Monday, February 26, 2018

√ 6 Macam Perjanjian Indonesia Belanda Dan Penjelasannya


6 Macam Perjanjian Indonesia Belanda dan Penjelasannya




Assalammualaikum, Selamat tiba di Kelas IPS. Disini Ibu Guru akan membahas wacana pelajaran Sejarah yaitu Tentang “Perjanjian Indonesia Belanda“. Berikut dibawah ini penjelasannya:


 Macam Perjanjian Indonesia Belanda dan Penjelasannya √ 6 Macam Perjanjian Indonesia Belanda dan Penjelasannya


Salah satu bentuk usaha bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan merupakan usaha diplomasi, yaitu usaha melewati meja perundingan. Jika Belanda hendak menanamkan kembali kedaulatannya di Indonesia, teryata memperoleh perlawanan dari bangsa Indonesia.


Oleh lantaran itu, pemimpin Sekutu berusaha mempertemukan antara pemimpin Indonesia dengan Belanda dengan melewati perundingan-perundingan, antara lain:




Perundingan Hooge Veluwe


Sebelum diadakan perjanjian antara Belanda dengan Republik Indonesia di Belanda. Sebelumnya telah ada obrolan antara keduanya yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 10 Februari hingga 12 Maret 1946. Dalam negosiasi ini pihak Indonesia yang diwakilkan oleh Sutan Syahrir berhasil mencapai titik negosiasi dengan diakuinya kedaulatan Republik Indonesia secara de facto terdiri dari Jawa dan Sumatra oleh Belanda dengan wakilnya Van Mook disertai penengah dari Inggris A. Clark Kerr dan Lord Killearn. Namun negosiasi ini mengalami permasalahan di tingkat pejabat Belanda di Den Haag, pejabat di Den Haag cenderung mengabaikan hasil negosiasi yang diadakan di Jakarta ini.


Usaha untuk terus mencapai kedaulatan telah diupacayakan oleh pemerintah Republik Indonesia. Pemerintah Indonesia mengirim perwakilannya untuk berunding dengan pemerintah Belanda di Den Haag semoga Belanda segera mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Dalam negosiasi ini wakil-wakil Indonesia diwakilkan oleh; Mr. Soewandi (menteri kehakiman), Dr Soedarsono (ayah MenHanKam Juwono Soedarsono yang ketika itu menjabat menteri dalam negeri), dan Mr Abdul Karim Pringgodigdo dan dipihak Belanda yang dimpimpin pribadi Perdana menteri Schermerhorn. Dalam delegasi ini terdapat Dr Drees (menteri sosial), J.Logeman (menteri urusan seberang), J.H.van Roijen (menteri luar negeri) dan Dr van Mook (selaku letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda).


Perundingan dilaksanakan di Hooge Veluwe pada tanggal 14-24 April 1946 dan berlangsung sangat alot lantaran delegasi Belanda ini mengabaikan negosiasi yang telah disepakati sebelumnya di Jakarta. Perundingan Hooge Veluwe membahas pokok permasalahan, antara lain:



  1. Substansi konsep perjanjian atau protokol sebagai bentuk kesepakatan penyelesaian persengketaan yang akan dihasilkan nantinya oleh negosiasi Hoge Veluwe.

  2. Membahas yang diajukan dalam konsep protokol Belanda menyerupai Persemakmuran (Gemeenebest); negara merdeka (Vrij-staat).

  3. Membahas struktur negara menurut federasi.

  4. Membahas mengenai batas wilayah kekuasaan de facto RI, yang hanya meliputi pulau Jawa.


Pihak Belanda terus bersikeras untuk menolak hasil negosiasi sebelumnya di Jakarta (Van Mook dan Syahrir) dengan alasan pemerintah Belanda ketika itu lantaran untuk sanggup mendapatkan hasil negosiasi di Indonesia, Undang-undang Dasar Belanda harus berubah dahulu. Ini akan makan waktu lama. Padahal Belanda sedang menghadapi pemilihan umum yang tidak beberapa usang lagi akan berlangsung.




