Thursday, March 15, 2018

√ I Laurang (Cerita Rakyat Sulsel)

 Mereka sangat menginginkan kehadiran seorang anak biar hidup mereka tidak kesepian √ I Laurang (Cerita Rakyat SulSel)

Alkisah, di sebuah tempat di Sulawesi Selatan, Indonesia, ada sepasang suami-istri yang sudah usang menikah, namun belum juga dikaruniai anak. Mereka sangat menginginkan kehadiran seorang anak biar hidup mereka tidak kesepian. Oleh alasannya yaitu itu, setiap malam mereka senantiasa berdoa kepada Tuhan. Namun, hingga berusia paruh baya, mereka belum juga dikaruniai anak.

Akhirnya, mereka pun mulai putus asa. Pada suatu malam, kedua suami-istri itu berdoa kepada Tuhan dengan berkata: “Ya Tuhan, karuniakanlah kepada kami seorang anak, walaupun hanya berupa seekor udang!?” Beberapa usang kemudian, sang Istri pun hamil dan melahirkan. Namun, alangkah terkejutnya sang Istri dikala melihat bayi yang keluar dari rahimnya yaitu seorang bayi pria yang berbentuk dan berkulit udang. Ia sanggup hidup di darat maupun dalam air. Oleh alasannya yaitu itu, ia diberi nama I Laurang (Manusia Udang).

“Bang, Kenapa anak kita menyerupai udang?” tanya sang Istri heran.

“Adik tidah usah heran. Bukankah kita pernah meminta seorang anak walaupun hanya berupa seekor udang? Rupanya Tuhan mengabulkan doa kita.” jawab sang Suami.

“Iya, Bang Adik ingat sekarang. Kita memang pernah berdoa menyerupai itu?” kata sang Istri.

Menyadari hal itu, kedua suami-istri itu merawat I Laurang dengan penuh kasih sayang. Mereka memasukkannya ke dalam sebuah tempayan yang berisi air. Beberapa tahun kemudian, I Laurang pun tumbuh menjadi besar. Oleh alasannya yaitu badannya sudah tidak muat lagi, ia pun dikeluarkan dari tempayan. Sejak dikala itu, I Laurang tidak lagi hidup dalam air. Ia hidup layaknya insan lainnya. Namun, ia tidak sanggup berjalan alasannya yaitu kakinya terbungkus oleh kulit udang.

Walaupun hanya tinggal di dalam rumah, ia banyak tahu wacana keadaan dan peristiwa-peristiwa di sekitarnya yang didengar dari cerita-cerita ibunya. Suatu waktu, ibunya bercerita bahwa raja yang memerintah negeri itu mempunyai tujuh orang putri yang semuanya anggun jelita. Rupanya semenjak mendengar dongeng ibunya itu, ia selalu melongo dan membayangkan kecantikan wajah para putri raja. Ia juga selalu berangan-angan ingin menikah dengan salah seorang di antara mereka.

“Alangkah bahagianya saya jikalau mempunyai istri yang cantik. Tapi, mungkinkah saya sanggup menikah dengan putri raja dengan kondisiku menyerupai ini ?” tanya I Laurang dalam hati.

“Ah, saya dilarang frustasi dan mengalah sebelum mencoba” tambahnya dengan penuh semangat.

Keesokan harinya, ia pun memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya itu kepada kedua orang tuanya.

“Ayah, Ibu Sekarang ananda sudah dewasa. Ananda ingin berumah tangga dan mempunyai keturunan,” ungkap I Laurang.

“Memang kau mau menikah dengan siapa ?” tanya ibunya.

“Ananda ingin menikah dengan putri raja, Bu,” jawab I Laurang.

“Ha, dengan putri raja! Sungguh berat permintaanmu, Nak,” kata ayahnya dengan terkejut.

“Benar, Nak! Mana mungkin raja berkenan menerimamu sebagai menantunya dengan kondisi tubuhmu menyerupai ini,” tambah ibunya.

“Tapi, apa salahnya kita mencoba dulu, Bu. Bukankah putri raja itu ada tujuh orang dan anggun semua. Siapa tahu di antara mereka ada yang mau menikah denganku,” kata I Laurang mendesak kedua orang tuanya.

Setelah berkali-kali didesak, hasilnya kedua orang renta I Laurang pergi menghadap kepada sang Raja yang populer berilmu dan bijaksana itu untuk memberikan pinangan I Laurang.

