Friday, February 23, 2018

√ Sistem Dan Struktur Politik-Ekonomi Indonesia Abad Orde Baru

Assalammualaikum, Selamat tiba di Kelas IPS. Disini Ibu Guru akan membahas wacana pelajaran Sejarah yaitu Tentang “Politik-Ekonomi Indonesia Masa Orde Baru “. Berikut dibawah ini penjelasannya:


 Disini Ibu Guru akan membahas wacana pelajaran  √ Sistem dan Struktur Politik-Ekonomi Indonesia Masa Orde Baru


Orde Baru yaitu suatu sistem pemerintahan yang hendak menerapkan tatanan kehidupan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Orde ini lahir setelah terjadinya bencana nasional pada tahun 1965.




Mengapa Orde Baru sanggup bertahan selama 32 tahun?  Karena Orde  Baru bisa membuat dan memelihara stabilitas sosial politik dengan mewujudkan pembangunan nasional yang dirancang secara sedikit demi sedikit dan berkesinambungan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).




Untuk menjawabnya, mari kita gunakan Peta Konsep sebagaimana digambarkan di atas sebagai kerangka berpikir untuk menjelaskan periode Orde Baru ini.





A. Masa Transisi 1966-1967


1. Aksi-Aksi Tritura


Naiknya Letnan Jenderal Soeharto ke dingklik kepresidenan tidak sanggup dilepaskan dari kejadian Gerakan 30  September 1965 atau G 30 S/PKI. Ini merupakan kejadian yang menjadi titik awal berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno dan hilangnya kekuatan politik PKI dari percaturan politik Indonesia.




Peristiwa tersebut telah menimbulkan kemarahan rakyat. Keadaan politik dan keamanan negara menjadi kacau, keadaan perekonomian makin memburuk dimana inflasi mencapai 600% sedangkan upaya pemerintah melaksanakan devaluasi rupiah dan kenaikan menimbulkan timbulnya keresahan masyarakat.




Aksi-aksi tuntutan penyelesaian yang seadil-adilnya terhadap pelaku G 30 S/ PKI semakin meningkat. Gerakan tersebut dipelopori oleh kesatuan agresi pemuda- pemuda, mahasiswa dan pelajar (KAPPI, KAMI, KAPI), kemudian muncul pula KABI (buruh), KASI (sarjana), KAWI (wanita), KAGI (guru) dan lain-lain. Kesatuan-kesatuan agresi tersebut dengan gigih menuntut penyelesaian politis yang terlibat G 30 S/PKI, dan kemudian pada tanggal 26 Oktober 1965 membulatkan barisan mereka dalam satu front, yaitu Front Pancasila.




Setelah lahir barisan Front Pancasila, gelombang demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI makin bertambah meluas. Situasi yang menjurus ke arah konflik politik makin bertambah panas oleh keadaan ekonomi yang semakin memburuk. Perasaan tidak puas terhadap keadaan dikala itu mendorong para cowok dan mahasiswa mencetuskan Tri Tuntutan Rakyat yang lebih dikenal dengan sebutan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat).




Pada 12 Januari 1966 dipelopori oleh KAMI dan KAPPI, kesatuan-kesatuan agresi yang tergabung dalam Front Pancasila mendatangi DPR-GR mengajukan tiga buah tuntutan yaitu: (1) Pembubaran PKI, (2) Pembersihan kabinet dari unsur-unsur G 30 S/ PKI, dan (3) Penurunan harga/perbaikan ekonomi.




Tuntutan rakyat banyak semoga Presiden Soekarno membubarkan PKI ternyata tidak dipenuhi presiden. Untuk menenangkan rakyat, Presiden Soekarno mengadakan perubahan Kabinet Dwikora menjadi Kabinet 100 Menteri, yang ternyata belum juga memuaskan hati rakyat lantaran di dalamnya masih bercokol tokoh-tokoh yang terlibat dalam kejadian G 30 S/PKI.




Pada dikala peresmian Kabinet 100 Menteri pada tanggal 24 Februari 1966, para mahasiswa, pelajar dan cowok memenuhi jalan-jalan menuju Istana Merdeka.




Aksi itu dihadang oleh pasukan Cakrabirawa sehingga menimbulkan bentrok antara pasukan Cakrabirawa dengan para demonstran yang menimbulkan gugurnya mahasiswa Universitas Indonesia berjulukan Arief Rachman Hakim. Sebagai akhir dari agresi itu keesokan harinya yaitu pada tanggal 25 Februari 1966 berdasarkan keputusan Panglima Komando Ganyang Malaysia (Kogam), yaitu Presiden Soekarno sendiri, KAMI dibubarkan.




Insiden berdarah yang terjadi ternyata menimbulkan makin parahnya krisis kepemimpinan nasional. Keputusan membubarkan KAMI dibalas oleh mahasiswa Bandung dengan mengeluarkan “Ikrar Keadilan dan Kebenaran” yang memprotes pembubaran KAMI dan mengajak rakyat untuk meneruskan perjuangan. Perjuangan KAMI kemudian dilanjutkan dengan munculnya massa Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI). Aksi-aksi tersebut, krisis nasional makin tidak terkendalikan.




Protes terhadap pembubaran KAMI juga dilakukan oleh Front Pancasila, dan meminta kepada pemerintah semoga meninjau kembali pembubaran  KAMI. Dalam suasana yang demikian, pada 8 Maret 1966 para pelajar dan mahasiswa yang melaksanakan demonstrasi menyerbu dan mengobrak–abrik gedung Departemen Luar Negeri. Selain itu, mereka juga mengkremasi kantor gosip Republik Rakyat Cina (RRC), Hsin Hua. Aksi para demonstran tersebut menimbulkan kemarahan Presiden Soekarno.




Pada hari itu juga presiden mengeluarkan perintah harian supaya semoga seluruh komponen bangsa waspada terhadap usaha-usaha “membelokkan jalannya revolusi kita ke kanan”, dan supaya siap sedia untuk menghancurkan setiap usaha yang eksklusif maupun tidak eksklusif bertujuan merongrong kepemimpinan, kewibawaan, atau kebijakan Presiden, serta memperhebat “pengganyangan terhadap Nekolim serta proyek “British Malaysia”.




2. Surat Perintah Sebelas Maret


Untuk mengatasi krisis politik yang memuncak, pada tanggal 11 Maret 1966 Soekarno mengadakan sidang kabinet. Sidang ini ternyata diboikot oleh para demonstran yang tetap menuntut Presiden Soekarno semoga membubarkan PKI, dengan melaksanakan pengempesan ban-ban kendaraan beroda empat pada jalan-jalan yang menuju ke Istana.




Belum usang Presiden berpidato dalam sidang, ia diberitahu oleh Brigjen. Sabur, Komandan Cakrabirawa bahwa di luar istana terdapat pasukan tanpa tanda pengenal dengan seragamnya. Meskipun ada jaminan dari Pangdam V/Jaya Amir Machmud, yang hadir waktu itu, bahwa keadaan tetap aman, Presiden Soekarno tetap merasa khawatir dan segera meninggalkan sidang.




Tindakan itu diikuti oleh Waperdam I Dr.Subandrio dan Waperdam III Dr. Chaerul Saleh yang bahu-membahu dengan Presiden segera menuju Bogor dengan helikopter. Sidang kemudian ditutup oleh Waperdam II Dr.J. Leimena, yang kemudian menyusul ke Bogor dengan mobil.




Sementara itu, tiga orang perwira tinggi TNI-AD, yaitu Mayjen. Basuki Rahmat, Brigjen. M Jusuf, dan Brigjen. Amir Machmud, yang juga mengikuti sidang paripurna kabinet, sepakat untuk menyusul Presiden Soekarno ke Bogor. Sebelum berangkat, ketiga perwira tinggi itu minta ijin kepada atasannya yakni Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto yang juga merangkap selaku panglima Kopkamtib.




Pada waktu itu Letnan Jenderal Soeharto sedang sakit sehingga diharuskan beristirahat di rumah. Niat ketiga perwira itu disetujuinya. Mayjen. Basuki Rachmat menanyakan apakah ada pesan khusus dari Letjen. Soeharto untuk Presiden Soekarno, Letjen Soeharto menjawab: “sampaikan saja bahwa saya tetap pada kesanggupan saya. Beliau akan mengerti”




Latar belakang dari ucapan itu ialah bahwa semenjak pertemuan mereka di Bogor pada tanggal 2 Oktober 1965 setelah meletusnya pemberontakan G-30-S/PKI. Antara Presiden Soekarno dengan Letjen. Soeharto terjadi perbedaan pendapat mengenai kunci bagi usaha meredakan pergolakan politik dikala itu. Menurut Letjen. Soeharto, pergolakan rakyat tidak akan reda sebelum rasa keadilan rakyat dipenuhi dan rasa ketakutan rakyat dihilangkan dengan jalan membubarkan PKI yang telah melaksanakan pemberontakan.




Sebaliknya Presiden Soekarno menyatakan bahwa ia mustahil membubarkan PKI lantaran hal itu bertentangan dengan kepercayaan Nasakom yang telah dicanangkan ke seluruh dunia. Dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya perbedaan paham itu tetap muncul. Pada suatu ketika Soeharto menyediakan diri untuk membubarkan PKI asal menerima kebebasan bertindak dari presiden. Pesan Soeharto yang disampaikan kepada ketiga orang perwira tinggi yang akan berangkat ke Bogor mengacu kepada kesanggupan tersebut.




Di Istana Bogor ketiga perwira tinggi mengadakan pembicaraan dengan Presiden yang didampingi oleh Dr. Subandrio, Dr. J Leimena, dan Dr. Chaerul Saleh. Sesuai dengan kesimpulan pembicaraan, ketiga perwira tinggi tersebut bersama dengan komandan Resimen Cakrabirawa, Brigjen. Sabur, kemudian diperintahkan membuat konsep surat perintah kepada Letjen.




Soeharto untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah. Setelah dibahas bersama, hasilnya Presiden Soekarno menandatangani surat perintah yang kemudian terkenal dengan nama Surat Perintah 11 Maret, atau SP 11 Maret, atau Supersemar.




Supersemar berisi pemberian mandat kepada Letjen. Soeharto selaku Panglima Angkatan Darat dan Pangkopkamtib untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah. Dalam menjalankan tugas, peserta mandat diharuskan melaporkan segala sesuatu kepada presiden. Mandat itu kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar). Keluarnya Supersemar dianggap sebagai tonggak lahirnya Orde Baru.




Tindakan pertama yang dilakukan oleh Soeharto keesokan harinya setelah mendapatkan Surat Perintah tersebut yaitu membubarkan dan melarang PKI beserta organisasi massanya yang bernaung dan berlindung ataupun seasas dengannya di seluruh Indonesia, terhitung semenjak tanggal 12 Maret 1966. Pembubaran itu menerima dukungan dari rakyat, lantaran dengan demikian salah satu di antara Tritura telah dilaksanakan.




