Tuesday, February 27, 2018

√ Ringkasan Sejarah R.A. Kartini, Era Hidup Dan Perjuangannya


Ringkasan Sejarah R.A. Kartini, Masa Hidup dan Perjuangannya




Assalammualaikum, Selamat tiba di Kelas IPS. Disini Ibu Guru akan membahas perihal pelajaran Sejarah yaitu Tentang “R.A. Kartini“. Berikut dibawah ini penjelasannya:


 Disini Ibu Guru akan membahas perihal pelajaran  √ Ringkasan Sejarah R.A. Kartini, Masa Hidup dan Perjuangannya


Bangsa yang besar merupakan bangsa yang menghargai jasa pahlawannya, demikianlah kata pepatah yang hingga kini menjadi panutan bangsa Indonesia dalam memperlihatkan penghargaan bagi para pahlawan. Betapa tidak, dalam perjalanannya bangsa Indonesia telah menghasilkan banyak jagoan yang telah berjuang mati-matian untuk memperoleh serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia.


Baik itu jagoan nasional, jagoan kemerdekaan, hingga jagoan revolusi, semua menerima penghargaan lantaran mereka telah berjasa besar bagi kepentingan bangsa Indonesia. Banyak dari para jagoan tersebut berjuang di medan peperangan, sebut saja sosok Pangeran Diponegoro, Kapitan Pattimura, dan Sultan Agung yang berjasa dalam memerangi tentara kolonial Belanda.


Tetapi, ada pula yang berjasa terhadap bangsa Indonesia bukan melalui jalan perang melainkan melalui pendidikan. Salah satu di antaranya ialah Raden Ajeng Kartini, jagoan perempuan yang telah berjasa dalam membela hak kaum perempuan Indonesia serta memperjuangkan kehidupan sosial yang lebih baik bagi rakyat pribumi. Berikut kami rangkum Sejarah R.A. Kartini, Masa hidup dan Perjuangannya.




Sejarah Masa Kecil




1. Kelahiran Kartini 


Raden Ajeng Kartini dilahirkan di Mayong, sebelah utara Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1897 atau tahun Jawa 28 Rabiulakhir 1808. Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat menjadi Asisten Wedana1 Mayong, Kabupaten Jepara waktu itu. Ibu kandung Kartini, M.A. Ngasirah ialah seorang „bijvrouw‟2 atau istri kedua R.M. A.A. Sosroningrat. Ketika Kartini dilahirkan, ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan dan menjadi Bupati Jepara menggantikan kedudukan R.A.A. Tjitrowikromo, ayah R.A. Woerjan.


Sesuai dengan adat-istiadat zaman itu, keluarga Kartini mengadakan kenduri berupa bubur merah putih untuk upacara pemberian nama bagi Kartini. Kartini juga melewati upacara-upacara menyerupai cukur rambut dan turun bumi (upacara di mana sang bayi untuk pertama kali diturunkan ke tanah) lantaran bagi orang Jawa, ada babak-babak yang sangat penting dalam hidup yang tidak boleh dibiarkan berlalu tanpa upacara yakni kelahiran, kedewasaan, perkawinan, dan kematian.




2. Latar Belakang Keluarga Kartini 


Ayah Kartini, R.M.A. Sosroningrat ialah putra dari Pangeran4 Ario Tjondronegoro IV, Bupati Demak sehingga secara garis keturunan ayah Kartini termasuk dalam golongan ningrat. Sedangkan ibu kandungnya, M.A. Ngasirah ialah putri Madirono, seorang mandor pabrik gula dan hanyalah seorang rakyat biasa.


Karena itulah Ngasirah hanya dijadikan sebagai istri kedua sehabis Raden Ayu Woerjan yang murni golongan ningrat lantaran masih keturunan Raja Madura. Meskipun Kartini tidak 100% darah bangsawan, namun ia tetap tinggal bersama ayahnya dan menjadi golongan ningrat. Namanya menjadi Raden Ajeng Kartini.




Sejarah Masa Sekolah




1. Mencecap Pendidikan Barat 


Kakek Kartini, Ario Tjondronegoro ialah bupati pertama yang memperlihatkan pendidikan kepada putera-puterinya dengan pengajaran Eropa. Enam belas tahun lamanya dia menjadi Bupati Demak. Beberapa tahun sebelum meninggal pada tahun 1866, dia memperlihatkan wejangan kepada putra-putrinya, yaitu: Anak-anak, tanpa pengajaran kelak tuan-tuan tiada akan merasai kebahagiaan, tanpa pengajaran tuan-tuan akan makin memundurkan keturunan kita; ingat-ingat kata-kataku ini.


Waktu itu bahasa Belanda merupakan satu-satunya bahasa ilmu pengetahuan, lantaran itu tinggi rendahnya pengetahuan seseorang sanggup diukur dari tinggi rendahnya seseorang menguasai bahasa Belanda. Ayah Kartini, R.M. A.A. Sosroningrat ialah salah satu bupati yang pintar berbahasa Belanda.


Pendidikan Barat yang ia terima dari sang ayah, menjadikannya maju dalam berpikir. Untuk itu ia memberi kebebasan bagi putera-puterinya untuk menuntut pelajaran di sekolah. Karena baginya, pendidikan menjadi sesuatu yang penting sehingga sebisa mungkin seluruh anaknya harus bersekolah. Drs. R.M. Sosrokartono, abang laki-laki Kartini bahkan sanggup meneruskan sekolahnya hingga ke negeri Belanda.