“Ampun Baginda, jikalau kami yang miskin ini sudah lancang masuk ke istana yang megah ini. Maksud kedatangan kami yaitu ingin memberikan pinangan anak kami kepada salah seorang putri Baginda,” terang ayah I Laurang sambil memberi hormat.

Mendengar klarifikasi itu, sang Raja pun tersenyum manggut-manggut sambil mengelus-elus jenggotnya yang sudah mulai memutih.”

“Baiklah, kalau begitu! Aku akan menanyakan hal ini kepada tujuh putriku terlebih dahulu. Siapa di antara mereka yang bersedia mendapatkan pinangan I Laurang,” kata Raja.

Setelah itu, Raja memerintahkan kepada Bendaharanya untuk mengumpulkan seluruh putrinya. Tidak berapa lama, ketujuh putri raja sudah berkumpul di ruang sidang. Raja kemudian menanyai satu per satu putrinya mulai dari yang sulung hingga kepada yang paling bungsu wacana pinangan I Laurang.

“Wahai, Putri Sulung. Bersediakah engkau menikah dengan I Laurang ?” tanya Raja.

“Maafkan Nanda, Ayah. Nanda tidak mau menikah dengan I Laurang. Masih banyak pangeran dan cowok ganteng yang sepadan dengan Nanda,” kata si Putri Sulung menolak pinangan I Laurang. Selanjutnya, Raja bertanya kepada putri keduanya. Namun, jawabannya sama dengan balasan yang diberikan oleh si Putri Sulung. Demikian pula putri-putrinya yang berikutnya, mereka memperlihatkan balasan penolakan terhadap pinangan I Laurang. Akan tetapi, ketika pertanyaan itu ditujukan kepada si Bungsu, ia pun menjawab:

“Ampun Ayahanda. Jika Ayahanda berkenan, Nanda bersedia menikah dengan I Laurang.”

“Baiklah, Putriku! Ayahanda akan merestui kalian. Pesta janji nikah kalian akan kita langsungkan tiga hari lagi,” kata Raja.

Mendengar balasan si Putri Bungsu dan restu dari Raja, ayah dan ibu I Laurang sangat gembira. Dengan perasaan suka cita, mereka pun mohon pamit kepada Raja untuk segera memberikan gosip besar hati itu kepada I Laurang.

“Benarkah Raja mendapatkan pinanganku, Ibu ?” tanya I Laurang seolah-olah tidak percaya mendengar gosip itu.

“Benar, Anakku. Putri bungsu Raja yang bersedia menikah denganmu,” jawab ibu I Laurang.

Yakin pinangannya diterima, I Laurang eksklusif keluar dari kulit kepompong udangnya. Alangkah terkejutnya kedua orang tuanya dikala melihat wajah anaknya.

“Waaah, ternyata kau ganteng dan gagah, Anakku !” seru ibunya dengan takjub sambil mengamati seluruh tubuh I Laurang dari ujung kaki hingga ke ujung rambut.

“Putri Bungsu niscaya akan senang sekali mempunyai suami setampan kamu, Nak,” ujar ayah I Laurang.

Setelah itu, dengan ditemani ibunya, I Laurang pergi mencukur rambutnya yang sangat panjang, alasannya yaitu semenjak kecil tidak pernah dipotong. Setiap bertemu warga di jalan, ibu I Laurang selalu ditanya wacana orang yang berjalan bersamanya.

“Siapa lelaki ganteng yang berjalan di sampingmu itu?” tanya salah seorang warga kepada ibu I Laurang.

“Dia anakku, I Laurang, yang akan menikah dengan putri raja,” jawab ibu I Laurang.

Semua orang tercengang ketika mengetahui bahwa lelaki ganteng itu yaitu I Laurang. Selama ini, mereka mengenal I Laurang berwajah buruk menyerupai udang. Saat pesta janji nikah berlangsung, seluruh keluarga istana terkejut melihat ketampanan I Laurang, terutama si Putri Bungsu dan keenam kakaknya. Mereka benar-benar tidak menyangka bahwa ternyata I Laurang seorang cowok yang tampan. Berbeda dengan gosip yang mereka dengar bahwa I Laurang itu buruk rupa menyerupai udang. Si Putri Bungsu pun hidup berbahagia bersama I Laurang. Sementara keenam kakaknya iri hati dan dengki kepadanya. Mereka berniat merebut suami adiknya dengan cara mencelakai si Bungsu. Namun, niat buruk mereka diketahui oleh I Laurang. Oleh alasannya yaitu itu, I Laurang selalu menemani si Bungsu ke mana pun pergi, biar tidak diganggu oleh keenam kakaknya.

