Sunday, July 30, 2017

√ Tehnik Memperkenalkan Budbahasa Pelaku Dalam Sebuah Cerpen

Ketika seorang Penulis memperkenalkan kepada kita bagaimana tabiat pelaku, secara garis besar ada dua cara seorang Penulis/pengarang memperkenalkan abjad dalam tokoh kisah mereka, yaitu:

Ketika seorang Penulis memperkenalkan kepada kita bagaimana tabiat pelaku √ Tehnik Memperkenalkan Watak Pelaku Dalam Sebuah Cerpen
Tehnik Memperkenalkan Watak Pelaku Dalam Sebuah Cerpen

A) Teknik Ekspositoris
Teknik ini disebut juga dengan teknik analitis, yaitu penggambaran abjad tokoh dilakukan dengan mengatakan deskripsi, uraian, klarifikasi secara langsung. Tokoh kisah hadir dan dihadirkan oleh pengarang kehadapan pembaca secara tidak berbelit-belit, melainkan begitu saja dan pribadi disertai deskripsi kediriannya, yang mungkin berupa sikap, sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan secara fisik.

(Baca Pengertian Cerpen dan Struktur Penulisan)
(Baca Pengertian Jenis dan Tingkatan Tema Dalam Penulisan)

B) Teknik Dramatik
Teknik dramatik, artinya ibarat dengan yang ditampilkan dalam drama, dilakukan secara tidak langsung. Artinya, pengarang tak mendeskripsikan secara eksplisit (gamblang) sifat dan perilaku serta tingkah laris tokoh. Pengarang melukiskan abjad pelakunya melalui acara baik verbal  melalui kata maupun nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui insiden yang terjadi.

Wujud penggambaran teknik dramatik sanggup dilakukan dengan sejumlah teknik. Biasanya pengarang memakai teknik itu secara bergantian dan saling mengisi. Berbagai teknik tersebut yang dimaksud antara lain:

(1) Teknik Cakapan
Teknik cakapan ini dilakukan/diterapkan pada tokoh-tokoh kisah yang biasanya dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan.

(2) Teknik Tingkah Laku
Jika teknik cakapan dimaksudkan untuk membuktikan tingkah laris verbal yang berwujud kata-kata para tokoh, teknik tingkah laris menyarankan pada tindakan nonverbal, fisik. Apa yang dilakukan orang dalam wujud tingkah laku/tindakan, dalam banyak hal sanggup dipandang sebagai reaksi, tangggapan, sifat, dan perilaku yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya.

(3) Teknik Pikiran dan Perasaan
Dalam teknik ini pengarang menggambarkan abjad pelaku melalui pengungkapanpikiran dan perasaan yang tercermin dalam kata-kata, tingkah laku, sikap, dan pandangan pelaku. Bahkan, pada hakikatnya, ”tingkah laku” pikiran dan perasaan yang kemudian diejawantahkan menjadi tingkah laris verbal dan nonverbal. Perbuatan dan kata-kata merupakan perwujudan konkret tingkah laris pikiran dan perasaan. Di samping itu, dalam tingkah laris secara fisik dan verbal, orang mungkin berlaku atau sanggup berpura-pura, berlaku secara tidak sesuai dengan yang ada dalam pikiran dan hatinya. Namun, orang tak mungkin sanggup berlaku akal-akalan terhadap pikiran dan hatinya sendiri.
Dalam karya fiksi, keadaan tersebut akan lain. Karena, hanya itu merupakan sebuah bentuk yang sengaja dikreasikan dan disiasati oleh pengarang, maka jikalau terjadi kepura-puraan tingkah laris tokoh yang tidak sesuai dengan pikiran dan hatinya, hal itu akan diberitahukan kepada pembacanya. Dengan demikian, pembaca menjadi tahu. Lebih dari itu, pembaca justru akan sanggup menafsirkan sifat-sifat kedirian itu berdasarkan jalan pikiran dan perasaannya.

(4) Teknik Arus Kesadaran
Teknik arus kesadaran (stream of consciousness) berkaitan dengan teknik pikiran dan perasaan. Keduanya tidak sanggup dibedakan secara pilah, bahkan mungkin dianggap sama alasannya yakni memang sama-sama menggambarkan tingkah laris tokoh. Dewasa ini dalam fiksi moder4n teknis arus kesadaran banyak dipakai untuk melukiskan sifat-sifat kedirian tokoh. Arus kesadaran merupakan sebuah teknik narasi yang berusaha menangkap pandangan dan anutan proses mental tokoh, di mana jawaban panca indera akan bercampur dengan ketidak sadaran dan kesadaran dan pikiran, ingatan, perasaan, harapan, dan asosiasi-asosiasi acak. 
Aliran kesadaran berusaha menangkap dan mengungkapakan proses kehidupan batin, yang hanya memang terjadi di batin, baik yang berada diambang kesadaran maupun ketaksadaran, termasuk kehidupan bawah sadar, atau minimal yang berada di pikiran dan perasaan manusia, jauh lebih banyak dan kompleks daripada yang dimanifestasikan ke dalam perbuatan dan kata-kata. Dengan demikian, teknik ini banyak mengungkapakan dan mengatakan informasi wacana kedirian tokoh. Arus kesadaran sering disamakan dengan interior monologue, monolog batin. Penggunaan arus kesadaran, monolog batin itu, dalam penokohan sanggup dianggap sebagai perjuangan untuk mengungkapkan informasi yang bergotong-royong wacana kedirian tokoh alasannya yakni tak sekedar memperlihatkan tingkah laris yang diindera saja.