Selain itu Letjen. Soeharto juga menyerukan kepada pelajar dan mahasiswa untuk kembali ke sekolah. Tindakan berikutnya berdasarkan Supersemar yaitu dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 5 tanggal 18 Maret 1966 wacana penahanan 15 orang menteri yang diduga terkait dengan pemberontakan G 30 S/PKI ataupun dianggap memperlihatkan iktikad tidak baik dalam penyelesaian masalah itu.




Demi    lancarnya    tugas   pemerintah, Letjen. Soeharto  mengangkat  lima  orang menteri koordinator ad interim yang menjadi Presidium Kabinet. Kelima orang tersebut ialah Sultan Hamengku Buwono IX, Adam Malik. Dr. Roeslan Abdulgani, Dr. K.H. Idham Chalid dan Dr. J. Leimena.




3. Dualisme Kepemimpinan Nasional


Memasuki tahun 1966 terlihat tanda-tanda krisis kepemimpinan nasional yang mengarah pada dualisme kepemimpinan. Di satu pihak Presiden Soekarno masih menjabat presiden, namun pamornya telah kian merosot. Soekarno dianggap tidak aspiratif terhadap  tuntutan  masyarakat  yang  mendesak  semoga PKI dibubarkan.




Hal ini ditambah lagi dengan ditolaknya pidato pertanggungjawabannya hingga dua kali oleh MPRS. Sementara itu Soeharto setelah menerima Surat Perintah Sebelas Maret dari Presiden Soekarno dan sehari sesudahnya membubarkan PKI, namanya semakin populer.




Dalam pemerintahan yang masih dipimpin oleh Soekarno, Soeharto sebagai pengemban Supersemar, diberi mandat oleh MPRS untuk membentuk kabinet, yang diberi nama Kabinet Ampera.




Meskipun Soekarno masih memimpin sebagai pemimpin kabinet, tetapi pelaksanaan pimpinan dan kiprah harian dipegang oleh Soeharto. Kondisi menyerupai ini berakibat pada munculnya “dualisme kepemimpinan nasional”, yaitu Soekarno sebagai pimpinan pemerintahan sedangkan Soeharto sebagai pelaksana pemerintahan.




Presiden Soekarno sudah tidak banyak melaksanakan tindakan-tindakan pemerintahan, sedangkan sebaliknya Letjen. Soeharto banyak menjalankan tugas-tugas harian pemerintahan.




Adanya “Dualisme kepemimpinan nasional” ini hasilnya menimbulkan kontradiksi politik dalam masyarakat, yaitu mengarah pada munculnya pendukung Soekarno dan pendukung Soeharto. Hal ini terang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.




Dalam Sidang MPRS yang digelar semenjak final bulan Juni hingga awal Juli 1966 memutuskan menjadikan Supersemar sebagai Ketetapan (Tap) MPRS. Dengan dijadikannya Supersemar sebagai Tap MPRS secara aturan Supersemar tidak lagi bisa dicabut sewaktu-waktu oleh Presiden Soekarno. Bahkan, secara aturan Soeharto mempunyai kedudukan yang sama dengan Soekarno, yaitu Mandataris MPRS.




Dalam Sidang MPRS itu juga, majelis mulai membatasi hak prerogatif Soekarno selaku presiden. Secara eksplisit dinyatakan bahwa gelar “Pemimpin Besar Revolusi” tidak lagi mengandung kekuatan hukum. Presiden sendiri masih diizinkan untuk membacakan pidato pertanggungjawabannya yang diberi judul “Nawaksara”.




Pada tanggal 22 Juni 1966, presiden Soekarno memberikan pidato “Nawaksara” dalam persidangan MPRS. “Nawa” berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti sembilan, dan “Aksara” berarti huruf atau istilah. Pidato itu memang berisi sembilan pokok masalah yang dianggap penting oleh Presiden Soekarno selaku mandataris MPR.




Isi pidato tersebut hanya sedikit menyinggung sebab-sebab meletusnya kejadian berdarah yang terjadi pada tanggal 30 September 1965. Pengabaian kejadian yang menjadikan gugurnya sejumlah jenderal angkatan darat itu tidak memuaskan anggota MPRS.




Melalui Keputusan Nomor 5/MPRS/1966, MPRS memutuskan untuk minta kepada presiden semoga melengkapi laporan pertanggungjawabannya, khususnya mengenai sebab-sebab terjadinya kejadian Gerakan 30 September beserta epilognya dan masalah kemunduran ekonomi serta akhlak.




Pada tanggal 10 Januari 1967 Presiden memberikan surat kepada pimpinan MPRS yang berisi Pelengkap Nawaksara (Pelnawaksara). Dalam Pelnawaksara itu Presiden mengemukakan bahwa Mandataris MPRS hanya mempertanggungjawabkan pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara dan bukan hal-hal yang lain.




Nawaksara baginya hanya sebagai progress report yang ia sampaikan secara sukarela. Ia juga menolak untuk seorang diri mempertanggungjawabkan terjadinya kejadian Gerakan 30 September, kemerosotan ekonomi, dan akhlak.




Sementara itu, sebuah kabinet gres telah terbentuk dan diberi nama Kabinet Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Kabinet tersebut diresmikan pada 28 Juli 1966. Kabinet ini mempunyai kiprah pokok untuk membuat stabilitas politik dan ekonomi.




Program kabinet tersebut antara lain yaitu memperbaiki kehidupan rakyat, terutama di bidang sandang dan pangan, dan melaksanakan pemilihan umum sesuai dengan Ketetapan MPR RI No. XI/ MPRS/1966. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, Presiden Soekarno yaitu pemimpin Kabinet. Akan tetapi pelaksanaan pimpinan pemerintahan dan kiprah harian dilakukan oleh Presidium Kabinet yang diketuai oleh Letnan Jenderal Soeharto.




Sehubungan dengan permasalahan yang ditimbulkan oleh “Pelengkap Nawaksara” dan bertambah gawatnya keadaan politik pada  9  Februari  1967 DPR-GR mengajukan resolusi dan memorandum kepada MPRS semoga mengadakan Sidang Istimewa. Sementara itu, usaha-usaha untuk menenangkan keadaan berjalan terus.




Untuk itu pimpinan ABRI mengadakan pendekatan pribadi kepada Presiden Soekarno semoga ia menyerahkan kekuasaan kepada pengemban ketetapan MPRS RI No. IX/MPRS/1966, yaitu Jenderal Soeharto sebelum Sidang Umum MPRS. Hal ini untuk mencegah perpecahan di kalangan rakyat dan untuk menyelamatkan lembaga kepresidenan dan pribadi Presiden Soekarno.




Salah seorang sobat Soekarno, Mr. Hardi, menemui Presiden Soekarno dan memohon semoga Presiden Soekarno membuka prakarsa untuk mengakhiri dualisme kepemimpinan negara, lantaran dualisme kepemimpinan  inilah  yang menjadi sumber konflik politik yang tidak kunjung berhenti. Mr. Hardi menyarankan semoga Soekarno sebagai mandataris MPRS, menyatakan non aktif di depan sidang Badan Pekerja MPRS dan menyetujui pembubaran PKI. Presiden Soekarno menyetujui saran Mr. Hardi. Untuk itu disusunlah “Surat Penugasan mengenai Pimpinan Pemerintahan Sehari-hari kepada Pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966.




Kemudian, Presiden menulis nota pribadi kepada Jenderal Soeharto. Pada 7 Februari 1967, Mr. Hardi menemui Jenderal Soeharto dan menyerahkan konsep tersebut. Pada 8 Februari 1967, Soeharto membahas surat Presiden bersama keempat Panglima Angkatan.




Para panglima berkesimpulan bahwa draft surat tersebut tidak sanggup diterima lantaran bentuk surat penugasan tersebut tidak membantu menuntaskan situasi konflik. Kesimpulan itu disampaikan Soeharto kepada Presiden Soekarno pada 10 Februari 1967. Presiden menanyakan kemungkinan mana yang terbaik. Soeharto mengajukan draft berisi pernyataan bahwa Presiden berhalangan atau menyerahkan kekuasaan kepada Pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966.




Pada awalnya Presiden Soekarno tidak berkenan dengan usulan draft tersebut, namun kemudian perilaku Presiden Soekarno melunak, ia memerintahkan semoga Soeharto beserta Panglima Angkatan berkumpul di Bogor pada hari Minggu tanggal 19 Februari 1967.




Presiden menyetujui draft yang dibuat, dan pada tanggal 20 Februari draft surat itu telah ditandatangani oleh Presiden. Ia meminta semoga diumumkan pada hari Rabu tanggal 22 Februari 1967. Tepat pada pukul 19.30, Presiden Soekarno membacakan pengumuman resmi pengunduran dirinya.




Pada tanggal 12 Maret 1967 Jenderal Soeharto dilantik menjadi Pejabat Presiden Republik Indonesia oleh Ketua MPRS Jenderal Abdul Haris Nasution. Setelah setahun menjadi pejabat presiden, Soeharto dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada tanggal 27 Maret 1968 dalam Sidang Umum V MPRS.




Melalui Tap No. XLIV/MPRS/1968, Jenderal Soeharto dikukuhkan sebagai Presiden Republik Indonesia hingga terpilih presiden oleh MPR hasil pemilu. Pengukuhan tersebut menandai berakhirnya dualisme kepemimpinan nasional dan dimulainya pemerintahan Orde Baru.




B. Stabilisasi Politik dan Rehabilitasi Ekonomi


Terbentuknya pemerintahan Orde Baru yang diawali dengan keputusan Sidang spesial MPRS tanggal 12 Maret 1967 yang memutuskan Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden. Kedudukannya itu semakin besar lengan berkuasa setelah pada 27 Maret 1968, MPRS mengukuhkannya sebagai presiden penuh. Pengukuhan tersebut sanggup dijadikan indikator dimulainya kekuasaan Orde Baru.




Setelah memperoleh kekuasaan sepenuhnya, pemerintah Orde Baru mulai menjalankan kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi yang telah ditetapkan oleh Sidang MPRS tahun-tahun sebelumnya, menyerupai Stabilitas Politik Keamanan (Tap MPRS No.IX/1966), Stabilitas Ekonomi (Tap MPRS No.XXIII/19 66), dan Pemilihan Umum (Tap MPRS No.XI/1966).




Pemerintahan Orde Baru memandang bahwa selama Orde Lama telah terjadi penyimpangan terhadap pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Di antara penyimpangan tersebut yaitu pelaksanaan Demokrasi Terpimpin  dan pelaksanaan politik luar negeri yang cenderung memihak blok komunis (Blok Timur).




Sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh MPRS, maka pemerintahan Orde Baru segera berupaya menjalankan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila secara konsekuen dengan melaksanakan rehabilitasi dan stabilisasi politik dan keamanan (polkam). Tujuan dari rehabilitasi dan stabilisasi tersebut yaitu semoga dilakukan pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.