Kartini pun masuk ke Europese Lagere School6. Kartini terang beruntung bisa bersekolah, lantaran berdasarkan adat Jawa, anak perempuan tidak boleh bersekolah lantaran hanya anak laki-lakilah yang boleh memperoleh pendidikan. Di sekolah rendah tersebut, tak jarang Kartini mengalami diskriminasi warna kulit yang pada zaman itu masih membeda-bedakan antara kulit putih dan coklat. Orang-orang pribumi yang secara kelas sosial lebih rendah dari orang-orang Belanda, menjadi target tindakan diskriminasi baik itu dalam hal pergaulan hingga evaluasi dari guru yang lebih memihak siswa Belanda.


Pengalaman diskriminasi itu Kartini sadari sebagai jawaban dari politik kolonial Belanda yang tidak ingin memajukan kaum pribumi. Kartini meyakini bahwa sesungguhnya orang pribumi bisa lebih pintar dari orang-orang Belanda. Semua tergantung dari kebebasan yang diperoleh orang pribumi untuk memajukan pendidikan. Meskipun begitu, Kartini tidak mau menyerah. Ia tetap bersemangat dalam berguru hingga tamat sekolah.




2. Cita-Cita Kartini 


Di sekolah, Kartini mempunyai seorang sahabat karib berjulukan Lesty, seorang gadis Belanda. Perjumpaannya dengan Lesty ternyata menjadi bekal perjuangannya. Suatu ketika Kartini hendak mengajak Lesty untuk bermain. Namun Lesty menolak lantaran ingin berguru Bahasa Prancis demi melanjutkan sekolah di Negeri Belanda. Lesty juga mengungkapkan perihal cita-citanya menjadi guru. Lesty pun menanyakan perihal harapan Kartini. Namun Kartini tidak pernah memikirkan perihal cita-citanya.


Pertanyaan yang diajukan Lesty masih terngiang di pikiran Kartini. Ia tidak tahu ketika remaja nanti akan menjadi apa. Dalam kebingungannya, ia menghadap ayahnya dan minta diterangkan perihal pertanyaan itu. Ketika ditanya perihal hal itu, ayahnya hanya tertawa tanpa ada jawaban. Merasa belum menerima jawaban, Kartini terus saja merengek minta jawaban pasti. Ia sangat ingin tahu perihal masa depannya sehingga ia takkan puas sebelum menerima jawaban dari sang ayah.


Akhirnya, Kartini pun diberi tahu perihal masa depannya bahwa ia akan menjadi seorang Raden Ayu. Hatinya menjadi senang lantaran ketika remaja nanti ia akan menjadi Raden Ayu. Namun sebenarnya, dari sinilah lahir harapan usaha Kartini yang sangat mulia. Pemikirannya akan masa depan semakin terasah.




Sejarah Masa Pingitan




1. Tradisi Yang Tidak Terhindarkan 


Ketika berusia 12 tahun, Kartini tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah lantaran harus dipingit sesuai dengan tradisi ningrat Jawa. Tradisi itu mengharuskan seorang gadis ningrat untuk dipingit hingga seorang laki-laki tiba melamarnya. Ia sangat sedih lantaran keinginannya untuk meneruskan sekolah di H.B.S (Hoogere Burgerscholen)7 Semarang tidak diizinkan oleh keluarganya. Ayahnya yang sangat maju dalam pendidikan, ternyata tdidak bisa melawan tradisi Jawa yang sudah bebuyutan itu. Begitu pula dengan Raden Ayu dan saudaranya yang lain tetap menghendaki Kartini untuk dipingit sesuai adat istiadat. Kartini tidak diperbolehkan keluar dari area kabupaten, bahkan keluar rumah pun ia tidak boleh. Kartini mencicipi masa pingitan yang ia alami sebagai penjara baginya.


Ia merasa tersiksa dengan tradisi tersebut lantaran baginya seorang insan itu seharusnya bebas menentukan hidupnya. Ia ingin menyerupai teman-teman Belandanya yang sanggup meneruskan pendidikan hingga negeri Belanda. Ia sadar bahwa sesungguhnya pengalaman pahit ini juga dialami oleh gadis pribumi lain. Dalam benaknya, ia ingin semoga gadis pribumi di kemudian hari tidak mengalami nasib menyerupai dia. Ia menghendaki kebebasan yang lepas dari keterikatan adat khususnya bagi gadis pribumi. Dari situlah lahirnya harapan Kartini untuk memperjuangkan hak kaum perempuan pribumi. Ia mencita-citakan kesetaraan di antara laki-laki dan perempuan di Hindia Belanda. Kartini memang tidak sanggup menghindari tradisi itu, namun setidaknya muncul keinginannya untuk menghentikan tradisi kolot yang baginya sudah tidak relevan lagi pada jaman itu.


Kepada kedua adik perempuannya Rukmini dan Kardinah, Kartini mengungkapkan segala isi hatinya. “Biar kini dipingit, tetapi saya akan berusaha supaya gadis pribumi di kemudian hari jangan hingga mengalami nasib menyerupai kita ini. Mereka harus bebas menyerupai teman-teman kita di Barat.”




