Tuesday, July 17, 2018

√ Cerpen: Arti Sebuah Harapan

 cahaya lampu masih menerangi seluruh ruangan kamarku √ Cerpen: Arti Sebuah Harapan

Malam itu sekitar pukul 21.00, cahaya lampu masih menerangi seluruh ruangan kamarku, hening, bunyi detak dari jam terdengar sangat bising. Jari-jariku sudah daritadi disibukkan beradu dengan keyboard komputer. Setiap hari jikalau tidak ada kerjaan, inilah kegiatanku, bersosialisasi dengan orang-orang di dunia maya.

Sejenak saya berbaring diatas ranjang yang sudah daritadi tampak menungguku, kupandangi dengan lamat langi-langit kamarku, pikiranku melayang entah kemana mirip sebuah layang-layang yang putus.

"Trriiiingggg..." bunyi itu terdengar nyaring memecah khayalanku.

Layar komputer memperlihatkan bahwa saya mendapatkan sebuah pesan instan di jejaring sosial, sebuah pesan dari seorang yang berjulukan Alfian Demaratina, saya tidak mengenalnya, saya bahkan gres pertama kali menemukannya di dunia maya.

"Hay, makasih yah konfirmasi nya." Isi pesan yang ia kirimkan, tampak umum bagi orang yang hendak memulai percakapan.

"Iya, sama-sama." Jawabku singkat.

"Kamu sekolah dimana?" Katanya lagi, kupikir ia tidak akan menjawab pesanku tadi.

"SMA 1, kalau kau sendiri?"

"Haha.. Sama dong, kita sekolah disekolah yang sama." Percakapan kami terus berlanjut, ia tampak ramah dan pembicaraan kami mulai lebih santai mirip orang yang sudah saling kenal, namun saya bahkan belum pernah melihatnya sebelumnya. Detakan jam dinding masih setia menemaniku meskipun saya tidak pernah memperhatikannya atau bahkan meliriknya pun tidak sama sekali hingga saya tidak menyadari peringatan darinya bahwa waktu berlalu lebih cepat dari yang kusadari. Malam semakin pekat, mataku mulai terasa berat, saya tetapkan untuk mengakhiri percakapanku dengan orang yang berjulukan Alfian Demaratina tadi.

Suatu hari, dengan pesan broadcast di Blackberry Messanger saya dengan gampang melaksanakan promosi penjualan souvenir pin, dengan cepat beberapa orang menanggapinya, alhasil beberapa sudah resmi terjual. Namun saya terkejut ketika orang yang beberapa hari kemudian menemaniku chating di jejaring sosial itu muncul lagi dan berniat membeli pin yang kujual.

Menurut beberapa orang, pembeli ialah raja, entah siapa yang menyatakan teori tersebut, tapi itulah yang kulakukan. Dengan rasa ingin tau ingin melihat sosok Alfian Demaratina itu saya mengantarkan pin pesanannya ke alamat rumah yang ia katakan, itu membuatku tampak mirip seorang Delivery Service.

Seorang pria seusia anak kelas XI berjalan keluar dari rumah yang disebutkan oleh si Alfian itu, berjalan menghampiriku dengan wajah yang agak canggung yang menciptakan tingkahnya serasi, harmonis sebagai orang yang salah tingkah. Namun hal itu bukan hanya terjadi padanya, saya juga mengalaminya, yang entah kenapa, bagaimana, dan mengapa saya sanggup mirip ini.

"Terima kasih sudah mau mengantarkannya." Sambil tersenyum ia mulai menyapaku.

"Iya, sama-sama." Jawabku dengan sangat singkat meskipun gotong royong saya ingin bicara lebih banyak, namun entah kenapa ketika kata-kataku sudah hingga di tenggoroka semua kata-kata itu hilang entah kenapa. Yah Tuhan...

Beberapa hari sesudah bertemu dengannya kami mulai lebih erat dari sebelumnya, hari-hari berlalu tanpa ada satupun yang terlewatkan untuk saling menyapa. Menurutku hal itu masuk akal saja, toh tidak ada yang menonjol dari kami, namun tidak dengan apa yang dipikirkan pacarku, Arsha Feryaputra, ia beranggapan bahwa saya selingkuh. Sungguh tak pernah kusangka ia akan berpikiran mirip itu, saya terus berusaha menjelaskan padanya, berkali-kali hingga alhasil ia sanggup luluh dan percaya bahwa saya dan Alfian tidak ada kekerabatan apa-apa.

Bulan demi bulan terus berlalu, banyak yang berubah sekarang, Arsha kini sudah mulai memasuki jenjang pendidikan di perguruan tinggi tinggi, kini saya dan Arsha harus menjalin kekerabatan jarak jauh dengannya. Sedangkan saya dan Alfian, kami semakin dekat. Saat ini dimataku ia bukan hanya sosok pria yang baik, melainkan lebih dari baik.

Tanpa perjanjian bahkan persetujuan, saya dan ia kini menjadi abang dan adik. Meskipun kami berdua sama-sama anak tunggal namun hal itu akan membuatku sanggup mencicipi bagaimana mempunyai seorang kakak. Namun alasannya ialah seringnya kami bertemu, hunganku dengan Arsha tidak mirip hubunganku dengan Alfian, gosip dan gosip silih berganti ke telinganya.

