Tak jarang demi mempertahankan dan membela keyakinannya itu Buya Hamka harus masuk penjara, difitnah, disingkirkan, dimiskinkan namun kesabaran dia dalam menghadapi ujian itu berbuah menjadi pesan yang tersirat yang luar biasa.
Suatu saat, dua tahun 4 bulan Iamanya ayah ditahan atas perintah Presiden Soekarno, waktu itu dari tahun 1964-1966, dengan tuduhan melanggar undang-undang Anti Subversif Pempres No. 11, yaitu tuduhan merencanakan pembunuhan Presiden Soekarno.
Betapa beratnya penderitaan kami sepeninggal ayah yang ditahan. Buku-buku karangan ayah dilarang. Ayah tidak sanggup Iagi memenuhi usul untuk berdawah. Pemasukan uang terhenti. Untuk menyambung hidup ummi mulai menjual barang dan perhiasan.
Waktu menulis Tafsir Al-Azhar, Hamka memasukkan beberapa pengalamannya dikala berada di tahanan. Salah satunya berafiliasi de ngan ayat 36 Surah az-Zumar, “Bukan kah Allah cukup sebagai Pelindung hamba-Nya...”. Pangkal ayat ini menjadi perisai bagi hamba Allah yang beriman dan Allah jadi pelindung sejati.
Sehubungan dengan maksud ayat di atas, Hamka menceritakan pengalaman dia dalam tahanan di Sukabumi, selesai Maret 1964. Berikut kutipan lengkapnya. “Inspektur polisi yang menilik sambil memaksa biar saya mengakui suatu kesalahan yang difitnahkan ke atas diri, padahal saya tidak pernah berbuatnya. Inspektur itu masuk kembali ke dalam bilik tahanan saya membawa sebuah bungkusan, yang saya pandang sepintas kemudian saya menyangka bahwa itu ialah sebuah tape recorder buat menyadap pengukuhan saya.”
Sehubungan dengan maksud ayat di atas, Hamka menceritakan pengalaman dia dalam tahanan di Sukabumi, selesai Maret 1964. Berikut kutipan lengkapnya. “Inspektur polisi yang menilik sambil memaksa biar saya mengakui suatu kesalahan yang difitnahkan ke atas diri, padahal saya tidak pernah berbuatnya. Inspektur itu masuk kembali ke dalam bilik tahanan saya membawa sebuah bungkusan, yang saya pandang sepintas kemudian saya menyangka bahwa itu ialah sebuah tape recorder buat menyadap pengukuhan saya.”
“Dia masuk dengan muka agresif sebagai kebiasaan selama ini. Dan, saya menunggu dengan penuh tawakal kepada Tuhan dan memohon kekuatan kepada-Nya semata-mata. Setelah mata yang agresif itu melihat saya dan saya sambut dengan perilaku damai pula, tiba-tiba kegarangan itu mulai menurun.”
“Setelah menanyakan apakah saya sudah makan malam, apakah saya sudah sembahyang, dan pertanyaan lain wacana penyelenggaraan makan minum saya, tiba-tiba dilihatnya arlojinya dan dia berkata, Biar besok saja dilanjutkan pertanyaan. Saudara istirahatlah dahulu malam ini, ungkapnya dan dia pun keluar membawa bungkusan itu kembali.
“Setelah menanyakan apakah saya sudah makan malam, apakah saya sudah sembahyang, dan pertanyaan lain wacana penyelenggaraan makan minum saya, tiba-tiba dilihatnya arlojinya dan dia berkata, Biar besok saja dilanjutkan pertanyaan. Saudara istirahatlah dahulu malam ini, ungkapnya dan dia pun keluar membawa bungkusan itu kembali.
Setelah dia agak jauh, masuklah polisi muda (agen polisi) yang ditugaskan menjaga saya, yang usianya gres kira-kira 25 tahun. Dia melihat terlebih dahulu kiri kanan. Setelah terang tidak ada orang yang melihat, dia bersalam dengan saya sambil menangis, diciumnya tangan saya, kemudian dia berkata, Alhamdulillah bapak selamat! Alhamdulillah! Mengapa, tanya saya. Bungkusan yang dibawa oleh Inspektur M itu ialah setrum. Kalau dikontakkan ke tubuh bapak, bapak sanggup pingsan dan jika hingga maksimum sanggup mati.
Demikian balasan polisi muda yang ditugaskan menjaga saya itu dengan berlinang air mata. Bapak sangka tape recorder, jawabku sedikit tersirap, tetapi saya bertambah ingat kepada Tuhan. Moga-moga Allah memelihara diri Bapak. Ah! Bapak orang baik, kata anak itu.
Dalam menghadapi paksaan, hinaan, dan hardikan di dalam tahanan, Hamka selalu berserah diri kepada Allah SWT. Termasuk ketika Inspektur M tiba membawa bungkusan malam itu, Hamka tetap dengan pendirian. Bukankah Allah cukup sebagai pelindung hamba-Nya.
Setelah bebas dari penjara, Hamka tak tahu kabar Soekarno, penguasa yang memenjarakannya kala itu. Ingatannya melompat ke masa ke belakang. Saat ia tanpa tedeng aling-aling mengritik pemerintahan yang akan memaksakan penerapan sistem demokrasi terpimpin.