2. Buku Bacaan Sebagai Penghiburan 


Meskipun harus terkurung dalam tradisi pingitan yang menyiksa, ternyata Kartini tidak mengalah sama sekali. Meskipun tidak sekolah, ternyata semangat berguru Kartini tetap besar. Ayah Kartini yang takluk oleh adat istiadat ternyata masih menghendaki putrinya maju dalam pendidikan. Ayah dan kakaknya, RM. Sosrokartono selalu membawakan Kartini buku-buku bacaan sebagai penghiburan yang disambut antusias oleh Kartini. Sejak ketika itulah Kartini menjadi senang membaca. Semua buku bacaan gres baik itu yang berbahasa Belanda, Jawa, maupun Melayu, ia baca hingga berulang-ulang. Meskipun terkadang Kartini kesulitan memahami isi buku, namun ia tidak pernah menyerah. Ia selalu meminta tolong kakaknya untuk menerjemahkan isi buku yang dianggapnya sulit. Kakaknya pun dengan nrimo membantu Kartini. Kartini juga tertarik pada majalah kebudayaan dan pengetahuan yang sesungguhnya cukup berat bagi gadis seusianya.


Selain membaca, Kartini juga mengisi waktunya dengan menulis. Sejak berkenalan dengan Estelle Zeehandelaar, Kartini menjadi gemar menulis surat. Kartini pun semakin terbuka akan kehidupan rakyat pribumi. Kendati hanya melalui buku bacaan, bukan melihat secara nyata. Dalam kungkungan tradisi yang keras itu, Kartini memang tidak mempunyai kesempatan untuk mengenal lebih banyak perihal rakyatnya, tetapi ia mencintai, menghargai, dan menderita buat rakyatnya. Ia ikut memikirkan kesulitan dan penderitaan mereka. Masa pingitan yang sangat menyiksa, ternyata bisa memberi penghiburan baginya terutama dengan acara membaca dan menulis. Semua itu berawal dari buku-buku bacaan pemberian sang ayah. Sehingga selain menjadi sumber penghiburan, buku-buku itu juga menjadi sumber pengetahuan bagi Kartini. Bahkan di usianya yang relatif muda, ia bisa berpikir kritis perihal keadaan bangsanya yang begitu bodoh dibandingkan dengan Belanda.




3. Dunia Barat Terbuka Baginya 


Tahun 1895, ketika Kartini menginjak usia 16 tahun, Raden Ajeng Sulastri abang perempuan tertua, menikah dan mengikuti suaminya ke Kendal. Selepas kepergian Sulastri, Kartini pun menjadi anak perempuan tertua dalam keluarga dan ia pun memperoleh kebebasannya kembali. Kini ia boleh ke luar kabupaten dan tidak lagi terkurung di dalam rumah. Meski masih tidak diperbolehkan meneruskan sekolah, setidaknya Kartini sanggup mencium kembali udara segar di luar kabupaten Jepara. Kini ia sanggup melihat keadaan rakyat pribumi secara kasatmata bukan hanya sekedar dari buku. Sebagai abang tertua, Kartini juga menghentikan tradisi kolot yang mengharuskan adik-adiknya untuk berjongkok dan menyembah kakaknya. Ia menekankan kesetaraan di keluarganya.


Pada awal tahun 1900, tuan Ovink-Soer, yang menjabat sebagai Asisten Residen10 ditemani nyonya Ovink tiba berkunjung ke rumahnya. Kartini dan kedua adiknya, Rukmini dan Kardinah dengan senang hati mendapatkan kehadiran mereka. Kedua orang Belanda itu sangat heran mendengar Kartini sanggup berbahasa Belanda dengan lancar. Tuan Ovink menjadi tertarik dengan Kartini lantaran gres pertama kalinya dia memakai bahasa Belanda dengan anak pribumi. Padahal ketika mengunjungi kabupaten-kabupaten, tuan Ovink hanya memakai bahasa Melayu pasar. Karena itulah, nyonya Ovink ingin mengajak Kartini untuk tiba ke rumah mereka. Ayahnya pun dengan terbuka memperbolehkan Kartini tiba ke rumah tuan Ovink.


Nyonya Ovink ternyata menjadi kawasan curahan hati Kartini akan pemikirannya perihal keadaan perempuan pribumi yang jauh berbeda dengan keadaan perempuan di Eropa. Melalui saran nyonya Ovink, Kartini memasang sebuah iklan di surat kabar setempat yang berbunyi: Seorang gadis ningrat Jawa ingin mengadakan surat-menyurat dengan seorang gadis di negeri Belanda.11 Setelah menunggu sekitar dua bulan, alhasil iklannya ditanggapi. Ia memperoleh surat atas nama Estelle Zeehandelaar dari negeri Belanda yang bersedia menjadi sobat surat-menyurat Kartini. Sejak ketika itulah Kartini gemar menulis surat untuk bertukar pikiran dengan sahabat barunya itu. Keinginannya untuk memperjuangkan hak kaum perempuan pribumi pun semakin memuncak dengan surat-surat yang ia kirim kepada Stella. Dunia barat semakin terbuka baginya dan semangatnya untuk memperjuangkan emansipasi perempuan pribumi pun semakin memuncak.