Dalam melaksanakan rehabilitasi dan stabilisasi Polkam, pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto memakai suatu pendekatan yang dikenal sebagai pendekatan keamanan (security approach), termasuk  di dalamnya de-Soekarnoisasi dan depolitisasi kekuatan-kekuatan organisasi sosial politik (orsospol) yang dinilai akanmerongrong kewibawaan pemerintah.




Seiring dengan itu, dibuat lembaga-lembaga stabilisasi seperti; Kopkamtib (pada 1 November 1965), Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional (11 Agustus 1966), dan Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (1 Agustus 1970).




Mengenai kebijakan politik luar negeri yang dipandang menyimpang, pemerintah Orde Baru berupaya mengembalikan Indonesia dari politik Nefos- Oldefos dan “Poros Jakarta-Pnom Penh-Hanoi-Peking-Pyongyang” ke politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif.




Tujuan dari politik luar negeri pun diarahkan untuk sanggup dilakukannya pembangunan kesejahteraan rakyat. Hal itu tampak dari pernyataan Jenderal Soeharto sebagai pemegang mandat Supersemar tanggal 4 April 1966, ia menyatakan bahwa Indonesia akan menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif, yang mengabdi kepada kepentingan bangsa dan ditujukan untuk mencapai kesejahteraan rakyat.




Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, maka politik luar negeri Indonesia akan ditujukan pada ekspansi kolaborasi ekonomi dan keuangan antara Indonesia dengan dunia luar, baik Timur maupun Barat, selama kolaborasi itu menguntungkan bagi kepentingan Indonesia.




Sebagai wujud nyata dari niat itu, Indonesia memulihkan kembali kekerabatan baik dengan Malaysia termasuk Singapura yang sempat terganggu akibat  kebijakan  konfrontasi  Indonesia  1963-1966.  Di  samping  itu, semenjak 28 September 1966, Indonesia kembali aktif di lembaga Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB).




Pada era Orde Lama, Indonesia pada 1 Januari 1965, keluar dari lembaga tersebut. Langkah berikutnya, Indonesia bersama Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina membentuk organisasi kolaborasi regional ASEAN (Association of South East Asian Nation) di Bangkok 8 Agustus 1967. Tujuan pembentukan ASEAN ini yaitu untuk meningkatkan kerjasama regional khususnya di bidang ekonomi dan budaya.




1. Stabilisasi Politik dan Keamanan sebagai Dasar Pembangunan


Orde Baru mencanangkan banyak sekali konsep dan acara pembangunan nasional yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Langkah pertama melaksanakan pembangunan nasional tersebut yaitu dengan membentuk Kabinet Pembangunan I pada 6 Juni 1968. Program Kabinet Pembangunan I dikenal dengan sebutan Pancakrida Kabinet Pembangunan, yang berisi:



  • Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak berhasilnya pelaksanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan Pemilihan Umum (Pemilu);

  • Menyusun dan merencanakan Repelita;

  • Melaksanakan Pemilu selambat-lambatnya pada Juli 1971;

  • Mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis habis sisa-sisa G 30/S/PKI dan setiap bentuk r o n g r o n g a n penyelewengan, serta pengkhianatan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan

  • Melanjutkan penyempurnaan dan pencucian secara menyeluruh aparatur negara baik di pusat maupun di daerah dari unsur-unsur komunisme.


Dalam rangka membuat kondisi politik yang stabil dan aman bagi terlaksananya amanah rakyat melalui TAP MPRS No.IX/MPRS/1966, yaitu melaksanakan pemilihan umum (Pemilu), pemerintah Orde Baru melaksanakan ‘pelemahan’atau mengeliminasi kekuatan-kekuatan yang secara historis dinilai berpotensi mengganggu stabilitas dan merongrong kewibawaan pemerintah.




Pelemahan itu dilakukan antara lain terhadap pendukung Soekarno, kelompok Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan kelompok Islam fundamentalis (yang sering disebut kaum ekstrim kanan). Selain itu, pemerintahan Soeharto juga membuat kekuatan politik sipil gres yang dalam pandangannya lebih gampang dikendalikan. Organisasi itu yaitu Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) yang kemudian lebih dikenal dengan nama Golkar.




Berdasarkan Tap MPRS No IX/MPRS/1966, pemerintah diharapkan segera melaksanakan pemilu pada tahun 1968. Namun lantaran banyak sekali pertimbangan politik dan keamanan, pemilu gres sanggup diselenggarakan pada 1971. Lembaga Pemilu sebagai pelaksana pemilu dibuat dan ditempatkan di bawah koordinasi Departemen Dalam Negeri, sedangkan peserta pemilu ditetapkan melalui Keputusan Presiden No. 23 tanggal 23 Mei 1970.




Berdasarkan surat keputusan itu, jumlah partai politik (parpol) yang diijinkan ikut serta dalam pemilu yaitu 9 parpol, yaitu: NU, Parmusi, PSII, Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), Partai Katolik Indonesia, Partai Khatolik, Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) ditambah dengan Golkar.




Adapun perolehan bunyi hasil pemilu 1971 yaitu sebagai berikut: Golkar (236 kursi; 62,82%), NU (58 kursi;18,68%), Parmusi (24 kursi; 5,56%), PNI (20 kursi; 6,93%), PSII (10 kursi; 2,39%), dan Parkindo (10 kursi; 2,39%). (Anhar Gonggong ed, 2005: 150).




Pada final tahun 1971, pemerintah Orde Baru melemparkan gagasan penyederhanaan partai politik dengan alasan–alasan tertentu, menyerupai masalah pada masa “Demokrasi Parlementer”. Pada masa itu, banyaknya partai dianggap tidak memudahkan pembangunan, justru sebaliknya menambah permasalahan. Penyebabnya bukan hanya lantaran persaingan antarparpol, melainkan juga persaingan di dalam tubuh parpol antara para pemimpinnya tidak jarang memicu timbulnya krisis.




Bahkan perpecahan yang dinilai bisa mengganggu stabilitas polkam. Atas dasar itu, pemerintah beropini perlu adanya penyederhanaan partai sebagai pecahan dari pelaksanaan demokrasi Pancasila. Pada awalnya banyak parpol yang menolak gagasan itu yang sedikit banyak dinilai telah menutup aspirasi kebebasan berkumpul dan berserikat yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Namun, adanya tekanan pemerintah menimbulkan mereka tidak mempunyai pilihan lain.




Realisasi penyederhanaan partai tersebut dilaksanakan melalui Sidang Umum MPR tahun 1973. Sembilan partai yang ada berfusi ke dalam dua partai baru, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Empat Partai Islam, yaitu Nahdatul Ulama/NU, Parmusi, Partai Sarekat Islam Indonesia/PSII, dan Perti bergabung dalam PPP.




Sementara itu lima partai non Islam, yaitu PNI, Partai Katolik Indonesia (Parkindo), Partai Khatolik, Partai Murba, dan IPKI bergabung dalam PDI. Selain kedua kelompok tersebut ada pula kelompok Golkar yang semula berjulukan Sekber Golkar. Pengelompokkan tersebut secara formal berlaku pula di lingkungan dewan perwakilan rakyat dan MPR. (Gonggong dan Asy’arie, ed, 2005).




Di samping melaksanakan penyederhanaan partai, pemerintah memutuskan pula konsep “massa mengambang”. Partai-partai dihentikan mempunyai cabang atau ranting di tingkat kecamatan hingga pedesaan. Sementara itu jalur parpol ke tubuh birokrasi juga terpotong dengan adanya ketentuan semoga pegawai negeri sipil menyalurkan suaranya ke Golkar (monoloyalitas).




Pemerintahan Orde Baru berhasil melaksanakan pemilihan umum sebanyak enam kali yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu 1971 diikuti oleh 58.558.776 pemilih untuk menentukan 460 orang anggota dewan perwakilan rakyat dimana 360 orang anggota dipilih dan 100 orang diangkat.




Semua pemilu yang dilakukan pada masa Orde Baru dimenangkan oleh Golkar. Hal itu disebabkan oleh pengerahan kekuatan-kekuatan penyokong Orde Baru untuk mendukung Golkar. Kekuatan-kekuatan penyokong Golkar yaitu pegawapemerintah pemerintah (Pegawai Negeri Sipil) dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).




Melalui kekuatan-kekuatan tersebut, pemerintah mengarahkan masyarakat untuk menentukan Golkar. Meskipun anggota ABRI tidak terlibat dalam Golkar secara langsung, para anggota keluarga dan pensiunan ABRI (Purnawirawan) banyak terlibat dan memperlihatkan dukungan penuh kepada Golkar.




Semua pegawai negeri sipil diwajibkan menjadi anggota Golkar. Dengan dukungan Pegawai Negeri Sipil dan ABRI, Golkar dengan leluasa menjangkau masyarakat luas di banyak sekali tempat dan tingkatan. Dari tingkatan masyarakat atas hingga bawah. Dari kota hingga pelosok desa.




Penyelenggaraan pemilu selama Orde Baru menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia sudah tercipta dengan baik. Apalagi pemilu-pemilu tersebut berlangsung dengan slogan “Luber” (Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia). Suara-suara ketidakpuasan dari masyarakat terhadap demokrasi dikesampingkan.




Ketidakpuasan yang ada di masyarakat contohnya mengenai dibatasinya jumlah partai-partai politik dan pengerahan Pegawai Negeri Sipil dan ABRI, serta anggota keluarga mereka untuk mendukung Golkar.




Selain melaksanakan depolitisasi terhadap orsospol (pelarangan kegiatan partai politik) di tingkat kecamatan dan desa (di mana partai-partai politik dihentikan mempunyai cabang atau ranting di tingkat pedesaan, depolitisasi juga diberlakukan di dunia pendidikan, terutama setelah terjadinya kejadian Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) tahun 1974.




Peristiwa itu diawali oleh kegiatan para penggerak mahasiswa yang tergabung dalam grup-grup diskusi yang mengkritisi banyak sekali kebijakan pemerintah. Kritik-kritik mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah mulai terjadi semenjak awal tahun 1970-an, berawal dari grup-grup diskusi di kampus Universitas Indonesia (Salemba), berlanjut dengan keputusan para mahasiswa untuk melaksanakan demonstrasi menentang kenaikan harga bensin dan menuntut pemberantasan korupsi.




Para mahasiswa juga meminta pemerintah untuk meninjau kembali seni administrasi pembangunan yang hanya menguntungkan kaum kaya. Pada final Repelita I mahasiswa mensinyalir terjadinya penyelewengan jadwal pembangunan nasional yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah. Kebijakan ekonomi yang memperlihatkan keistimewaan kepada investor Jepang, dinilai merugikan rakyat.




