Saturday, September 8, 2018

√ Metode Pengawetan Materi Pangan Melalui Pengendalian Kadar Air


Air yang terkandung dalam materi pangan merupakan salah satu faktor penyebab kerusakan materi pangan. Umumnya materi pangan yang gampang rusak yakni materi pangan yang mempunyai kandungan air yang tinggi. Air diharapkan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Demikian juga air diharapkan untuk berlangsungnya reaksi-reaksi biokimia yang terjadi di dalam materi pangan, contohnya reaksi-reaksi yang dikatalisis oleh enzim. Air yang diharapkan untuk terjadinya banyak sekali reaksi di dalam materi pangan serta tumbuhnya mikroba yakni air bebas. Air yang terikat berpengaruh secara kimia sulit dipakai mikroba untuk hidupnya. Kandungan air dan kegiatan air pada materi pangan berperan penting dalam memilih tingkat stabilitas dan keawetan pangan, baik yang disebabkan oleh reaksi kimia, kegiatan enzim maupun pertumbuhan mikroba. Cara untuk meningkatkan stabilitas dan keawetan pangan yakni dengan melaksanakan pengendalian a­w, yaitu dengan menurunkan nilai aw pangan hingga berada diluar kisaran dari faktor penyebab kerusakan. Proses pengeringan, penambahan gula, penambahan garam yang bersifat higroskopis yakni beberapa cara untuk menurunkan nilai aw.
·         Pengeringan
Pengeringan merupakan metode untuk mengurangi kadar air dengan suhu tinggi (penguapan) yang bertujuan untuk mengawetkan bahan. Proses utama yang terjadi selama pengeringan yakni tranfer panas dan transfer massa (Desrosier, 1988). Panas ditransfer dari udara pengering, air dimobilisasi keluar untuk kemudian diuapkan. Uap ini selanjutnya diserap udara pengering dan keluar gotong royong dengan udara bekas pengeringan sehingga selama pengeringan terjadi penyusutan bobot lantaran adanya air yang menguap tersebut. Selama pengeringan, materi pangan mengalami penurunan kadar air yang menjadikan naiknya kadar zat gizi di dalam massa yang tertinggal. Kualitas materi yang diawetkan tidak pernah lebih baik dari materi segarnya. Hal ini lantaran pada pengeringan terjadi perubahan tekstur dan aroma, umumnya vitamin dan zat warna menjadi rusak atau berkurang.
Menurut Earle (1983) beberapa faktor yang mensugesti kecepatan pengeringan dari suatu materi yakni sifat fisik dan kimia dari produk (bentuk, ukuran, komposisi, kadar air), sifat fisik dari lingkungan alat pengering (suhu, kelembaban, kecepatan udara), pengaturan geometris produk sehubungan dengan permukaan alat atau medium mediator pemindah panas (misal nampan untuk pengeringan), dan abjad alat pengering (efisiensi pemindahan panas).
Aktivitas air (Aw) ini memilih batas terendah air yang tersedia untuk pertumbuhan mikrobia. Kebanyakan kuman tidak tumbuh pada Aw di bawah 0,91 sedangkan jamur pada Aw 0,8 (Buckle, 1987).
Pengeringan sanggup dilakukan secara tradisional yaitu dengan sinar matahari maupun dengan pemberian alat pengering. terdapat tiga macam alat pengering yaitu tipe absorbsi atau kotak pemanas dimana produk eksklusif dipanaskan dengan sinar matahari melalui tutup gelas atau plastik. Alat pengering tidak eksklusif atau konveksi yakni produk kontak dengan udara panas, kemudian alat pengering kombinasi yaitu produk dikenakan eksklusif pada sinar matahari dan anutan udara panas.
Kelebihan pengawetan masakan dengan pengeringan yakni bobot air yang hilang sekitar 60% hingga 90% dari bobot air semula, ukuran produk pangan yang dikeringkan akan menyusut sehingga lebih gampang dalam pengemasan, dan stabil di dalam penyimpanan (tidak perlu alat pendingin). Namun terdapat beberapa kerugian, yaitu beberapa materi pangan mempunyai kepekaan derajat panas yang berbeda yang apabila tidak dikendalikan sanggup merusak pangan tersebut, hilangnya flavor yang gampang menguap (volatil), pigmen memucat, perubahan struktur akhir pengerutan selama air dikeluarkan, serta kemungkinan terjadinya case hardning.
Salah satu pola aplikasi pengeringan yakni pengeringan ikan. Pengeringanikan bertujuan menambah daya simpan ikan dengan mengurangi kadar air.

