Tuesday, September 26, 2017

√ Yang Bukan Segalanya

Bagaimana rasanya klau mulai membenci sesuatu yang sangat kita cintai Dipuja lebih banyak didominasi manusia? Sudah sangat lumrah bila sebagian orang banyak dibutakan olehnya, mereka rela mengorbankan apapun yang diniliki. Nyata memang kesendirian dalam melawan arus kehidupan bukanlah hal yang mudah. Malah Anda sendiri dianggap gila dan kolot oleh orang lain. Habis mau bilang apa, hati telah menentukan pilihanya serta menyadari apa bekerjsama yang menjadi hakikat hidup yang sesungguhnya. Kita tahu bahwa setiap orang berhak untuk menentukan jalan hidupnya sendir? Itu yaitu hak asasi, yang kini ini otonomi diri. 
Bagaimana rasanya klau mulai membenci sesuatu yang sangat kita cintai Dipuja lebih banyak didominasi man √ Yang Bukan Segalanya
Uang Bukan Segalanya
Terkadang bukan cuman mata yang dibutuhkan untuk melihat, namun terkadang hati juga diharapkan sebagai alat kontrol serta penyeimbang. Sangat Lucu memang saat kita berada di tengah parodi manusia-manusia urban yang sedang hidup kolam sapi perah untuk memenuhi ambisi dan perilaku gengsi mereka sendiri.

(Baca Kesempatan Tidak Datang Untuk Kedua kalinya)
(Baca Memahami Philosofi Kehidupan Pohon Bambu)

Hangatnya terpaan sinar mentari yang memayungi sepanjang jalanan kota yang sepi. Maklum hari Sabtu, jadi tidak banyak orang yang kejar jam tayang ke kantor atau ke sekolah. Salah Seorang gadis yang berambut lurus sedang memacu kederaannya melintasi dataran abu-abu dalam kecepatan sedang. Pada hakikatnya beliau sendiri sedang membutuhkan kecepatan yang ekstra supay akan segera tiba di tempat yang dituju, ke salah satu Warung Bubur Abah Hasan. Walau perutnya sudah gemerucuk sebab dari kemarin belum makan. Namun, bekerjsama di sangat menikmati semburan udara pagi kala itu. Ketika tiba disana kemudian memesan salah satu sajian yang menjdi favoritnya, ia pribadi duduk sambil menhadap jendela yang menyajikan pemandangan pribadi ke jajaran pohon di ruang hijau seberang jalan yang sangat menyejukkan mata bagi yang memandangnya. Tak usang kemudian Semangkuk bubur ayam Istimewa pesanannya pun tiba, tanpa pikir panjang lagi lagi ia pribadi melahapnya.

Setelah puas mengisi perutnya, kemudian ia melanjutkan kembali perjalanannya ke tempat selanjutnya. Tujuan selanjutnya yaitu menuju ke-sebuah kampung yang terletak di salah satu sudut kota yang boleh dibilang tidak mengecewakan bersih, walaupun jalannya agak meliuk-liuk bahkan harus melewati jalan yang yang berbukit. Memang Sedikit agak melelahkan. Ketika tiba di rumah yang bercat putih higienis dengan halaman yang tidak cukup luas namun dipenuhi dengan tanaman yang terawat rapi. Rumah itu yaitu bangunan peninggalan Belanda, memang agak asing , seharusnya bangunan yang menyerupai itu berada di jajaran daerah bangunan-bangunan yang menjdi heritage lainnya bukan malah tersesat sendiri di tengah tengah kampung menyerupai ini. Entah tiada yang tahu jenis magnet apa yang selalu membuatnya begitu terpesona, setiap beliau tiba ketempat tersebut beliau selalu mencicipi tampaknya ada sesuatu yang membuatnya betah dan selalu merindui tempat ini. Begitu menyadari beliau telah dinantikan oleh seseorang, kemudian ia bergegas menuruni sepeda motornya dan melangkah dengan cepat untuk mengetuk papan yang berdiri kokoh persis di hadapannya. Tak begitu usang kemudian pintu pun terbuka, salah seorang ibu-ibu yang kira-kira berumur sekitar empat puluh tahunan berdiri dan menyapa dengan sebuah senyum yang ramah.

