Thursday, January 11, 2018

√ Cerminan Keakraban Dan Keharmonisan Antara Ayah Yang Shalih Dan Anak Yang Shalih


Antara 'Umar bin 'Abdul 'Aziz Dan Putranya, 'Abdul Malik

(Cerminan Keakraban Dan Keharmonisan Antara Ayah Yang Shalih Dan Anak Yang Shalih)

“Tahukah anda bahwa setiap kaum mempunyai orang cerdas, dan orang cerdas Bani Umayyah ialah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz serta bahwa kelak dia dibangkitkan pada Hari Kiamat seorang diri sebagai umat.?” (Muhammad bin Ali bin al-Husain)

Belum lagi seorang tabi’i yang agung, Amirul mu’minin, ‘‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz membersihkan kedua tangannya dari abu kuburan pendahulunya (yakni, khalifah sebelumnya), Sulaiman bin ‘Abdul Malik, tiba-tiba ia mendengar bunyi gemuruh bumi di sekitarnya, kemudian ia berkata, “Apa ini?”

Orang-orang berkata, “Ini ialah kendaraan Khalifah -wahai Amirul mu’minin- telah disiapkan untukmu biar engkau menaikinya.” Lalu Umar melihatnya dengan sebelah mata, kemudian berkata dengan bunyi gemetar dan terbata-bata lantaran kelelahan dan kurang tidur, “Apa hubungannya denganku? Jauhkanlah ini dariku, mudah-mudahan Allah memberkati kalian. Dan tolong bawa kemari keledaiku, lantaran ia sudah cukup bagiku.”

Kemudian belum lagi pas posis duduk ia di atas punggung keledai hingga datanglah komandan polisi yang berjalan di depannya. Bersamanya sekelompok bawah umur buahnya yang berbaris di sektor kanan dan kirinya. Di tangan-tangan mereka tergenggam tombak yang mengkilat. Lalu ia menoleh ke arahnya dan berkata, “Aku tidak membutuhkan kau dan mereka. Aku hanyalah orang biasa dari kalangan kaum muslimin. Aku berjalan pagi hari dan sore hari sama ibarat mereka.

Selanjutnya, ia berjalan dan orang-orang berjalan bersamanya hingga memasuki masjid dan orang-orang dipanggil untuk shalat, “ash-Shalâtu Jami’ah...ash-Shalâtu Jami’ah.”

Maka berdatanganlah orang-orang ke masjid dari segala penjuru. Ketika jumlah mereka telah sempurna, ia berdiri sebagai khatib. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya serta bershalawat atas nabi, kemudian berkata,
“Wahai manusia, sesungguhnya saya mendapat cobaan dengan urusan ini (khilafah) yang tanpa saya dimintai persetujuan terlebih dahulu, memintanya ataupun dan bermusyawarah dulu dengan kaum muslimin.

Sesungguhnya, saya telah melepaskan baiat yang ada di bahu kalian untukku, untuk selanjutnya kalian pilihlah dari kalangan kalian sendiri seorang khalifah yang kalian ridlai.”

Lantas orang-orangpun berteriak dengan satu suara, “Kami telah memilihmu, wahai Amirul mu’minin dan kami ridla terhadapmu. Maka aturlah urusan kami dengan berkat karunia dan barakah Allah.”

Ketika suara-suara telah senyap dan hati telah tenang, ia memuji Allah dan menyanjung-Nya sekali lagi dan bershalawat atas Muhammad, hamba dan utusan Allah.

Beliau mulai menganjurkan orang-orang supaya bertakwa, mengajak mereka supaya berzuhud dari kehidupan dunia, mempengaruhi mereka kepada kehidupan darul abadi dan mengingatkan mereka kepada final hayat dengan intonasi yang sanggup melunakkan hati yang keras, mengakibatkan air mata durhaka bercucuran dengan deras dan keluar dari lubuk hati pemiliknya sehingga terpatri di dalam lubuk hati para pendengarnya.

Kemudian ia meninggikan suaranya yang agak serak supaya semua orang mendengarnya,
“Wahai insan barangsiapa yang taat kepada Allah, maka dia wajib ditaati. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah, maka tidak seorangpun yang boleh ta’at kepadanya. Wahai manusia, Taatilah saya selama saya menaati Allah dalam menangani urusan kalian. Jika saya bermaksiat kepada Allah, maka kalian tidak usah taat kepadaku.”

