Peran Guru dalam Pembelajaran Drama
Guru merupakan faktor penting terlaksananya proses berguru mengajar tanpa seorang guru proses berguru mengajar tidak akan terealisasi dengan semestinya. Seorang murid tidak sanggup dikatakan murid tanpa seorang guru sedangkan seorang guru tidak sanggup dikatakan guru tanpa seorang murid. Makara keduanya saling berafiliasi erat dan tidak sanggup dipisahkan.
Guru dalam pembelajaran berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)cenderung lebih pasif lantaran kurikulum ini lebih menitik beratkan pada kemampuan yang dimiliki oleh penerima didik. Menurut Suharianto (dalam Juariah, 2000:23) menyebutkan bahwa: “Tugas guru yang penting ialah sebagai informator, fasilitator, moderator dengan tugasnya sebagai peunjuk jalan guru harus tahu benar lika-liku jalan dan menguasai benar banyak sekali obyek(sic!) yang menjadi perhatian siswa dan guru mempunyai kelebihan dibandingkan dengan siswa”.
![]() |
Peran Guru dan Siswa dalam Pembelajaran Drama |
Guru drama hendakanya bisa memperkenalkan drama pada siswa kemudian membimbing mereka ke arah apresiasi drama, menciptakan mereka menyenangi, menggemari dan menyebabkan drama sebagai salah satu belahan yang menyenangkan dalam kehidupan mereka. Guru yang baik harus berinisiatif dalam menentukan materi yang sesuai untuk diberikan kepada siswa baik untuk keperluan siswa secara keseluruhan maupun individu. Dalam pembelajaran sastra di kelas siswa mungkin ada yang mengalami kesulitan dalam aspek pemahaman materi. Dalam hal ini guru harus memberikan bimbingan secara individual dalam menghadapi siswa tersebut dan melaksanakan remedial bagi siswa yang belum tuntas pada materi tersebut.
(Baca Metode yang Tepat dalam Menulis Naskah Drama)
(Baca Cara yang TepatMemerankan Drama Dalam Pembelajaran)
Di balik itu guru harus memikirkan dan menentukan materi , metoda dan pendekatan secara teknis yang sanggup membangkitkan minat berguru siswa. Biasanya minat dan perhatian siswa terhadap berguru akan tumbuh apabila pembelajaran berlangsung efektif baik dalam proses maupun dalam menilai hasil pembelajaran. Kompetensi dalam berguru sastra harus diciptakan oleh guru dalam kelas misalnya, dalam memberikan hasil tes dan memberikan kebanggaan terhadap keberhasilan siswa dalam pembelajaran dengan demikian pembelajaran sanggup berlangsung menarik dan bersahabat sehingga kesulitan yang dialami siswa sanggup disampaikan secara terbuka.
Guru yang mengajarkan satra harus cinta terhadap sastra. Guru tersebut harus gemar membaca hasil-hasil karya sastra, mengikuti perkembangan, mengikuti kegiatan-kegiatan di bidang sastra sehingga pembelajaran sastra yang dijalankan tidak terasa monoton dan ketinggalan zaman. Mengajar sastra bukan hanya menginginkan semoga siswa mempunyai pengatahuan sebanyak-banyaknya perihal sastra melainkan menanamkan juga perilaku faktual terhadap karya sastra sehingga pada diri siswa tertanam perilaku menghargai budaya bangsa.
Peran Siswa dalam Pembelajaran Drama
Siswa merupakan faktor utama dalam pembelajaran di sekolah. Peranan siswa di sekolah bukan saja komponen penentu dalam pendidikan sekaligus menjadi sasaran pendidikan. Dalam proses berguru siswalah yang menjadi objek dan tujuan dari tindakan mendidik. Setiap siswa mempunyai kemampuan atau talenta yang berbeda-beda. Kemampuan itu tumbuh dan berkembang berdasarkan rujukan perkembangannya masing-masing. Mengingat setiap siswa mempunyai kekhususan secara perseorangan guru hendaknya bisa memanfaatkan kemampuan, latar belakang, kematangan siswa yang berbeda-beda itu untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sebagai seorang guru hanya sanggup memberikan motivasi terhadap siswa sehingga kemampuan yang dimiliki siswa sanggup lebih terarah tetapi yang terpenting ialah siswa itu sendiri yang harus menggali talenta yang dimiliki dan mau mengembangkannya.
Kurikulum Berbasis Kompetensi ini siswa dituntut lebih aktif dari pada guru dalam proses berguru mengajar. Mereka sendiri yang harus menggali warta dari guru maupun dari sumber-sumber lain bukan disajikan seutuhnya oleh guru. Keaktifan tersebut tidak hanya dalam hal materi tetapi juga dalam memperoleh pengalaman sendiri yaitu mengalami dan melaksanakan sendiri kegiatan sastra seperti, membaca hasil sastra, menulis, bercerita memainkan kiprah serta bisa mengkritik dan mendiskusikannya. Kesemua pengalaman itu harus dirasakan keuntungannya oleh siswa. Guru hanya memberikan dorongan terhadap siswa semoga memahami makna dan tujuan mempelajari sastra. Untuk memperoleh pengalaman tersebut siswa tidak cukup memperolehnya dari sekolah namun pengalaman tersebut sanggup dicari di luar sekolah seperti, di rumah, di sanggar sekolah, bengkel sastra dan pada orang-orang tertentu yang mengetahui dan memahami banyak perihal sastra.