‘Assalamu’alaikum, tante,’ ucap gadis itu sambil meraih dan mencium tangan perempuan itu.
‘Wa’alaikumsallam. Eh, Kinan mari masuk. Tumben pagi-pagi betul? Apakah Sudah sarapan?’ jawabnya ibu tersebut sambil mepersilakan Kinan memasuki rumahnya.
‘Iya, tante saya ada janjian sama Ica pagi-pagi gini. Sudah, tante. Tadi Saya sarapan sebelum kesini beli bubur ayam dulu,’ terang Kinan. Wanita itu hanya mengangguk kepala. Di ruang tamu salah seorang perempuan sebaya dengan Kinan sedang duduk bersila menghadap laptop sambil mempermaikan jemarinya diatas keypad. Dengan tidak bertujuan mengganggu Kinan kemudian duduk di sampingnya tanpa sepatah katapun, matanya sedang asik menjelajahi lembar Microsoft Word yang hampir dipenuhi dengan tulisan, dan membaca goresan pena alphabet yang tertulis di kertas putih itu. ‘Jam berapa ini, Neng? Baru datang…’ sindirnya tanpa melirik Kinan. ‘Maaf, ya Ca. Kamu bekerjsama sudah tau bila selama ini saya selalu sendirian dirumah, jadi banyak hal lain yang harus diurusin sebelum kesini. Lagian Tadi saya juga mampir untuk sarapan di Abah Hasan, tapi damai aja semuanya sudah beres kok tinggal copy-paste di laptop kamu,’ ujar Kinan yang membela diri sambil menawarkan flashdisk ke Ica. Irit bicara, Ica hanya mendehem kemudian menyambar dengan cepat benda kecil tapi fungsinya yang selangit. ‘Klik, klik’, kemudian Ica pribadi memasukkan data yang penting ke laptopnya. ‘Nan, ne uda beres nih. Tinggal send aja lagi,’ ujar Ica meminta persetujuan. ‘ya sudah kita kirim aja, Ca. Walaupun kalah setidaknya kita suda mencoba untuk melaksanakan yang terbaik?’

Sebenarnya mereka berdua tersebut sedang mengikuti lomba tulis karya ilmiah online dan harus di submit hari ini sebab hari ini merupakan hari terakhir kita. ‘Iya sih, saya kau itu mana peduli menang atau kalah. Karena itu gak ngaruh sama hidup kamu. Kalau saya sangat butuh hadiahnya, Nan. Karena Aku lagi butuh uang,’ curhat Ica dengan mata agak sedikit berkaca-kaca. Sebenarnya Kondisi perekonomian keluarga Ica sedang tidak baik. Bisnis pembuatan shuttle kock punya papanya sedang mengalami penurunan penjualan, bahkan papanya harus mengistirahatkan beberapa pekerja untuk mengurangi biaya produksi. Sebenarnya kinan merasa tak lezat hati, lansung buru-buru ia minta maaf. Kinan memang dari keluarga yang hidup berkecukupan, jauh berbeda dengan Ica yang terkadang hanya mempunyai uang jajan yang pas-pasan. Bahkan terkadang ia merasa uang bukanlah hal yang berharga, ia sangat senang menyebarkan apalagi dengan kawanya Ica, sahabatnya yang ia kenal semenjak SMP. ‘Klik’, tombol send pun di klik oleh Kinan.

