Sambil menunggu materi yang gres keluar, saya ceritain ihwal kehidupan siswa SD, ya. Harap diingat, ini ialah dongeng menurut pengalaman saya, tidak mewakili realita di seluruh Jepang. Ini ihwal kehidupan siswa SD di sekolah dasar negeri di Kota Kochi. Tepatnya, di SD daerah Si Besar pernah bersekolah. Makara jangan protes kalau kondisinya berbeda dengan SD di daerah lain di Jepang. O ya, goresan pena ini akan sangat panjaaang. Makara kayanya sesudah Tanaka Sensei selesai koreksi pun, kalian belum selesai baca goresan pena ini wkwk…
Masa Awal Masuk Sekolah
Mungkin sudah pada tahu, tahun aliran di Jepang dimulai pada bulan April. Biasanya tahun aliran gres bersamaan dengan isu terkini sakura, sehingga foto keluarga pada ketika penerimaan siswa baru, kebanyakan berlatar belakang bunga sakura. (Yang suka nonton film/dorama atau anime Jepang niscaya mengangguk-angguk… “Oh, iya… pernah lihat…”)
Hari pertama masuk sekolah, diawali dengan upacara penerimaan siswa baru. Biasanya semua pada tiba dengan setelan jas yang rapi. Orang bau tanah yang mengantar pun, menggunakan setelan jas juga. Berbeda dengan setelan jas yang digunakan pada ketika perpisahan sekolah yang cenderung berwarna gelap, setelan jas yang digunakan pada upacara penerimaan siswa gres (terutama oleh para ibu) biasanya berwarna lebih cerah. Warna biru muda, peach, atau coklat muda.
Para siswa gres mendapatkan satu set buku paket, dan satu set alat peraga pelajaran. Karena semua anak mempunyai barang yang sama, jadi semua barang harus diberi nama. Dan itu buanyaaak sekali. Misalnya pensil warna, bukan hanya kotaknya yang diberi nama, tetapi setiap pensil. Pokoknya, semua barang yang dibawa ke sekolah harus diberi nama. Saya masih ingat, tangan saya rasanya kram alasannya ialah menulis nama entah berapa puluh kali.
Di sekolah anak saya, pada kelas 1-3 yang diutamakan ialah kemampuan melaksanakan kegiatan sehari-hari secara berdikari dan menguasai tata krama dasar dalam bermasyarakat. Karena itu, pada beberapa hari awal, belum dewasa kelas 1 diberi kartu yang sudah diberi kotak-kotak. Fungsinya untuk ditempeli stiker oleh para sukarelawan yang mereka temui di sekitar sekolah bila mereka mengucapkan salam “Ohayou gozaimasu.” Nantinya jumlah stiker itu akan dihitung, dan yang mengumpulkan stiker terbanyak, akan sanggup penghargaan. Sekolah anak saya terletak di erat perempatan besar, dan setiap jam berangkat dan pulang sekolah, selalu saja ada orang yang berjaga untuk membantu belum dewasa menyeberang. Mereka ialah guru sekolah dan beberapa sukarelawan dari masyarakat sekitar.
Kegiatan di Sekolah
Rak sepatu di Sekolah
Jika kita memasuki gedung sekolah di Jepang, di lobbynya biasanya tersedia rak sepatu. Baik itu untuk seluruh penghuni sekolah, maupun untuk tamu (yang untuk tamu biasanya disediakan rak terpisah), jadi kita masukkan sepatu ke rak itu, dan mengambil sandal yang disediakan. Untuk para siswa, mereka menggunakan sepatu khusus dalam ruangan yang disebut “uwabaki”. Biasanya uwabaki ditinggal di sekolah, dan dibawa pulang seminggu sekali untuk dicuci.
Kyuushoku (makan siang tersedia di sekolah)

Pelajaran di sekolah dimulai dari jam 9 pagi hingga jam 3 sore. Karena sekolahnya dari pagi hingga sore, tentu saja disediakan makan siang. Di daerah anak saya bersekolah, makan siang disediakan di sekolah (給食 kyuushoku), jadi tidak perlu membawa bekal. Setiap bulan, diedarkan kertas sajian (献立 -kondate), jadi orang bau tanah bisa tahu sajian apa yang akan dikeluarkan, dan bisa memberi tahu pihak sekolah bila anaknya ada alergi materi kuliner tertentu. Setiap hari, secara bergantian para siswa melayani teman-temannya makan (biasanya rotasinya seminggu). Mereka menggunakan baju koki, mengambil kuliner di pantry, kemudian bergantian mengisi nampan milik temannya. Ada yang kebagian mengisikan nasi, sup, sayur…
Beberapa kali dalam 1 tahun, orang bau tanah boleh tiba meninjau pelaksanaan pelajaran (参観日= sankanbi – hari peninjauan), dan saya sempat shock ketika pertama kali melihat belum dewasa mengangkut sup dari pantry… pakai ember…. Duh, saya pribadi keingat sapi dan kambing peliharaan bapak saya di Blitar sana, makanannya juga diangkut pakai bejana 😀 Setelah makan siang selesai, biasanya mereka bahu-membahu membersihkan kelas. Menyapu dan mengepel.