Kemudian ia turun dari mimbar untuk menuju ke rumahnya dan masuk ke kamarnya. Beliau benar-benar ingin mendapat sedikit istirahat, sesudah kelelahan yang amat sangat, semenjak wafatnya khalifah sebelumnya.

Akan tetapi, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz gres saja mau meletakkan punggungnya di tempat tidurnya, hingga datanglah putranya, ‘‘Abdul Malik yang waktu itu gres menginjak usia tujuh belas tahun. Lalu sang putra berkata,
“Apa yang ingin engkau lakukan, wahai Amirul mu’minin?!!” Ayahnya menjawab,
“Wahai anakku, saya ingin tidur sejenak, lantaran sudah tersisa lagi tenagaku ini.”
“Apakah engkau masih ingin tidur sejenak sebelum mengembalikan hak-hak orang yang dizhalimi, wahai Amirul mukminin?!!” kata putranya lagi.

Lalu sang ayah menjawab,
“Wahai anakku, sesungguhnya saya tadi malam bergadang malam (tidak tidur) lantaran bersama pamanmu Sulaiman. Nanti kalau sudah tiba waktu Dzuhur, saya akan shalat bersama orang-orang dan akan dan saya mengembalikan hak-hak orang yang dizhalimi tersebut, insya Allah.”
Sang putra berkata lagi,
“Siapakah yang menjaminmu, wahai Amirul mukminin kalau usiamu hanya hingga Zhuhur?!”

Ucapan ini berhasil aben semangat Umar dan melenyapkan rasa kantuk dari kedua matanya sehingga membangkitkan kekuatan dan kesejukan badannya yang sebelumnya demikian lelah. Ketik itu berkatalah dia kepada sang putra,
“Mendekatlah kemari wahai putraku.!”

Sang putrapun mendekat dan Umar pribadi memeluk serta menciumi keningnya seraya berkata,
“Segala puji bagi Allah yang telah melahirkan dari keturunanku orang yang menolongku di dalam menjalankan agama.”

Kemudian ia berdiri dan menyuruh supaya di umumkan kepada orang-orang, “barangsiapa yang merasa teraniaya, maka hendaklah dia mengajukan perkaranya.”

Lalu, siapakah ‘Abdul Malik ini?! Bagaiman dongeng anak muda ini sehingga menjadi buah bibir orang-orang?
Sungguh, dialah anak yang berhasil mempengaruhi ayahnya untuk rajin beribadah dan mengarahkannya biar menempuh jalan kezuhudan. Marilah kita telusuri lagi kisah cowok yang shalih ini dari awalnya.!

Adalah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mempunyai lima belas orang anak, tiga di antaranya ada tiga perempuan. Anak-anak itu semuanya ialah bawah umur yang mempunyai tingkat ketakwaan dan keshalihan yang sangat memadai. Namun ‘Abdul Malik ialah putra paling menonjol di antara saudara-saudaranya dan bintangnya mereka yang bersinar-sinar. Dia seorang anak yang jago sastra, mahir lagi berilmu sekalipun usia masih muda tetapi cara berpikirnya sudah dewasa.

Di samping itu, dia memang tumbuh sebagai anak yang ta’at kepada Allah semenjak mudanya sehingga dialah orang yang tingkah lakunya paling dekat dengan keluarga besar al-Khaththab secara umum serta yang paling ibarat dengan ‘Abdulllah bin ‘Umar, khususnya dari sisi ketakwaan kepada Allah, rasa takut berbuat maksiat kepada-Nya serta bertaqarrub kepada-Nya dengan melaksanakan keta’atan.

Keponakannya Ashim (bin Abu Bakar bin Abdul Aziz bin Marwan, dia ialah anak saudara ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz) bercerita, “Suatu waktu, saya bertandang ke Damaskus lantas mampir di rumah anak pamanku (sepupuku), ‘Abdul Malik. ketika itu, dia masih bujangan, kemudian kami menunaikan shalat isya’ kemudian masing-masing kami beranjak ke tempat tidur. Lalu ‘Abdul Malik mendekati lampu dan mematikannya sementara masing-masing kami mulai tidur. Kemudian saya bangun pada tengah malam, ternyata ‘Abdul Malik sedang berdiri shalat dengan khusyu’nya seraya membaca firman Allah Azza wa Jalla (artinya),
“Maka bagaimana pendapatmu bila Kami berikan kepada mereka kenikmatan hidup bertahun-tahun. Kemudian tiba kepada mereka azab yang telah diancamkan kepada mereka. Niscaya tidak mempunyai kegunaan bagi mereka apa yang mereka selalu menikmatinya.” (Q.s.,asy-Syu’arâ`:205-207)

Tidak ada yang membuatku begitu terkesan kepadanya kecuali ketika dia mengulang-ulang ayat tersebut dan menangis dengan tangisan yang tersedu-sedu dari dalam hati (tidak terdengar). setiap kali dia selesai dari ayat itu, dia mengulanginya kembali, sehingga saya berkata dalam hati, “Anak ini sanggup mati oleh tangisannya.”