‘Ini ayo dimakan, Kinan,’ ujar Mama Ica sambil membawa makanan dan dua cangkir teh hangat. Kinan berterimakasih bu. Ada tersirat rasa iri di dalam hatinya. andai saja Ica yang ke rumahku, mungkin Mama niscaya tidak mau nyiapin menyerupai gini. Paling juga yang nyiapin saya sendiri, terus Mama hanya minta pamit pergi ke Ica soalnya berbagai urusan, batin Kinan. Mereka berdua termangu dan terhanyut dalam pikiran masing-masing. Sudah hampir seminggu ini Kinan bolak-balik ke rumah Ica untuk menuntaskan karya tulis ilmiah tersebut, sehingga Kinan sudah menyerupai anak sendiri dianggap oleh Mamanya Ica. Mama Ica sangat ramah dan baik terhadap Kinan, bahkan selalu menyuruhnya makan disana. Kinan selalu diomelin kalau pulang tanpa belum makan. Perhatian dan peduli itulah yaitu sedikit citra kecil kebaikan hatinya. Memang mereka memang bukanlah dari keluarga terpandang, namun mereka mempunyai hati bagaikan emas yang jauh tak ternilai harganya, pikir Kinan.

‘Enak ya Nan jadi kamu,?’ tanya Ica secara tiba-tiba dan menganggetkan lamunan Kinan. ‘A.. enaknya apanya, Ca?’ tanya Kinan agak terbata dengan heran. Apa sih enaknya hidup jadi serba mandiri, mana orang bau tanah jarang pulang, rumah aja sudah menyerupai hotel cuman buat tempat istirahat? Bahkan rasanya orang tuaku terkadang tak peduli dengan kehadiranku, apa enaknya, Ca? guman Kinan dalam hati. ‘Enak lah, Ca. Duit mencukupi, semua akomodasi ada, motor baru, laptop high end, smartphone premium, orang bau tanah gak mengekang. Hidup kau itu sudah sangat perfect. Sangat Bodoh jikalau kau masih merasa kurang,’ jawab Ica polos. Kinan hanya bisa mendengus mendengar alasan Ica yang sudah bosan didengarnya. Hatinya terasa menyerupai teriris, knapa masih saja ada orang yang berpikiran menyerupai itu. ‘Ga enak, Ca. Kamu harus jalani hidup tanpa rasa kasih sayang pribadi dari kedua orang tua, saya terkadang capek melihat mama papaku yang hampir menyerupai gila kerja itu, mana rumah udah kayak hotel cuma buat makan, mandi, sama istirahat doang. Okelah, akomodasi memang tercukupi tapi rasanya itu kosong, Ca. Aku hampir gak punya waktu walupun hanya sekedar buat ngobrol santai, saya jarang sekali didengerin sama mereka. Mereka memang bersahabat tapi rasanya menyerupai jauh buat aku,’ bulir air mata mulai mengalir di pipi Kinan. Ia mencicipi beban itu rasanya sedikit terangkat, ia sudah sangat lelah menyimpannya sendiri selama ini. Kinan sangat gak mau bila orang menilai negatif keluarganya. Menyesal, kemudian Ica memeluk Kinan. Sebenarnya banyak yang Ica belum ketahui dari Kinan, itu semua sebab Kinan gak suka orang lain untuk mengasihaninya. Dia sudah cukup tegar hingga dengan pagi ini, namu ia harus terlihat lemah di depan sahabatnya.

‘Uang gak selamanya menawarkan kau kebahagiaan, Ca. Aku sangat iri sama kehidupan kau yang mempunyai orang bau tanah peduli sama anaknya. Dalam hidup ini terkadang yang kita butuhin bukan cuma uang buat hidup,’ bisik Kinan kepasa sahabatnya. Rasa hangat seakan sudah merebak di dalam relung hati Kinan. Ica tak sanggup berkomentar apa-apa hanya merapatkan pelukannya saja. Ia sangat menyadari banyak yang Kinan belum ceritakan padanya. Kini ia sudah menyadari betapa besar beban yang ditanggung sama sahabatnya itu, beban yang harus dipikul seorang diri saat ai masih berumur tujuh belas tahun.

