Kaidah pelaksanaan ibadah dalam fatwa agama Islam yaitu “al-ittiba’ la al-ibtida’ yaitu mengikuti apa yang diperintahkan dan dilaksanakan Nabi, bukan berkreasi atau membuat-buat sendiri.”
Berikut uraikan fiqh sahur dan ifthor sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad saw.
وَعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا, أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ قَالَ: لاَ يَزَالُ اَلنَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا اَلْفِطْرَ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
Dari Sahal bin Sa’ad radhiallahu anhu, bekerjsama Rasulullah bersabda, “Masih ada kebaikan pada orang-orang selama mereka menyegerakan berbuka.” (Muttafaq alaih)
وَلِلتِّرْمِذِيِّ: مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ اَلنَّبِيِّ قَالَ: قَالَ اَللَّهُ : أَحَبُّ عِبَادِي إِلَيَّ أَعْجَلُهُمْ فِطْرًا
Dalam riwayat Tirmizi, dari hadits Abu Hurairah, dari Nabi, dia bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Hamba yang paling Aku cintai yaitu mereka yang paling cepat berbuka.”
- وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ : تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي اَلسَّحُورِ بَرَكَةً (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
Dari Anas bin Malik, dia berkata, “Rasulullah (shallallahu alaihi wa sallam) bersabda, “Hendaknya kalian makan sahur, bekerjsama pada makanan sahur terdapat barokah.”(Muttafaq alaih)
وَعَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ اَلضَّبِّيِّ عَنِ اَلنَّبِيِّ قَالَ: إِذَا أَفْطَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى تَمْرٍ, فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى مَاءٍ, فَإِنَّهُ طَهُورٌ (رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ)
Dari Salman bin Amir Adh-Dhabby, dari Nabi, dia bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian berbuka puasa, hendaklah dia berbuka dengan korma, bila tidak, hendaklah dia berbuka dengan air. Karena air itu mensucikan.” (Riwayat perawi yang lima, dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban serta Al-Hakim)
Pemahaman Hadits dan Kesimpulan Hukum
- Hadits 658 dan 659 mengatakan disunahkan segera berbuka apabila telah terperinci tiba waktu Maghrib atau matahari telah terbenam.
- Hadits 660 meskipun redaksinya yaitu bersifat perintah untuk makan sahur, namun jumhur ulama menyimpulkan bahwa makan sahur merupakan sunah puasa, dan bahwa di dalamnya terdapat barokah.
- Makan sahur, bila dikaitkan dengan kata-kata sahar yang berarti selesai malam, mengatakan bahwa yang disunahkan dalam makan sahur yaitu mengakhirkannya. Hal ini dikuatkan oleh beberapa hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang menganjurkan untuk segera berbuka dan mengakhirkan sahur.
- Makan sahur dikatakan barokah lantaran di dalamnya terdapat beberapa kebaikan; Padanya terdapat pelaksanaan sunah Nabi. Pembeda antara puasa orang-orang Islam dengan Ahlul Kitab. Waktu sahur termasuk sepertiga malam terakhir, waktu yang dianjurkan beristighfar dan waktu yang mustajabah dikala Allah Ta’ala turun ke langit dunia dan memenuhi cita-cita hamba-Nya yang meminta kepada-Nya.
- Menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur kembali mengatakan bahwa waktu puasa bulan mulia hendaknya terperinci awal dan akhirnya.
- Hadits 661 mengatakan wacana makanan yang disunahkan untuk dimakan pertama kali dikala berbuka. Berdasarkan hadits di atas, yang pertama dimakan yaitu korma. Jika tidak ada, maka berbuka dengan air putih. Dalam riwayat Abu Daud dan Tirmizi diriwayatkan bahwa yang pertama kali dia makan yaitu ruthab (korma setengah matang), bila tidak ada ruthab, memakan korma, bila tidak ada korma, maka meminum beberapa teguk air putih.
- Sedikit agak berbeda dengan apa yang sering diungkapkan, bahwa kalau tidak ada korma maka berbuka dengan sesuatu yang manis. Jika merujuk hadits ini yaitu bahwa bila tidak ada korma, maka hendaknya berbuka dengan air putih. Wallahua’lam.
