“Oke Deal! Kamu jadi pacarku hingga tahun gres 2013.”—Fathan Erlangga, 1 Desember 2011
Hannover-Jerman, Winter 2013. Salju masih turun dengan lembut menutupi landscape kota Hannover, ketika saya berjalan keluar dari apartemenku untuk sekedar menikmati keheningan kota Hannover sore itu. Dengan jaket berbulu putih dan sepatu boots hitam, saya menyusuri toko-toko kecil di Hannover, memandangi nuansa “khas”nya yang benar-benar eksotis. Butir-butir salju turun mengiringi tiap langkahku. Bagaikan kapas yang beterbangan, lembut dan putih. Puas menyusuri tempat-tempat eksotis yang ada disekitar apartemen, akupun berhenti disebuah restoran turki favoritku. Restoran yang penuh dengan kenangan. Senyumku seketika mengembang sebelum saya melangkah memasuki restoran ini. Mengingatkanku pada kenangan-kenangan indah dua tahun lalu.
Ocakbasi, demikian nama restoran ala turki ini. Terletak di Münzstraße, dicapai hanya beberapa langkah dari stasiun Steintor. Dindingnya didominasi warna coklat dengan beberapa lukisan pemandangan alam berukuran besar di sejumlah sisi. Letaknya berada persis menghadap jalan sehingga memungkinkan bagi para pengunjung restoran untuk menikmati hidangan sambil memandang bebas ke arah kemudian lintas jalan. Sesekali nampak tram berwarna hijau cerah-mode transportasi publik utama kota ini- lewat menembus putihnya salju yang turun kian deras. “Kinder donner teller und einmal eine große Tee bitte!“ dengan segera saya memesan hidangan yang biasa saya pesan di restoran ini. Satu porsi Kinder Donner dan secangkir teh hangat. Benar-benar pas dinikmati pada dikala masbodoh menyerupai ini.
Sebetulnya sore itu saya keluar bukan sekedar untuk menikmati sore di ekspresi dominan dingin, tapi saya sedang mencoba sedikit memutar waktu. Mengenang bencana dua tahun silam. Mengenang seseorang yang hingga dikala ini masih saya sayangi. Fathan Erlangga, mahasiswa Indonesia yang mengambil jurusan teknik sipil di Uni Hannover. Dia yaitu laki-laki ganteng berumur dua tahun lebih muda dari usiaku. Aku pertama kali bertemu dengannya di Konser Gema Garuda-sebuah konser musik yang diadakan oleh para cowok Indonesia yang tinggal di Hannover. Malam itu, Abel dan Indra memaksaku untuk ikut menonton Konser Gema Garuda. Aku memang bukan penikmat konser musik, makanya saya tidak berminat sama sekali untuk tiba ke konser itu. Tapi alasannya Abel dan Indra memaksa, alhasil saya ikut juga. Dari pada putus persahabatan, lebih baik saya bertahan melalui satu malam yang membosankan. Dan dikala itulah mereka mengenalkanku pada Fathan. “Nda, kenalin ni ade kelas gue. Fathan. Dia anak Pekan Baru. Pinter, rajin, humoris, tampan, baik hati, single pula.” kata Indra penuh semangat berpromosi kepadaku. “Gak tertarik!” Jawabku ketus. Aku pun segera memalingkan wajahku dari tatapan mata Fathan yang begitu dalam memandangku. Fathan hanya tersenyum “manis” melihat tingkahku yang benar-benar enggan berkenalan dengannya.
Selain tidak suka menonton konser, bergotong-royong perkenalan dengan Fathan yaitu hal yang lebih tidak saya sukai malam itu. Aku memang sudah men”jomblo” selama 2 tahun ini sejak saya mengalami kekerasan fisik dari pacarku sendiri. Aku menjadi stress berat berpacaran. Trauma menjalin kekerabatan khusus dengan lelaki lebih tepatnya. Pertemuan dengan Fathan bukanlah kebetulan. Semuanya sudah terencana. Abel dan Indra memang sengaja ingin mempertemukan kami. Mereka ingin menjodohkanku dengan Fathan. Entah apa yang membuat mereka begitu yakin bahwa seorang Fathan sanggup merobohkan traumaku yang sudah meng-akar ini. “Bel, ndra, saya naik ke panggung dulu ya.” Fathan menyampaikan pelukan persahabatan “ala” lelaki kepada Indra sebelum naik ke atas panggung. “Sukses Bro!” kata Indra sambil menepuk pundak Fathan.