Ketika mereka mendengar rencana  kedatangan  Perdana  Menteri Jepang Tanaka ke Indonesia pada tanggal 14 Januri 1974, para mahasiswa memanfaatkan momentum tersebut untuk berdemostrasi memberikan tuntutannya. Menjelang kedatangan PM Tanaka, para mahasiswa berdemonstrasi di depan kantor Ali Moertopo dengan mengkremasi boneka- boneka yang menggambarkan diri PM Tanaka serta Sudjono Humardani, Asisten Pribadi (Aspri) Presiden.




Kemudian setelah PM Tanaka tiba di Indonesia, ribuan mahasiswa berbaris menuju pusat kota dengan membuatkan plakat-plakat yang menuntut pembubaran Aspri Presiden, penurunan harga, dan pemberantasan korupsi. Demonstrasi yang tadinya berjalan damai, tiba-tiba menjelma liar tidak terkendali yang hasilnya berkembang menjadi huru-hara. Mobil-mobil Jepang dibakar, etalase gedung importir Toyota Astra Company dihancurkan, pabrik Coca Cola diserang, dan kompleks pertokoan Senen dijarah dan dibakar (Crouch, 1999:354). Sebagai buntut dari kejadian tersebut, 700 orang ditahan dan 45 orang di antaranya dipenjara.




Untuk meredam gerakan mahasiswa, dikeluarkan SK/028/1974 wacana petunjuk-petunjuk Kebijaksanaan dalam Rangka Pembinaan Kehidupan Kampus Perguruan Tinggi. Demonstrasi dilarang. Kegiatan kemahasiswaan difokuskan pada bidang budi sehat menyerupai diskusi dan seminar.




Selain mengembalikan setiap dinamika kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan dalam kerangka ketaatan terhadap Pancasila sebagai road map idiologis, pemerintah Orde Baru menghimpun energi semua komponen bangsa ke dalam acara bersama yang diformulasikan dalam bentuk Trilogi Pembangunan. Suatu planning kemandirian bangsa yang diletakkan pada pilar stabilitas, pembangunan di segala bidang dan pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya kepada seluruh rakyat.




Semua penghalang pembangunan, termasuk segala hal yang sanggup memicu munculnya instabilitas bangsa harus disingkirkan. Itulah kira-kira makna pesan yang terangkum dalam Trilogi Pembangunan, yaitu terwujudnya stabilitas politik dan keamanan, pembangunan di segala aspek kehidupan dan pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya.




Trilogi Pembangunan itu tidak lain merupakan suatu planning bangsa Indonesia yang digelorakan Presiden Soeharto untuk mewujudkan tujuan negara sebagaimana amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.




Negara yang ingin diwujudkan yaitu sebuah pemerintahan yang sanggup melindungi segenap bangsa, bisa memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan bisa turut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian kekal dan keadilan sosial. Tujuan negara itu harus dicapai dengan berdasarkan Pancasila.




Stabilitas nasional sendiri mencakup stabilitas keamanan, ekonomi dan politik. Stabilitas nasional bukan hanya merupakan prasyarat terselenggaranya pembangunan, akan tetapi merupakan amanat sila kedua Pancasila untuk terwujudnya “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”.




Kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain dan resultan dari kebebasan masing- masing individu itu berupa pranata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berkeadaban. Oleh lantaran itu, merupakan kebenaran universal di manapun jikalau bentuk-bentuk tindakan yang tidak beradab dalam aspek apapun tidak sanggup ditoleransi.




Dari semua usaha-usaha yang dilakukan oleh Presiden Soeharto pada masa awal pemerintahannya, semuanya bertujuan untuk menggerakkan jalannya kegiatan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi bisa berjalan dengan baik jikalau ada stabilitas politik dan keamanan.




2. Stabilisasi Penyeragaman


Depolitisasi parpol dan ormas juga dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru melalui cara penyeragaman ideologis melalui ideologi Pancasila. Dengan  alasan  Pancasila  telah  menjadi  konsensus  nasional, keseragaman dalam pemahaman Pancasila perlu disosialisasikan.




Gagasan ini disampaikan oleh Presiden Soeharto pada jadwal Hari Ulang Tahun ke-25 Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, 19 Desember 1974. Kemudian dalam pidatonya menjelang pembukaan Kongres Nasional Pramuka pada 12 Agustus 1976, di Jakarta, Presiden Soeharto menyerukan kepada seluruh rakyat semoga berikrar pada diri sendiri mewujudkan Pancasila dan mengajukan Eka Prasetya bagi ikrar tersebut.




Presiden Soeharto mengajukan nama Eka Prasetya Pancakarsa dengan maksud menegaskan bahwa penyusunan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dipandang sebagai janji yang teguh, kuat, konsisten, dan nrimo untuk mewujudkan lima cita-cita, yaitu:



  1. takwa kepada Tuhan YME dan menghargai orang lain yang berlainan agama/kepercayaan;

  2. mencintai sesama insan dengan selalu ingat kepada orang lain, tidak sewenang-wenang;

  3. mencintai tanah air, menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi;

  4. demokratis dan patuh pada putusan rakyat yang sah;

  5. suka menolong orang lain, sehingga sanggup meningkatkan kemampuan orang lain (Referensi Bahan Penataran P4 dalam Anhar Gonggong ed, 2005: 159).




Presiden kemudian mengajukan draft P4 ini kepada MPR. Akhirnya, pada 21 Maret 1978 rancangan P4 disahkan menjadi Tap MPR No.II/ MPR/1978. Setelah disahkan MPR, pemerintah membentuk komisi Penasehat Presiden mengenai P4 yang dipimpin oleh Dr. Roeslan Abdulgani.




Sebagai tubuh pelaksananya dibuat Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksana P4 (BP7) yang berkedudukan di Jakarta. Tugasnya yaitu untuk mengkoordinasi pelaksanaan jadwal penataran P4 yang dilaksanakan pada tingkat nasional dan regional.




Tujuan penataran P4 yaitu membentuk pemahaman yang sama mengenai Demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara.




Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang besar lengan berkuasa terhadap pemerintah Orde Baru. Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi sehingga Pancasila menjadi pecahan dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia.




Pegawai negeri (termasuk pegawai BUMN), baik sipil maupun militer diharuskan mengikuti penataran P4. Kemudian para pelajar, mulai dari sekolah menengah hingga Perguruan Tinggi diharuskan mengikuti penataran P4 yang dilakukan pada setiap awal tahun aliran atau tahun akademik.




Melalui penataran P4 itu, pemerintah juga memperlihatkan pementingan pada masalah “suku”, “agama”, “ras”, dan “antargolongan” (SARA). Menurut pemerintah Orde Baru, “sara” merupakan masalah yang sensitif di Indonesia yang sering menjadi penyebab timbulnya konflik atau kerusuhan sosial. Oleh lantaran itu, masyarakat tidak boleh mempermasalahkan hal-hal yang berkaitan dengan SARA.




Secara tidak eksklusif masyarakat dipaksa untuk berpikir seragam; dengan kata lain yang lebih halus, harus mau bersikap toleran dalam arti tidak boleh membicarakan atau menonjolkan perbedaan yang berkaitan dengan masalah sara. Meskipun demikian, hasilnya konflik yang bermuatan SARA itu tetap tidak sanggup dihindari. Pada tahun 1992 misalnya, terjadi konflik antara kaum muslim dan nonmuslim di Jakarta (Ricklefs, 2005: 640). Demikian pula halnya dengan P4.




Setelah beberapa tahun berjalan, kritik tiba dari banyak sekali kalangan terhadap pelaksanaan P4. Berdasarkan pengamatan di lapangan banyak peserta penataran pada umumnya merasa muak terhadap P4. Fakta ini kemudian disampaikan kepada presiden semoga masalah P4 ditinjau kembali.




Setelah P4 menjadi Tap MPR dan dilaksanakan, selanjutnya orsospol yang diseragamkan dalam arti harus mau mendapatkan Pancasila sebagai satu-satunya asas partai dan organisasi, yang dikenal dengan sebutan “asas tunggal”. Gagasan asas tunggal ini disampaikan oleh Presiden Soeharto dalam pidato pembukaan Rapat Pimpinan ABRI (Rapim ABRI), di Pekanbaru, Riau, tanggal 27 Maret 1980 dan dilontarkan kembali pada jadwal ulang tahun Korps Pasukan Sandi Yudha (Kopasandha) di Cijantung, Jakarta 16 April 1980.




Gagasan asas tunggal ini pada awalnya menimbulkan reaksi yang cukup keras dari banyak sekali pemimpin umat Islam dan beberapa purnawirawan militer ternama. Meskipun menerima kritikan dari banyak sekali kalangan, Presiden Soeharto tetap meneruskan gagasannya itu dan membawanya ke MPR. Melalui Sidang MPR ‘Asas Tunggal” hasilnya diterima menjadi ketetapan MPR, yaitu; Tap MPR No.II/1983. Kemudian pada 19 Januri 1985, pemerintah dengan persetujuan DPR, mengeluarkan Undang-Undang No.3/1985 yang memutuskan bahwa partai-partai politik dan Golkar harus mendapatkan Pancasila sebagai asas tunggal mereka.




Empat bulan  kemudian,  pada  tanggal  17  Juni 1985, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.8/1985 wacana ormas, yang memutuskan bahwa seluruh organisasi sosial atau massa harus mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal mereka. Sejak dikala itu tidak ada lagi orsospol yang berasaskan lain selain Pancasila, semua sudah seragam.




Demokrasi Pancasila yang mengakui hak hidup “Bhinneka Tunggal Ika”, dipergunakan oleh pemerintah Orde Baru untuk mematikan kebhinekaan, termasuk memenjarakan atau mencekal tokoh-tokoh pengkritik kebijakan pemerintah Orde Baru.




3. Penerapan Dwi fungsi ABRI


Konsep Dwifungsi ABRI sendiri dipahami sebagai “jiwa, tekad dan semangat dedikasi ABRI, untuk bahu-membahu dengan kekuatan usaha lainnya, memikul kiprah dan tanggung jawab usaha bangsa Indonesia, baik di bidang hankam negara maupun di bidang kesejahteraan bangsa dalam rangka penciptaan tujuan nasional, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.”




Berangkat dari pemahaman tersebut, ABRI mempunyai keyakinan bahwa kiprah mereka tidak hanya dalam bidang Hankam namun juga non-Hankam. Sebagai kekuatan hankam, ABRI merupakan suatu unsur dalam lingkungan aparatur pemerintah yang bertugas di bidang kegiatan “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.”




Sebagai kekuatan sosial, ABRI yaitu suatu unsur dalam kehidupan politik di lingkungan masyarakat yang bahu-membahu dengan kekuatan sosial lainnya secara aktif melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan nasional.




Dwifungsi ABRI, menyerupai yang sudah dijelaskan sebelumnya diartikan bahwa ABRI mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi sebagai pusat kekuatan militer Indonesia dan juga fungsinya di bidang politik.