Ketika saya melihatnya ibarat itu, saya mendesis,
“Lâ ilâha illallâh wal hamdu lillâh. Seakan ucapan orang yang bangun dari tidur, padahal tujuanku untuk menghentikan tangisannya.

Ketika mendengar suaraku, dia bengong dan tidak lagi terdengar bunyi rintihannya tersebut.”

Pemuda dari keluarga besar ‘Umar ini banyak mencar ilmu kepada ulama’-ulama’ besar pada zamannya sehingga begitu ‘enjoy’ dengan Kitab Allah, kenyang dengan hadits Rasulullah serta pemahaman terhadap agama.

Sehingga dia menjadi seorang yang sanggup berkompetisi dengan para ulama kelas atas (ternama) pada zamanya, sekalipun usianya ketika itu masih sangat muda.

Diriwayatkan bahwa ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz pernah mengumpulkan para Qurra` (ahli baca al-Qur’an) dan jago fiqih negeri Syam. ketika itu, ia berkata,
“Sesungguhnya saya memanggil kalian untuk penanganan tindak kezhaliman yang kini ada di tangan keluargaku, bagaimana pandangan kalian?

Maka mereka berkata,
"Wahai Amirul mukminin, sesungguhnya hal itu tidak termasuk tempat wewenang anda. Dosa-dosa atas tindakan kezhaliman tersebut sepenuhnya berada di bahu orang yang mengambilnya secara tidak benar (merampasnya).”

Rupanya ia belum puas dengan balasan mereka tersebut, kemudian melirik ke arah salah seorang di antara mereka yang tidak sependapat dengan pendapat mereka itu, seraya berkata kepadanya,
“Utuslah orang untuk memanggil ‘Abdul Malik, lantaran dia tidak lebih rendah ilmunya, pemahaman (fiqih)nya ataupun daya nalarnya dari orang-orang telah yang engkau undang.”

Ketika ‘Abdul Malik menemuinya, Umar berkata kepadanya,
“Bagaimana pendapatmu wacana harta orang-orang yang diambil bawah umur paman kita secara dzalim, sedangkan pemilik-pemiliknya telah tiba dan memintanya dan kita telah mengetahui hak mereka pada harta itu?!”

‘Abdul Malik berkata,
“Menurutku, hendaknya ayahanda mengembalikan harta itu kepada para pemiliknya selama ayahanda mengetahui permasalahannya. Sebab, bila tidak, berarti ayahanda termasuk kongsi orang-orang yang mengambilnya secara dzalim tersebut.”

Maka lapanglah seluruh rongga-rongga tubuh Umar, jiwanya menjadi lega dan apa yang menghantuinyapun hilang.

Anak muda keturunan Umar ini lebih menyukai “Murabathah” (berjaga-jaga di perbatasan dari serangan musuh) dengan tinggal di salah satu kota yang dekat dengannya ketimbang tetap tinggal di negeri Syam.
Dia tetap berangkat ke sana sementara di belakangnya kota Damaskus yang bertaman indah, naungan yang rimbun dan mempunyai tujuh sungai dia tinggalkan begitu saja.

Dalam pada itu, sekalipun sang ayah telah mengetahui keshalehan dan ketakwaan anaknya, ia masih mengkhawatirkannya dan kasihan kalau-kalau dia sanggup luluh oleh godaan syaitan dan gejolak-gejolak masa muda serta begitu antusias untuk mengetahui segala-galanya wacana dirinya tersebut selama dia sanggup mengetahuinya. Dan ia tidak pernah melalaikan hal itu dan tidak pernah mengabaikannya sama sekali.

Maimun bin Mahran, seorang menteri, Qadli sekaligus penasehat ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, pernah bercerita,
“Sewaktu menemui ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, saya mendapatinya sedang menulis surat kepada anaknya, ‘Abdul Malik. Dalam suratnya itu, ia menawarkan nasehat, pengarahan, peringatan, isu angker dan gembira.

