Monday, February 19, 2018

√ Sejarah Perang Aceh Dengan Belanda (1873-1904) Lengkap

Assalammualaikum, Selamat tiba di Kelas IPS. Disini Ibu Guru akan membahas perihal pelajaran Sejarah yaitu Tentang “Perang Aceh“. Berikut dibawah ini penjelasannya:


 Disini Ibu Guru akan membahas perihal pelajaran  √ Sejarah Perang Aceh dengan Belanda (1873-1904) Lengkap



Sejarah Perang Aceh dengan Belanda (1873-1904)


Perang Aceh yakni perang Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 hingga 1904. Kesultanan Aceh mengalah pada 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut. Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen.


Pada 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler, & eksklusif sanggup menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Köhler ketika itu membawa 3. 198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwira.




Penyebab Terjadinya Perang Aceh


Perang Aceh disebabkan lantaran Belanda berhasil menduduki kawasan Siak. Akibat dari Perjanjian Siak 1858. Di mana Sultan Ismail menyerahkan kawasan Deli, Langkat, Asahan & Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu semenjak Sultan Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan Aceh.


Belanda melanggar perjanjian Siak, maka berakhirlah perjanjian London tahun 1824. Isi perjanjian London ialah Belanda & Britania Raya menciptakan ketentuan perihal batas-batas kekuasaan kedua kawasan di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Singapura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.


Aceh menuduh Belanda tak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yg lewat perairan Aceh ditenggelamkan oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini didukung Britania.


Dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk kemudian lintas perdagangan.


Ditandatanganinya Perjanjian London 1871 antara Inggris & Belanda, yg isinya, Britania memperlihatkan keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Malaka. Belanda mengizinkan Britania bebas berdagang di Siak & menyerahkan wilayahnya di Guyana Barat kepada Britania.


Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia, Kesultanan Usmaniyah di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871.


Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia & Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wapres Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya tiba ke Aceh & meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah perihal apa yg sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memperlihatkan keterangan.




Strategi Licik Belanda


Untuk mengalahkan pertahanan & perlawan Aceh, Belanda menggunakan tenaga andal Dr. Christiaan Snouck Hurgronje yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh [De Acehers]. Dalam buku itu disebutkan seni administrasi bagaimana untuk menaklukkan Aceh. Usulan seni administrasi Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda Joannes Benedictus van Heutsz adalah, agar golongan Keumala [yaitu Sultan yg berkedudukan di Keumala] dengan pengikutnya dikesampingkan dahulu.


Tetap menyerang terus & menghantam terus kaum ulama. Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi & membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh. Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronje diterima oleh Van Heutz yg menjadi Gubernur militer dan sipil di Aceh [1898-1904]. Kemudian Dr Snouck Hurgronje diangkat sebagai penasehatnya.




Kronologi Perang Aceh dengan Belanda


Berikut ini terdapat beberapa kronologi perang Aceh dengan Belanda, antara lain:






  • Perang Aceh dengan Belanda Pertama (1873-1874)




Perang Aceh Pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima Polim & Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yg dipimpin Köhler. Köhler dengan 3000 serdadunya sanggup dipatahkan, dimana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873. Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar ketika merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yg dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ada di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu’uk, Peukan Bada, hingga Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, & beberapa wilayah lain. Perang Aceh Pertama ialah ekspedisi Belanda terhadap Aceh pada tahun 1873 yg bertujuan mengakhiri Perjanjian London 1871, yang menindaklanjuti traktat dari tahun 1859 [diputuskan oleh Jan van Swieten]. Melalui pengukuhan Perjanjian Sumatera, Belanda berhak mendapat pantai utara Sumatera yang di situ banyak terjadi perompakan.


Komisaris Pemerintah Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen yang mengatur Aceh mencoba mengadakan negosiasi dengan Sultan Aceh namun tak mendapat apa yg dibutuhkan sehingga ia menyatakan perang pada Aceh atas saran GubJen James Loudon. Blokade pesisir tak berjalan sesuai yang diharapkan.


