Monday, May 21, 2018

√ Latar Belakang Insiden Korban 40.000 Sulawesi Selatan

 Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal  √ Latar Belakang Peristiwa Korban 40.000 Sulawesi Selatan

Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 dan informasi wacana pengangkatan Dr.Ratulangi sebagai Gubernur Sulawesi, tersebar keseluruh pelosok tempat Sulawesi Setelah delegasi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dari Sulawesi yang terdiri dari : Dr. Sam Ratulangi, Andi Pangerang Pettarani dan Andi Sultan Daeng Raja, tiba kembali di Makassar pada tanggal 24Agustus 1945.' Kedua informasi baik tersebut menerima sambutan besar hati dari seluruh rakyat, dan semenjak itu bendera merah putih dikibarkan serta pekik merdeka terdengar di mana-mana dan menjadi terkenal di tempat Sulawesi Selatan. Segenap rakyat di tempat menyambut dan mendukung sepenuhnya serta siap sedia berkorban demi untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Suasana besar hati yang dirasakan oleh rakyat itu kembali diliputi mendung lantaran pasukan Australia atas nama Sekutu dibawah pimpinan Brigjen Ivan Dougherty, mendarat di Makassar pada tanggal 21 September 1945, diantara pasukan Australia itu ikut membonceng abdnegara NICA dibawah pimpinan Mayor J.G. Wagner, yang bertugas untuk "memulihkan kembali efek dan kekuasaan pemerintah Belanda di Sulawesi Selatan". Sedangkan pasukan Sekutu hanya bertugas untuk "melucuti tentara Jepang dan membebaskan tawanan perang dunia ke II serta memulihkan keamanan dan ketertiban, tetapi pada kenyataannya lebih banyak membantu abdnegara NICA dalam usaha memulihkan kembali kekuasaan dan efek pemerintah Belanda di Daerah Sulawesi Selatan".

Oleh lantaran itu, untuk menggagalkan rencana Belanda tersebut dan dalam rangka usaha menegakkan, membela dan mempertahankan kemerdekaan, maka Andi Abdullah Bau Maseppe sebagai pemimpin SUDARA di Parepare, mengundang anggota pengurus SUDARA untuk mengadakan pertemuan, dimana didalam pertemuan tersebut, semua akseptor rapat setuju untuk merubah organisasi SUDARA menjadi Badan Penunjang Republik Indonesia (BPRI), Adapun maksud dan tujuan organisasi ialah "untuk mempertahankan kemerdekaan dan berdiri dibelakang Republik Indonesia, menyebarluaskan aspirasi masyarakat, menjaga keamanan dan ketertiban umum". Sedangkan lapangan usahanya : "memberikan penerangan-penerangan kepada seluruh lapisan masyarakat Parepare dan sekitarnya wacana perlunya usaha pembela kemerdekaan yang diproklamirkan pada tanggal 17Agustus 1945".

Dalam perkembangan kemudian, pemuda-pemuda mengikuti jejak perwira NICA yang bebas jalan keluar dan terlihat ada acara untuk mengadakan hubungan dengan bekas-bekas pegawai pemerintah Hindia Belanda, begitupula dengan bekas pensiunan KNIL, mereka membujuk dan meyakinkan bekas pegawai dan pensiunan akan dipekerjakan lagi dengan nafkah yang lebih baik dari pada waktu-waktu yang lalu. Atas temuan ini maka pihak BPRI meminta kembali kepada pimpinan tentara sekutu semoga perbuatan perwira NICA itu untuk dicegah. Permintaan tersebut ditanggapi positif oleh pihak Sekutu dan membatasi acara perwira-perwira NICA tersebut. Pihak perjaka tidak puas, lantaran masih ada perwira NICA yang keluar masuk diwaktu malam pergi bertandang di rumah-rumah bekas pegawai dan pensiunan tersebut, balasannya pemuda-pemuda mulai menciptakan agresi dengan cara berkelompok berjalan dijalan raya menggunakan lambang merah putih mengintimidasi simpatisan NICA bahkan mengancam untuk membunuh mereka. Beberapa pimpinan NICA dianiaya, rumahnya dilempari batu, saling ejek-mengejek, antek NICA tidak tahan lantaran takut dibunuh, menyingkir mencari proteksi kepada tentara Sekutu, balasannya perwira-perwira NICA tidak berani lagi keluar diwaktu malam.

Langkah selanjutnya ialah memasang pagan nama organisasi BPRI pada tanggal 8 September 1945 dan mengibarkan bendera merah putih yang diadakan pada tanggal 12 September 1945, dilapangan La'bukkang yang dihadiri oleh ribuan rakyat Parepare.