Alunan lagu Maju Tak Gentar versi rock pun dimulai. Seketika saya terpana dengan penampilan Fathan yang memainkan drum dengan penuh hikmad. Dia ternyata memang ganteng dan manis. Melihat wajahnya sanggup membuat senyumku mengembang secara otomatis. Seperti hipnotis. Sungguh membuatku ingin selalu tersenyum ketika melihatnya. Permainan drum-nya pun bagus. Rhytme yang dimainkannya konstan dan variasi pukulannya juga unik. “Hey hati-hati! Dia sanggup menghabisimu dengan stick drumnya itu.” Jiwa traumaku seketika memudarkan semua lamunan manisku perihal Fathan.
Dua hari sehabis konser, saya kembali bertemu dengan Fathan, tapi kali ini bukan alasannya planning “licik” Abel dan Indra. Aku bertemu dengannya secara tidak sengaja di tram. Siang itu beliau bersama dengan sepeda kesayangannya menghampiri dingklik kosong disebelahku. “Kann ich hier sitzen, Madam?” Lagi-lagi dengan senyum manisnya beliau menghipnotisku. “Ja, Bitte.” Aku mengizinkannya untuk duduk disebelahku. “Kak Amanda mau kemana?” Tanya Fathan. “Nggak perlu panggil kak. Aku Cuma satu tahun lebih bau tanah dari kau kok.” Lagi-lagi saya menjawabnya dengan ketus. Aku memang sengaja membuatnya tidak nyaman denganku. Aku tidak mau membuat nuansa kenyamanan dengannya. Kalau boleh jujur, beliau “menarik”. Dan saya takut tidak sanggup menolaknya. “Mau ke kampus.” Jawabku singkat. “Amanda suka masak ya?” Fathan melirik buku kuliner ala eropa yang saya pegang. “Iya suka. Aku ke Jerman memang untuk ini.” Ya, salah satu alasanku berada di Jerman memang untuk mempelajari kuliner Eropa. Mimpiku yaitu membuat sebuah restoran sehat dengan materi pangan organik yang menggabungkan cita rasa Indonesia dengan cita rasa Eropa. Jerman populer dengan pertanian organiknya. Dan saya yaitu salah satu pendukung dan pencinta kuliner organik. Makanan organik lebih sehat dan lebih tinggi kandungan gizinya. Di Indonesia pertanian organik belum banyak berkembang. Dengan latar belakang pendidikan gizi yang saya miliki, saya cukup tahu apa manfaat mengkonsumsi kuliner organik. Itulah yang membuatku memberanikan diri merantau ke Jerman dengan beasiswa MAPI (Beasiswa Mami Papi). Sembari melanjutkan S2ku di Hannover ini, saya banyak mencar ilmu mengenai pertanian organik dari para petani dan mencar ilmu memasak kuliner eropa dari teman-teman kampusku. “Eh, saya punya kenalan chef loh di Hannover. Mungkin kapan-kapan sanggup saya kenalkan kalau kau mau. ”Fathan berusaha memecah kesunyian diantara kami. Aku yang tadinya membisu dalam lamunan seketika menjadi sumringah. “Serius kamu?! Aku mau. Aku mau dikenalin sama chef sahabat kau itu. Haaaah sudah usang sekali saya ingin mencar ilmu masak kuliner Eropa pribadi dari ahlinya.” Jawabku dengan wajah sumringah dan senyum merona. Aku tidak sanggup menyembunyikan verbal bahagiaku darinya. Aku memang sudah usang ingin berkenalan dan mencar ilmu memasak pribadi dari chef yang hebat disini. Seperti anak kecil yang diberikan permen. Aku tidak sanggup berhenti tersenyum. “Nah, kalau senyum begini kau terlihat lebih manis.” Fathan pun ikut tersenyum bersamaku. Inilah awal mula dongeng kedekatanku dengannya. Aku sudah tidak memikirkan lagi “ketakutanku” terhadapnya. Yang ada diotakku dikala itu hanyalah bagaimana pun caranya, saya harus sanggup bertemu dengan Chef itu. Harus. Demi mewujudkan mimpiku.