Belanda kemudian memerintahkan ekspedisi pertama ke Aceh, di bawah pimpinan Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler & setelah kematiannya tugasnya digantikan oleh Kolonel Eeldert Christiaan van Daalen. Dalam ekspedisi tersebut dipergunakan senapan Beaumont untuk pertama kalinya namun ekspedisi tersebut berakhir dengan kembalinya pasukan Belanda ke Jawa. Tak sanggup disangkal bahwa Masjid Raya Baiturrahman direbut 2 kali [dan di ketika yg kedua kalinya tewaslah Köhler]. Terjadi serbuan beruntun ke istana pada tanggal 16 April di bawah pimpinan Mayor F. P. Cavaljé namun tak sanggup menduduki lebih lanjut lantaran keulungan orang Aceh serta banyaknya serdadu yg tewas & terluka. Serdadu Belanda tak cukup persiapan yg harus ada untuk serangan tersebut. Di samping itu, jumlah artileri [berat] tak cukup & mereka tak cukup mengenali musuh. Mereka sendiri harus menarik diri dari pesisir & atas petunjuk Komisaris F. N. Nieuwenhuijzen [yang menjalin komunikasi dengan GubJen Loudon] dan kembali ke Pulau Jawa.


Menurut George Frederik Willem Borel, kapten artileri, serdadu sanggup memperoleh pesisir jikalau mendapat titik lain yg agak lebih kuat, namun Komandan Marinir Koopman tak sanggup memperlihatkan kepastian bahwa ada hubungan yg teratur antara bantaran sungai & ketika itu sedang berlangsung muson yg buruk, yg lantaran itulah kedatangan pasukan gres jadi sulit. Setelah kembalinya ekspedisi itu, angkatan tersebut banyak disalahkan jawaban kegagalan ekspedisi itu. Dari situlah GubJen James Loudon mengadakan penyelidikan di mana para bawahan harus memperlihatkan evaluasi atas atasan mereka. Penyelidikan tersebut kemudian juga banyak menuai kontroversi & mengakibatkan “perang kertas” setelah Perang Aceh I [dokumen & goresan pena pro & kontra penyelidikan tersebut terjadi terus menerus].


Penyelidikan itu masih berawal, setelah Perang Aceh II, ketika kapten & kepala staf Brigade II GCE. van Daalen menolak untuk ditekan GubJen Loudon. Alasan sebelumnya ialah selama itu Loudon telah memerintahkan penyelidikan yg untuk itu pamannya EC. van Daalen, yg merupaken panglima tertinggi ekspedisi pertama setelah janjkematian panglima tertinggi sebelumnya Johan Harmen Rudolf Kohler, sebagai orang jenius yg malang setelah kegagalan ekspedisi tersebut, dihadirkan & selama penyelidikan itu [meskipun kemudian meninggal] Van Daalen, komandan Pasukan Hindia, Willem Egbert Kroesen mengetahui bahwa pemerintah Hindia-Belanda tak diberi cukup info atas terganggunya pembekalan senjata pada pasukan itu.


Loudon tak mengizinkan Van Daalen [keponakan] mendapat Militaire Willems-Orde & untuk itu memandang bahwa Van Daalen harus terus dikirimi uang sumbangan pensiun. Raja Willem II mulai menganugerahkan Medali Aceh 1873-1874 pada tanggal 12 Mei 1874. Yang khas ialah pembawa medali tersebut juga sanggup diberi gesper bertulisan “ATJEH 1873-1874″ pada pita Ereteken voor Belangrijke Krijgsbedrijven. Terdapat pula salib Militaire Willems-Orde & Medaille voor Moed en Trouw.






  • Perang Aceh dengan Belanda Kedua (1874-1880)




Pada Perang Aceh Kedua [1874-1880], di bawah Jend. Jan van Swieten, Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, & dijadikan sebagai sentra pertahanan Belanda. 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi cuilan dari Kerajaan Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yg dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri.