Sejarah Mengejar Cita-Cita




1. Hasrat Mendidik Gadis Pribumi 


Kartini merasa bahwa perjuangannya tidak akan pernah tuntas apabila ia tidak mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Awalnya ia sangat berhasrat menjadi seorang dokter lantaran sanggup bersekolah di Belanda. Namun ia sadar bahwa ayahnya tidak mengizinkannya melanjutkan pendidikan di Belanda. Meskipun ayahnya sangat mendukung keinginan Kartini, namun ayahnya masih takluk dengan adat yang menganggap bahwa hanya prialah yang pantas menerima pendidikan tinggi ketimbang perempuan. Meskipun kecewa dengan perilaku ayahnya, namun ia merasa bersyukur dikarenakan telah memperoleh pendidikan Barat yang banyak membuatkan cara berpikirnya kendati hanya di sekolah rendah.


Kartini merasa bahwa pendidikan itu tidak hanya diperuntukkan bagi kaum pria. Baginya, kaum perempuan juga perlu menerima pendidikan sehingga tidak hanya mengikuti apa kata orang renta harus rela untuk mendapatkan lelaki yang tidak ia kenal. Ia ingin semoga para perempuan sanggup menentukan masa depannya sendiri dan tidak hanya mengandalkan suami dalam mencari nafkah. Ia ingin semoga para perempuan juga memperoleh keterampilan dan pendidikan sama menyerupai para laki-laki.


Kartini merasa tergerak hatinya untuk mendidik gadis-gadis pribumi. Karena baginya, gadis-gadis pribumi perlu menerima pendidikan menyerupai gadis-gadis di Belanda. Ia telah membulatkan tekadnya untuk menjadi pendidik. Ia ingin menjadi seorang pendidik yang tidak hanya mengajarkan pengetahuan namun juga keterampilan, dan kepribadian bagi gadis-gadis pribumi.




2. Perjuangan Sekolah Kartini


Karena keinginannya untuk meneruskan sekolah ke negeri Belanda ditolak ayahnya, Kartini kembali mendesak ayahnya semoga memberinya izin bersekolah di Semarang yang letaknya tidak jauh dari Jepara. Namun ayahnya tidak berani menentang adat dan tetap menolak undangan Kartini. Ternyata Kartini tidak mengalah begitu saja. Ia mencari cara lain yakni dengan mengirimkan surat kepada Direktur Pendidikan dan Kebudayaan Belanda, Mr. J.H. Abendanon. Surat Kartini ditanggapi positif dan dia bersedia berkunjung ke Jepara pada tanggal 25 Januari 1902 bersama Nyonya Abendanon Mandri.


Kesempatan inilah yang Kartini manfaatkan untuk mengutarakan segala keinginannya untuk bersekolah lebih tinggi dan untuk mendirikan sekolah putri kepada Mr. Abendanon. Kartini berharap Mr. Abendanon sanggup membantunya untuk memperoleh beasiswa dari pemerintah Belanda semoga ia sanggup meneruskan sekolah ke negeri Belanda. Namun sehabis menunggu sekian lama, Kartini tidak kunjung memperoleh kepastian dari pemerintah Belanda. Ia sempat berpikiran untuk masuk ke sekolah dokter di Jakarta, namun keinginan itu juga tidak kunjung terealisasikan. Kartini kemudian membuka sebuah sekolah putri sesuai saran dari Nyonya Abendanon yang ia beri nama Sekolah Kartini (Kartini-Schoolvereniging). Muridnya ketika itu hanya sembilan orang gadis Jepara yang masih kerabat dekatnya.


Sekolah Kartini ini diadakan di pendopo kabupaten, sedangkan gurunya ialah Kartini, Rukmini, dan Kardinah. Mereka mengajarkan para gadis itu keterampilan menjahit, memasak, menyulam, dan bahasa Jawa. Kartini berharap sanggup membantu para gadis Jepara semoga menjadi lebih pintar sehingga sanggup memperoleh kehidupan yang lebih baik.




Sejarah Senyum Di Akhir Hidup




1. Perkawinan Kartini


Ternyata apa yang diimpikan Kartini terjadi. Ia memperoleh beasiswa sebesar f 4.800 dari pemerintah Belanda sehingga ia sanggup meneruskan sekolah ke negeri Belanda. Namun di ketika bersamaan, orang tuanya telah mendapatkan pinangan Bupati Rembang, Raden Adipati Ario Singgih Joyodiningrat, yang sudah mempunyai tiga istri serta beberapa anak. Kartini tidak diizinkan untuk melanjutkan sekolah ke negeri Belanda lantaran ia harus menikah dengan Bupati Rembang itu. Beasiswa yang diperoleh, Kartini berikan kepada cowok yang sangat cerdas berjulukan Agus Salim12. Tanggal 8 November 1903, Kartini menikah dan selanjutnya tinggal di Rembang bersama suaminya.


Kartini terang merasa kecewa lantaran perkawinan ini ia rasakan sebagai paksaan bukan sebagai pilihannya sendiri. Sebenarnya hasratnya untuk memperoleh pendidikan masih sangat tinggi bahkan Kartini tidak pernah berpikir untuk menikah terlalu dini. Ia merasa masa depannya akan terusik dengan perkawinannya. Namun ia berusaha untuk mendapatkan keadaannya lantaran ia percaya bahwa suaminya ialah laki-laki yang baik. Ia menghormati suaminya yang sudah berusia 50 tahun, namun ia merasa kecewa lantaran suaminya berpoligami13, sesuatu yang dihentikan oleh agama. Meskipun Kartini dijadikan istri utama, namun ia tetap harus hidup satu atap dengan istri yang lain.