Pada suatu hari, I Laurang terpaksa harus meninggalkan istrinya, alasannya yaitu mendapat kiprah dari raja untuk pergi berdagang ke tempat lain. Sebelum berangkat, I Laurang berpesan kepada istrinya.

“Dinda. Abang akan pergi berdagang ke negeri seberang. Dinda harus berhati-hati terhadap kakak-kakak Dinda. Rupanya mereka iri hati dan ingin mencelakai Dinda. Oleh alasannya yaitu itu, ambil dan bawalah pinang dan telur ini ke manapun Dinda pergi,” ujar I Laurang kepada istrinya.

“Baik, Kanda. Dinda akan selalu mengingat pesan Kanda,” jawab sang Putri Bungsu.

Setelah suami si Putri Bungsu berangkat, keenam kakaknya mengajaknya bermain ayunan di tepi laut. Si Bungsu pun mendapatkan seruan mereka tanpa ada rasa curiga sedikitpun. Sesampainya di tepi laut, mereka bergiliran diayun. Ketika giliran si Putri Bungsu diayun, mereka beramai-ramai mengayunnya dengan kencang.

“Kak, hentikan. Kepalaku sudah pening dan peruktu mual. Hentikan...!!!” teriak si Putri Bungsu dengan ketakutan.

Keenam kakaknya tidak menghiraukan teriakannya. Mereka justru mengayunnya lebih kencang sehingga si Putri Bungsu terlempar ke bahari dan tenggelam. Melihat kejadian itu, keenam kakaknya bersorak besar hati dengan perasaan puas. Setelah itu, mereka pun pulang ke istana melapor kepada Raja bahwa si Bungsu meninggal dunia alasannya yaitu dimakan ikan dikala mandi di tepi laut.

Maka tersebarlah gosip bahwa istri I Laurang meninggal dunia alasannya yaitu dimakan ikan. Sementara itu, berkat pertolongan Tuhan, si Putri Bungsu yang karam di bahari masih hidup. Ia pun teringat dengan buah pinang dan telur sumbangan suaminya. Buah pinang itu ia tanam di dasar laut, sedangkan telurnya ia pecahkan. Lama-kelamaan belahan telur menjadi besar dan masuklah ia ke dalamnya untuk berlindung. Beberapa bulan kemudian, buah pinang yang ditanamnya itu tumbuh menjadi pohon besar dan tinggi, sehingga melebihi permukaan air laut. Selang beberapa minggu, si Putri Bungsu bermetamorfosis menjadi seekor ayam dan kemudian bertengger di atas pohon pinang. Setiap ada bahtera yang lewat, ayam itu selalu berkokok dan bertanya wacana keberadaan suaminya.

“Kuk kuruyuk...!!. Di manakah suamiku I Laurang? Bunga Putih nama perahunya!”

Demikian yang terus dilakukan ayam itu setiap ada bahtera lewat. Pada suatu hari, dari jauh tampaklah sebuah bahtera yang akan melewati tempat ayam itu bertengger. Ketika kapal itu sudah dekat, ayam itu berkokok dengan sekeras-kerasnya dan menanyakan keberadaan suaminya.

“Kuk kuruyuk...!!! Di manakah suamiku I Laurang?”

Mendengar teriakan ayam itu, tiba-tiba seorang lelaki ganteng keluar dari dalam kapal dan bangun di anjungan.

“Aku I Laurang,” teriak lelaki ganteng itu.

Kapal itu mendekati ayam yang sedang bertengger di atas pohon pinang. Saat kapal itu semakin dekat, ayam itu eksklusif terbang ke kapal sambil menangis.

“Bang, Ini saya Putri Bungsu, istrimu,” kata ayam itu.

I Laurang pun segera mengelus-ngelus ayam itu sambil mulutnya komat-kamit membaca mantra. Beberapa dikala kemudian, atas kuasa Tuhan, ayam itu berubah kembali menjadi si Putri Bungsu. Kedua suami-istri itu berpelukan sambil menangis. Setelah itu, si Putri Bungsu menceritakan semua kejadian yang dialaminya hingga ia bermetamorfosis menjadi seekor ayam.

