk menemuinya. Namun undangan itu ditolak mentah-mentah olehnya.


Pemerintah Hindia Belanda kemudian melaksanakan pematokan di tempat yang dibentuk jalan. Pematokan sepihak tersebut menciptakan Pangeran Diponegoro geram, kemudian memerintahkan orang-orangnya untuk mencabuti patok-patok itu. Melihat kelakuan Pangeran Diponegoro, Belanda memiliki alasan untuk menangkap Diponegoro dan melaksanakan tindakan. Tentara meriam pun didatangkan ke kediaman Diponegoro di Tegalrejo. Pada tanggal 20 Juli 1825 perang Tegalrejo dikepung oleh serdadu Belanda.


Akibat serangan meriam, Pangeran Diponegoro beserta keluarganya terpaksa mengungsi lantaran ia belum mempersiapkan perang. Mereka pergi menyelamatkan diri menuju ke barat hingga ke Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, kemudian meneruskan kearah selatan hingga ke Goa Selarong. Goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul ini, kemudian dijadikan sebagai basis pasukan.




Jalanya Perang Diponegoro


Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri (yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal) di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kotadan desa di seluruh Jawa.


Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah sanggup dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalurIogistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun dihutan-hutan dan di dasar jurang.


Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan memberikan informasi yang diharapkan untuk menyusun seni administrasi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi gosip utama; lantaran taktik dan seni administrasi yang jitu hanya sanggup dibangun melalui penguasaan informasi.


Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk berafiliasi dengan alam sebagai “senjata” tak terkalahkan. Bila ekspresi dominan penghujan tiba, gubernur Belanda akan melaksanakan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan berunding, lantaran hujan tropis yang deras menciptakan gerakan pasukan mereka terhambat.


Penyakit malaria,disentri, dan sebagainya merupakan “musuh yang tak tampak”, melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan pasukan dan mengembangkan jasus dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin usaha rakyat yang berjuang dibawah komando Pangeran Diponegoro. Namun p0juang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.


Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu di mana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini ialah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern.


Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (guerrilla warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan (Surpressing). Perang ini bukan merupakan sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan banyak sekali siasat yang ketika itu belum pernah dipraktekkan.


Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat pribadi dalam pertempuran; dan acara telik sandi (spionase) di mana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.


Pada tahun 1827, Belanda melaksanakan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Modjo, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo mengalah kepada Belanda.


Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.


Berakhirnya Perang Jawa merupakan selesai perlawanan aristokrat Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga sesudah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.


Mengingat bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, hingga kemudian Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro sanggup bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.




Tokoh Perang Diponegoro


Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat “Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati”; sejari kepala sejengkal tanah dibela hingga mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro.


Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.


Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro mendapat dukungan dari rakyat, ulama dan juga kaum bangsawan. Dari kaum aristokrat ada Pangeran Mangkubumi, Pangeran Joyokusumo dan lain-lain. Sementara dari kaum ulama ada Kiai Mojo, Haji Mustopo, Haji Badaruddin dan Alibasha Sentot Prawirodirdjo.




Penyebab Terjadinya Perang Diponegoro


Ada beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya Perang Diponegoro. Sebab-sebab tersebut, yaitu sebagai berikut:






  1. Sebab Umum




Kekuasaan dan wibawa raja-raja di Jawa Tengah semakin merosot lantaran tempat kekuasaannya semakin berkurang. Kaum aristokrat merasa dikurangi haknya, tanah-tanah yang mereka sewakan kepada pihak swasta Eropa telah diambil alih oleh pemerintah kolonial. Akibatnya, mereka harus mengembalikan uang persekot yang telah diterimanya. Kaum aristokrat kemudian diangkat menjadi pegawai kolonial dengan mendapat gaji.


Rakyat memiliki beban yang sangat berat dalam hidupnya, ibarat kerja rodi dan membayar pajak tanah. Disamping itu, juga terdapat pemungutan pajak yang diborongkan kepada orang-orang Cina. Pemungutan yang dilakukan bersifat memeras dan menjadi beban buat rakyat.