Dalam pelaksanaannya pada era Soeharto, fungsi utama ABRI sebagai kekuatan militer Indonesia memang tidak sanggup dikesampingkan, namun pada era ini, kiprah ABRI dalam bidang politik terlihat lebih signifikan seiring dengan diangkatnya Presiden Soeharto oleh MPRS pada tahun 1968.




Secara umum, intervensi ABRI dalam bidang politik pada masa Orde Baru yang mengatasnamakan Dwifungsi ABRI ini salah satunya yaitu dengan ditempatkannya militer di DPR, MPR, serta DPD tingkat provinsi dan kabupaten.




Perwira yang aktif, sebanyak seperlima dari jumlahnya menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), dimana mereka bertanggung jawab kepada komandan setempat, sedangkan yang di MPR dan  dewan perwakilan rakyat tingkat nasional bertanggung jawab eksklusif kepada panglima ABRI.




Selain itu, para anggota ABRI juga menempati posisi formal dan informal dalam pengendalian Golkar serta mengawasi penduduk melalui gerakan teritorial di seluruh daerah dari mulai Jakarta hingga ke daerah-daerah terpencil, salah satunya dengan gerakan AMD (ABRI Masuk Desa).




Keikutsertaan militer dalam bidang politik secara umum bersifat antipartai. Militer percaya bahwa mereka merupakan pihak yang setia kepada modernisasi dan pembangunan. Sedangkan partai politik dipandang mempunyai kepentingan-kepentingan golongan tersendiri.




Keterlibatan ABRI di sektor direktur sangat nyata terutama melalui Golkar. Hubungan ABRI dan Golkar disebut sebagai kekerabatan yang bersifat simbiosis mutualisme. Contohnya pada Munas I Golkar di Surabaya (4-9 September 1973), ABRI bisa menempatkan perwira aktif ke dalam Dewan Pengurus Pusat.




Selain itu, hampir di seluruh daerah tingkat I dan daerah tingkat II jabatan Ketua Golkar dipegang oleh ABRI aktif. Selain itu, terpilihnya Sudharmono sebagai wakil militer pada pucuk pemimpin Golkar (pada Munas III) juga mengambarkan bahwa Golkar masih di bawah kendali militer.




Selain dalam sektor eksekutif, ABRI dalam bidang politik juga terlibat dalam sektor legislatif. Meskipun militer bukan kekuatan politik yang ikut serta dalam pemilihan umum, mereka tetap mempunyai wakil dalam jumlah besar (dalam dewan perwakilan rakyat dan MPR) melalui Fraksi Karya ABRI.




Namun keberadaan ABRI dalam dewan perwakilan rakyat dipandang efektif oleh beberapa pihak dalam rangka mengamankan kebijaksanaan direktur dan meminimalisasi kekuatan kontrol dewan perwakilan rakyat terhadap eksekutif.




Efektivitas ini diperoleh dari adanya sinergi antara Fraksi ABRI dan Fraksi Karya Pembangunan dalam proses kerja DPR; serta adanya perangkat aturan kerja dewan perwakilan rakyat yang dalam batas tertentu membatasi kiprah satu fraksi secara otonom. Dalam MPR sendiri, ABRI (wakil militer) mengamankan nilai dan kepentingan pemerintah dalam formulasi kebijakan oleh MPR.




Pada masa Orde Baru, pelaksanaan negara banyak didominasi oleh ABRI. Dominasi yang terjadi pada masa itu sanggup dilihat dari: (a). Banyaknya jabatan pemerintahan mulai dari Bupati, Walikota, Gubernur, Pejabat Eselon, Menteri, bahkan Duta Besar diisi oleh anggota ABRI yang “dikaryakan”, (b).




Selain dilakukannya pembentukan Fraksi ABRI di parlemen, ABRI bahu-membahu Korpri pada waktu itu juga dijadikan sebagai salah satu tulang punggung yang menyangga keberadaan Golkar sebagai “partai politik” yang berkuasa pada waktu itu, (c). ABRI melalui banyak sekali yayasan yang dibentuk, diperkenankan mempunyai dan menjalankan banyak sekali bidang usaha dan lain sebagainya.




4. Rehabilitasi Ekonomi Orde Baru


Seperti yang telah diuraikan di atas, stabilisasi Polkam dibutuhkan untuk pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat. Kondisi ekonomi yang diwarisi Orde Lama yaitu sangat buruk. Sektor produksi barang-barang konsumsi contohnya hanya berjalan 20% dari kapasitasnya.




Demikian pula sektor pertanian dan perkebunan yang menjadi salah satu acuan ekspor juga tidak mengalami perkembangan yang berarti. Hutang yang jatuh tempo pada final Desember 1965, seluruhnya berjumlah 2.358 Juta dollar AS. Dengan perincian negara-negara yang memperlihatkan hutang pada masa Orde Lama yaitu blok negara komunis (US $ 1.404 juta), negara Barat (US $ 587 juta), sisanya pada negara-negara Asia dan badan-badan internasional.




Program rehabilitasi ekonomi Orde Baru dilaksanakan berlandaskan pada Tap MPRS No.XXIII/1966 yang isinya antara lain mengharuskan diutamakannya masalah perbaikan ekonomi rakyat di atas segala soal-soal nasional yang lain, termasuk soal-soal politik. Konsekuensinya kebijakan politik dalam dan luar negeri pemerintah harus sedemikian rupa hingga benar- benar membantu perbaikan ekonomi rakyat.




Bertolak dari kenyataan ekonomi menyerupai itu, maka prioritas pertama yang dilakukan pemerintah untuk rehabilitasi ekonomi yaitu memerangi atau mengendalikan hiperinflasi antara lain dengan menyusun APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) berimbang. Sejalan dengan kebijakan itu pemerintah Orde Baru berupaya menuntaskan masalah hutang luar negeri sekaligus mencari hutang gres yang dibutuhkan bagi rehabilitasi maupun pembangunan ekonomi berikutnya.




Untuk menanggulangi masalah hutang-piutang luar negeri itu, pemerintah Orde Baru berupaya melaksanakan diplomasi yang intensif dengan mengirimkan tim negosiasinya ke Paris, Prancis (Paris Club), untuk merundingkan hutang piutang negara, dan ke London, Inggris (London Club) untuk merundingkan hutang-piutang swasta.




Sebagai bukti keseriusan dan itikad baik untuk bersahabat dengan negara para donor, pemerintah Orde Baru sebelum pertemuan Paris Club telah mencapai kesepakatan terlebih dahulu dengan pemerintah Belanda mengenai pembayaran ganti rugi sebesar 165 juta dollar AS terhadap beberapa perusahaan mereka yang dinasionalisasi oleh Orde Lama pada tahun 1958.




Begitu pula dengan Inggris telah dicapai suatu kesepakatan untuk membayar ganti rugi kepada perusahaan Inggris yang kekayaannya disita oleh pemerintah RI semasa era konfrontasi pada tahun 1965.




Sejalan dengan upaya diplomasi ekonomi, pada 10 Januari 1967 pemerintah Orde Baru memberlakukan UU No.1 tahun 1967 wacana Penanaman Modal Asing (PMA) . Dengan UU PMA, pemerintah ingin menunjukan kepada dunia internasional bahwa arah kebijakan yang akan ditempuh oleh pemerintah Orde Baru, berbeda dengan Orde Lama. Orde Baru tidak memusuhi investor gila dengan menuduh sebagai kaki tangan imperialisme.




Sebaliknya, acara mereka dipandang sebagai prasyarat yang dibutuhkan oleh sebuah negara yang ingin membangun perekonomiannya. Dengan proteksi modal mereka, selayaknya mereka didorong dan dikembangkan untuk memperbanyak investasi dalam banyak sekali bidang ekonomi.




Sebab dengan investasi mereka, lapangan kerja akan segera tercipta dengan cepat tanpa menunggu pemerintah mempunyai uang terlebih dahulu untuk menggerakan roda pembangunan nasional.




Upaya diplomasi ekonomi ke negara-negara Barat dan Jepang itu, tidak hanya berhasil mengatur penjadwalan kembali pembayaran hutang negara dan swasta yang jatuh tempo, melainkan juga bisa meyakinkan dan menggugah negara-negara tersebut untuk membantu Indonesia yang sedang terpuruk ekonominya.




Hal ini terbukti antara lain dengan dibentuknya lembaga konsorsium yang berjulukan Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI). Proses pembentukan IGGI diawali oleh suatu pertemuan antara para negara yang mempunyai komitmen untuk membantu Indonesia pada bulan Februari 1967, di Amsterdam.




Inisiatif itu tiba dari pemerintah Belanda. Pertemuan ini juga dihadiri oleh delegasi Indonesia dan lembaga-lembaga proteksi internasional. Dalam pertemuan itu disepakati untuk membentuk IGGI dan Belanda ditunjuk sebagai ketuanya.




Selain mengupayakan masuknya dana proteksi luar negeri, pemerintah Orde Baru juga berupaya menggalang dana dari dalam negeri, yaitu dana masyarakat. Salah satu seni administrasi yang dilakukan oleh pemerintah bersama– sama Bank Indonesia dan bank-bank milik negara lainnya yaitu berupaya semoga masyarakat mau menabung.




Upaya lain yaitu menerbitkan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (UUPMDN) No.6/1968. Satu hal dari UUPMDN yaitu adanya klausal yang menarik yang menyebutkan bahwa dalam penanaman modal dalam negeri, perusahaan-perusahaan Indonesia harus menguasai 51% sahamnya.




Untuk menindaklanjuti dan mengefektifkan UUPMA dan UUPMDN pada tatanan pelaksanaannya, pemerintah membentuk lembaga-lembaga yang bertugas menanganinya. Pada 19 Januari 1967, pemerintah membentuk Badan Pertimbangan Penanaman Modal (BPPM).




Berdasarkan Keppres No.286/1968 tubuh itu menjelma Tim Teknis Penanaman Modal (TTPM). Pada Tahun 1973, TTPM digantikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) hingga dikala ini.


Kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah pada awal Orde Baru mulai menunjukan hasil positif. Hiperinflasi mulai sanggup dikendalikan, dari 650% menjadi 120% (1967), dan 80% (1968), sehingga pada tahun itu diputuskan bahwa Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pertama akan dimulai pada tahun berikutnya (1969).




Setelah itu pada tahun-tahun berikutnya inflasi terus menurun menjadi 25% (1969), 12% (1970), dan 10% (bahkan hingga 8,88%) pada tahun 1971.




5. Kebijakan Pembangunan Orde Baru


Tujuan usaha Orde Baru yaitu menegakkan tata kehidupan bernegara yang didasarkan atas kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945.




Sejalan dengan tujuan tersebut maka ketika kondisi politik bangsa Indonesia mulai stabil untuk melaksanakan amanat masyarakat maka pemerintah mencanangkan pembangunan nasional yang diupayakan melalui jadwal Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang.




Pembangunan Jangka Pendek dirancang melalui pembangunan lima tahun (Pelita) yang di dalamnya mempunyai misi pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan bangsa Indonesia.