- Air putih dikatakan mensucikan dalam hadits ini maksudnya yaitu membersihkan lambung dan pencernaan.
Beberapa Hukum dan Ketentuan Terkait Berbuka
- Menyegarakan berbuka, selain merupakan bentuk bersegara dalam kebaikan yang Allah tawarkan, dia juga merupakan perilaku untuk berbeda dengan orang Yahudi dan Nashrani yang menunda waktu berbuka mereka. Begitu pula makan, sahur, selain bahwa di dalamnya terdapat barokah, juga dengan melaksanakan makan sahur, akan menjadi pembeda puasa kita dengan puasa andal kitab. Sebagaimana dijelaskan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
- Jika masih ragu, apakah waktu maghrib sudah masuk atau belum, tidak dibolehkan berbuka. Apalagi bila diyakini bahwa matahari belum tenggelam. Karena aturan asalnya yaitu siang, bila terbenamnya matahari masih diragukan, maka yang dianggap yaitu hari masih siang. Akan tetapi, bila diduga kemungkinan besar matahari telah tenggelam, dibolehkan berbuka.
- Jika seseorang berbuka puasa dengan keyakinan matahari telah tenggelam. Namun terbukti kemudian bahwa matahari masih tampak. Maka menurut pendapat jumhur ulama, dia harus melanjutkan puasa sampai Maghrib tapi harus mengqadha puasa hari itu.
- Perlu diperhatikan pula sunah berbuka lainnya, yaitu berdoa, baik dengan doa yang diajarkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, atau dengan doa-doa kebaikan yang diinginkan. Karena dikala itu termasuk waktu yang mustajabah. Disunahkan pula memberi makan orang berbuka. Dapat dilakukan dengan memberi pinjaman berbuka, atau memasak sendiri dan mengundang orang untuk berbuka puasa.
- Jika seseorang naik pesawat di siang hari dalam keadaan puasa, maka bila dia ingin meneruskan puasanya, berbukanya ditentukan dengan tenggelamnya matahari dikala dia di pesawat, bukan menurut waktu di negaranya atau di daerah tujuannya. Walaupun konsekwensinya sanggup lebih cepat atau lebih usang dari waktu yang biasa dia lakukan di darat.
Beberapa Hukum Dan Ketentuan Terkait Makan Sahur
- Jika ketika berbuka, sunahnya yaitu disegerakan, maka sahur sunahnya yaitu diakhirkan. Hanya saja, bila diyakini telah masuk waktu fajar, harus eksklusif dihentikan.
- Berbeda dengan berbuka, dalam sahur bila masih ragu apakah sudah terbit fajar atau belum, maka masih dibolehkan makan sahur. Karena asalnya yaitu tetapnya malam. Jika terbitnya fajar masih diragukan, maka yang dianggap bahwa hari masih malam. Bahkan bila seseorang berdiri dari tidur, kemudian dia menganggap hari masih gelap dan fajar belum terbit, kemudian dia meminum segelas air, kemudian terbukti bahwa ternyata waktu Shubuh sudah masuk, maka puasanya tetap sah.
- Tetap menyantap makanan dikala azan berkumandang, sedangkan azan tersebut diyakini dikumandangkan sesudah waktu fajar telah masuk, merupakan kekeliruan. Pada zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yang dibolehkan untuk terus makan dikala azan yaitu apabila azannya Bilal. Karena Bilal, kebiasaannya azan beberapa usang sebelum terbit fajar, yaitu sebagai azan pertama untuk mengatakan bahwa terbitnya fajar telah dekat. Adapun apabila mendengar azan Abdullah bin Ummi Maktum, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang kaum muslimin (yang hendak berpuasa) untuk meneruskan makannya, alasannya yaitu Abdullah bin Umi Maktum seorang buta, dia tidak mengumandangkan azan sebelum ada orang yang memberitahu bahwa waktu fajar sudah masuk.
