Wednesday, October 3, 2018

√ Jadah Tempe, Saat Gurih Bertemu Manis

Daerah wisata Kaliurang di lereng Gunung Merapi mungkin jauh lebih populer daripada masakan yang satu ini: jadah dan tempe. Dan ngomong-ngomong soal Yogyakarta, tentu saja lebih banyak orang yang tahu perihal gudeg. Jadah merupakan masakan yang terbuat dari nasi ketan dan mempunyai rasa yang gurih. Bisa menjadi gurih alasannya ialah ada gabungan kelapa parut juga disana. Untuk menikmatinya, sanggup ditemani dengan tempe rebus, kalau orang Jawa bilang, tempe bacem yang rasanya manis.

Nah, selain populer dengan kawasan wisatanya, Kaliurang juga populer dengan masakan ini. Bahkan kadang jadah tempe ini sanggup menjadi syarat buah tangan bagi mereka yang gres saja mengunjungi Kaliurang. Jika Anda mengunjungi Kaliurang, penjaja masakan ini sanggup ditemu diengan gampang mulai kawasan parkir wisata kaliurang, maupun sebelum pintu masuk hutan wisata. Untuk menikmati masakan ini, kita tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Anda sanggup beli Rp. 3.000,00 atau Rp. 4.000,00 saja sudah cukup untuk dinikmati oleh 2-3 orang. Kalau ingin lebih, tinggal nambah saja…
Banyak pula yang menyampaikan kalau masakan ini cenderung sederhana. Bayangkan saja, “hanya” olahan nasi ketan dengan kelapa dinikmati bersama tempe rebus (bacem). Sangat biasa memang. Namun, bila Anda mencoba untuk menikmati masakan tersebut dengan memadukan keduanya… Anda mungkin tidak akan menyangka bahwa rasa sanggup menjadi sangat enak.
Oh ya, kemudian apakah harus jauh tiba ke Kaliurang untuk membeli masakan ini? Tidak juga. Di pasar tradisional, bila Anda beruntung, Anda sanggup juga mendapatkannya dengan harga yang relatif sama.
Eh, satu lagi sensasi yang ditawarkan oleh masakan ini. Selain dinikmati bersama dengan tempe rebus, jadah ketan ini yummy juga dinikmati sehabis dibakar. Kalau awalnya “jadah tempe”, sanggup saja tiba-tiba menjadi “jadah bakar”. Kalau sudah dibakar, mungkin tidak begitu cocok bila dipadukan dengan tempe. Akan lebih nikmat bila ditemani dengan segelas teh atau kopi.


Bahan dasar : beras ketan, kelapa agak muda, garam
Kandungan gizi : karbohidrat
Jadah terbuat dari beras ketan dan di dalamnya diberi parutan gula. Makanan ini berasa gurih dan yummy kalau digigit. Biasanya dimakan dengan tahu atau tempe bacem dan juga lombok segar. Makanan ini cukup populer di kawasan pariwisata di Yogyakarta yaitu di Kaliurang.
Lokasi penjualan : Makanan ini banyak dijual di kawasan Kaliurang, juga di warung-warung atau di pasar-pasar tradisional di Yogyakarta contohnya Pasar Beringharjo.