Perjanjian Linggarjati


Perjanjian Linggarjati dilakukan pada tanggal 10-15 November 1946 di Linggarjati, bersahabat Cirebon. Perjanjian tersebut dipimpin oleh Lord Killearn, seorang diplomat Inggris. Pada tanggal 7 Oktober 1946 Lord Killearn berhasil mempertemukan wakil-wakil pemerintah Indonesia dan Belanda ke meja negosiasi yang berlangsung di rumah kediaman Konsul Jenderal Inggris di Jakarta. Dalam negosiasi ini problem gencatan senjata yang tidak mencapai kesepakatan alhasil dibahas lebih lanjut oleh panitia yang dipimpin oleh Lord Killearn. Hasil kesepakatan di bidang militer sebagai berikut:



  • Gencatan senjata diadakan atas dasar kedudukan militer pada waktu itu dan atas dasar kekuatan militer Sekutu serta Indonesia.

  • Dibentuk sebuah Komisi bersama Gencatan Senjata untuk masalah-masalah teknis pelaksanaan gencatan senjata.


Hasil Perundingan Linggarjati ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947 di Istana Rijswijk (sekarang Istana Merdeka) Jakarta, yang isinya yakni sebagai berikut:



  • Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura.

  • Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949.

  • Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat yang salah satu bagiannya yakni Republik Indonesia.

  • Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia – Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.


Perjanjian Linggarjati yang ditandatangani tanggal 15 November 1946 menerima saingan dari partai-partai politik yang ada di Indonesia. Sementara itu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6 tahun 1946 wacana penambahan anggota KNIP untuk partai besar dan wakil dari kawasan luar Jawa. Tujuannya yakni untuk menyempurnakan susunan KNIP. Ternyata saingan itu masih tetap ada, bahkan presiden dan wakil presiden mengancam akan mengundurkan diri apabila usaha-usaha untuk memperoleh persetujuan itu ditolak.


Akhirnya, KNIP mengesahkan perjanjian Linggarjati  pada tanggal 25 Februari 1947, bertempat di Istana Negara Jakarta. Persetujuan itu ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947. Apabila ditinjau dari luas wilayah, kekuasaan Republik Indonesia menjadi semakin sempit, namun kalau dipandang dari segi politik intemasional kedudukan Republik Indonesia bertambah kuat. Hal ini disebabkan lantaran pemerintah Inggris, Amerika Serikat, serta beberapa negara-negara Arab telah memperlihatkan pengesahan terhadap kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia.


Persetujuan itu sangat sulit terlaksana, lantaran pihak Belanda menafsirkan lain. Bahkan dijadikan sebagai alasan oleh pihak Belanda untuk mengadakan Agresi Militer I pada tanggal 21 Juli 1947. Bersamaan dengan Agresi Militer I yang dilakukan oleh pihak Belanda, Republik Indonesia mengirim utusan ke sidang PBB dengan tujuan semoga posisi Indonesia di dunia internasional semakin bertambah kuat. Utusan itu terdiri dari Sutan Svahrir, H. Agus Salim, Sudjatmoko, dan Dr. Sumitro Djojohadikusumo.


Kehadiran utusan tersebut menarik perhatian penerima sidang PBB, oleh lantaran itu Dewan Keamanan PBB memerintahkan semoga dilaksanakan gencatan senjata dengan mengirim komisi jasa baik (goodwill commission) dengan beranggotakan tiga negara. Indonesia mengusulkan Australia, Belanda mengusulkan Belgia, dan kedua negara yang diusulkan itu menunjuk Amerika Serikat sebagai anggota ketiga. Richard C. Kirby dari A.ustralia, Paul van Zeeland dari Belgia, dan Frank Graham dari Amerika Serikat. Di Indonesia, ketiga anggota itu populer dengan sebutan Komisi Tiga Negara (KTN).




Perjanjian Renville


Perjanjian Renville diambil dari nama sebutan kapal perang milik Amerika Serikat yang digunakan sebagai tempat negosiasi antara pemerintah Indonesia dengan pihak Belanda, dan KTN sebagai perantaranya. Dalam negosiasi itu, delegasi Indonesia diketuai oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin dan pihak Belanda menempatkan seorang Indonesia yang berjulukan Abdulkadir Wijoyoatmojo sebagai ketua delegasinya. Penempatan Abdulkadir Wijoyoatmojo ini merupakan siasat pihak Belanda dengan menyatakan bahwa pertikaian yang terjadi antara Indonesia dengan Belanda merupakan problem dalam negeri Indonesia dan bukan menjadi problem intemasional yang perlu adanya campur tangan negara lain.