Seminggu kemudian Fathan benar-benar mengenalkanku dengan Chef kenalannya itu. Sebastian Schmidt. Pemuda Jerman berumur 26 tahun yang bekerja sebagai Chef di Basil Restaurant. Salah satu restoran yang cukup populer di Hannover. Sebastian yaitu sahabat satu komunitas dengan Fathan. Mereka sama-sama bergabung dalam komunitas robotic dance di Hannover. Semenjak perkenalan itu, saya dan Fathan mulai sanggup berteman baik. Dia cukup menyenangkan untuk dijadikan teman. Fathan sering menemaniku mempraktekan resep-resep kuliner yang diajarkan oleh Sebastian. Dan saya pun sesekali menemaninya latihan robotic dance. Aku cukup menyukai robotic dance, jadi saya tidak keberatan ketika beliau memintaku untuk menemaninya. Selain mahir bermain drum, Fathan juga cukup mahir dalam robotic dance. Aku suka melihat tariannya. Lucu dan Unik. Pernah sekali beliau dan teman-temannya tampil di salah satu taman terbuka di Hannover. Dan ternyata penontonnya cukup banyak dan respon mereka cukup bagus.
“Besok sore ikut saya ya.” Kata Fathan sambil menyodorkan sekaleng espresso masbodoh kepadaku. “Kemana? Besok sore saya udah ada komitmen sama Abel.” Jawabku. “Udah pokoknya ikut aja, nanti Abel semoga saya yang urus. Ayo pulang!” Fathan bergegas menggandeng tanganku. Aku cuma sanggup menuruti kemauannya.
Sore itu salju turun. Tanda bahwa ekspresi dominan masbodoh sudah tiba. Fathan dengan jaket kulit tebalnya sudah menunggu di depan apartemenku. Seperti biasa, beliau selalu terlihat ganteng dengan wajah manis, kulit putih, dan postur tubuh sempurnanya. Aku heran mengapa anak setampan beliau masih juga menyandang status single. Ya, beliau tidak senang kalau saya menyampaikan bahwa beliau “jomblo”, maka dari itu saya selalu menjulukinya si tuan single. Menurut beliau jomblo itu kutukan, sedangkan single itu pilihan. “Kita mau kemana si Than?” saya menghampiri Fathan yang tersenyum geli melihat dandananku sore itu. Pakaianku memang sedikit absurd waktu itu. Ini yaitu kali pertama saya melalui ekspresi dominan dingin. Aku tidak punya persiapan dan tidak tahu harus berbusana menyerupai apa pada saat-saat menyerupai ini. “Udah ayo ikut aja.” Seperti biasa, Fathan selalu menggandeng tanganku. Aku hanya sanggup pasrah mengikuti keinginannya. Aku menerka-nerka kemana kami akan pergi sambil menikmati hujan salju pertamaku di ekspresi dominan dingin. Kami berjalan dalam keheningan hingga alhasil kami tiba disebuah restoran berjulukan Ocakbasi. “Kinder donner teller und einmal eine große Tee bitte!“ Fathan pribadi memesankan hidangan begitu kami duduk tanpa menyampaikan lagi hidangan apa yang saya inginkan. “Silahkan dinikmati Madam.” Kata Fathan sambil tersenyum ketika kuliner sudah tiba ke meja kami. Aku pun tanpa basa bau melahap Kinder Donner Teller yang sudah tersaji. Aku memang belum sempat makan siang hari itu. “Gimana?” Tanya Fathan. “Gimana apanya?” saya balik bertanya. “Ya ini, kejutan dari saya hari ini. Selamat ulang tahun ya Nda.” Fathan menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna biru yang terlihat elok dengan ikatan pita di atasnya. Aku tak sanggup berkata apa-apa. Aku terlampau bahagia. Aku tidak menyangka kalau Fathan berpikir untuk memberikanku kejutan. Umur pertemanan kami masih singkat. Bahkan mungkin masih terlalu dini untuk dikatakan sebagai sahabat. Hampir-hampir saya menangis alasannya terharu.