Kagikko (anak pembawa kunci) dan Jidou kurabu (klub anak-anak)
Kebanyakan keluarga di Jepang ialah keluarga inti, yaitu orang bau tanah dan anak saja. Jadi, kalau orang tuanya bekerja di luar rumah, pada ketika anak pulang sekolah di rumah tidak ada siapa-siapa. Untuk anak yang sudah besar (biasanya kelas 4 ke atas), mereka diberi kunci rumah sendiri, sehingga bisa pribadi pulang. Sebutan untuk mereka ialah 鍵っ子 (kagikko = anak pembawa kunci). Agar tidak hilang, biasanya mereka menggantungkan kuncinya di leher. Sedangkan bagi belum dewasa yang masih kecil (kelas 1-3), disediakan daerah untuk menunggu yang disebut 児童クラブ (jidou kurabu = klub anak-anak). Di situ mereka akan ditemani menciptakan PR, diberi kuliner kecil (おやつ = oyatsu), dan ditemani bermain hingga sekitar pukul 5 sore ketika orang tuanya pulang ke rumah. Di lingkungan daerah saya tinggal, selain jidou kurabu yang ada di sekolah, juga ada semacam jidou kurabu yang dikelola oleh masyarakat. Makara belum dewasa yang tidak bisa masuk di jidou kurabu alasannya ialah keterbatasan tempat, bisa menunggu orang tuanya di situ.
HP Khusus Anak-anak
O ya, di SD anak saya, tidak diperkenankan membawa hape. Kalau terpaksa harus membawa hape ke sekolah, orang tuanya harus menandatangani surat perjanjian (menjamin anaknya tidak main hape ketika pelajaran, tidak menuntut pihak sekolah bila terjadi kehilangan blablabla). Biasanya kalaupun mereka terpaksa bawa hape, itu hape khusus anak-anak, yang isi kontaknya cuma bisa 3 orang dengan kemudahan GPS sehingga orang bau tanah bisa memantau lokasi anaknya ketika main di luar.
Praktik daripada Teori
Yang saya suka pada SD di Jepang, mereka mempelajari sesuatu dengan praktik, bukan sekadar teori. Untuk pelajaran olahraga ada lapangan terbuka, lapangan tertutup dan kolam renang. Untuk pelajaran musik ada ruang musiknya. Untuk pelajaran kerumahtanggaan, ada dapur yang bisa digunakan untuk praktik memasak.
Setiap menjelang simpulan tahun ajaran, biasanya mereka mengadakan semacam pentas seni. Masing-masing kelas mengatakan kemahirannya dalam bermusik. Saya kagum sekali, anak kelas 1 SD bisa kompak bermain musik menyerupai orchestra, tapi lebih kagum lagi pada guru pembimbingnya. Selain itu, setahun sekali diadakan juga pertandingan olahraga (運動会 = undoukai).
Partisipasi orang bau tanah dalam kegiatan sekolah
Untuk membantu kelancaran kegiatan di sekolah, biasanya pihak sekolah menghimbau orang bau tanah untuk berpartisipasi dalam kegiatan sekolah. Selain membantu kegiatan tahunan sekolah menyerupai persiapan undoukai, pentas seni, menunggu kolam renang pada ketika liburan isu terkini panas, atau membantu pelaksanaan pameran sekolah, orang bau tanah juga bisa berpartisipasi dalam kegiatan rutin mingguan. Saya ikut dalam kegiatan 読み聞かせ (yomikikase = membacakan buku cerita). Meskipun belum dewasa sudah bisa membaca, mereka sangat menikmati bila dibacakan cerita. Mereka akan duduk di lantai, dan si pembaca dongeng akan membacakan buku di depan mereka. Waktunya tidak lama, sekitar 10 menit saja setiap minggunya. Makara saya mampir dulu ke sekolah sebelum berangkat kerja. Mencari bacaan yang sesuai untuk anak kelas rendah lebih sulit daripada untuk belum dewasa kelas atas. Harus mencari materi bacaan yang kata-katanya gampang dicerna dan biasanya hampir semua ditulis dengan hiragana, dan kadang saya gundah harus memberi jeda di mana. Karena itu, biasanya sehari sebelum ke sekolah, saya berlatih dulu di rumah. Asliii… lebih gampang baca novel, alasannya ialah ada aksara kanjinya, daripada baca buku belum dewasa yang tulisannya hiragana melulu. Eh, waktu saya mengajukan diri jadi anggota yomikikase, sempat dilihat dengan pandangan “Serius lo? Emang bisa?” dari orang-orang yang hadir.
Hmm… panjang kan? Saya bilang juga apa… 😛
Sumber https://wkwkjapan.com