Bendera-bendera partai politik sudah berkibaran di sana-sini, tanpa mengindahkan watak dan keindahan lingkungan. Para tokoh parpol sudah mengeluarkan jurus-jurus andalannya untuk menarik perhatian khlalayak. Ada yang lewat survey pesanan, ada pula yang mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial yang sayangnya terkesan tidak cerdas menyerupai batasan usia capres dan juga syarat pendidikan formal capres yang harus tinggi dan ironisnya harus dari sekolah tinggi tinggi luar negeri.
Padahal seorang pemimpin yang benar sama sekali tidak ada korelasinya dengan itu semua. Seorang pemimpin boleh berusia muda boleh berusia tua, boleh bergelar doctor luar negeri, boleh pula hanya jebolan sekolah lanjutan tingkat atas dari wilayah tertinggal. Bangsa yang tengah meluncur ke jurang kebinasaan ini sama sekali tidak membutuhkan dagelan-dagelan konyol menyerupai itu semua.
Seharusnya para tokoh-tokoh parpol sanggup lebih arif, sanggup lebih cerdas, dan lebih matang dalam melaksanakan pembangunan aksara bangsanya, dan tidak menawarkan kebodohannya sendiri. Sosok Bung Karno—dengan segala kelebihan dan juga kekurangannya—patut dijadikan teladan dalam hal Character and Nation Building. Sejak awal, usaha bangsa ini ialah berusaha melepaskan diri, memerdekakan dirinya, dari cengkeraman Exploitation de L’homme par L’homme, eksploitasi insan atas insan lainnya, yang secara kasat mata beratus tahun lamanya telah dan masih dilakukan negara-negara utara terhadap negara-negara selatan.
Nusantara dengan segala kekayaannya semenjak zaman penjelajahan Spanyol dan Portugis, zaman VOC, zaman Nippon, zaman “kemerdekaan”, zaman Orde Baru Jenderal Suharto, sampai zaman yang (katanya) masa reformasi ini secara terus-menerus dijadikan bancakan negeri-negeri utara, para imperialis, guna memperkaya negaranya sendiri dan secara otomatis menciptakan negeri ini sekarat.
Bangsa ini rindu pada sosok pemimpin yang punya nyali besar, keberanian dan harga diri, tatkala berhadapan dengan kekuatan Imperialis dunia menyerupai Amerika serikat. Pernyataan tegas dari seorang Soekarno, “Go to hell with your aid!” sangat relevan dengan kondisi bangsa ini sekarang. Bangsa ini memerlukan sosok pemimpin yang berani bertindak benar dalam membela keadilan dan melawan kezaliman. Itu saja. Terserah apakah ia itu harus berusia muda atau tua, harus sarjana atau bukan, harus berbadan tinggi besar atau kurus kerempeng, harus berkumis atau klimis, semua itu bukan hakikat.
Parahnya kini ini belum terlihat adanya seorang calon pemimpin yang memenuhi kriteria tersebut. Yang dari parpol warisan Orde Baru tentu tidak ada, termasuk mantan-mantan pejabatnya, apakah ia sipil atau militer, dengan parpol gres atau tiga parpol warisan Jenderal Suharto.
Yang mengaku parpol gres dan dengan orang-orang yang gres tampil sehabis Jenderal Suharto lengser pun belum ada yang terlihat memenuhi kriteria tersebut. Yang mengusung-usung nama Islam pun kini ini terkesan aib dengan Islam-nya dan mulai bergenit-genit ria dengan mulai teracuni virus pluralisme dan terjangkiti penyakit wahn alias cinta dunia berlebihan dan takuuut mati.
Bukan memperkenalkan Islam secara kaffah dan syumuliyah, mereka malah mencari-cari format politik dan taktik di luar agama tauhid ini dengan membuka diri dekat dengan para munafikin bahkan dengan kekuatan kafir sekali pun demi meraih dingklik kekuasaan. Bahkan mereka rela menggelar panggung dangdutan dan bukan pengajian demi alasan pluralitas. Ribuan alasan memang sanggup disodorkan, namun sistem jahiliyah menyerupai kini ini—meminjam perkataannya Ustadz Abubakar Ba’syir, sebagai sistem yang berasal dari “Sunnah Yahudi”—memang nyaris tidak mungkin untuk melaksanakan dakwah secara benar dan lurus.
Pengalaman Masyumi sanggup dijadikan ibrah. Tatkala sistem jahiliyah sudah terlalu perkasa, penguasa sudah terlalu berpengaruh kejahilannya, dan umat belum terbina dengan baik, maka mereka menarik diri dari tataran politik simpel memperebutkan kekuasaan, dan kembali bergerak dalam lahan dakwah di tingkat umat yang sesungguhnya. Kemewahan jabatan dan kedudukan politis sama sekali tidak menyilaukan tokoh-tokoh Masyumi sampai mereka menghadap Rabb-nya. Perilaku inilah yang kini ini tidak terlihat dari tokoh-tokoh umat.
Dan kondisinya sanggup terlihat menyerupai kini ini, di tengah simbol-simbol Islam yang sangat marak, jilbab sudah menjadi hal yang biasa, masjid-masjid gres bermunculan—bahkan yang berkubah emas sekali pun—kejahatan korupsi, suap, dan segalanya malah tumbuh dengan amat suburnya. Ada sesuatu yang salah dengan dakwah Islam kini ini.
Dalam goresan pena pecahan tiga akan dipaparkan perjalanan pemiskinan dan pembodohan bangsa ini sehingga—mudah-mudahan—bisa membuka kesadaran kita semua bahwa ada aktivitas besar bagi bangsa ini dalam berjuang memerdekakan dirinya, dan tidak terperosok serta tertipu oleh pernyataan-pernyataan para tokoh parpol yang berupaya hanya mencari sensasi demi meraih bunyi sebanyak-banyaknya dalam Pemilu 200
Sumber http://frequencia89.blogspot.com