  1. Sebab Khusus




Sebab khusus Perang Diponegoro ialah pembuatan jalan yang melalui tanah makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Pembuatan jalan itu dilaksanakan oleh Patih Danurejo IV sebagai kaki tangan bangsa Belanda. Patok-patok yang dipasang atas perintah Patih Danurejo IV dicabut oleh pasukan pangeran diponegoro.


Pemasangan dan pencabutan patok-patok tanda pembuatan jalan itu telah terjadi berulang kali. alhasil Pangeran Diponegoro memerintahkan biar patok-patok itu diganti dengan tombak sebagai pernyataan perang.


Sementara itu, pihak Belanda tidak menginginkan terjadinya perang. Pihak Belanda mengirim Pangeran Mangkubumi (Paman Pangeran Diponegoro) untuk membujuk Pangeran Diponegoro biar mau bertemu dengan Residen Belanda di rumah dinasnya.


Pangeran Diponegoro menolak, dikarenakan telah mengetahui maksud Belanda. Ketika pembicaraan antara Pangeran Mangkubumi dengan Pangeran Diponegoro sedang berlangsung, tiba-tiba pihak Belanda melancarkan serangan. Serangan pihak Belanda itulah yang menjadi awal dari Perang Diponegoro.




Taktik Perang Diponogoro


Karena taktik dan seni administrasi yang jitu hanya sanggup dibangun melalui penguasaan informasi.Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk berafiliasi dengan alam sebagai “senjata” tak terkalahkan. Bila ekspresi dominan penghujan tiba, gubernur Belanda akan melaksanakan usaha usaha untuk gencatan senjata dan berunding, lantaran hujan tropis yang deras menciptakan gerakan pasukan mereka terhambat.


Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan “musuh yang tak tampak” melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan mengembangkan jasus dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin usaha rakyat yang berjuang dibawah komando pangeran Dipanegara. Namun p0juang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.




Akhir Perang Diponegoro


Tahun 1829 merupakan tahun kemunduran bagi Diponegoro. Di tahun itu pula Diponegoro sudah tidak pernah mengadakan ofensif lagi dan justru inisiatif serangan beralih ke tangan Belanda. Pengikut Diponegoro banyak yang mengalah kepada Belanda lantaran sudah tidak besar lengan berkuasa dengan cobaan dan perang gerilya.


Sementara itu Pangeran Diponegoro sanggup menembus kepungan Belanda di Pengasih dan melarikan diri ke Kedu. Daerah Kedu ialah tempat yang bergunung-gunung sehingga memudahkan Diponegoro melaksanakan gerilya dan menyusahkan Belanda dalam bergerak. Tetapi de Kock segera membangun benteng-benteng untuk mengepung tempat Kedu sehingga gerakan Diponegoro sanggup dibatasi.


Pengepungan atas Kedu ini menciptakan Diponegoro dan pengikutnya hidup dalam keprihatinan yang luar biasa walaupun masih tetap melanjutkan perang gerilya. Banyak pemimpin perang Diponegoro yang menyerahkan diri pada Belanda.


Sementara pada tahun 1829 pula terjadi pergantian kepemimpinan di Hidia-Belanda. Komisaris Gubernur Jenderal Du Bus yang menjalankan pemerintahan semenjak Van Der Capellen mengundurkan diri pada tahun 1826 digantikan oleh Johaness Van den Bosch.


Di badan militer sendiri terjadi rotasi pergantian, De Kock diangkat sebagai panglima militer untuk seluruh Hindia-Belanda, dan sebagai panglima tentara Belanda di Jawa daingkat Mayor Jenderal Benjamin Bisschof. Tetapi sebelum menunaikan tugasnya Bisschof meninggal lantaran sakit. Kemudian kepada gubernur jenderal De Kock meminta biar tetap dipercaya memimpin pribadi penumpasan terhadap Diponegoro.