“Nda, jadi pacarku ya.” Seketika itu pula kata-kata Fathan menghentikan rasa haruku. Aku berbalik menjadi tidak simpatik dan marah. Fathan tahu betul bahwa saya masih stress berat berpacaran. Fathan tahu betul saya sedang tidak ingin memikirkan perihal hal itu. Yang saya ingikan dikala ini hanyalah mewujudkan mimpiku. Saat itu juga saya pribadi berdiri dan berniat untuk pegi meninggalkan Fathan. Tapi kemudian Fathan menahanku. “Nda, sebentar. Aku tahu ini akan membuatmu marah. Tapi dengar dulu penjelasanku. Tolong nda.” Tatapan mata Fathan benar-benar sanggup menghipnotisku. Seketika saya luluh dan kembali duduk untuk mendengarkan apa yang ingin dibicarakan oleh Fathan. “Nda, saya tahu kau masih stress berat dengan pacaran. Tapi stress berat kau itu harus segera diobati. Cepat atau lambat kau harus menikah kalau ingin hidup normal menyerupai perempuan lainnya. Aku mau bantu kau untuk mengobati traumamu itu. Nda, kita coba pacaran selama satu tahun ini. Kamu boleh putuskan saya satu tahun sehabis kita jadian. Dan kau juga boleh putuskan saya kapanpun kau mau kalau kau merasa tidak nyaman. Gimana Nda?”
Lagi-lagi saya hanya sanggup diam. Sebenarnya saya juga sangat takut kalau traumaku ini tidak sanggup diobati. Abel dan Indra juga menyampaikan bahwa satu-satunya cara untuk tahu apakah traumaku ini sanggup disembuhkan atau tidak yaitu dengan berpacaran lagi. Yang saya tahu Fathan yaitu orang yang baik. Dia selalu berbicara lembut terhadapku. Tidak pernah sekalipun berbicara dengan nada keras. Dengan sedikit keraguan, alhasil saya mengangguk. Pertanda bahwa saya menyetujui keinginannya. “Oke Deal! Kamu jadi pacarku hingga tahun gres 2012.” Fathan pribadi menyodorkan tangannya, meminta tanda persetujuan yang sah dariku.
Hari-hari berikutnya saya jalani sebagai kekasih dari seorang Fathan Erlangga. Tidak menyerupai sebelumnya. Episode berpacaran kali ini tidak menjadi ajang “bualan” atau mesra-mesraan menyerupai gaya berpacaran anak muda jaman kini pada umumnya. Fathan jarang sekali mengungkapkan kata cinta atau kata sayang. Fathan juga tidak pernah menyentuhku lebih dari sekedar menggandeng tanganku. Yang beliau lakukan hanyalah menyampaikan perhatian yang lebih terhadapku, berdiskusi lebih sering denganku dan merencanakan banyak hal bersamaku. Tapi justru gaya berpacaran menyerupai ini terasa lebih manis bagiku. Meskipun saya tidak sering dimanjakan dengan kata-kata manis, tetapi Fathan selalu ada bersamaku dan berkembang bersamaku. Dia selalu sanggup menenangkanku dengan pemikiran-pemikiran positifnya ketika saya menghadapi problem yang menguras emosi. Dia selalu sanggup memancingku untuk lebih maju dengan sindiran-sindiran kecilnya. Dia selalu sanggup membuatku merasa tertantang untuk menjadi lebih dewasa. Dia memang berusia lebih muda dariku, tetapi perilaku dan pemikirannya jauh lebih berilmu balig cukup akal dariku. Dia selalu menyampaikan kepadaku “Jadi orang itu jangan taklid. Jangan sembarangan ikut. Tapi kau harus tahu asal usulnya. Makanya banyak baca! Budaya taklid itu yang bikin cowok jaman kini gak berkembang maksimal” Diskusi-diskusi kecil dengannya selalu sanggup menyadarkanku bahwa saya harus mencar ilmu lebih banyak. Ternyata ada banyak hal-hal sederhana yang saya tidak mengerti. Selama ini saya hanya tahu, tetapi tidak pernah mengerti.