Pada masa ini pengertian pembangunan nasional yaitu suatu rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang mencakup seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Pembangunan nasional dilakukan untuk melaksanakan kiprah mewujudkan tujuan nasional yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.




Dalam usaha mewujudkan tujuan nasional maka Majelis Permusyawaratan Rakyat semenjak tahun 1973-1978-1983-1988-1993 memutuskan Garis-garis besar Haluan Negara (GBHN). GBHN merupakan pola umum pembangunan nasional dengan rangkaian program-programnya yang kemudian dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).




Adapun Repelita yang berisi program-program kongkret yang akan dilaksanakan dalam kurun waktu lima tahun, dalam repelita ini dimulai semenjak tahun 1969 sebagai awal pelaksanaan pembangunan jangka pendek dan jangka panjang.




Kemudian terkenal dengan konsep Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (1969-1994) berdasarkan indikator dikala itu pembangunan dianggap telah berhasil memajukan segenap aspek kehidupan bangsa dan telah meletakkan landasan yang cukup besar lengan berkuasa bagi bangsa Indonesia untuk memasuki Pembangunan Jangka Panjang Tahap II (1995-2020).




Pemerintahan Orde Baru senantiasa berpedoman pada tiga konsep pembangunan nasional yang terkenal dengan sebutan Trilogi Pembangunan, yaitu: (1) pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat; (2) pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi; dan (3) stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.




Konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi akhir pelaksanaan pembangunan tidak akan bermakna apabila tidak diimbangi dengan pemerataan pembangunan. Oleh lantaran itu, semenjak Pembangunan Lima Tahun Tahap III (1 April 1979-31 Maret 1984) maka pemerintahan Orde Baru memutuskan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu:




(1) pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya pangan, sandang, dan perumahan; (2) pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan; pemerataan pembagian pendapatan; (4) pemerataan kesempatan kerja; (5) pemerataan kesempatan berusaha; (6) pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita; (7) pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air; dan (8) pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.




a) Pertanian


Sepanjang 1970-an hingga 1980-an dilakukan investasi besar-besaran untuk infrastruktur Pembangunan Lima Tahun (Pelita), swasembada pangan merupakan fokus tersendiri dalam planning pembangunan yang dibuat oleh Soeharto.




Pada Pelita I yang dicanangkan landasan awal pembangunan Pemerintahan Orde Baru, dititikberatkan pada pembangunan di sektor pertanian yang bertujuan mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaruan sektor pertanian. Tujuan Pelita I yaitu meningkatkan taraf hidup rakyat melalui sektor pertanian yang ditopang oleh kekuatan koperasi dan sekaligus meletakkan dasar-dasar pembangunan dalam tahapan berikutnya.




Soeharto membangun dan mengembangkan organisasi atau institusi yang akan menjalankan program-program tersebut. Pembangunan ditekankan pada penciptaan institusi pedesaan sebagai wahana pembangunan dengan membentuk Bimbingan Massal (Bimas) yang diperuntukkan meningkatkan produksi beras dan koperasi sebagai organisasi ekonomi masyarakat pedesaan. Sekaligus menjadi kepanjangan tangan pemerintah dalam menyalurkan sarana pengolahan dan pemasaran hasil produksi. Di sisi lain pemerintah juga membuat Badan Urusan Logistik (BULOG).




Kemudian pemerintah melibatkan para petani melalui koperasi yang bertujuan memperbaiki produksi pangan nasional. Untuk itu kemudian pemerintah mengembangkan ekonomi pedesaan dengan menunjuk Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada dengan membentuk Badan Usaha Unit Desa (BUUD).




Maka lahirlah Koperasi Unit Desa (KUD) sebagai pecahan dari pembangunan nasional. BUUD/KUD melaksanakan kegiatan pengadaan pangan untuk persediaan nasional yang diperluas dengan kiprah menyalurkan sarana produksi pertanian (pupuk, benih, dan obat-obatan).




Soeharto juga mengembangkan institusi-institusi yang mendukung pertanian lainnya menyerupai institusi penelitian menyerupai BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) yang berkembang untuk menghasilkan penemuan untuk pengembangan pertanian yang pada masa Soeharto salah satu produknya yang cukup terkenal yaitu Varietas Unggul Tahan Wereng (VUTW).




Pemerintah Orde Baru membangun pabrik-pabrik pupuk untuk penyediaan pupuk bagi petani. Para petani diberi kemudahan memperoleh kredit bank untuk membeli pupuk. Pemasaran hasil panen mereka dijamin dengan kebijakan harga dasar dan pengadaan pangan.




Diperkenalkan juga administrasi usaha tani, dimulai dari Panca Usaha Tani, Bimas, Operasi Khusus, dan Intensifikasi Khusus yang terbukti bisa meningkatkan produksi pangan, terutama beras. Saat itu, budi daya padi di Indonesia yaitu yang terbaik di Asia.




Pemerintah memfasilitasi ketersediaan benih unggul, pupuk, pestisida melalui subsidi yang terkontrol dengan baik. Pabrik pupuk yang dibangun antara lain yaitu Petro Kimia Gresik di Gresik, Pupuk Sriwijaya di Palembang, dan Asean Aceh Fertilizer di Aceh.




Jaringan irigasi teknis dibangun di banyak sekali daerah dan jadwal pembibitan ditingkatkan. Di dalam Pelita I Pertanian dan Irigasi dimasukkan sebagai satu pecahan tersendiri dalam rincian planning bidang-bidang. Di dalam rincian klarifikasi dijelaskan bahwa tujuannya yaitu untuk peningkatan produksi pangan terutama beras.




Koperasi di pedesaan terus dipacu untuk meningkatkan produktivitasnya. Kebijakan terus mengalir guna menopang kegiatan di daerah pedesaan. BUUD yang semula hanya dilibatkan dalam jadwal Bimbingan Massal (Bimas sektor pertanian pangan), kemudian ditingkatkan menjadi Koperasi Unit Desa (KUD) dengan kiprah serta peranan yang terus dikembangkan.




Instruksi Presiden (Inpres) No. 4 Tahun 1973 wacana Unit Desa dikeluarkan 5 Mei 1973, menjadi tonggak yuridis keberadaan KUD. Kebijakan tersebut dilanjutkan dengan Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1973, yang membentuk Wilayah Unit Desa (Wilud), pada hasilnya menjadi Koperasi Unit Desa (KUD). Dari sinilah lahir Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) yang berada di bawah Departemen Pertanian.




Para PPL memperkenalkan dan menyebarluaskan teknologi pertanian kepada para petani melalui kegiatan penyuluhan. Pemerintah menempatkan para penyuluh pertanian di tingkat desa dan kelompok petani. Selain jadwal penyuluhan, kelompencapir (kelompok pendengar, pembaca, pemirsa), juga menjadi salah satu jadwal pembangunan pertanian  Orde Baru yang khas.




Kelompencapir merupakan wadah temu wicara eksklusif antara petani, nelayan, dan peternak dengan sesama petani, penyuluh, menteri atau bahkan dengan Presiden Soeharto. Kelompencapir juga menyelenggarakan kompetisi cerdas cermat pertanian yang diikuti oleh para petani berprestasi dari banyak sekali daerah hingga tingkat pusat.




Kelompencapir merupakan jadwal Orde Baru di bidang pertanian yang dijalankan oleh Departemen Penerangan. Kelompencapir diresmikan pada 18 Juni 1984, dengan keputusan Menteri Penerangan Republik Indonesia No.110/Kep/Menpen/1984.




b) Pendidikan


Pada masa kepemimpinan Soeharto pembangunan pendidikan mengalami kemajuan yang sangat penting. Ada tiga hal yang patut dicatat dalam bidang pendidikan masa Orde Baru yaitu pembangunan SD Inpres (SD Inpres), jadwal wajib berguru dan pembentukan kelompok berguru atau kejar. Semuanya itu bertujuan untuk memperluas kesempatan belajar, terutama di pedesaan dan bagi daerah perkotaan yang penduduknya berpenghasilan rendah.




Pada 1973, Soeharto mengeluarkan Inpres No. 10/1973 wacana Program Bantuan Pembangunan Gedung SD. Pelaksanaan tahap pertama jadwal SD Inpres yaitu pembangunan 6.000 gedung SD yang masing-masing mempunyai tiga ruang kelas. Dana pembangunan SD Inpres tersebut berasal dari hasil penjualan minyak bumi yang harganya naik sekitar 300 persen dari sebelumnya.




Pada tahun-tahun awal pelaksanaan jadwal pembangunan SD Inpres, hampir setiap tahun, ribuan gedung sekolah dibangun. Sebelum jadwal Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dilaksanakan, jumlah gedung SD yang tercatat pada tahun 1968 sebanyak 60.023 unit dan gedung SMP 5.897 unit.




Pada awal Pelita VI, jumlah itu telah meningkat menjadi sekitar 150.000 gedung SD dan 20.000 gedung SMP. Pembangunan paling besar terjadi pada periode 1982/1983 ketika 22.600 gedung SD gres dibuat. Hingga periode 1993/1994 tercatat hampir 150.000 unit SD Inpres telah dibangun.




Peningkatan jumlah sekolah dasar diikuti pula oleh peningkatan jumlah guru. Jumlah guru SD yang sebelumnya berjumlah sekitar ratusan ribu, pada awal tahun 1994 menjadi lebih dari satu juta guru. Satu juta lebih guru ditempatkan di sekolah-sekolah inpres tersebut.




Lonjakan jumlah guru dari puluhan ribu menjadi ratusan ribu juga terjadi pada guru SMP. Total dana yang dikeluarkan untuk jadwal ini hingga final Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I mencapai hampir Rp 6,5 triliun.




Program  wajib  belajar  pada  era  Soeharto  mulai  dilaksanakan  pada  2 Mei 1984, di final Pelita (Pembangunan Lima Tahun) III. Dalam sambutan peresmian wajib berguru dikala itu, Soeharto menyatakan bahwa kebijakannya bertujuan untuk memperlihatkan kesempatan yang sama dan adil kepada seluruh anak Indonesia berusia 7-12 tahun dalam menikmati pendidikan dasar. Program wajib berguru itu mewajibkan setiap anak usia 7-12 tahun untuk mendapatkan pendidikan dasar 6 tahun (SD).




Program ini tidak murni menyerupai kebijakan wajib berguru yang mempunyai unsur paksaan dan hukuman bagi yang tidak melaksanakannya. Pemerintah hanya mengimbau orangtua semoga memasukkan anaknya yang berusia 7-12 tahun ke sekolah.




Negara bertanggung jawab terhadap penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang dibutuhkan, menyerupai gedung sekolah, peralatan sekolah, di samping tenaga pengajarnya. Meski jadwal wajib berguru tidak diikuti oleh kebijakan pembebasan biaya pendidikan bagi bawah umur dari keluarga kurang mampu, pemerintah waktu itu berupaya mengatasinya melalui jadwal beasiswa. Untuk itu, kemudian muncul jadwal Gerakan Nasional-Orang Tua Asuh (GN-OTA).