Pengeringan ikan sanggup mengurangi kadar air sebanyak 80% hingga 10%.  Ikan yang dikeringkan sanggup disimpan usang lantaran kadar airnya berkurang dan sebaiknya menyimpan ikan yang telah dikeringkan tersebut ke dalam kawasan yang kering pula. Pangan yang telah dikeringkan mempunyai kecenderungan untuk menyerap air lebih banyak dari lingkungannya.
·        Pengawetan dengan penambahan Garam
Seiring dengan kemajuan teknologi, insan terus melaksanakan perubahan-perubahan dalam hal pengolahan dan pengawetan materi makanan. Hal ini masuk akal lantaran dengan semakin berkembangnya teknologi kehidupan insan semakin hari semakin sibuk sehingga tidak mempunyai banyak waktu untuk melaksanakan pengolahan materi masakan yang hanya mengandalkan materi mentah yang kemudian diolah didapur. Salah satu bentuk pengolahan masakan untuk pengawetan materi masakan yang gampang busuk yakni dengan penambahan garam.
Penambahan garam atau Pengasinan (curing) daging yakni suatu proses yang sanggup menghambat pertumbuhan mikroorganisme melalui penggunaan garam sodium khlorida dan pengendalian kegiatan air (water activity/aw), diikuti dengan penggunaan garam nitrit yang ditambahkan untuk mempertahankan warna daging dan pengasapan untuk mengendalikan pertumbuhan mikrooorganisme selanjutnya dan mencapai suatu rasa daging asin yang diinginkan. Telah banyak proses-proses tradisional yang dikembangkan untuk menunjukkan ciri-ciri khas produk tersebut (Buckle et al, 1985).

Pengawasan sebelum penyembelihan ditujukan untuk memperoleh pH simpulan yang rendah yang merupakan aspek yang penting bagi semua pengolahan daging secara penggaraman, lantaran pH 5,8 atau lebih rendah diharapkan :
1)    Untuk menghasilkan struktur terbuka dalam urat daging yang meningkatakan absorpsi garam ke dalam jaringan secara lebih cepat dan sempurna.
2)    Untuk membantu mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme baik pada permukaan dan di dalam jaringan dimana kuman pencemar anaerobik hanya tumbuh secara perlahan pada pH dibawah 5,6.
3)    Untuk membantu mempertahankan warna merah muda yang diinginkan yang sanggup dicapai dengan baik bila pH daging dibentuk 5,8 atau lebih rendah.

·        Pengawetan dengan Penambahan Gula
Gula mempunyai sifat higroskopis yang disebabkan oleh kemampuannya membentuk ikatan hidrogen dengan air. Bila sebuah kristal gula melarut, molekul-molekul air bergabung secara ikatan hidrogen pada gugus polar molekul gula yang terdapat di permukaan air kristal gula tersebut.  Molekul-molekul air yang semula terikat pada lapisan pertama ternyata tidak sanggup bergerak, tetapi selanjutnya molekul-molekul gula hasilnya dikelilingi oleh lapisan air dan melepaskan diri dari kristal ( Winarno, 2004). Hal ini menjadikan penurunan jumlah air bebas dan penurunan nilai aw, sehingga air tidak sanggup dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba.