Kartini menyadari bahwa pengalaman ini juga dialami oleh gadis-gadis pribumi lain, dijodohkan oleh orang renta tanpa persetujuan untuk mengikuti lelaki pilihan orang renta yang tidak ia kenal. Ia merasa prihatin lantaran kaum perempuan tidak diberi kesempatan untuk menentukan masa depannya sendiri termasuk kebebasan dalam perkawinan. Dalam masyarakat Jawa kala itu, memang dalam hal perkawinan, kaum perempuan dianggap tidak perlu memberi persetujuan lantaran orang tualah yang berhak menentukan perkawinan anak gadisnya.




2. Dukungan Sang Suami


R.A.A. Joyodiningrat, suami Kartini ternyata berpikiran maju menyerupai ayah Kartini di mana ia mendukung harapan Kartini. Ia memperbolehkan Kartini untuk mendirikan sekolah putri di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini dipakai sebagai Gedung Pramuka. Kartini tidak hanya memperjuangkan sekolah putri saja, ia juga berkeinginan untuk mendidik anak laki-laki dalam sekolah pertukangan kayu.


Melihat hasil yang dicapai Kartini dalam kegiatan sekolahnya, suaminya mengabulkan keinginannya mendatangkan pengukir dari Jepara untuk mendidik anak laki-laki dalam sekolah pertukangan kayu. Kartini merasa senang lantaran suaminya banyak membantu usaha dan perjuangannya sebagai guru.




3. Akhir Hidup Kartini


Sebagaimana istri pada umumnya, Kartini pun hamil sehabis beberapa bulan menikah. Namun dalam masa kehamilan itu, Kartini seringkali jatuh sakit. Tubuhnya semakin lemah namun semangatnya masih tetap membara. Pada tanggal 13 September 1904, Kartini melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama R.M. Soesalit. Setelah melahirkan Soesalit, kesehatan Kartini semakin menurun. Hingga alhasil ia menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 17 September 1904 di ketika usianya masih 25 tahun. Jenazahnya dikebumikan di desa Bulu, Rembang.


Setelah Kartini wafat, sekolah Kartini yang telah dia dirikan ternyata tidak berhenti begitu saja. Sekolah Kartini menjadi semakin berkembang tidak hanya di Rembang namun berdiri pula Sekolah Kartini di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, dan Madiun.


Pada tanggal 2 Mei 1964, Presiden Pertama Indonesia, Ir. Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964 yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.




Gagasan, Cita-Cita dan Karya Kartini




Kalau saya jadi pengarang, betul sanggup saya bekerja banyak-banyak dengan luasnya mewujudkan cita-citaku dan memajukan bangsa kami, sedang jikalau saya jadi guru, hanya kecil lingkungan kerjaku, tetapi saya sanggup mendidik dengan langsung, dan lingkungan yang kecil itu boleh jadi menjadi luas, alhasil menjadi pola teladan bagi orang, asal saja pola yang diberikan itu ternyata pola yang baik….. Engkau tahu gemarnya hatiku akan kesusasteraan, dan tahulah engkau, cita-citakulah menjadi pengarang yang ada berharga.




1. Sejarah Di Balik Pemikiran Revolusioner Kartini 



  • Kemajuan Pendidikan dalam Keluarga Tjondronegoro 


Kartini ialah sosok yang fenomenal, alasannya ialah di usianya yang relatif muda, ia sudah bisa berpikir maju demi kemajuan bangsa Indonesia. Pemikiran-pemikirannya yang revolusioner ini ternyata tidak tiba dengan sendirinya. Kartini mengalami suatu proses dalam hidupnya yang telah membangkitkan semangatnya dalam memperjuangkan hak asasi insan bagi perempuan pribumi khususnya dan rakyat pribumi pada umumnya. Salah satu faktor yang turut berperan membentuk pemikiran maju Kartini ialah kemajuan pendidikan dalam keluarga Tjondronegoro yang secara bebuyutan diterima oleh Sosroningrat (ayah Kartini) hingga Kartini sendiri.


Selama dipingit, Kartini mencicipi penderitaan batin lantaran tidak boleh keluar dari kompleks kabupaten. Namun, ternyata ayahnya, Sosroningrat tetap berpikiran maju dengan memperlihatkan buku-buku bacaan kepada Kartini. Buku-buku itu selain memperlihatkan ilmu pengetahuan sekaligus sebagai sumber penghiburan bagi Kartini di dalam pingitan. Dengan buku-buku itulah, Kartini menjadi semakin tahu akan dunia Barat dan Hindia Belanda secara lebih mendalam. Hal itulah yang secara tidak eksklusif telah membentuk abjad dalam diri Kartini. Kemajuan pendidikan dalam keluarganya berperan besar terhadap lahirnya pemikiran-pemikiran Kartini. Ayahnya terbukti mau memperlihatkan kesempatan bagi Kartini untuk berkembang meskipun secara fisik masih terikat oleh tradisi.





  • Perkenalan dengan Dunia Barat 


Semasa hidupnya, Kartini ialah pribadi yang terbuka dan rendah hati. Ia tidak hanya bergaul dengan kaum ningrat, namun juga mau bergaul dengan pribumi Jawa yang dalam stratifikasi sosial zaman itu termasuk strata terbawah. Kartini tidak mempedulikan golongan sosial secara vertikal, lantaran baginya semua insan itu sederajat, demikian juga antara laki-laki dan perempuan. Pemikiran-pemikiran ini banyak muncul sehabis perkenalannya dengan dunia barat baik itu melalui ilmu pengetahuan mengenai Eropa maupun perjumpaannya dengan orang Belanda.