Dalam upaya memperkuat pelaksanaan GN-OTA, diterbitkanlah Surat Keputusan Bersama Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Agama Nomor 34/HUK/1996, Nomor 88 Tahun 1996, Nomor 0129/U/1996, Nomor 195 Tahun 1996 wacana Bantuan terhadap Anak Kurang Mampu, Anak Cacat, dan Anak yang Bertempat Tinggal di Daerah Terpencil dalam rangka Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar.




Keberhasilan jadwal wajib berguru 6 tahun ditandai dengan kenaikan angka partisipasi sekolah dasar (SD) sebesar 1,4 persen. Angka partisipasi SD menjadi 89,91 persen di final Pelita IV. Kenaikan angka partisipasi itu menambah besar lengan berkuasa niat pemerintah untuk memperluas kelompok usia anak yang ikut jadwal wajib berguru selanjutnya, menjadi 7-15 tahun, atau menuntaskan tingkat SMP (SMP).




Sepuluh tahun kemudian, jadwal masuk akal berhasil ditingkatkan menjadi 9 tahun, yang berarti anak Indonesia harus mengenyam pendidikan hingga tingkat SMP. Upaya pelaksanaan wajib berguru 9 tahun pada kelompok usia 7-15 tahun mulai diresmikan pada Pencanangan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun pada 2 Mei 1994. Kebijakan ini diperkuat dengan dikeluarkannya Inpres Nomor 1 Tahun 1994.




Program wajib berguru telah meningkatkan taraf pendidikan masyarakat Indonesia dikala itu. Fokus utama ketika itu yaitu peningkatan angka-angka indikator kualitas pendidikan dasar. Fokus pembangunan pendidikan dikala itu, yaitu peningkatan secara kuantitatif, gres kemudian memerhatikan kualitas atau mutu pendidikan.




Setelah ekspansi kesempatan berguru untuk bawah umur usia sekolah, sasaran perbaikan bidang pendidikan selanjutnya yaitu pemberantasan buta aksara. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa masih banyak penduduk yang buta huruf. Dalam upaya meningkatkan angka melek huruf, pemerintahan Orde Baru mencanangkan penuntasan buta huruf pada 16 Agustus 1978. Cara yang ditempuh yaitu dengan pembentukan kelompok berguru atau ”kejar”.


Kejar merupakan jadwal pengenalan huruf dan angka bagi kelompok masyarakat buta huruf yang berusia 10-45 tahun. Tutor atau pembimbing setiap kelompok yaitu masyarakat yang telah sanggup membaca, menulis dan berhitung dengan pendidikan minimal sekolah dasar. Jumlah peserta dan waktu pelaksanaan dalam setiap kejar diadaptasi dengan kondisi setiap tempat.




Keberhasilan jadwal kejar salah satunya terlihat dari angka statistik penduduk buta huruf yang menurun. Pada sensus tahun 1971, dari total jumlah penduduk 80 juta jiwa, Indonesia masih mempunyai 39,1 persen penduduk usia 10 tahun ke atas yang berstatus buta huruf. Sepuluh tahun kemudian, berdasarkan sensus tahun 1980, persentase itu menurun menjadi hanya 28,8 persen. Hingga sensus berikutnya tahun 1990, angkanya terus menyusut menjadi 15,9 persen.




c) Keluarga Berencana (KB)


Pada masa Orde Baru dilaksanakan jadwal untuk pengendalian pertumbuhan penduduk yang dikenal dengan Keluarga Berencana (KB). Pada tahun 1967 pertumbuhan penduduk Indonesia mencapai 2,6% dan pada tahun 1996 telah menurun drastis menjadi 1,6%.




Pengendalian penduduk dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas rakyat Indonesia dan peningkatan kesejahteraannya. Keberhasilan ini dicapai melalui jadwal KB yang dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).




Berbagai kampanye mengenai perlunya KB dilakukan oleh pemerintah, baik melalui media massa cetak maupun elektronik. Pada final tahun 1970-an hingga final tahun 1980-an di Televisi Republik Indonesia (TVRI) sering diisi oleh acara-acara mengenai pentingnya KB. Baik itu melalui gosip atau jadwal hiburan menyerupai drama dan wayang orang “Ria Jenaka”.




Di samping itu nyanyian mars “Keluarga Berencana” ditayangkan hampir setiap hari di TVRI. Selain di media massa, di papan iklan di pinggir-pinggir jalan pun banyak dipasang mengenai pesan pentingnya KB. Demikian pula dalam mata uang koin seratus rupiah dicantumkan mengenai KB.




Hal itu mengambarkan bahwa Orde Baru sangat serius dalam melaksanakan jadwal KB. Slogan yang muncul dalam kampanye- kampanye KB yaitu “dua anak cukup, laki perempuan sama saja”.




Program KB di Indonesia, diawali dengan ditandatanganinya Deklarasi Kependudukan PBB pada tahun 1967 sehingga secara resmi Indonesia mengakui hak-hak untuk menentukan jumlah dan jarak kelahiran sebagai hak dasar insan dan juga pentingnya pembatasan jumlah penduduk sebagai unsur perencanaan ekonomi dan sosial.




Keberhasilan Indonesia dalam pengendalian jumlah penduduk dipuji oleh UNICEF lantaran dinilai berhasil menekan tingkat ajal bayi dan telah melaksanakan banyak sekali upaya lainnya dalam rangka mensejahterakan kehidupan bawah umur di tanah air.




UNICEF bahkan mengemukakan bahwa tindakan yang telah dilakukan pemerintah Indonesia itu hendaknya dijadikan teladan bagi negara-negara lain yang tingkat ajal bayinya masih tinggi.




Program KB di Indonesia sebagai salah satu yang paling sukses di dunia, sehingga menarik perhatian dunia untuk mengikuti kesuksesan Indonesia. Pemerintah pun mengalokasikan sumber daya dan dana yang besar untuk jadwal ini.




d) Kesehatan Masyarakat, Posyandu


Perkembangan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) bermula dari konsep Bandung Plan diperkenalkan oleh dr. Y. Leimena dan dr. Patah pada tahun 1951. Bandung Plan merupakan suatu konsep pelayanan yang menggabungkan antara pelayanan kuratif dan preventif. Tahun 1956 didirikanlah proyek Bekasi oleh dr. Y. Sulianti di Lemah Abang, yaitu model pelayanan kesehatan pedesaan dan pusat training tenaga.




Kemudian didirikan Health Centre (HC) di delapan lokasi, yaitu di Indrapura (Sumut), Bojong Loa (Jabar), Salaman (Jateng), Mojosari (Jatim), Kesiman (Bali), Metro (Lampung), DIY, dan Kalimantan Selatan. Pada 12 November 1962 Presiden Soekarno mencanangkan jadwal pemberantasan malaria dan pada tanggal tersebut menjadi Hari Kesehatan Nasional (HKN).




Konsep Bandung Plan terus dikembangkan, tahun 1967 diadakan seminar konsep Puskesmas. Pada tahun 1968 konsep Puskesmas ditetapkan dalam Rapat Kerja Kesehatan Nasional dengan disepakatinya bentuk Puskesmas yaitu Tipe A, B dan Kegiatan Puskesmas dikala itu dikenal dengan istilah ’Basic’. Ada Basic 7, Basic 1 Health Service yaitu  :




KIA, KB, Gizi Mas, Kesling, P3M, PKM, BP, PHN, UKS, UHG, UKJ, Lab, Pencatatan dan Pelaporan. Pada tahun 1969, Tipe Puskesmas menjadi A dan    Pada  tahun 1977 Indonesia ikut menandatangi kesepakatan Visi: ”Health For  All  By The Year 2000”, di Alma Ata, negara bekas Federasi Uni Soviet, pengembangan dari         konsep ”Primary Health Care”.




Tahun 1979 Puskesmas tidak ada pen’tipe’an dan dikembangkan piranti manajerial perencanaan dan penilaian Puskesmas, yaitu ’Micro Planning’ dan Stratifikasi Puskesmas.




Pada tahun 1984 dikembangkan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), yaitu pengembangan dari pos penimbangan dan kurang gizi. Posyandu dengan 5 programnya, yaitu KIA, KB, Gizi, Penanggulangan Diare dan Imunisasi. Posyandu bukan saja untuk pelayanan balita tetapi juga untuk pelayanan ibu hamil.




Bahkan pada waktu-waktu tertentu untuk promosi dan distribusi Vitamin A, Fe, Garam Yodium, dan pelengkap gizi lainnya. Bahkan, Posyandu dikala ini juga menjadi andalan kegiatan penggerakan masyarakat (mobilisasi sosial) menyerupai PIN, Campak, dan Vitamin A.




Perkembangan Puskesmas menampakan hasilnya pada era Orde Baru, salah satu indikatornya yaitu semakin baiknya tingkat kesehatan. Pada sensus 1971 hanya ada satu dokter untuk melayani 20,9 ribu penduduk. Sensus 1980, memperlihatkan bahwa satu tenaga dokter untuk 11,4 ribu penduduk.




C. Integrasi Timor-Timur


Integrasi Timor-Timur ke dalam wilayah Indonesia tidak terlepas dari situasi politik internasional dikala itu, yaitu Perang Dingin dimana konstelasi geopolitik tempat Asia Tenggara dikala itu terjadi perebutan efek dua blok yang sedang bersaing yaitu Blok Barat (Amerika Serikat) dan Blok Timur (Uni Soviet).




Dengan kekalahan Amerika Serikat di Vietnam pada tahun 1975, berdasarkan teori domino yang diyakini oleh Amerika Serikat bahwa kejatuhan Vietnam ke tangan kelompok komunis akan merembet ke wilayah–wilayah lainnya. Berdirinya pemerintahan Republik Demokratik Vietnam yang komunis dianggap sebagai ancaman yang bisa menimbulkan jatuhnya negara-negara di sekitarnya ke tangan pemerintahan komunis.




Kemenangan komunis di Indocina (Vietnam) secara tidak  langsung  juga membuat khawatir para elit Indonesia (khususnya pihak militer). Pada dikala yang sama di wilayah koloni Portugis (Timor-Timur) yang berbatasan secara eksklusif dengan wilayah Indonesia terjadi krisis politik.




Krisis itu sendiri terjadi sebagai dampak kebebasan yang diberikan oleh pemerintah gres Portugal di bawah pimpinan Jenderal Antonio de Spinola. Ia telah melaksanakan perubahan dan berusaha mengembalikan hak-hak sipil, termasuk hak demokrasi masyarakatnya, bahkan dekolonisasi.




Di Timor-Timur muncul tiga partai politik besar yang memanfaatkan kebebasan yang diberikan oleh pemerintah Portugal. Ketiga partai politik   itu adalah: (1) Uniao Democratica Timorense (UDT-Persatuan Demokratik Rakyat Timor) yang ingin merdeka secara bertahap.