Setelah melalui perdebatan dan permusyawaratan dari tanggal 8 Desember 1947 hingga 17 Juni 1948 maka diperoleh persetujuan Renville. Isi perjanjian Renville, antara lain sebagai berikut:



  • Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia hingga dengan terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS).

  • Sebelum RIS dibentuk, Belanda sanggup menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada pemerintah federal.

  • RIS memiliki kedudukan sejajar dengan Negara Belanda dalam Uni Indonesia-Belanda.

  • Republik Indonesia merupakan penggalan dari RIS.


Kerugian-kerugian yang diderita bangsa Indonesia dari perjanjian Renville yakni sebagai berikut:



  • Indonesia terpaksa menyetujui dibentuknya Negara Indonesia serikat melalui masa peralihan.

  • Indonesia kehilangan sebagian daerahnya lantaran garis Van Mook terpaksa harus diakui sebagai kawasan kekuasaan Belanda.

  • Pihak republik harus menarik seluruh pasukannya yang ada di kawasan kekuasaan Belanda dan dari kantong-kantong gerilya masuk kawasan RI.

  • Wilayah RI menjadi semakin sempit dan dikurung oleh daerah-daerah kekuasaan Belanda.

  • Terjadi Hijrah Tentara Nasional Indonesia ke sentra pemerintahan di Yogyakarta.

  • Terjadinya pemberontakan DI/TII.

  • Terjadinya pemberontakan PKI di Madiun 1948.

  • Jatuhnya kabinet Amir Syarifudin diganti dengan Moh.Hatta.




Perjanjian Roem-Royen


Perjanjian ini yakni perjanjian pendahuluan sebelum KMB. Salah satu kesepakatan yang dicapai yakni Indonesia bersedia menghadiri KMB yang akan dilaksanakan di Den Haag negeri Belanda. Untuk menghadapi KMB dilaksanakan konferensi inter Indonesia yang bertujuan untuk mengadakan pembicaraan antara tubuh permusyawaratan federal (BFO/Bijenkomst Voor Federal Overleg) dengan RI semoga tercapai kesepakatan fundamental dalam menghadapi KMB. Komisi PBB yang menangani Indonesia digantikan UNCI. UNCI berhasil membawa Indonesia-Belanda ke meja Perjanjian pada tanggal 7 Mei 1949 yang dikenal dengan persetujuan Belanda dari Indonesia yaitu:



  • Menyetujui kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta.

  • Menghentikan gerakan militer dan membebaskan para tahanan republik.

  • Menyetujui kedaulatan RI sebagai penggalan dari Negara Indonesia Serikat.

  • Menyelenggarakan KMB segera sehabis pemerintahan RI kembali ke Yogyakarta.


Persetujuan Indonesia dari Belanda meliputi sebagai berikut:



  • Pemerintah Republik Indonesia akan mengeluarkan perintah penghentian perang gerilya.

  • Bekerjasama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan Bekerjasama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.

  • Turut serta dalam KMB di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat.


Peristiwa-peristiwa penting realisasi Roem-Royen Statement yakni sebagai berikut:



  • Penarikan tentara Belanda secara sedikit demi sedikit dari Yogyakarta dari 24 Juni hingga 29 Juni 1949.

  • Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta tanggal 1 Juli 1949.

  • Presiden,wakil presiden dan para pejabat tinggi Negara kembali ke Yogyakarta tanggal 6 Juli 1949.

  • Jendral Sudirman kembali ke Yogyakarta tanggal 10 Juli 1949.




Konferensi Inter Indonesia


Konferensi Inter Indonesia merupakan konferensi yang berlangsung antara negara Republik Indonesia dengan negara-negara boneka atau negara penggalan bentukkan Belanda yang tergabung dalam BFO (Bijenkomst Voor Federal Overslag) Konferensi Inter Indonesia berlangsung di Yogyakarta pada tanggal 19-22 Juli 1949 yang dipimpin oleh Wapres Drs. Mohammad Hatta. Karena simpati dari negara-negara BFO ini maka pemimpin-pemimpin Republik Indonesia sanggup dibebaskan dan BFO jugalah yang turut berjasa dalam terselenggaranya Konferensi Inter-Indonesia. Hal itulah yang melatarbelakangi dilaksanaklannya Konferensi Inter-Indonesia. Soekarno menyebut konferensi ini sebagai “trace baru” bagi arah usaha Indonesia. Konferensi ini banyak didominasi perbincangan mengenai konsep dan teknis pembentukan RIS, terutama mengenai susunan kenegaraaan berikut hak dan kewajiban antara pemerintah sentra dengan pemerintah daerah.