“Sudahlah, Dinda. Mari kita kembali ke istana. Tentu ayahanda, ibunda, serta keenam kakakmu sudah usang menunggumu,” ujar I Laurang kepada istrinya.

“Tapi, Bang! Bagaimana dengan keenam kakakku ? Mereka niscaya akan mencari cara lain untuk menyingkirkan Dinda, sehingga mereka bisa menikah dengan Abang,” kata si Putri Bungsu dengan perasaan cemas.

“Dinda tidak usah khawatir. Abang mempunyai cara biar keenam abang Dinda itu menjadi jera dan tidak akan mengganggu Dinda lagi,” ujar I Laurang menenangkan istrinya. “

Bagaimana caranya, Bang?” tanya si Putri Bungsu penasaran.

“Dinda bersembunyi di dalam peti itu. Kemudian Abang memberi Dinda jarum besar. Jika ada yang memikul peti itu, maka tusuklah pundaknya,” terang I Laurang.

“Baik, Bang.” jawab si Putri Bungsu sambil mengangguk-angguk.

Ketika kapal yang mereka tumpangi merapat di pelabuhan, seluruh keluarga istana tiba menyambut kedatangan I Laurang, tidak terkecuali keenam abang si Putri Bungsu. Mereka senang sekali I Laurang telah kembali. Dalam hati mereka bertanya-tanya siapa di antara mereka yang akan dipilih oleh I Laurang untuk menjadi istrinya. Oleh alasannya yaitu itu, mereka selalu berusaha mencari perhatian I Laurang. Ternyata I Laurang pun sudah memahami perilaku dan gerak-gerik mereka.

“Barangsiapa di antara kalian yang bisa memikul peti itu hingga ke istana, maka dialah yang akan menjadi istriku,” ujar I Laurang sambil menunjuk peti yang berisi Putri Bungsu.

Mendengar pernyataan I Laurang itu, maka berlomba-lombalah mereka ingin mengangkat peti itu. Giliran pertama jatuh pada putri yang sulung. Dengan sekuat tenaga, ia mengangkat peti itu ke atas pundaknya. Namun, gres beberapa langkah berjalan, ia menghempaskan peti itu, alasannya yaitu tidak besar lengan berkuasa menahan rasa sakit akhir terkena bacokan jarum di pundaknya. Putri Sulung gagal menjadi istri I Laurang. Selanjutnya giliran putri kedua yang mengangkat peti itu. Namun, gres beberapa meter berjalan, ia menjatuhkan peti itu, alasannya yaitu tidak bisa menahan rasa sakit di pundaknya. Demikian pula putri ketiga, keempat, kelima dan keenam, gagal memikul peti itu hingga ke istana.

“Oleh alasannya yaitu tidak seorang pun yang berhasil, maka kalian gagal menjadi istriku,” kata I Laurang dengan perasaan puas.

Setelah itu, I Laurang memerintahkan beberapa orang pengawal untuk mengikat peti itu dengan tali, kemudian mengangkatnya beramai-ramai ke istana. Sesampainya di istana, I Laurang kemudian menjelaskan apa bergotong-royong isi peti itu.

“Pengawal. Buka peti itu!” seru I Laurang kepada salah seorang pengawal.

“Baik, Tuan.” jawab pengawal itu.

Setelah peti terbuka, alangkah terkejutnya keenam putri raja tersebut, alasannya yaitu ternyata isi peti itu yaitu si Putri Bungsu yang mereka kira sudah meninggal dunia. Oleh alasannya yaitu tidak besar lengan berkuasa menahan rasa aib kepada adiknya dan I Laurang, keenam kakaknya itu berlari berhamburan. Putri Sulung berlari ke arah pintu, putri kedua dan ketiga berlari ke dapur, putri keempat dan kelima berlari keluar dari istana, dan putri keenam berlari ke bersahabat sumur. Akhirnya, si Putri Bungsu pun diangkat menjadi Raja untuk menggantikan ayahnya, sedangkan keenam kakaknya menjadi pelayannya. Putri Sulung yang berlari ke arah pintu bertugas membuka dan menutup pintu; putri kedua dan ketiga yang berlari ke dapur bertugas memasak; putri keempat dan kelima yang berlari keluar istana bertugas menumbuk padi di lesung; dan putri keenam yang berlari ke bersahabat sumur bertugas mencuci.
Sumber http://www.maringngerrang.com/