Perkenalannya dengan dunia barat diawali ketika Kartini sekolah di ELS yang secara umum dikuasai muridnya ialah peranakan Eropa. Kartini erat dengan Lesty, seorang gadis Belanda yang memperkenalkan arti harapan padanya. Ia menjadi tahu bahwa setiap orang itu mempunyai sebuah tujuan yang hendak dicapai. Di sinilah ketika di mana Kartini mulai memikirkan cita-citanya mulai dari menjadi Raden Ayu hingga harapan luhurnya untuk memajukan bangsa.


Munculnya pemikiran dan gagasan Kartini tidak lepas pula dari imbas orang-orang Belanda yang menjadi sahabat dan pembimbing Kartini. Mereka adalah:



  • Mr. J.H. Abendanon dan Nyonya Abendanon yang turut membantu Kartini dalam usahanya mendirikan sekolah putri. Kartini sendiri banyak mencurahkan isi hatinya kepada Nyonya Abendanon yang dalam beberapa suratnya dipanggil ’ibu’ oleh Kartini.

  • Nyonya M.C.E. Ovink-Soer, nyonya tangan kanan residen Jepara yang mendukung niat Kartini untuk bersekolah di Belanda.

  • Tuan H.H van Kol dan Nyonya van Kol yang banyak memberi santunan padanya.

  • Estelle Zeehandelaar, seorang gadis Yahudi-Belanda yang aktif dalam gerakan sosial dan feminisme di negeri Belanda. Ia menjadi sahabat pena Kartini dalam bertukar pikiran, pengetahuan, dan pengalaman yang sangat kontras dengan Kartini. Pertemanannya dengan Estelle mengakibatkan wawasan Kartini akan negeri Belanda semakin luas. Meski tidak berkontak secara langsung, hubungan tersebut secara kasatmata banyak mempengaruhi perilaku dan mental Kartini terutama dalam memperjuangkan cita-citanya.





  • Buku-Buku yang Menginspirasi 


Munculnya gagasan dan harapan revolusioner Kartini juga didukung oleh buku-buku bacaan pemberian ayah dan kakaknya Sosrokartono semasa pingitan. Penderitaan batin yang dialami Kartini semasa pingitan, serasa terobati oleh kehadiran buku-buku tersebut. Buku-buku tersebut secara kasatmata menjadi sumber penghiburan bagi Kartini dalam penderitaan, namun juga memperlihatkan ilmu pengetahuan serta wawasan yang luas baginya. Sastra-sastra Belanda yang ia baca juga turut mempengaruhi pemikiran serta cita-citanya.


Berikut ialah buku-buku yang menginspirasi gagasan dan harapan Kartini:



  1. Buku karangan Multatuli yang berjudul Max Havelaar dan Minnebrieven. Lewat buku ini, ia mengetahui jawaban jelek dari penindasan yang dilakukan Belanda terhadap pribumi.

  2. Buku karangan Mr. C. Th. van Deventer yang berjudul Een Eereschuld memberi wangsit bagi Kartini terutama dalam membela hak-hak kaum pribumi.

  3. Buku karangan Nyonya C. Goekoop de Jong yang berjudul Hilda van Suylenburg. Buku ini menjadi salah satu pembuka jalan bagi Kartini untuk mengenal kewajiban-kewajiban perempuan terhadap keluarganya, lingkungan dan masyarakat. Di samping itu juga mengajarinya mengenal hak-haknya sebagai perempuan yang ialah manusia. Hasratnya untuk membela emansipasi perempuan khususnya pribumi Hindia Belanda semakin membulat sehabis beberapa kali membaca buku ini.

  4. Buku karangan August Babel yang berjudul De Vrouw en Socialisme (Wanita dan Sosialisme) yang menciptakan Kartini semakin sadar akan kodrat antara laki-laki dan perempuan yang sejatinya sama sebagai manusia.

  5. Majalah perempuan Belanda De Hollandsche Lelie yang memberi pengetahuan perihal kemajuan kaum perempuan di Belanda yang sudah setara dengan kaum pria. Majalah inilah yang menciptakan pemikiran Kartini semakin kritis lantaran keadaan perempuan di Belanda sangat bertolak belakang dengan perempuan pribumi di negerinya.

  6. Buku Moderne Maagden atau Perawan-perawan Modern karangan Marcel Prěvost. Dari buku ini Kartini memperoleh wangsit perihal Gerakan Wanita di Eropa yang mencerminkan keberanian serta daya juang perempuan dalam menegakkan keadilan.

  7. Buku De Wapens Neergelegd atau Sarungkan Senjata karangan Bertha von Suttner yang memberinya wangsit perihal usaha untuk memenangkan perdamaian sosial.

  8. Buku karangan Henryk Sienkiewicz yang berjudul Quo Vadis? Atau Iman dan Pengasihan yang menceritakan perihal keuletan serta ketabahan jemaat Kristen dalam menghadapi siksaan serta bahaya dari kekuasaan Romawi. Buku tersebut memperlihatkan imbas besar pada Kartini di bidang kesetiaan serta keuletan dalam memperjuangkan cita-citanya.