            Aw rendah menjadikan sel mikroba menjadi bersifat reversible atau mati. Jika Aw produk diturunkan, maka sel kuman akan melepaskan air bebasnya untuk mempertahankan kondisi kesetimbangan. Kehilangan air menjadikan terjadinya plasmolisis sehingga pertumbuhan sel terhambat dan sel bersifat reversible atau  mati. Tetapi, walaupun kondisi Aw yang rendah sanggup menghambat pertumbuhan bakteri, ternyata kondisi didalam produk dan kemampuan kuman untuk mengikuti keadaan terhadap kondisi stress yang terjadi masih memungkinkan sel-sel kuman tersebut bertahan selama periode waktu tertentu
     Contoh pengawetan dengan penambahan gula antara lain dalam pembuatan selai, jeli, dan marmalade. Produk ini terdiri dari buah-buahan, pulp buah-buahan, sari buah, atau potong-potongan buah yang diolah menjadi suatu struktur menyerupai jel berisi buah-buahan, gula, asam, dan pektin. Sifat-sifat yang penting bagi produk ini termasuk kestabilannya tehadap mikroorganisme dan struktur fisiknya. Stabilitas mikroorganisme dari selai dan produk-produk serupa dikendalikan oleh sejumlah faktor, antara lain:
4)    Kadar gula yang tinggi biasanya dalam kisaran padatan terlarut antara 65-70%
5)    pH rendah biasanya dalam kisaran 3,1 - 3,5 tergantung dari tipe pektin dan konsentrasi gula yang digunakan
6)    Aw biasanya dalam kisaran 0,75 – 0,83
7)    Suhu tinggi dalam pendidihan atau pemasakan (105 - 1060C)
8)    Tegangan oksidasi rendah pada penyimpanan (misalnya bila diisikan kedalam wadah-wadah hermatik dalam keadaan panas)
(Buckle, 1987)
b.    Pengendalian Kerusakan oleh Mikroorganisme
Konsentrasi garam yang diharapkan untuk menghambat pertumbuhan pencemar daging, tidak mempunyai batasan yang pasti, lantaran hal itu banyak tergantung pada faktor-faktor lain dalam lingkungan, yaiutu pH dan suhu. Garam menjadi penghambat yang efektif pada suhu yang lebih rendah dan kondisi yang lebih asam.
Hal yang perlu dicatat yakni bahwa penghambatan terhadap mikroorganisme dengan garam tergantung pada kandungan garam pada fase cair, dan tidak ada kandungan garam keseluruhan pada produk yang diasinkan. Fase cair terdiri dari air dan garam yang larut dan konsentrasi garam pada fase ini terang lebih tinggi daripada kandungan garam dari daging secara keseluruhan.
Secara umum telah diketahui bahwa organisme perusak yang mayoritas pada daging segar dalah Achromobacter dan Pseudomonas yang terhambat oleh konsentrasi garam yang lebih dari 6% pada fase cair. Sebaliknya banyak kuman yang tahan garam sanggup tumbuh hingga pada konsentrasi garam mendekati jenuh. Banyak jamur yang juga sanggup tahan terhadap konsentrasi tinggi. Sesuai dengan hal ini, maka dengan menyesuaikan konsentrasi dalam fase cair pada tingkat 6-10%, kita sanggup memakai garam sebagai penghambat selektif terhadap kuman proteolitik, tetapi disamping itu juga membiarkan berkembangnya tumbuhan yang tahan garam. Dalam proses-proses pengasinan tradisional, tumbuhan yang tahan garam ini dibiarkan berkembang di dalam garam pengasin untuk mengurangi perubahan nitrat menjadi nitrit yang penting untuk menekan perkembangan organsime perusak anaerobik. Akan tetapi, fungsi utamanya yakni untuk mencapai pengaturan warna pada produk yang diasin.
Kecepatan penetrasi garam ke dalam badan ikan dipengaruhi oleh beberapa hal. Di antaranya:
·       Konsentrasi garam
Semakin tinggi konsentrasi garam yang digunakan, semakin cepat proses masuknya garam ke dalam daging. Akan lebih baik apabila dipakai garam kristal untuk mengasinkan.
·       Jenis garam
Garam dapur murni (NaCl 95%) lebih gampang diserap dan menghasilkan ikan asin dengan kualitas yang lebih baik. Garam rakyat mengandung unsur-unsur lain (Mg, Ca, senyawa sulfat), kotoran, kuman dan lain-lain yang sanggup menghambat penetrasi garam dan merusak rasa.
·       Ketebalan daging
Semakin tebal daging, proses pengasinan akan membutuhkan waktu yang semakin usang dan garam yang lebih banyak. Sehingga ikan-ikan besar biasanya dibelah-belah, dikeping atau diiris tipis sebelum diasinkan.
·       Kadar lemak dalam daging
Kadar lemak yang tinggi (di atas 2%) akan memperlambat penetrasi garam ke dalam daging.