Dalam perkembangan kemudian, kelihatannya tentara Sekutu semakin condong membantu tentara NICA, menyerupai usaha NICA mengedarkan uang NICA dan mendatangkan bahan-bahan keperluan sehari-hari menyerupai terigu, mentega, gula pasir, susu dan lain sebagainya. Kemudian NICA memperlihatkan kepada orang tertentu untuk dijual dibawah harga. Propaganda ini menarik perhatian orang-orang yang tidak teguh pendiriannya, bahkan sudah ada diantara mereka yang membantu NICA yang tentunya merugikan usaha BPRI. Sebagai langkah yang ditempuh para p0juang untuk mengimbangi acara NICA tersebut dengan cara :
  • Andi Makkasau setelah sholat Jum'at dimasjid Jami memberikan kepada jamaah masjid bahwa kita harus meningkatkan persatuan, lantaran kita sudah ditantang oleh musuh (NICA), maka dianjurkan semoga rakyat memboikot orang orang yang membelanjakan uang NICA dimana menerima sambutan baik, yakni keesokan harinya serentak para penjual dipasar tidak ada yang mau mendapatkan uang NICA.
  • Andi Abdullah Bau Maseppe secara belakang layar memerintahkan kepada beberapa pedagang beras untuk menjual berasnya di Kalimantan Timur (Balikpapan) dan berusaha membeli senjata api. Perintah ini cukup membawa hasil beberapa senjata api sanggup dibawa ke Sulawesi Selatan dengan mendaratkan perahunya didaerah Suppa yang diterima oleh Andi Selle, selanjutnya mengkoordinir para perjaka untuk bergerak dibawah tanah dan memerintahkan bekas Heiho untuk melatih pemuda-pemuda menggunakan senjata api.

Dr. Anhar Gonggong dalam makalah "Andi Abdullah Bau Maseppe Pemimpin Ditengah Krisis dan Kesediaan Berkorban" disampaikan dalam Seminar Pencalonan Andi Abdullah Bau Maseppe sebagai Pahtawan Nasional, menguraikan sebagai berikut : Untuk kepentingan usaha mempertahankan kemerdekaan, Bau Maseppe juga berusaha untuk menggunakan tenaga-tenaga yang mempunyai keterampilan tertentu, lantaran pengatamannya pada waktu yang lalu.

Dengan adanya kesiapan pemuda-pemuda beserta bekas Heiho untuk mengadakan agresi atau gerakan dalam kota, maka disiapkan perlengkapan secukupnya (beberapa pucuk senjata dan granat) untuk dipakai mengacaukan kota. Senjata-senjata tersebut, sebagian diperoleh dari pemberian pasukan Ekspedisi TRIPS yang berhasil mendarat di Suppa, menyerupai : Letnan Abdul Latif, Andi Manjulai dan M.Tahir Daeng Tompo. Pada final September 1946, pemuda-pemuda tersebut melaksanakan aksinya mengacaukan kota. Letusan granat, tembakan pistol terdengar di mana-mana pada malam hari, gangguan-gangguan pada pos-pos NICA semakin meningkat.

Kenyataan itu mendorong pihak pemerintah Belanda mengusahakan pasukan untuk membantu memulihkan kedudukan kekuasaan di Sulawesi Selatan. Demi keberhasilan "Program Politik Federasi" maka dikirimlah pasukan pemberian ke Makassar. Pada awal Desember 1946 tiba batalyon tentara Belanda (Koninklijk Leger / KL) dari devisi 7 Desember yang didatangkan eksklusif dari negeri Belanda. Kemudian menyusul dikirim situ pasukan khusus yang dikenal dengan sebutan Depoot Speciole Tropen (DST) yang dipimpin oleh Westerling dan tiba di Makassar pada 5 Desember 1946.

Pengacauan yang tidak terduga-duga menjadikan NICA bertambah marah, yang berakibat semua orang yang dicurigai ditahan tanpa alasan yang jelas. Patroli-patroli polisi militernya yang dipimpin oleh Sersan Onken dengan beberapa temannya, siang malam berkeliling kota memeriksa dan menangkap keluarga-keluarga yang dicurigai. Aksi NICA yang dilaksanakan dengan tidak berperikemanusiaan itu ditandingi oleh pihak gerilyawan dengan mengadakan penghadangan patroli-patroli NICA di jalan-jalan raya, dengan demikian kekacauan semakin meluas, lantaran selain dalam kota Parepare dan Suppa, juga di tempat Sidenreng, Rappang dan Barru tentara NICA mendapatkan perlawanan yang sengit. Pergolakan kota Parepare dan sekitarnya dipelopori oleh tiga kelaskaran yang benar-benar mempunyai kekuatan bersenjata, yakni BPRI, BP GANGGAWA dan HI.