‘Ben, maaf ya saya tidak bisa mendapatkan semua ini dari kamu,’ ujar Kinan sangat dengan hati-hati sambil menawarkan sebuah kardus berwarna coklat yang hampir dipenuhi dengan barang-barang khas cewek pada lelaki yang bertubuh tinggi di depannya. Laki-laki itu menatap Kinan dengan penuh tanda tanya, hatinya pun mendadak menyerupai terasa nyeri laksana terjangkit serangan jantung dadakan. ‘sebenarnya Aku sudah sangat nrimo  dapat menawarkan semua ini pada kamu,’ kata Ruben dengan kaget. Ia galau tidak tau berkata apa-apa lagi pada perempuan yang sangat ia sayang itu. ‘aku tahu kau sangat mengasihi aku, Kinan?’ tanya Ruben sambil menatap lurus manik hitam yang berada di hadapannya yang seketika menunduk lesu. Ia menyadari ada perubahan ekspresi pada perempuan yang berada di hadapannya secara drastis, Kinan merasa bahunya seakan roboh mendengar pertanyaan itu. Ruben sudah sangat usang mendambakan mu Kinan, banyak macam cara telah ia lakukan untuk sanggup menarik simpati Kinan. Berbagai macam barang kesukaannya pribadi ruben belikan tanpa tanggung-tanggung. tetapi Kinan hanya sanggup mendapatkan Ruben sebagai sobat saja tidak lebih dari itu, jujur ia sangat galau memikirkan bagaimana cara menciptakan Ruben untuk sanggup mengerti bahwa ia hanya suka berteman saja. Sebenarnya Kinan tidak mau melukai hati dan perasaan Ruben, tapi mungkin carannya saja yang salah. Ia malah menciptakan Ruben terkadang berpikir bila Kinan memberi cita-cita lebih dari seorang sobat padanya. Agak Rumit memang. ‘tetapi setidaknya Aku sudah menandakan rasa sayangku pada kamu, Nan. Itu semua bukti dari rasa sayangku pada kamu, saya sangat peduli sama kamu,’ ucap Ruben untuk meyakinkan Kinan. Memang tidak ada sedikitpun terlitas rona dusta di matanya, semuanya itu benar, dan jujur adnya dari dalam hati. Tapi Kinan tidak suka diperlakukan menyerupai itu olehnya.

‘sorry, Ben. Aku bukan tipe orang menyerupai itu dan saya juga tidak pernah minta kau untuk membeli semua ini buat aku. Jujur saja, bekerjsama saya sendiri masih bisa kok membeli semua ini dengan uangku sendiri bila saya mau,’ Kinan tak mau direndahkan.
‘Bukan, Nan. Bukan itu yang saya maksudkan, saya hanya mau buktikan pada kamu, kalau saya benar-benar serius dan gak main-main. Aku tidak akan membikin kau kecewa.’

‘Sudahlah, Ben. Terima saja ini, saya tidak pantas untuk mendapatkan semua ini. Aku bukan tipe perempuan yang baik untuk kamu, saya tidak punya perasaan yang sama dengan kamu. Aku suda coba, tapi saya tak bisa. Maaf. Aku masih yakin bila di luar sana masih banyak orang lain yang lebih baik dari saya dan pastinya bisa membalas perasaan kau itu. Aku tahu kau pemuda yang baik-baik dan makasih atas semua perhatianmu selama ini,’ ucap Kinan sambil menawarkan kardus itu kapada Ruben. Memang mungkin itu menyakitkan untuk Ruben, tapi inilah jalan yang terbaik. Kinan sudah lelah berpura-pura bersikap manis selama ini kepadanya hanya untuk menghargai segala perjuangan yang dilakukanya.



Sumber http://www.pondok-belajar.com/