2. Karya-Karya Inspiratif Kartini 


Jalan yang diambil Kartini untuk mewujudkan gagasan dan cita-citanya ialah melalui jalan sebagai pengarang melalui karangan-karangannya baik itu dalam bentuk surat, catatan harian, puisi, maupun prosa. Sebagai pengarang, saya akan bekerja secara besar-besaran untuk mewujudkan cita-citaku, serta bekerja untuk menaikkan derajat dan peradaban Rakyat kami.





  • Door Duisternis tot Licht


Cita-cita dan gagasan Kartini yang maju itu ternyata banyak terbentuk dari karya-karyanya ketika masa pingitan hingga ia menikah. Salah satu karya inspiratif Kartini ialah surat-suratnya yang terkumpul dalam buku Door Duisternis tot Licht. Buku yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1911 di Semarang, Surabaya, dan Den Haag ini diprakarsai oleh Mr. J.H. Abendanon. Buku ini berisi 105 goresan pena yang terdiri dari surat, catatan harian, sajak dan nota18 Kartini perihal pendidikan dan pengajaran.


Buku goresan pena Kartini ini diterbitkan dengan tujuan untuk menarik perhatian dan meminta pertolongan orang dalam pengembangan sekolah putri pribumi yang menjadi harapan Kartini semasa hidupnya. Buku ini ternyata bisa menginspirasi pembacanya dan disambut dengan baik sehingga buku ini mengalami pencetakan berulang kali. Hasil penjualan buku ini dikumpulkan dalam perhimpunan ”Kartinifonds” di Den Haag dan akan dipakai untuk mendirikan sekolah putri dan membantu gadis-gadis pribumi.


“Surat itu penting benar dalam hidup kami; hampir semuanya kami peroleh dari berkirim-kiriman surat itulah; bila tiada pernah berkirim-kiriman surat itu, tiadalah akan hingga kami berani meninggalkan adat kebiasaan yang telah berabad-abad lamanya itu. Amatlah banyaknya barang yang indah jelita dan berharga tiba kepada kami dengan perantaraan post, mutiara, intan permata bagi otak dan hati.”(Surat kepada Mr. Abendanon, 8 Agustus 1902).


Surat-surat Kartini yang ada di dalam buku Door Duisternis tot Licht ini terdiri atas:



  • 14 surat kepada Estelle Zeehandelaar,

  • 8 surat kepada Nyonya M.C.E Ovink-Soer,

  • 3 surat kepada Tuan dan Nyonya Prof. Dr. G.K. Anton di Jena (Jerman),

  • 4 surat kepada Dr. N. Adriani,

  • 5 surat kepada Nyonya G.G. de Booij-Boissevain,

  • 3 surat kepada Ir. H.H. van Kol,

  • 7 suratkepada Nyonya Nelly van Kol,

  • 49 surat kepada Nyonya R.M. Abendanon,

  • dan 6 surat kepada E.C Abendanon (putra Mr. Abendanon).


Kartini menuliskan surat-suratnya bukan dengan bahasa Melayu atau bahasa Jawa, melainkan memakai bahasa Belanda terutama lantaran ia berkorespondensi lebih banyak dengan orang Belanda. Sastrawan Indonesia, Armijn Pane menerjemahkan surat-surat Kartini dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang.” Karena pengaruhnya yang cukup besar terutama bagi pribumi, seorang sastrawan Jawa berjulukan Raden Sosrosoegondo pun menerjemahkan surat Kartini dari bahasa Belanda ke bahasa Jawa.





  • Tulisan Inspiratif Kartini Lainnya 


Ketika berumur 16 tahun, Kartini telah menulis sebuah karangan antropologi perihal adat perkawinan golongan Koja di Jepara, yang kemudian diterbitkan dengan judul Het Huwelijk bij de Kodja‟s. Karangan antropologi perihal perkawinan kembali ia tulis, tetapi kali ini perihal perkawinan yang terjadi di kalangan pembesar pribumi. Ia terinspirasi materi ini sewaktu adiknya, Kardinah menikah pada tahun 1903. Lalu pada umur 19 tahun, Kartini menulis sebuah naskah berjudul Handchrift Jepara sewaktu diadakannya Pameran Nasional untuk Karya Wanita di Den Haag, Belanda pada tahun 1898. Tulisan itu Kartini buat untuk memperkenalkan keunggulan-keunggulan seni rakyat dan hasil kerajinan tangan negerinya terutama seni batik. Tulisan Kartini ini menjadi perhatian banyak orang di Belanda sehingga banyak dari antara mereka yang mulai menyukai hasil seni Jawa.


Kartini juga menulis sebuah artikel yang berjudul Van een Vergeten Uithoekje atau Dari Pojok yang Dilupakan demi membela para pengukir kayu di Jepara yang terancam kehilangan pekerjaannya kala itu. Tulisan-tulisan Kartini menyerupai yang disebutkan di atas ternyata semakin memperlihatkan bahwa ia sangat peduli akan kebudayaan Indonesia dan pelbagai polemik yang dialami kaum pribumi. Kita sanggup membayangkan, betapa agung pemikiran dan cita-citanya dari banyak sekali goresan pena yang telah ia buat.




3. Kartini dan Pendidikan 



  • Pandangan Kartini perihal Pendidikan 


Pendidikan, bagi Kartini menjadi sesuatu yang sangat mendasar lantaran baginya satu-satunya jalan untuk memajukan bangsa ialah melalui pendidikan. Ia beropini bahwa pendidikan itu bisa membuatkan setiap pribadi dengan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan pendidikan moral yang didapatkan. Kartini juga beropini bahwa pendidikan tidak cukup hanya diberikan kepada kaum laki-laki saja, namun kaum perempuan juga perlu memperoleh pendidikan yang sama.