"Kamu punya kekerabatan apa dengan dia?" Ucap Arsha melalui telepon.

"Dia? Maksudmu Alfian?"

"Iya, apa kekerabatan kalian? Apakah kalian sudah jadian?" Nada suaranya meninggi.

"Dia hanya ku anggap sebagai kakakku."

"Alasaan..." Dia mulai membentak.

"Ya sudah, kalau kau tidak percaya." Jawaban pasrah kulontarkan, saya sudah tidak sanggup meyakinkannya.

Aku kemudian menjelaskan bagaimana jikalau Alfian menjauhiku biar Arsha sanggup percaya. Meskipun dalam hatiku ini ialah tindakan yang salah. Sedikit mulut kecewa tampak dari raut wajah Alfian, mau-tidak-mau ia harus menerimanya.

Hari ini, dua hari sesudah Alfian tidak pernah lagi muncul dalam hidupku. Sekolah kini berbeda dari kemarin-kemarin, semuanya terasa hampa, meskipun disisi lain Arsha dan saya mulai membaik. Alfian kini tampak dekat dengan orang lain, entah, saya tidak mengenalnya. Kini saya berpikir, mungkin saya tidak ada artinya lagi bagi Alfian. Tak ada yang tau apa yang akan terjadi setelahnya, semua rencana Tuhan. Setelah beberapa problem yang kulalui kini saya dan Arsha kembali mirip sedia kala, meskipun tidak seutuhnya, sudah menjadi belakang layar umum bahwa kekerabatan jarak jauh bukan hal yang indah. Aku teringat dulu ketika Alfian selalu memberiku dorongan untuk tetap setia pada Arsha dalam menjalani kekerabatan jarak jauh ini, ia selalu menyemangatiku, namun kini semua berbeda.

Suatu hari ketika jam istirahat, seorang temanku menghapiri dengan tergesa-gesa, menurutku ada hal jelek yang ingin ia sampaikan, namun dari raut wajahnya tampaknya ini memang hal buruk.

"Dijha, apa kau masih pacaran dengan Arsha?" Ucapnya dengan nafas tersegal-segal.

"Hmm.. Iya, memangnya ada apa? Apa kau mendapatkan permintaan ijab kabul darinya?" Aku menjawab dengan sedikit candaan.

"Bukan saatnya bercanda, tapi mungkin ini hampir sama dengan yang kau katakan, lihat ini." Sambil menyodorkan layar ponselnya kedepan wajahku. Dengan sangat terkejut, saya terdiam, saya resmi mematung. Tampak Arsha sedang bertukar foto profilnya di jejaring sosial dengan seorang gadis.

Bagi orang pada umumnya, ketika menghadapi keadaan mirip ini hal yang akan dirasakan selalu sama, persaan cemburu dan yakin bahwa ia telah diduakan. Aku telah tetapkan hubunganku dengannya, tidak ada lagi kekerabatan apa-apa antara Hadijah Syamsul dengan Arsha Feryaputra. Meskipun ia terus memohon untuk kembali, namun hal itu tak pernah lagi ku hiraukan.

Sepertinya hal tersebut diketahui Alfian, ia muncul kembali dalam hidupku, mencoba menenangkan perasaanku dan meyakinkanku wacana keputusan yang telah kuambil. Namun saya sudah yakin, terlalu yakin untuk sanggup meliriknya kembali.

Dua bulan sesudah saya dan Arsha putus, hidupku sudah kembali normal, ia sudah tidak ada lagi di benakku, saya dan Alfian pun kini semakin erat lagi, bahkan jauh lebih akrab. Tapi ada satu hal yang absurd kurasakan, sesuatu menggejolak serasa ingin keluar dari tubuhku, sesuatu yang menggebu-gebu, sesuatu yang sangat besar. Orang yang selama ini ku kagumi, yang dari dulu selalu memberiku dorongan dan nasehat kini saya mencicipi hal yang absurd terhadapnya, saya menyukainya. Tapi disisi lain saya terus bertanya, apakah ia juga mencicipi hal yang sama!?

Seperti biasanya, disekolah, tepatnya didepan kelas ia menghampiriku, saya duduk, berbicara empat mata dengan Alfian.

"Dijha?" Nada suaranya berubah.

"Iya. Ada apa?"

"Aku tau kau berharap lebih dari abang denganku."

"Maksudnya?" Tanyaku dengan muka heran.

"Kamu niscaya berharap kita lebih dari saudara, tanpa kau sadari saya juga pernah berharap mirip itu dulu, sewaktu kau dan Arsha masih pacaran, bahkan saya terus berharap, dan kini kau juga, tapi maaf, sebaiknya kau tidak usah berharap lagi padaku.." Ungkapnya. "Maaf.." Kemudian ia pergi tanpa ada kata lagi. Meninggalkanku yang termangu sendiri mencoba menahan rasa sakit yang menusuk sesudah mendengar kata-kata itu. Sungguh tak pernah kusangka ia menyampaikan hal itu padaku. Ya Tuhan...