Tidak terasa, sudah tujuh bulan berlalu. Aku merasa benar-benar nyaman menjadi pacarnya. Sehingga saya sanggup bertahan menjadi pacarnya selama tujuh bulan. Tetapi malam itu, kondisi menjadi berubah ketika saya menyampaikan bahwa saya mencintainya. Sebelumnya saya tidak pernah mengungkapkan kepadanya. “Nda, kontrak cinta kita hanya satu tahun.” Fathan begitu saja pergi sehabis menyampaikan itu. Semenjak itu saya tidak pernah lagi bertemu dengannya. Sekedar pesan singkat darinya pun tidak pernah lagi saya terima. Aku begitu murung dan hampir-hampir saya membencinya. Tetapi perilaku berpikir positif yang diajarkannya kepadaku membuatku sanggup berpikir lebih jernih dan tidak semena-mena membencinya. Mungkin beliau memang hanya ingin membantuku mengobati stress berat yang saya alami. Mungkin beliau memang hanya ingin mengubahku menjadi lebih baik. Tidak lebih dari itu. Mungkin beliau hanya ingin mengajarkanku bagaimana sesungguhnya cinta. Dia pernah menyampaikan bahwa hakikat cinta yaitu kehilangan. Kalau kita belum siap kehilangan orang yang kita cintai, berarti kita belum siap untuk mencintai.
“Aku siap Than. Aku siap kehilangan kamu. Maka dari itu saya mau mencintaimu. Terima kasih Fathan.” Pesan singkat itu saya kirimkan kepada Fathan tepat pada bulan ke sepuluh sehabis kami berpacaran. Tidak ada tanggapan dari Fathan. Aku hanya sanggup mendapatkan kenyataan bahwa Fathan telah kembali ke dunianya. Dunianya sendiri. Tanpa aku. Aku berusaha menikmati kesendirianku lagi. Tidak terlalu menyedihkan menyerupai sebelumnya. Kali ini saya sendiri tanpa stress berat tertinggal di dalam diriku.
Sore itu (1 November 2012) saya mendapatkan pesan dari Fathan “Tepat pada tanggal jadian kita, datanglah ke daerah pertama kali kita makan bersama. Aku tunggu kau di Ocakbasi. pukul 20.00.” Pesan singkat itu membuatku bangga sekaligus khawatir. Aku bangga alasannya pada alhasil saya mendapatkan kabar dari Fathan, tetapi saya khawatir mungkin saja Fathan akan memutuskanku pada dikala itu.
Malam itu (1 Desember 2012) saya begitu gembira. Setelah sekian usang menghilang, alhasil saya sanggup kembali bertemu dengan Fathan. Meskipun saya tidak tahu apa yang akan beliau katakan, tetapi sanggup bertemu dengannya saja sudah membuatku bahagia. Aku pun bergegas pergi ke Ocakbasi ketika jam sudah memperlihatkan pukul 19.30. Aku tiba dengan penampilan dan mental terbaikku. Aku tidak tahu apa yang ingin dikatakan oleh Fathan, tetapi yang saya tahu saya akan menemui wajah manisnya. Aku bahagia.
Aku menunggu dengan sabar, tetapi wajah manis itu tidak kunjung muncul. Tepat pada pukul 20.00 tiba-tiba saya melihat Abel dan Indra berjalan ke arahku. “Nda, ini dari Fathan.” Indra menyodorkanku sepucuk surat. “Surat apa ini Ndra? Fathannya mana?” tanyaku dengan heran. “Kamu baca dulu aja Nda.” Abel menjawab dengan nada datar. Mereka berdua pun duduk sembari saya mulai membuka dan membaca surat dari Fathan.