(5) Teknik Reaksi Tokoh
Teknik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap sesuatu kejadian, masalah, keadaan, kata, dan perilaku tingkah laris orang, dan sebagainya yang berupa ”rangsangan” dari luar diri tokoh yang bersangkutan. Bagaimana reaksi tokoh terhadap hal-hal tersebut sanggup dipahami sebagai sebuah bentuk penampilan yang mencerminkan sifat-sifat kedirian mereka.

(6) Teknik Reaksi Tokoh Lain
Reaksi tokoh-tokoh lain dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan oleh tokoh-tokoh lain terhadap tokoh utama, atau tokoh yang dipelajari kediriannya, yang berupa pandangan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain. Pendek kata: evaluasi kedirian tokohy (utama) kisah oleh tokoh-tokoh kisah yang lain dalam sebuah karya.

(7) Teknik Pelukisan Latar
Dalam teknik ini, pengarang mencoba menggambarkan penokohan tokoh dengan menampilkan latar (tempat) sekitar tokoh. Pelukisan suasana latar sanggup lebih mengintensifkan sifat kedirian tokoh ibarat yang telah diungkapkan dengan banyak sekali teknik yang lain. Keadaan tertentu, memang sanggup menjadikan kesan yang tertentu pula dipihak pembaca. Misalnya suasana rumah yang bersih, teratur, rapi, tak ada barang yang bersifat mengganggu pemandangan, dan akan mendatangkan kesan seakan-akan bahwa pemilik rumah itu sebagai orang yang sangat peduli dengan kebersihan, lingkungan, teratur, teliti, dan lain-lain.

(8) Teknik Pelukisan Fisik
Keadaan seseorang sering berkaitan dengan keadaan kejiwaannya, atau paling tidak, pengarang mencoba dengan sengaja mencari dan menghubungkan adanya keterkaitan. Pelukisan keadaan fisik tokoh, dalam kaitannya dengan penokohan, kadang kala memang terasa penting. Keadaan fisik tokoh perlu dilukiskan, terutama jikalau mempunyai bentuk fisik khas sehingga pembaca sanggup menggambarkan secara imajinatif. Di samping itu, ia juga diperlukan untuk mengefektifkan dan mengkonkretkan ciri-ciri kedirian tokoh yang telah dilukiskan dengan teknik yang lain.

C. Latar (setting)
Latar atau setting yakni segala keterangan mengenai tempat, waktu, ruang, dan suasana yang diceritakan dalam sebuah karya. Meskipun cerpen merupakan dunia kreasi imajinatif, penggunaan latar yang sempurna juga memegang peranan semoga peristiwa-peristiwa sebagai unsur berupa sarana penyampaian ide, gagasan, amanat, dan lain-lain terkesan wajar. Nurgiyantoro (2005:216) menyebutkan bahwa latar (setting) dan juga dinamakan landas rujukan untuk menyarankan pada pengertian hubungan waktu, tempat, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan tersebut. Dengan demikian, setting tidak hanya diartikan sebagai tempat terjadinya insiden cerita, melainkan harus diartikan sebagai tempat terjadinya insiden cerita, melainkan harus diartikan sebagai unsur yang kompleks dan mempunyai jalinan yang sangat bersahabat dengan tema, perwatakan,  dan unsur-unsur ceritanya. Bila sebuah setting fisik sanggup diganti dengan tempat lain tanpa kuat pada tema dan perwatakan tokoh, maka setting tersebut tidak integral (menyatu) dengan unsur ceritanya.

Latar dalam karya fiksi tidak terbatas pada penempatan tempat lokasi tertentu, atau sesuatu yang bersifat fisik saja, melainkan yang berwujud tata cara, budpekerti istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan. Hal-hal yang disebut terakhir inilah sebagai latar spiritual ‘spiritual setting’. Llatar spiritual ini yakni latar yang mengandungi nilai-nilai yang melingkupi dan dimiliki oleh latar fisik. Latar sebuah karya fiksi kadang kala mengatakan banyak sekali kemungkinan yang justru sanggup lebih menjangkau di luar makna kisah itu sendiri (Nurgiyantoro:220). Berbagai elemen latar dengan sifat-sifat kekhasannya mengatakan kemungkinan-kemungkinan lain, contohnya kemungkinan adanya temu budaya, baik budaya dalam lingkungan nasional, budaya antardaerah, maupun lingkup internasional, budaya antarbangsa.

Seterusnya, berdasarkan sifat latar, Nurgiyantoro menyebutkan ada dua yaitu latar netral dan latar tipikal. Latar netral yaitu latar sebuah karya fiksi yang hanya berupa latar yang sekedar latar, berhubung sebuah kisah memang membutuhkan latar tumpu, pijakan. Sebuah nama tempat hanya sekedar sebagai tempat terjadinya insiden yang diceritakan, tak lebih dari itu. Sedangkan latar tipikal yaitu latar yang mempunyai dan menonjolkan sifat khas tertentu, baik yang menyangkut unsur tempat, waktu, maupun sosial. Oleh alasannya yakni itu, latar tipikal digarap secara teliti dan hati-hati oleh pengarang, antara lain dimaksudkan untuk mengesani pembaca semoga kisah tampak realistis, terlihat sungguh-sungguh diangkat dari latar faktual. Latar tipikal secara pribadi akan kuat terhadap pengaluran dan penokohan.
Kehadiran latar tipikal dalam sebuah karya fiksi, dibandingakan dengan latar netral, lebihmeyakinkan, mengatakan kesan dan imajinasi secara konkret terhadap imajinasi pembaca. Namun, perlu ditegaskan, perbedaan antar latar netral dengan latar tipikal tidaklah bersifat pilah. Ia juga lebih bersifat gradasi, walau tak sanggup dipungkiri bahwa ada karya fiksi tertentu yang benar-benar berlatar netral, atau sebaliknya berlatar tipikal.




Sumber http://www.pondok-belajar.com/