Konferensi Inter-Indonesia penting untuk membuat kesamaan pandangan menghadapi Belanda dalam KMB. Konferensi diadakan setelah para pemimpin RI kembali ke Yogyakarta. Konferensi Inter-Indonesia I diadakan di Yogyakarta pada tanggal 19 – 22 Juli 1949. Konferensi Inter-Indonesia I dipimpin Mohammad Hatta. Konferensi Inter-Indonesia II diadakan di Jakarta pada tanggal 30 Juli – 2 Agustus 1949. Konferensi Inter-Indonesia II dipimpin oleh Sultan Hamid (Ketua BFO).


Pembicaraan dalam Konferensi Inter-Indonesia hampir semuanya difokuskan pada problem pembentukan RIS, antara lain:



  • Masalah tata susunan dan hak Pemerintah RIS,

  • Kerja sama antara RIS dan Belanda dalam Perserikatan Uni.


Sementara hasil Konferensi Inter-Indonesia yakni disepakatinya beberapa hal berikut ini.



  1. Negara Indonesia Serikat disetujui dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) menurut demokrasi dan federalisme (serikat).

  2. RIS akan dikepalai oleh seorang Presiden dibantu oleh menteri-menteri yang bertanggung jawab kepada Presiden.

  3. RIS akan mendapatkan penyerahan kedaulatan, baik dari Republik Indonesia maupun dari kerajaan Belanda.

  4. Angkatan perang RIS yakni angkatan perang nasional, dan Presiden RIS yakni Panglima Tertinggi Angkatan Perang RIS.

  5. Pembentukkan angkatan Perang RIS yakni semata-mata soal bangsa Indonesia sendiri. Angkatan Perang RIS akan dibuat oleh Pemerintah RIS dengan inti dari Tentara Nasional Indonesia dan KNIL serta kesatuan-kesatuan Belanda lainnya.


Sidang kedua Konferensi Inter Indonesia di selenggrakan di Jakarta pada tanggal 30 Juli dengan keputusan sebagai berikut:



  • Bendera RIS yakni Sang Merah Putih

  • Lagu kebangsaan Indonesia Raya

  • Bahasa resmi RIS yakni Bahsa Indonesia

  • Presiden RIS dipilih wakil RI dan BFO.




Konferensi Meja Bundar


Konferensi Meja Bundar (KMB) merupakan tindak lanjut dari Perundingan Roem-Royen. Sebelum KMB dilaksanakan, RI mengadakan pertemuan dengan BFO (Badan Permusyawaratan Federal). Konferensi Meja Bundar dilatarbelakangi oleh usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belanda menerima kecaman keras dari dunia internasional. Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menuntaskan problem ini secara diplomasi, lewat negosiasi Linggarjati, perjanjian Renville, perjanjian Roem-van Roiyen, dan Konferensi Meja Bundar.


Realisasi dari perjanjian Roem-Royen yakni diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Konferensi tersebut berlangsung selama 23 Agustus hingga 2 November 1949. Konferensi ini diikuti oleh delegasi Indonesia, BFO, Belanda, dan UNCI. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta. Delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid dari Pontianak. Delegasi Belanda diketuai oleh J. H Van Maarseveen. Sebagai penengah yakni wakil dari UNCI oleh Critley R. Heremas dan Marle Cochran. Hasil dari persetujuan KMB yakni sebagai berikut:



  • Belanda menyerahkan dan mengakui kedaulatan Indonesia tanpa syarat dan tidak sanggup ditarik kembali

  • Indonesia akan berbentuk Negara serikat (RIS) dan merupakan uni dengan Belanda.

  • RIS mengembalikan hak milik Belanda dan memperlihatkan hak konsesi dan izin gres untuk perusahaan-perusahaan Belanda.

  • RIS harus menanggung semua hutang Belanda yang dibuat semenjak tahun 1942.

  • Status karisidenan Irian akan diselesaikan dalam waktu 1 tahun setelah penyerahan kedaulatan RIS.