Pembersihan pertama berlaku di Makassar oleh Westerling sendiri, bertempat di kampung Kalu-Kalukuang dan seterusnya di daerah-daerah selatan kota Makassar, kemudian pada kola Parepare dimulai pada tanggal 14 Januari 1947 dilakukan oleh Under Luitenant Vermeulen, bertempat di terminal kola Parepare. Sekitar jam 8 pagi, tersiar informasi di paw bahwa tentara NICA banyak yang berbaris mengepung pasar dan diantaranya terlihat tentara yang berhasil masuk. Beberapa kaki tangannya berteriak-teriak diluar untuk memerintahkan orang tiba untuk menyaksikan penembakan perampok-perampok di terminal. Tidak usang kemudian datanglah sekelompok tahanan yang berjalan kaki, dikawal oleh M.P dari rumah tahanan keterminal Menurut saksi mata bahwa sebanyak 24 orang tahanan berjalan kaki, dikawal oleh M.P, dari rumah tahanan termasuk seorang perempuan disuruh jongkok menghadap kebarat ditengah-tengah lapangan terminal. Kemudian tentara baret merah yang dipimpin oleh Onder Luitenant Vermeulen memerintahkan tentaranya bersiap, tetapi sebelum perintah menembak, perempuan yang berjulukan Sitti Hasariah diperintahkan untuk berdiri kembali untuk meninggalkan tempat/lapangan. Pada mulanya ia tidak mau meninggalkan tempatnya, ia rela berkorban bersama ayahnya (La Nu'mang) demi Bangsa dan tanah air, tetapi dengan kekerasan ia ditarik oleh beberapa anggota tentara dan digiring kembali ketahanan.

Adapun ke 23 orang ditembak mati ketika itu yakni : Makkarumpa Daeng Parani, A. Isa (Saudara A. Selle), Andi Sinta, Abdul Fajid, La Nu'mang; Muhammad Kurdi, Abdul Muttalib, La Siming Puang Side, La Sibali, Oje, La Sube, Andi Mappatolla, Andi Pammusureng, Abu Bakar Caco, Andi Etong, Baktjong, Osman Salengke, La Upe, La Bundu dan Haruna. Salvo berdentum dan peluru-peluru kaum kolonial menembus daging para partisan ; darah bercucuran membasahi tanah yang kering, mereka tersungkur menghembuskan nafasnya yang penghabisan. kemudian pada sore harinya jenazah-jenazah mereka diangkut dengan sebuah truk ke pekuburan di kampung Laberru, dan mereka dimakamkan secara massal dalam satu lubang.

Metode Standrecht yang Bering diterjemahkan "tembak ditempat tanpa proses" atau yang oleh Lembaga Pengadilan Tinggi Belanda disebut metode "hukum darurat" (noodrecht) memperlihatkan suatu tindakan kebiadaban dengan pembantaian massal (massacre) berakibat beribu-ribu korban jiwa di Sulawesi Selatan. Peristiwa ini yang balasannya kembali membinasakan rencana Belanda untuk memulihkan kedudukan kekuasaan kolonialnya di Indonesia dikarenakan telah mengundang munculnya kecaman dari dunia Internasional. Itulah sebabnya pihak pemerintah memutuskan mengakhiri tindakan Westerling dan pasukannya serta memanggil pulang kembali ke Batavia.

Uraian Tentang Monumen Korban 40.000 Jiwa

 Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal  √ Latar Belakang Peristiwa Korban 40.000 Sulawesi Selatan

Monumen korban 40.000 jiwa ini, terletak di jalan Masjid Raya, Kelurahan Ujung Sabbang, Kecamatan Ujung, Kota Parepare, Propinsi Sulawesi Selatan. Monumen ini dibangun/didirikan bukan hanya dimaksudkan untuk mengenang tragedi agresi pencucian Westerling atau pasukannya di tempat Parepare, tetapi juga dimaksud penghargaan dan penghormatan atas jasa-jasa para p0juang terhadap bangsa dan tanah air. Disamping merupakan bukti bahwa rakyat di tempat Parepare dan sekitarnya, berdiri dan berjuang melaksanakan perlawanan terhadap intervensi militer yang dilakukan Belanda di tempat ini.

Adapun alasan pembangunan monumen pada lokasi tersebut, lantaran merupakan suatu tempat pembunuhan massal terhadap para p0juang dan rakyat tempat Parepare dan sekitarnya yang dilakukan oleh pasukan Westerling, sebagaimana tercantum dalam prasasti pelantikan monumen sebagai berikut :

Monumen lni Di Persembahkan Untuk Para Pahlawan Kemerdekaan Republik Indonesia yang Gugur ditembak oleh Pasukan Westerling di tempat ini, Pada Hari Kamis Pagi 09.00, Tanggal 14 Januari 1947

Sumber :
http://www.rappang.com/
http://trexter-smansa.blogspot.com/

Sumber http://www.maringngerrang.com/