Teruntuk teman, sahabat, sekaligus kekasihku Amanda
Nda, pertama-tama saya meminta maaf alasannya tidak sanggup hadir menemanimu makan malam hari ini. Aku tahu kau niscaya kecewa. Tetapi sungguh ini bukan kehendakku.
Amanda, kau yaitu sosok perempuan paling manis yang pernah saya temui. Aku sudah usang mengamatimu jauh sebelum kita berkenalan pada malam konser Gema Garuda. Begitu tahu bahwa kau yaitu sahabat Indra, saya pribadi mencari tahu semua hal tentangmu darinya. Semakin saya tahu, semakin saya menyukai, hingga alhasil akupun meminta Indra dan Abel untuk memperkenalkanku kepadamu. Makara pertemuan malam itu bukanlah planning Indra dan Abel, tetapi itu semua yaitu rencanaku.
Saat di tram, itu juga bukan sebuah kebetulan. Aku memang sengaja mengikutimu. Saat itu saya tidak sanggup menahan diri lagi untuk sanggup lebih bersahabat denganmu. Untunglah ada Sebastian yang sanggup mendekatkan kita.
Aku juga minta maaf dikarenakan telah memaksamu untuk menjadi pacarku dikala itu. Aku benar-benar tidak sanggup menahan diri lagi. Aku ingin menjadi seseorang yang special untukmu. Setidaknya, saya ingin menjadi orang yang sanggup mengobati traumamu.
Amanda, terima kasih saya ucapkan atas segala kebaikanmu. Terima kasih kau sudah bersedia mendampingiku. Terima kasih alasannya kau tidak pernah menyampaikan kata putus selama kita bersama. Terima kasih dikarenakan telah menjadi sahabat dan kekasih terbaik untukku.
Amanda, sejujurnya saya ingin sanggup menjadi lebih dari sekedar pacarmu. Aku ingin kau mendampingiku seumur hidup. Sejujurnya saya ingin sanggup pribadi menemuimu dikala ini dan menyampaikan “Maukah kau menikah denganku?” Tetapi, takdir berkata lain Amanda. Jika kau membaca surat ini sekarang, itu berarti saya sudah tidak ada lagi didunia ini. Aku sudah kembali kepadaNya.
Amandaku sayang, saya minta maaf alasannya lima bulan terakhir menjelang masa habis kontrak kita, saya tidak sanggup menemanimu. Bahkan untuk sekedar mengirimkan pesan singkat pun saya tidak bisa. Selama lima bulan itu saya menjalani masa pengobatan. Aku menderita kanker paru-paru. Aku tidak memberitahumu alasannya saya tidak ingin kau melihat penderitaanku. Aku tidak ingin kau bersedih. Dan saya ingin kau berlatih untuk hidup tanpa kehadiranku. Malam itu kau katakan bahwa kau mencintaiku. Aku ingin memastikan apakah kau benar-benar siap mencintaiku, alasannya cepat atau lambat saya akan pergi. Apapun caranya. Itulah mengapa saya pergi begitu saja. Aku minta maaf. Aku minta maaf kalau saya sudah menyakitimu.
Amanda, kalau kau benar-benar mencintaiku, jalanilah hidupmu dengan sebaik-baiknya. Jadilah lebih dewasa. Suatu saat, kau niscaya akan bertemu dengan jodohmu. Dan ketika dikala itu datang, jangan takut untuk mencintainya.
Aku sayang kamu.
Fathan Erlangga
“Sayang kau dimana? Aku sudah hampir hingga di apartemenmu.” Sebuah pesan singkat membangunkanku dari kilas balik masa kemudian yang manis itu. Pesan itu dari Fajri. Sejenak saya mengamati cincin manis yang melingkar di jari manisku, sehabis itu bergegas menghabisi kuliner dan segera beranjak kembali ke apartemen untuk menemui laki-laki manis yang sangat saya sayangi.
created by Dewi Oktaviani
Sumber http://frequencia89.blogspot.com