“..Trias Politica sudah kabur di Indonesia….Demokrasi terpimpin ialah totaliterisme…Front Nasional ialah partai Negara…” teriak Hamka menggema di Gedung Konstituante tahun 1959, ketika memajukan Islam sebagai dasar Negara Indonesia dalam sidang perumusan dasar Negara. Tak lama, Konstituante dibubarkan oleh Soekarno. Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), partai temapat bernaung Buya Hamka pun dibubarkan paksa. Para pimpinannya ditangkap, dijebloskan ke balik jeruji.
Perbedaan pandangan politik Hamka yang dikenal Islamis, dengan Soekarno yang seorang sekularis, kian menajam dengan penangkapan dan pemenjaraan rival-rival politiknya. Meski begitu, tak ada sumpah serapah yang keluar dari seorang Buya Hamka kepada sang pemimpin kala itu. Saat dijemput paksa untuk eksklusif dijebloskan ke penjara tanpa proses pengadilan, Hamka hanya pasrah, bertawakkal kepada Allah Azza wa Jalla.
Pun sehabis bebas, tak ada dendam di sana. Tak ada rasa ingin membalas, menuntut, atau melaksanakan tindakan membela diri. Padahal, ketika itu, buku-buku karangan Buya dihentikan beredar oleh pemerintah. Tak ada rasa kesal di sana. Tak ada mengeluh, atau umpatan. Semua ia serahkan kepada Allah, sebaik-baik penolong.
Justru, demikian besar impian Hamka untuk bersua Soekarno. Mengucap syukur, karenanya, ia sanggup menuntaskan Tafsir Al Azhar dari balik penjara. Karenanya, ia sanggup begitu bersahabat dengan Allah. Karenanya, jalan hidupnya begitu indah, walau penuh ragam ujian.
Soekarno, dimanakah kini ia berada? Tak tahu..Begitu rindu, Hamka ingin bertemu dengannya. Tak ada murka dari seorang Buya. Telah lama..telah usang sekali, kalaupun Soekarno mengucap maaf, telah usang hatinya membuka pintu maaf selebar-lebarnya. Bahkan, ada syukur di sana.
Tapi dimana? Di mana Soekarno sekarang? Ingin sekali Buya bertemu dengannya. Pertanyaannya terjawab, namun bukan balasan biasa. 16 Juni 1970, Ajudan Soeharto, Mayjen Soeryo tiba menemui Hamka di Kebayoran, membawa secarik kertas. Sebuah pesan — sanggup dibilang pesan terakhir — dari Soekarno. Dipandangnya lamat-lamat kertas itu, kemudian dibaca pelan-pelan.
“Bila saya mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku.”
Mata begitu bening, menyerupai halnya beling membaca goresan pena ini. Sebuah pesan, dari seorang mantan pucuk pimpinan negeri. Dimana? Dimana Soekarno sekarang? Begitu rindu ingin bertemu dengannya. Mayjen Soeryo berkata, “Ia..Bapak Soekarno telah wafat di RSPAD. Sekarang jenazahnya telah di bawa ke Wisma Yoso.”
Mata ini semkin berkaca-kaca. Tak sempat..rindu ini berbalas. Hamka hanya sanggup bertemu dengan sosok yang jasadnya sudah terbujur kaku. Ingin rasanya, air mata itu mengalir, namun dirinya harus tegar. Ia kecup sang Proklamator, dengan doa, ia mohonkan ampun atas dosa-dosa sang mantan penguasa, dosa orang yang memasukkannya ke penjara.
Kini, di hadapannya, terbujur jasad Soekarno. Sungguh, kematian itu begitu dekat. Dengan takbir, ia mulai memimpin shalat jenazah. Untuk memenuhi impian terakhir Soekarno. Mungkin, ini aba-aba permohonan maaf Soekarno pada Hamka. Isak tangis haru, terdengar di sekeliling.
Usai Shalat, selesai berdoa, ada yang bertanya pada sang Buya,”Apa Buya tidak dendam kepada Soekarno yang telah menahan Buya sekian usang di penjara?”
Dengan lembut, sang Buya menjawab,” Hanya Allah yang mengetahui seseorang itu munafik atau tidak. Yang jelas, hingga ajalnya, dia tetap seorang muslim. Kita wajib menyelenggarakan jenazahnya dengan baik.
Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa semua itu anugerah dari Allah kepada saya, sehingga saya sanggup menuntaskan Kitab Tafsir Al Alquran 30 Juz. Bila bukan dalam tahanan, mustahil ada waktu saya untuk mengerjakan dan menuntaskan pekerjaan itu.”
Sungguh, air mata menetes mendengar klarifikasi Buya. Begitu luas jiwanya, hingga permasalahan, baginya ialah setitik tinta, yang diteteskan ke luasnya samudera. Tak ada bekas di sana. Tak pernah ada rasa dendam sama sekali. Dengan senyum dan tenang, ia jalani semua lika-liku kehidupan.
Sumber http://kickfahmi.blogspot.com