Di tahun 1829, Diponegoro kembali pada taktik perang gerilya. Berkat perubahan taktik ini Diponegoro bisa kembali menguasai Bagelen, sebagian sungai progo, sebagian sungai bogowonto, dan Banyumas. Ini semua berkat taktik gerilya Gusti Bei yang brilian. De Kock membalas gerakan Pasukan Diponegoro ini dengan sebuah serangan cepat dan kuat. Segera Bagelen direbut, Sungai Bogowonto diseberangi dari Timur ke Barat. Selanjutnya serangan dilanjutkan ke Ledok dan Karangkobar.


Dua tempat itu dipertahankan oleh Imam Musbah. Dalam serangan ini Belanda menggunakan pasukan pribumi dari Sulawesi Utara, Maluku, Bali dan pasukan Belanda sendiri. Kemudian pasukan Belanda bergerak ke Boyolali-Kanigoro. Mereka kemudian bergabung dengan pasukan Kasunanan Surakarta. Kedua pasukan ini segera menyerang pasukan Diponegoro yang dipimpin oleh Adipati Urawan dan Pangeran Sumonegoro.


Pasukan Diponegoro berhasil didesak, sementara itu Adipati Danu memimpin 200 orang pasukan Diponegoro bermaksud membantu pasukan Adipati Urawan dan Pangeran Sumonegoro. Pasukan Bulkiya pimpinan Haji Usman juga ikut serta bergerak untuk memberi bantuan. Tidak ketinggalan pula Gusti Basah (putra Diponegoro) bersama pasukannya turut bergerak memberi bantuan.


Di lain pihak, pasukan derma Belanda dari Magelang turut bergerak memberi bantuan. Sementara dari Yogyakarta bergerak pasukan Yogyakarta dan Belanda, dari Surakarta juga bergerak Legioen Mangkunegaran. Pasukan Belanda berjumlah 3000 orang sedangkan adonan pasukan Diponegoro berjumlah 5000 orang bertemu di Desa Genjuran. Meletuslah pertempuran sengit.


Walaupun Belanda tidak bisa dikatakan menang tetapi lebih banyak prajurit Diponegoro tewas dalam pertempuran ini, bahkan komandan pasukan Bulkiya yaitu Haji Usman tewas.Pada tanggal 30 April 1829 terjadi pertempuran di RawaGenda. Basah Prawirokusumo terkena pecahan meriam dan lumpuh dalam serangan Belanda itu. Sementara Tumenggung Banyak Wedi mengalah pada pimpinan pasukan Belanda (Kapten Busseheus).


Pada tanggal 17 Juli 1829, markas Gusti Bei di Desa Geger diserang. Gudang dan pabrik amunisi pasukan Diponegoro turut diratakan. Gusti Bei yang terluka melarikan diri sementara Raden Joyonegoro meneruskan perlawanan hingga ia mati. Dengan direbutnya Geger maka suply amunisi pasukan Diponegoro sangat terganggu.


Pada 30 Juli 1829, Letkol. Sollevipu memimpin pasukan menyerang sebuah desa yang dicurigai sebagai markas pasukan Diponegoro. Dalam sergapan itu berhasil ditangkap Raden Hasa Mahmud dan Pangeran Anom Diponegoro (putra tertua Pangeran Diponegoro). Belanda mengancam akan membunuh Anom Diponegoro jikalau Diponegoro tidak menyerah. Tetapi bahaya ini tidak digubris. Akhirnya Anom Diponegoro tidak dibunuh.


Tanggal 31 Juli, istri Pangeran Mangkubumi, putranya Raden Mas Wiryokusumo, Raden Mas Wiryoatmojo dan Raden Mas Surdi mengalah pada Belanda. Belanda kemudian meminta kepada Pangeran Mangkubumi untuk mengalah dan memberitahukan letak persembunyian keluarga Pangeran Diponegoro dan keluarga para panglima perlawanan yang lain, tetapi tuntutan itu tidak dijawab. Seperti kita ketahui bahwa Pangeran Mangkubumi ialah pimpinan pasukan Jogokaryo yang bertanggung jawab atas keamanan keluarga Pangeran Diponegoro dan keluarga para panglima perang lain.