·       Kesegaran daging
Daging yang kurang segar mempunyai daging yang lebih lunak dan cairan badan yang gampang keluar, sehingga proses pengasinan bisa lebih cepat. Namun juga garam yang masuk sanggup terlalu banyak sehingga daging menjadi terlalu asin dan kaku.
·       Suhu daging
Semakin tinggi suhu daging, semakin cepat garam masuk ke dalam daging.
Prosedur Pengasinan
Pengasinan daging sanggup dilaksanakan dengan majemuk mekanisme tetapi intinya cara-cara itu dibedakan menjadi proses pengasinan kerig dan basah.
Pengasinan kering yakni cara yang lebih renta yang sesuai dengan seni tradisional yang terdiri dari atas langkah-langkah berikut :
1)   Kantung pundak dari penggalan karkas diisi dengan garam dan sisinya disikat dengan air garam yang mengandung NaCl 26%, KNO3 5%, NaNO2 0,1% dan sukrosa 0,5-1%.
2)   Bagian sisi ditumpuk dalam 8 hingga 10 buah tumpukan, dan masing-masing sisi diperciki sedikit NaNO2  dan kemudian tumpukan itu ditutupi dengan garam dalam suatu wadah terbuka yang sesuai. Perbandingan antara NaCl dan KNO3 yakni 40:1.
3)   Bagian sisi itu dibiarkan dalam timbunan selama 5-10 hari. Selama penyimpanan akan terbentuk air garam di sekitar tulang-tulang rusuk.
4)   Timbunan itu kemudian dipecah dan ditimbun kembali, setelah membalik masing-masing sisi selama 12 hari lagi.
5)   Daging kemudian diambil, dicuci penggalan luarnya dan siap untuk diasap.
Pengasinan berair atau pengasinan tangki yakni proses odern yang lebih disukai lantaran mudahnya pengawasan, resiko kerusakannya lebih kecil dan juga kehilangan beratnya lebih sedikit. Proses ini berlangsung sebagai berikut:
1)   Bagian sisi ditimbun sebanyak 10-12 timbunan ke dalam tangki yang terbuat dari beton yang berparafin atau kayu tertutup (wadah yang kedua ini bergotong-royong kurang cocok) untuk mencapai perbandingan daging air garam sebanyak 1:1
2)   Selama penimbunan sisi-sisi itu diperciki dengan garam dan nitrat dengan perbandingan 10:1 dengan memakai 100 g dari gabungan untuk setiap sisi.
3)   Sisi itu kemudian ditekan kebawah, kemudian ditutup selama 10-20 hari dengan materi pengasin yang terdiri atas NaCl 26%, KNO3 2-4 %, dan NaNO2 0,1%. Bahan pengasin ini membantu tumbuhnya mikroflora tahan garam yang mereduksi nitrat menjadi nitrit dan komposisinya dibatasi sebagai : SG 1,18 - 1, 20 (specific gravity/ SG = berat jenis), NaCl 24%, KNO3 1,5%, NaNO2 0,3%. Volume materi pengasin bertambah 5% pada setiap kali pemakain lantaran adanya penarikan air secara osmose dari sisi-sisi tersebut. Pengendalian organisme anaerobik sanggup dicapai dengan penggunaan kembali baha pengasin setelah diasring melalui pipa penyemprot (spray nozzle).
                 Baik dalam proses pengasinan kering maupun berair sanggup diperoleh laba waktu dan mutu produk dengan proses pemompaan sebelum permulaan pengasinan. Dengan proses ini, terjadi pemasukan materi pengasin kedalam sisi-sisi daging. Komposisinya materi pengasin “pompa” serupa dengan materi pengasin “tangki”, dan proses ini mempergunakan jarum berongga dan tekanan udara 75-80 psi. Dua sisten yang sanggup diperguakan adalah:
1)   Pemompaan nadi, dimana diberikan satu suntikan kedalam urat nadi paha, dan distribusi materi pengasin dibiarkan pada urat darah.
2)   Penyuntikan, biasanya 18-25 kali kesemua penggalan tak berlemak (lean) dari pada sisi-sisi tersebut.
                 Bila pengasinan selesai, produk jadi sanggup dimatangkan selama 7 hari dengan disimpan pada suhu 50C. Hai ini memungkinkan pengedaran/pendistribusian garam pengasin dengan lebih seragam. Baru kemudian sisi-sisi itu siap auntuk di asap.
Produk-produk Daging Asin
                 Berbagai produk daging asin sanggup diperoleh dari daging yang diawetkan dengan garam dan daging asap. Produk menyerupai frankfurt, saveloys, bologna, sosis kering, roti daging (meat loaves), luncheon meat, pasta daging (meat paste) dan produk-produk lain yang diasin dan dipotong kecil-kecil, dapat  disiapkan dengan prosese dimana pengasinan merupakan hasil pengolahan lanjut dari bahan-bahan yang sudah diasin dan diasap.   

Sumber http://frequencia89.blogspot.com