  • Makna dari Persetujuan KMB yaitu merupakan babak gres dalam usaha sejarah Indonesia. Meskipun merupakan Negara serikat tetapi daerahnya hampir meliputi seluruh Indonesia. Eksistensi pemerintah RI di mata dunia internasional makin kuat.


Konferensi Meja Bundar diikuti oleh perwakilan dari Indonesia, Belanda, danperwakilan tubuh yang mengurusi sengketa antara Indonesia-Belanda. Berikut ini paradelegasi yang hadir dalam KMB, antara lain:


Indonesia terdiri dari Drs. Moh. Hatta, Mr. Moh. Roem, Prof.Dr. Mr. Soepomo.



  1. BFO dipimpin Sultan Hamid II dari Pontianak.

  2. Belanda diwakili Mr. van Maarseveen.

  3. UNCI diwakili oleh Chritchley.


Setelah melaksanakan negosiasi cukup lama, maka diperoleh hasil dari konferensi tersebut. Hasil dari KMB yakni sebagai berikut:



  • Belanda mengakui RIS sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.

  • Pengakuan kedaulatan dilakukan selambat-lambatnya tanggal 30 Desember 1949.

  • Masalah Irian Barat akan diadakan negosiasi lagi dalam waktu 1 tahun setelah pengesahan kedaulatan RIS.

  • Antara RIS dan Kerajaan Belanda akan diadakan korelasi Uni Indonesia Belanda yang dikepalai Raja Belanda.

  • Kapal-kapal perang Belanda akan ditarik dari Indonesia dengan catatan beberapa korvet akan diserahkan kepada RIS.

  • Tentara Kerajaan Belanda selekas mungkin ditarik mundur, sedang TentaraKerajaan Hindia Belanda (KNIL) akan dibubarkan dengan catatan bahwa paraanggotanya yang dibutuhkan akan dimasukkan dalam kesatuan TNI.

  • Konferensi Meja Bundar memperlihatkan imbas yang cukup menggembirakan bagi bangsa Indonesia. Karena sebagian besar hasil dari KMB berpihak pada bangsa Indonesia, sehingga imbas positif pun diperoleh Indonesia.


Pelaksanan KMB sanggup memperlihatkan imbas bagi beberapa pihak. Dampak dari Konferensi Meja Bundar bagi Indonesia yakni sebagai berikut:



  • Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia.

  • Konflik dengan Belanda sanggup diakhiri dan pembangunan segera sanggup dimulai.

  • Irian Barat belum sanggup diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat.

  • Bentuk negara serikat tidak sesuai dengan impian Proklamasi

  • Kemerdekaan 17 Agustus 1945.


Selain imbas positif, Indonesia juga memperoleh imbas negatif, yaitu belum diakuinya Irian Barat sebagai penggalan dari Indonesia. Sehingga Indonesia masih berusaha untuk memperoleh pengesahan bahwa Irian Barat merupakan penggalan dari NKRI.  Tanggal penyerahan kedaulatan oleh Belanda ini juga merupakan tanggal yang diakui oleh Belanda sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia. Barulah sekitar enam puluh tahun kemudian, tepatnya pada 15 Agustus 2005, pemerintah Belanda secara resmi mengakui bahwa kemerdeekaan de facto Indonesia bermula pada 17 Agustus 1945. Dalam sebuah konferensi di Jakarta, Perdana Menteri Belanda Ben Bot  mengungkapkan “penyesalan sedalam-dalamnya atas semua penderitaan” yang dialami rakyat Indonesia selama empat tahun Revolusi Nasional, meski ia tidak secara resmi memberikan permohonan maaf. Reaksi Indonesia kepada posisi Belanda umumnya positif; menteri luar negeri Indonesia Hassan Wirayuda menyampaikan bahwa, setelah pengesahan ini, “akan lebih gampang untuk maju dan memperkuat korelasi bilateral antara dua negara”. Tekait utang Hindia-Belanda, Indonesia membayar sebanyak kira-kira 4 miliar gulden dalam kurun waktu 1950-1956 namun kemudian tetapkan untuk tidak membayar sisanya.




Demikian Penjelasan Pelajaran IPS-Sejarah Tentang 6 Macam Perjanjian Indonesia Belanda dan Penjelasannya


Semoga Materi Pada Hari ini Bermanfaat Bagi Siswa-Siswi, Terima Kasih !!!


 


Baca Artikel Lainnya:





 



Sumber aciknadzirah.blogspot.com