Untuk tahap awal UDT menginginkan Timor-Timur menjadi negara pecahan dari Portugal: (2) Frente Revoluciondria de Timor Leste Independente (Fretilin-Front Revolusioner Kemerdekaan Timor-Timur) yang radikal –Komunis dan ingin segera merdeka; dan (3) Associacau Popular Democratica Timurense (Apodeti- Ikatan Demokratik Popular Rakyat Timor) yang ingin bergabung dengan Indonesia. Selain itu terdapat dua partai kecil, yaitu Kota dan Trabalhista. Ketiga partai tersebut saling bersaing, bahkan timbul konflik berupa perang saudara.




Pada tanggal 31 Agustus 1974 ketua umum Apodeti, Arnaldo dos Reis Araujo, menyatakan partainya menghendaki bergabung dengan Republik Indonesia sebagai provinsi ke-27. Pertimbangan yang diajukan yaitu rakyat di kedua wilayah tersebut mempunyai persamaan dan kekerabatan yang erat, baik secara historis dan etnis maupun geografis.




Menurutnya integrasi akan menjamin stabilitas politik di wilayah tersebut. Pernyataan tokoh Apodeti itu menerima respons yang cukup positif dari para elit politik Indonesia, terutama dari kalangan elit militer, yang intinya memang merasa khawatir jikalau Timor-Timur yang berada di “halaman belakang” jatuh ke tangan komunis. Meskipun demikian, pemerintah Indonesia tidak serta-merta mendapatkan begitu saja keinginan orang-orang Apodeti.




Keterlibatan Indonesia secara eksklusif di Timor-Timur terjadi setelah adanya seruan dari para pendukung “Proklamasi Balibo” yang terdiri UDT bersama Apodeti, Kota, dan Trabalista. Keempat partai itu pada tanggal 30 November 1975 di Kota Balibo mengeluarkan pernyataan untuk bergabung dengan pemerintahan Republik Indonesia.




Pada tanggal 31 Mei 1976 dewan perwakilan rakyat Timor-Timur mengeluarkan petisi yang isinya mendesak pemerintah Republik Indonesia semoga secepatnya mendapatkan dan mengesahkan bersatunya rakyat dan wilayah Timor Timur ke dalam Negara Republik Indonesia.




Atas keinginan bergabung rakyat Timor Timur dan seruan proteksi yang diajukan, pemerintah Indonesia kemudian menerapkan “Operasi Seroja” pada Desember 1975. Operasi militer ini belakang layar didukung oleh Amerika Serikat (AS) yang tidak ingin pemerintahan komunis berdiri di Timor Timur. Pada masa itu Perang Dingin antara AS dengan Uni Soviet yang komunis memang tengah berlangsung.




Bersamaan dengan operasi-operasi keamanan yang dilakukan, pemerintah Indonesia dengan cepat juga menjalankan proses pengukuhan Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia dengan mengeluarkan UU No. 7 Tahun 1976 wacana Pengesahan Penyatuan Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan pembentukan Daerah Tingkat I Timor Timur.




Pengesahan ini hasilnya diperkuat melalui Tap MPR Nomor IV/MPR/1978. Timor Timur secara resmi menjadi propinsi ke-27 di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia.




Negara-negara tetangga dan pihak Barat, termasuk Amerika Serikat dan Australia dengan alasan masing-masing umumnya mendukung tindakan Indonesia. Kekhawatiran akan jatuhnya Timor-Timur ke tangan komunis membuat negara-negara Barat (khususnya Amerika Serikat dan Australia) secara belakang layar mendukung tindakan Indonesia.




Mereka secara de facto dan selanjutnya de jure integrasi Timor-Timur ke wilayah Indonesia. Akan tetapi, penguasaan Indonesia terhadap wilayah itu ternyata menimbulkan banyak permasalahan yang berkelanjutan, terutama setelah berakhirnya “Perang Dingin” dan runtuhnya Uni Soviet.




D. Dampak Kebijakan Politik dan Ekonomi Masa Orde Baru


Pendekatan keamanan yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru dalam menegakkan stabilisasi nasional secara umum memang berhasil membuat suasana aman bagi masyarakat Indonesia.




Pembangunan ekonomi pun berjalan baik dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi lantaran setiap jadwal pembangunan pemerintah terjadwal dengan baik dan hasilnya sanggup terlihat secara konkret.




Indonesia berhasil mengubah status dari negara pengimpor beras menjadi bangsa yang bisa memenuhi kebutuhan beras sendiri (swasembada beras). Penurunan angka kemiskinan yang diikuti dengan perbaikan kesejahteraan rakyat, penurunan angka ajal bayi, dan angka partisipasi pendidikan dasar yang meningkat.




Namun, di sisi lain kebijakan politik dan ekonomi pemerintah Orde Baru juga memberi beberapa dampak yang lain, baik di bidang ekonomi dan politik. Dalam bidang politik, pemerintah Orde Baru cenderung bersifat otoriter. Presiden mempunyai kekuasaan yang sangat besar dalam mengatur jalannya pemerintahan. Peran negara menjadi semakin besar lengan berkuasa yang menimbulkan timbulnya pemerintahan yang sentralistis.




Pemerintahan sentralistis ditandai dengan adanya pemusatan penentuan kebijakan publik pada pemerintah pusat. Pemerintah daerah diberi peluang yang sangat kecil untuk mengatur pemerintahan dan mengelola anggaran wilayahnya sendiri. Otoritarianisme merambah segenap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara termasuk kehidupan politik.




Pemerintah Orde Baru dinilai gagal memperlihatkan pelajaran berdemokrasi yang baik. Golkar dianggap menjadi alat politik untuk mencapai stabilitas yang diinginkan. Sementara dua partai lainnya hanya sebagai alat pendamping semoga tercipta gambaran sebagai negara demokrasi.




Sistem perwakilan bersifat semu bahkan hanya dijadikan topeng untuk melanggengkan sebuah kekuasaan secara sepihak. Demokratisasi yang terbentuk didasarkan pada KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), sehingga banyak wakil rakyat yang duduk di MPR/ dewan perwakilan rakyat yang tidak mengenal rakyat dan daerah yang diwakilinya.




Meskipun pembangunan ekonomi Orde Baru menunjukan perkembangan yang menggembirakan, namun dampak negatifnya juga cukup banyak. Dampak negatif ini disebabkan kebijakan Orde Baru yang terlalu memfokuskan/mengejar pada pertumbuhan ekonomi, yang berdampak jelek bagi terbentuknya mentalitas dan budaya korupsi para pejabat di Indonesia.




Distribusi hasil pembangunan dan pemanfaatan dana untuk pembangunan tidak dibarengi kontrol yang efektif dari pemerintah terhadap aliran dana tersebut sangat rawan untuk disalahgunakan. Pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan terbukanya kanal dan distribusi yang merata sumber-sumber ekonomi kepada masyarakat. Hal ini berdampak pada munculnya kesenjangan sosial dalam masyarakat Indonesia, kesenjangan kota dan desa, kesenjangan kaya dan miskin, serta kesenjangan sektor industri dan sektor pertanian.




Selain masalah–masalah di atas, tidak sedikit pengamat hak asasi insan (HAM) dalam dan luar negeri yang menilai bahwa pemerintahan Orde Baru telah melaksanakan tindakan antidemokrasi dan diindikasikan telah melanggar HAM.




Amnesty International contohnya dalam laporannya pada 10 Juli 1991 menyebut Indonesia dan beberapa negara Timur Tengah, Asia Pasifik, Amerika Latin, dan Eropa Timur sebagai pelanggar HAM. Human Development Report 1991 yang disusun oleh United Nations Development Program (UNDP) juga menempatkan Indonesia kepada urutan ke-77 dari 88 pelanggar HAM (Anhar Gonggong ed, 2005:190).




Sekalipun Indonesia menolak laporan kedua lembaga internasional tadi dengan alasan tidak “fair”dan kriterianya tidak jelas, akan tetapi tidak sanggup dipungkiri bahwa di dalam negeri sendiri pemerintah Orde Baru dinilai telah melaksanakan beberapa tindakan yang berindikasi pelanggaran HAM. Dalam kurun waktu 1969-1983 misalnya, sanggup disebut kejadian Pulau Buru (Tempat penjara bagi orang-orang yang diindikasikan terlibat PKI) (1969-1979),




Peristiwa Malari (Januari 1974) yang berujung pada depolitisasi kampus. Kemudian pencekalan terhadap Petisi 50 (5 Mei 1980). Pada kurun waktu berikutnya, (1983-1988), terdapat dua peristiwa, yaitu Peristiwa Penembakan Misterius –Petrus (Juli 1983), Peristiwa Tanjung Priok (September 1984).




Pada kurun 1988-1993, terdapat Peristiwa Warsidi (Februari 1989), Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh (1989-1998), Santa Cruz (November 1991), Marsinah (Mei 1993), Haur Koneng (Juli 1993), dan Peristiwa Nipah (September 1993).




Sedangkan dalam kurun 1993-1998 antara lain terjadi Peristiwa Jenggawah (Januari 1996), Padang Bulan (Februari 1996), Freeport (Maret 1996), Abepura (Maret 1996), Kerusuhan Situbondo (Oktober 1996), Dukun Santet Banyuwangi (1998), Tragedi Trisakti (12 Mei 1998).




Dengan situasi politik dan ekonomi menyerupai di atas, keberhasilan pembangunan nasional yang menjadi pujian Orde Baru yang berhasil meningkatkan Gross National Product (GNP) Indonesia ke tingkat US$ 600 di awal tahun 1980-an, kemudian meningkat lagi hingga US$ 1.300 perkapita di awal dekade 1990-an, serta menobatkan Presiden Soeharto sebagai “Bapak Pembangunan” menjadi seolah tidak bermakna.




Meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat, tetapi secara mendasar pembangunan tidak merata tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlah wilayah yang justru menjadi penyumbang terbesar devisa negara menyerupai di Riau, Kalimantan Timur dan Irian Barat/Papua. Faktor inilah yang selanjutnya menjadi salah satu penyebab terpuruknya perekenomian Indonesia menjelang final tahun 1997.




Daftar Pustaka:


Sejarah Indonesia/Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Edisi Revisi

Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2018.





  • Penulis : Abdurakhman, Arif Pradono, Linda Sunarti dan Susanto Zuhdi

  • Penelaah : Baha’ Uddin, Hariyono, dan Mohammad Iskandar.

  • Pe-review : Djulimi Tandjung

  • Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud.




Demikian Penjelasan Pelajaran IPS-Sejarah Tentang Sistem dan Struktur Politik-Ekonomi Indonesia Masa Orde Baru


Semoga Materi Pada Hari ini Bermanfaat Bagi Siswa-Siswi, Terima Kasih !!!




Baca Artikel Lainnya:




Sumber aciknadzirah.blogspot.com