Pada bulan September 1829, Tumenggung Wonorejo, Tumenggung Wiryodirjo dan ratusan pengikutnya mengalah pada Belanda menyusul kemudian Tumenggung Surodeksono, Pangeran Pakuningrat beserta pengikut-pengikutnya. Dan Raden Ayu Anom (istri kedua Pangeran Mangkubumi) juga mengalah beserta 50 orang pengikutnya.Pada tanggal 28 September 1829, Pangeran Mangkubumi alhasil mengalah sesudah keluarga-keluarga panglima perang yang dilindunginya dikembalikan pada Pangeran Diponegoro. Pada tanggal 30 September 1829, pukulan kembali terjadi. Gusti Bei dan kedua putranya Joyokusumo dan Harnokusumo disergap oleh Belanda di Desa Sangir dan mereka semua gugur.


Satu-satunya senopati perang Pangeran Diponegoro yang tak terkalahkan hanyalah Sentot. Tetapi walaupun masih ditakuti kondisi pasukan Sentot sendiri mengkhawatirkan lantaran kekurangan materi masakan dan terputus jalur logistiknya. Akhirnya dengan perantaraan Bupati Madiun, Belanda melaksanakan negosiasi dengan Sentot. Sentot bersedia mengalah dengan syarat sebagai berikut :



  • Diberi uang sebesar 10.000 Ringgit

  • Tetap memimpin pasukan Pinilih nya

  • Diberi 500 pucuk senapan.

  • Tetap memeluk agama Islam

  • Sentot dan pasukannya tetap diijinkan menggunakan surban


Belanda memenuhi seruan Sentot itu. Akhirnya pada tanggal 17 Oktober 1829 Sentot mengalah pada Belanda di Imogiri. Pada tanggal 24 Oktober 1829 Sentot dan pasukannya masuk ke Yogyakarta, ketika melewati jalan-jalan kota Yogyakarta banyak rakyat duduk bersimpuh dan menyembah sebagai tanda penghormatannya. Sentot kemudian menghadap Sultan Hamengkubuwono V di kraton.Oleh Belanda Sentot diberi pangkat Mayoor Cavalerie dengan honor 100 ringgit per bulan.




Daftar Pustaka:




  1. Al Ansori, Junaedi.2007. Sejarah Nasional Indonesia Masa Prasejarah Sampai Proklamasi kemerdekaan, Jakarta: PT Mapan.



  2. Ricklefs, M.C.1999. Sejarah Indonesia Modern,Yogyakarta : Gajah Mada University Press.



  3. Kartodirdjo, A. Sartono. 1973.Sejarah Perlawanan-perlawana Terhadap Kolonialisme, Yogyakarta: Gramedia.



  4. Pane,sanusi 1965, Sejarah Indonesia II, Jakarta:P.N.Balai Pustaka



  5. Kartodirjo,Sartono, 1973 Sejarah Perlawanan terhadap Kolonialisme, Jakarta: DEPHANKAM, PUSAT SEJARAH ABRI



  6. Notosusanto, Nugroho:Poesponegoro Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional Indonesia  Jilid IV.  Jakarta: PN Balai Pustaka.



  7. Suyono Capt.R.P. 2003. Peperangan Kerajaan di Nusantara. Jakarta:PT Gramedia



  8. Hanna, Williard. 1996. Ternate dan Tidore. Jakarta : PT Penebar Swadaya





Demikian Penjelasan Pelajaran IPS-Sejarah Tentang Latar Belakang Perang Diponegoro: Kronologi, Jalannya Perang, Tokoh, Penyebab, Taktik dan Akhir Perang


Semoga Materi Pada Hari ini Bermanfaat Bagi Siswa-Siswi, Terima Kasih !!!




Baca Artikel Lainnya:




Sumber aciknadzirah.blogspot.com