Pandangan Kartini akan pendidikan pernah ia tulis dalam sebuah nota yang berjudul “Berikanlah Pendidikan kepada Bangsa Jawa (baca Indonesia)” yang ditujukan kepada Mr. J. Slingenberg yang pada tahun 1903 dipublikasikan melalui banyak sekali surat kabar. Isinya adalah:



“Siapakah yang akan menyangkal bahwa perempuan memegang peranan penting dalam hal pendidikan moral pada masyarakat. Dialah orang yang sangat sempurna pada tempatnya. Ia sanggup menyumbang banyak (atau boleh dikatakan terbanyak) untuk meninggikan taraf moral masyarakat. Alam sendirilah yang memperlihatkan kiprah itu padanya. Sebagai seorang ibu, perempuan merupakan pengajar dan pendidik yang pertama. Dalam pangkuannyalah seorang anak pertama-tama berguru merasa, berpikir, dan berbicara; dan dalam banyak hal pendidikan pertama ini mempunyai arti yang besar bagi seluruh hidup anak…”



Pandangan Kartini mengenai pendidikan ini memang tidak sanggup dilepaskan dari pengalaman empiris yang ia alami semenjak masa pingitan yang begitu menyiksa batinnya. Segala pengalaman ini telah memunculkan gagasan-gagasannya perihal pendidikan dan melahirkan sebuah harapan luhur untuk memajukan pribumi.


Secara garis besar, pokok-pokok pandangan Kartini perihal pendidikan ialah sebagai berikut:



  • Kunci kemajuan bangsanya terletak pada pendidikan; lantaran itu seluruh rakyat harus mendapatkan pendidikan tersebut.

  • Pendidikan sifatnya harus non-diskriminatif dan harus diberikan kepada siapa saja tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, agama, keturunan, kedudukan sosial dan sebagainya..

  • Pendidikan untuk rakyat yang bersifat nasional mencakup pendidikan sekolah (formal) dan juga pendidikan tabiat dan kepribadian anak-anak.

  • Kartini memandang bahwa begitu penting untuk secara khusus menyelenggarakan persekolahan bagi kaum wanita.


Gagasan Kartini perihal pendidikan terlihat terang dalam suratnya kepada E.C. Abendanon pada tanggal 15 Agustus 1902 yang berbunyi:


Duh, lantaran itu saya inginkan, hendaknya di lapangan pendidikan itu pembentukan tabiat diperhatikan dengan tidak kurang baiknya akan dan terutama sekali pendidikan ketabahan. Dalam pendidikan ini harus sanggup dikembangkan dalam diri kanak-kanak, terus-terus.





  • Terwujudnya Gagasan Pendidikan Kartini 


Gagasan Kartini perihal pendidikan, secara kasatmata terwujud melalui Sekolah Kartini yang ia dirikan bersama saudarinya Rukmini dan Kardinah. Bahkan sehabis Kartini wafat, Sekolah Kartini banyak didirikan menyerupai di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, dan Madiun. Pandangan Kartini mengenai pentingnya pendidikan bagi usaha memajukan bangsa secara tertulis tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yakni di dalam kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Gagasan-gagasan Kartini perihal pendidikan yang tercantum dalam perundangan Indonesia antara lain:



  1. Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 perihal pemerataan pendidikan yang sifatnya non diskriminatif. Gagasan tersebut ditegaskan dalam ayat 1 pasal 31 yang berbunyi, “Tiap-tiap warganegara berhak menerima pengajaran (pendidikan)” yang dalam perspektif Kartini ialah pendidikan tanpa membedakan gender atau suku bangsa.

  2. Gagasan perihal pendidikan juga tercantum dalam ayat 2 pasal 31 yang berisikan perihal kiprah pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran (pendidikan) nasional yang diatur dengan Undang-undang.

  3. TAP IV MPR/1978 perihal Garis-Garis Besar Haluan Negara mengenai tujuan pendidikan nasional kita, semakin menegaskan asas pendidikan yang mencakup pendidikan di sekolah dan di luar sekolah.

  4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 perihal Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 3 dalam Bab II UU Nomor 20 Tahun 2003 berbunyi,” Pendidikan nasional berfungsi membuatkan kemampuan dan membentuk tabiat serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi penerima didik semoga menjadi insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Undang-undang ini secara tidak eksklusif telah mengungkapkan pemikiran Kartini perihal pendidikan yang tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan namun juga pengembangan tabiat dan kepribadian yang baik.

  5. Pada pasal 4 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 juga terdapat buah pemikiran Kartini yang berbunyi,” Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.” Dalam gagasannya ini, Kartini memperjuangkan hak asasi insan terlebih bagi kaum perempuan semoga memperoleh pendidikan yang layak serta setara dengan kaum laki-laki.




Demikian Penjelasan Pelajaran IPS-Sejarah Tentang Ringkasan Sejarah R.A. Kartini, Masa Hidup dan Perjuangannya


Semoga Materi Pada Hari ini Bermanfaat Bagi Siswa-Siswi, Terima Kasih !!!


 


Baca Artikel Lainnya:




Sumber aciknadzirah.blogspot.com