Selang beberapa hari sesudah terakhir saya dan Alfian bertemu, hal yang lebih jelek terjadi, di jejaring sosial tampak Alfian sudah mempunyai pacar, ia ialah temanku sendiri, sahabat yang hampir sangat dekat denganku dalam organisasi sekolah. Tak pernah kusangka ia akan melaksanakan ini, tak pernah kusangka.

Saat itu saya terpikir, mungkin ini yang pernah Alfian rasakan ketika saya masih pacaran dengan Arsha, bahkan mungkin jauh lebih menyakitkan ketika saya bercerita wacana Arsha pada Alfian, saya tak pernah menyadari perasaannya, hingga kini saya harus mencicipi perasaannya dulu. Kini saya hanya sanggup berdoa, semoga Alfian sanggup senang dengan pacarnya, semoga ia sanggup terus bertahan dengan pacarnya itu.

Kini ketika saya melihatnya, ia bukan Alfian yang kukenal lagi, seakan-akan Alfian telah meninggalkan sekolah itu, semuanya kembali terasa hampa, hanya perasaan sakit yang kurasakan. Bahkan ketika saya mencoba bertanya kabarnya, jawabannya tak seramah dulu, kini ia mirip orang yang tak pernah mengenalku. Ketika saya berpapasan dengannya disekolah, tak pernah sekalipun ia menatapku dengan ramah, sangat dingin. Aku terus-menerus bertanya, mengapa ia tiba-tiba melaksanakan hal ini? Aku bahkan tak pernah mencoba menyakitinya atau membuatnya sedih.

Sungguh insiden mirip ini tidak pernah terpikir olehku akan terjadi, sudah hampir sebulan ia mengacuhkanku, saya mulai bertanya, masihkah saya harus berharap hingga detik ini? Mungkin tidak. Tetapi saya bersyukur, selama ini ada seseorang yang selalu mendukungku untuk tidak pernah berhenti berharap, orang yang kuanggap sahabat meyakinkanku bahwa ini bukanlah akhir.

Sore hari tanggal 27 November, untuk yang pertama kalinya sesudah beberapa bulan, saya mendapatkan pesan singkat dari Alfian, hal itu membuatku merasa gelisah, senang, dan khawatir menjadi satu mirip sebuah gado-gado. Kini ia mencoba menceritakan apa yang gotong royong terjadi dibelakang semua hal yang tidak saya ketahui. Dan inilah tanggapan yang selama ini saya cari-cari.

Ia menjauh bukan alasannya ialah ia membenciku.

"Maaf, gotong royong saya bukannya tanpa alasan melaksanakan ini, disisi lain saya ingin melihat sebagaimana perasaanmu padaku, disisi satunya lagi saya terjebak dan ia terlanjur berharap padaku, saya takut dikatakan sebagai orang yang memberi impian palsu pada orang lain. Maaf jikalau kau yang tampaknya mendapatkan impian palsu itu, tapi saya tau kau tidak mirip orang yang pada umumnya." Ungkapnya menjelaskan semua yang ia lakukan.

"Tapi ini bukan tindakan yang baik menurutku, apakah tidak ada cara lain?"

"Dipikiranku hanya ini yang sanggup kulakukan."

"Terserah deh.." Jawabku pasrah dan sangat dingin, tapi sejujurnya saya memang masih berharap padanya dan saya sangat menyayanginya.

Kini semuanya berubah secara drastis dan sangat cepat, kini saya dan Alfian kembali mirip dulu, kini ia tampak sangat ceria dibandikan kemarin-kemarin, setiap kali ada kesempatan ia selalu mencoba melihatku tanpa kusadari. Setiap kali saya melihatnya selalu tampak senyum manis darinya, saya sangat senang dengan hal itu.

Suatu hari saya kembali mencicipi hal yang berbeda, kami kembali berbicara 4 mata, saya merasa takut apakah hal yang dulu akan terulang kembali. Namun kali ini benar-benar berbeda, kata yang sudah lama kunanti darinya kini kudengar.

Siang itu, disekolah, tepatnya tanggal 19 Desember 2013, ia mengungkapkan niatnya padaku, ia memohon untuk menjadikannya pacarku, tetapi bagiku, saya mustahil bisa.. saya mustahil sanggup menolak orang yang sudah lama kunantikan untuk mengisi ruang kosong yang sudah lama kusiapkan untuknya. Kami resmi pacaran.

Kusadari semua rintangan yang telah saya dan ia lalui bukannya tanpa arti, semua itu menciptakan kami menyadari apa arti kami saling menyatukan perasaan, apa arti kami saling menyayangi, itu akan menciptakan kami lebih remaja dan terbuka satu sama lain.

Perjuangan yang kami lakukan tidak ada yang sia-sia, semua impian dan doa kini mulai terjabah.

Dibalik semua hal-hal sulit yang kita lalui, kita akan mendapatkan hal luar biasa yang tak pernah diduga sebelumnya. Tuhan akan memperlihatkan apa yang kau usahakan.

By : Hadijah Syamsul

Sumber http://www.maringngerrang.com/