Perang Aceh Kedua diumumkan oleh KNIL terhadap Aceh pada tanggal 20 November 1873 setelah kegagalan serangan pertama. Pada ketika itu, Belanda sedang mencoba menguasai seluruh Nusantara. Ekspedisi yg dipimpin oleh Jan van Swieten itu terdiri atas 8. 500 prajurit, 4.500 pembantu & kuli, & belakangan ditambahkan 1.500 pasukan. Pasukan Belanda & Aceh sama-sama menderita kolera. Sekitar 1. 400 prajurit kolonial meninggal antara bulan November 1873 hingga April 1874.


Setelah Banda Aceh ditinggalkan, Belanda bergerak pada bulan Januari 1874 & berpikir mereka telah menang perang. Mereka mengumumkan bahwa Kesultanan Aceh dibubarkan & dianeksasi. Namun, kuasa aneh menahan diri ikut campur, sehingga masih ada serangan yg dilancarkan oleh pihak Aceh. Sultan Mahmud Syah & pengikutnya menarik diri ke bukit, & sultan meninggal di sana jawaban kolera. Pihak Aceh mengumumkan cucu muda Tuanku Ibrahim yg berjulukan Tuanku Muhammad Daud Syah, sebagai Sultan Ibrahim Mansur Syah [berkuasa 1874-1903].


Perang pertama & kedua ini ialah perang total & frontal, dimana pemerintah masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri dan tempat-tempat lain.






  • Perang Aceh dengan Belanda Ketiga (1881-1896)




Perang ketiga [1881-1896], perang dilanjutkan secara gerilya & dikobarkan perang fisabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan hingga tahun 1904. Perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim dan  Sultan.


Pada tahun 1899, ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.






  • Perang Aceh dengan Belanda Keempat (1896-1910)




Perang keempat [1896-1910] merupakan perang gerilya kelompok dan perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari sentra pemerintahan Kesultanan.




Akhir Perang Aceh dengan Belanda


Berdasarkan pengalaman Snouch Hurgronje, pada tahun 1899, Belanda mengirim Jenderal Van Heutsz untuk mengadakan serangan umum di Aceh Besar, Pidie dan Samalanga. Serangan umum di Aceh itu dikenal dengan Serangan Sapurata dari pasukan Marchausse (arsose) dengan anggota pasukannya erdiri dari orang-orang Indonesia yang sudah dilatih oleh Belanda.


Pasukan inilah yang benar-benar telah mematahkan semangat juang para p0juang Aceh. Dalam serangan itu banyak putra-putra Aceh yang gugur. Sambil memberi perlawanan yang sengit, rakyat Aceh mundur ke pedalaman. Untuk menyerbu ke pedalaman. Untuk menyerbu ke pedalaman, Belanda mengirim pasukannya di bawah pimpinan Jendral Van Daalen. Rakyat Aceh ternyata tidak siap dan kurang perlengkapan sehingga laskar menjadi kocar-kacir dan terpaksa lari mengundurkan diri dari Medan pertempuran Gerilya.


Dalam waktu singkat Belanda merasa berhasil menguasai Aceh. Kemudian Belanda menciptakan Perjanjian Pendek, dimana kerajaan-kerajaan kecil terikat oleh perjanjian ini. Kerajaan-kerajaan kecil itu tunduk pada Belanda dan seluruh kedudukan politik diatur oleh Belanda, sehingga masing-masing kerajan diharuskan untuk:



  1. Mengakui wilayahnya sebagai cuilan dari kekuasaan Belanda

  2. Berjanji tidak akan berafiliasi dengan suatu pemerintahan asing

  3. Berjanji akan menaati perintah-perintah yang diberikan oleh pemerintah Belanda

  4. Perjanjian pendek juga bertujuan untuk mengikat raja-raja kecil atau mengikat kepala-kepala daerah. Pemerintahan Belanda juga mengikat raja-raja yang besar kekuasaannya, diantaranya Deli Serdang, Asahan, langkat, Siak, dan sebagainya dengan suatu perjanjian.




Demikian Penjelasan Pelajaran IPS-Sejarah Tentang Sejarah Perang Aceh dengan Belanda: Penyebab, Kronologi dan Akhir Perang


Semoga Materi Pada Hari ini Bermanfaat Bagi Siswa-Siswi, Terima Kasih !!!




Baca Artikel Lainnya:




Sumber aciknadzirah.blogspot.com