Tokoh dan Penokohan
Menurut maknanya istilah ”tokoh” dan ”penokohan” berbeda. Tokoh bermakna orang atau pelaku dalam cerita. Dalam sebuah cerpen banyak pelaku/tokoh yang sanggup dicari dengan mengajukan pertanyaan ”siapa” atau ”siapakah”. Sebaliknya, yang dimaksud dengan penokohan ialah citra atau penulisan kepribadian tokoh cerita. Untuk mengetahui bagaimanakah penokohan seorang tokoh atau tokoh-tokoh suatu cerita, kita sanggup menelusurinya dengan kata ”bagaimana” atau ”bagaimanakah”.
Staton (dalam Nurgiyantoro, 1995:165) menyebutkan bahwa istilah ‘karakter’ dalam banyak sekali literatur bahasa Inggris mengacu pada dua pengertian yang berbeda (tidak sama), yaitu sebagai tokoh-tokoh yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip watak yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut. Dengan demikian, abjad (character) sanggup berarti ’pelaku cerita’ dan sanggup pula berarti ’perwatakan’ atau ’penokohan’. Antara seorang tokoh dengan perwatakan (penokohan) yang dimilikinya, memang merupakan suatu kepaduan yang utuh. Penyebutan nama tokoh tertentu, tak jarang pribadi mengisyaratkan kepada kita perwatakan yang dimilikinya. Berdasarkan pendapat di atas sanggup ditegaskan bahwa istilah ”perwatakan” lebih luas pengertiannya dari pada ”tokoh” dan ”penokohan” sebab, ia sekaligus meliputi dilema segala tokoh cerita, bagaimana penempatan, bagaimana perwatakan dan dan pelukisannya dalam sebuah dongeng sehingga sanggup memberikan citra yang terang kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam memperlakukan tokoh sesuai dengan budi dongeng dan persepsinya, (Nurgiyantoro, 2005:166).
Dalam pementingan pada unsur perwatakan tokoh cerpen terlihat adanya perbedaan kecenderungan pengarang cerpen usang dengan pengarang cerpen modern. Sumardjo (2004:18) menyebutkan bahwa kecenderungan cerpen modern ialah pementingan pada unsur perwatakan tokohnya. Ini tidak berarti bahwa penulis cerpen usang perwatakan tidak dipentingkan, (hanya saja) unsur watak/karakter dalam cerpen modern menjadi begitu menonjol dan mayoritas antara lain lantaran makin berkembangnya ilmu jiwa, terutama psiko-analisa yang memperlihatkan tempat gres dalam menyelami kehidupan manusia. Tokoh-tokoh cerpen modern menerima sorotan lebih tajam daripada penulisnya. Jadi, bukan hanya sekedar elemen untuk membawakan cerita.
Seterusnya, berdasarkan Sumardjo (2004:19) bahwa mutu sebuah cerpen banyak ditentukan oleh kepandaian cerp3enisnya untuk menghidupkan watak dari setiap tokoh-tokohnya. Kalau abjad tokoh lemah, maka menjadi lemahlah seluruh cerpen. Tiap tokoh mestinya mempunyai kepribadian sendiri. Tergantung dari masa lalunya, pendidikannya, asal daerahnya, pengalaman hidupnya. Seorang penulis yang cekatan, hanya dalam suatu adegan saja sanggup memberikan kepada kita seluruh latar belakang kehidupan seseorang, bukan dengan menceritakan secara pribadi kepada pembaca, tetapi dengan mendramatisasinya, yaitu lewat bicaranya, reaksinya terhadap peristiwa, cara berpakaiannya, dan lain-lain.
Untuk mengetahui/mengenali abjad dalam sebuah cerpen sanggup ditempuh beberapa cara: (1) melalui apa yang diperbuatnya, (2) melalui ucapan-ucapannya, (3) melalui penggambaran fisik tokoh, (4) melalui pikiran-pikirannya, (5) melalui penerangan/penjelasan langsung.
Dalam uraian di atas, Sumarjdo (2004:20) lebih mengarahkan kita kepada cara mengenali abjad yang dilukiskan cerp3enis dalam cerpennya, sedangkan Nurgiyantoro (2005:195-211) memperkenalkan kepada kita bagaimana cara-cara cerp3enis melukiskan watak pelaku. Nurgiyantoro menyebutkan secara garis besar ada dua cara pengarang memperkenalkan abjad tokoh cerita, yaitu:
a) Teknik Ekspositoris
Teknik ini disebut juga dengan teknik analitis, yaitu penggambaran abjad tokoh dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, klarifikasi secara langsung. Tokoh dongeng hadir dan dihadirkan oleh pengarang kehadapan pembaca secara tidak berbelit-belit, melainkan begitu saja dan pribadi disertai deskripsi kediriannya, boleh jadi berupa sifat, sikap, tingkah laku, watak, atau bahkan secara fisik.
b) Teknik Dramatik
Teknik dramatik, artinya ibarat dengan yang ditampilkan dalam drama, dilakukan secara tidak langsung. Artinya, pengarang tak mendeskripsikan secara eksplisit (gamblang) sifat dan perilaku serta tingkah laris tokoh. Pengarang melukiskan abjad pelakunya melalui kegiatan baik verbal melalui kata maupun nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui insiden yang terjadi.
Sumber http://www.pondok-belajar.com/