Aisyah radhiallahu anha berkata,
أَنَّ بِلاًلاً كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
“Sesungguhnya Bilal mengumandangkan azan di waktu malam (sebelum terbit fajar). Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan azan, lantaran dia tidak azan kecuali sesudah terbit fajar.” (HR. Bukhari)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa tujuan azan Bilal yaitu biar yang qiyamullail segera menghentikan shalatnya untuk istirahat atau makan sahur bila dia hendak puasa, serta yang masih tidur biar segera bangun.
- Kalaupun ada yang dibolehkan menurut hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yaitu apabila gelas telah diangkat ke verbal dan siap diminum, kemudian azan berkumandang, maka ketika itu dia boleh meneruskan minumnya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ (رواه الحاكم أبو داود وصححه الحاكم ووافقه الذهبي وصححه الألباني في صحيح سنن أبي داود)
“Jika salah seorang dari kalian mendengar permintaan (azan) sedangkan wadahnya telah ada di tangannya, maka jangan letakkan kembali (wadah tersebut) sebelum dia memenuhi keinginannya (memakan atau meminum yang ada di wadah tersebut).” (HR. Hakim dan Abu Daud. Hakim menyatakan hadits ini shahih dan disetujui oleh Az-Zahaby. Al-Albany juga menyatakannya shahih dalam Shahih Sunan Abu Daud)
- Yang paling baik yaitu seseorang mengakhirkan sahurnya di penghujung malam sebelum terbit fajar, namun 10 atau 15 menit sebelum terbit fajar hendaknya dia sudah selesai makan dan minum, biar terhindar dari keraguan dan memulai ibadah puasa dengan keyakinan. Di samping itu dirinya mempunyai waktu untuk segera berkemas-kemas melaksanakan shalat Shubuh.
Hal ini bersandar pada riwayat Anas bin Malik; Zaid bin Tsabit memberitahunya bahwa dia pernah sahur bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, kemudian (setelah itu) mereka menunaikan shalat (Fajar). Ketika dia ditanya wacana berapa usang masa antara (selesai) sahur dengan azan? Beliau berkata, “Seukuran membaca 50 ayat.” (HR. Bukhari)
- Jadi, ada dua perilaku berlebihan dalam problem sahur pada sebagian masyarakat. Sebagian mempercepatnya di tengah malam jauh sebelum terbit fajar. Sementara sebagian lagi tetap makan dan minum meskipun azan yang diyakini sebagai mengambarkan terbit fajar telah berkumandang. Sebaik-baik kasus yaitu yang pertengahan menurut petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Disimpulkan pula dari hadits di atas bahwa dalam sahur pun dianjurkan untuk makan bersama sebagaimana Zaid bin Tsabit makan sahur bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
- Ada satu kasus yang sering dibicarakan dalam problem sahur ini. Yaitu ketetapan imsak yang sering dijadikan teladan sebagian masyarakat. Biasanya ditetapkan 10 menit sebelum masuknya waktu Shubuh (terbit fajar).
Kalau permasalahannya kembali kepada perilaku dalam point sebelumnya, yaitu sebagai bentuk kehati-hatian biar beberapa dikala sebelum azan fajar sudah selesai dari aktifitas makan dan minum, dan bahwa sesudah itu masih memungkinkan bagi seseorang untuk makan dan minum selama belum diyakini telah masuk waktu fajar. Maka hal ini tidak mengapa insya Allah, bahkan itu lebih baik dibanding seseorang tetap makan ketika azan berkumandang. Permasalahan inilah yang perlu dipertegas kepada masyarakat dalam memahami dan mensikapi problem imsak di bulan Ramadan.
Adapun bila ketetapan imsak tersebut dijadikan sebagai batas awal dimulainya puasa, yaitu bahwa apabila telah masuk waktu imsak seseorang yang hendak berpuasa tidak lagi dibolehkan makan dan minum serta kasus yang membatalkan lainnya, maka hal tersebut terperinci bertentangan dengan ketetapan syariat yang jelas-jelas memutuskan terbit fajar sebagai awal dari kewajiban menahan diri dalam berpuasa sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Baqarah: 187.
Maka di sini, ada dua permasalahan yang perlu dibedakan dan diperjelas. Wallahua’lam. (aburumaisha)