Di antara isinya adalah, ‘Amma ba’du, sesungguhnya engkaulah orang yang paling pantas untuk menangkap dan memahamai ucapanku. Dan sesungguhnya pula, segala puji bagi Allah, Dia telah berbuat baik kepada kita dari urusan sekecil-kecilnya hingga sebeasar-besarnya. Maka ingatlah karunia Allah kepadamu dan kepada kedua orang tuamu. Janganlah sekali-kali kau berlaku sombong dan gembira diri, lantaran hal itu ialah termasuk perbuatan syaitan, sedangkan syaitan itu ialah musuh yang aktual bagi orang-orang yang beriman. Dan ketahuilah, bahwa saya mengirimkan surat ini, bukan lantaran ada laporan wacana dirimu alasannya ialah saya tidak mengetahui tentangmu kecuali hal yang baik-baik. Namun demikian, telah hingga laporan kepadaku bahwa perihal tindakanmu yang suka berbangga-bangga diri. Seandainya pujian ini menyeretmu kepada sesuatu yang saya benci, tentu kau mendapat telah melihat dariku sesuatu yang kau benci.

Maimun berkata,
“Kemudian Umar menoleh kepadaku seraya berkata, ‘Wahai Maimun, sesungguhnya anakku -’Abdul Malik- telah menghiasi mataku (dikasihi dan tidak ada lagi cacatnya) dan saya menuduh diriku telah melaksanakan itu. Karenanya, saya khawatir kalau rasa cintaku kepadanya telah melebihi pengetahuanku wacana dirinya sehingga apa yang menimpa nenek moyangku dulu yang buta terhadap malu anak-anaknya menimpa diriku juga. Maka pergilah untuk mengawasinya, carilah informasi akurat tentangnya serta perhatikanlah apakah ada padanya sesuatu yang ibarat kesombongan dan berbangga-bangg itu, lantaran dia masih anak muda dan saya belum sanggup menjamin dirinya sanggup terhindar dari godaan syaithan.”

Maimun berkata lagi,
“Maka saya segera berangkat hingga bertemu dengan ‘Abdul Malik, kemudian minta permisi dan masuk. Ternyata dia ialah seorang yang gres menginjak remaja dan masih muda belia, mempunyai pandangan yang ceria dan sangat tawadlu’ (rendah diri). Dia duduk di atas hamparan putih, di atas karpet yang terbuat dari bulu. Lantas menyambutku sembari berkata, ‘Aku telah mendengar ayahanda sering berbicara wacana dirimu yang memang pantas kau menyandangnya, yaitu seorang yang baik. Aku berharap Allah menjadikanmu orang yang berguna.’ Aku bertanya kepadanya,
‘Bagaimana keadaanmu?’

Dia menjawab,
‘Senantiasa dalam keadaan baik dan mendapat nikmat dari Allah Azza wa Jalla. Hanya saja, saya khawatir bilamana sangkaan baik ayahanda terhadapku membuatku terbuai sementara bahwasanya saya belum mencapai tingkat keutamaan sebagaimana yang disangkanya itu. Dan sungguh saya khawatir kalau kecintaan ayahanda kepadaku telah melebihi pengetahuannya wacana diriku sehingga saya malah menjadi bebannya.’

Mendengar balasan itu, saya (Maimun) jadi terkagum-kagum kenapa sanggup terjadi kecocokan hati di antara keduanya. Kemudian saya bertanya kepadanya,
‘Tolong beritahu saya dari mana sumber penghidupanmu.?’

Dia berkata, “Dari hasil tanah yang saya beli dari seseorang yang mendapat warisan ayahnya. Aku membayarnya dengan uang yang bukan syubhat sama sekali sehingga karenanya saya tidak membutuhkan lagi harta Fai’ (yang didapat tidak melalui peperangan-red.,) kaum Muslimin.’ Aku bertanya lagi,
‘Apa makananmu?’
‘Terkadang daging, terkadang ‘Adas dan minyak dan terkadang cuka dan minyak. Dan, ini sudah cukup.”

Lalu saya bertanya lagi,
“Apakah kau tidak merasa gembira dengan dirimu sendiri?” Dia menjawab, “Pernah saya mencicipi sedikit dari hal semacam itu namun tatkala ayahandaku menawarkan wejangan kepadaku, dia berhasil membelalakkan mataku akan hakikat diriku dan menjadikannya kecil bagiku dan jatuh harkatnya di mataku sehingga alhasil Allah Azza wa Jalla mengakibatkan wejangan itu bermanfaat bagi diriku. Semoga Allah membalas kebaikan ayahandaku.”

Satu jam saya habiskan untuk mengobrol bersamanya dan rileks dengan ucapannya. Rasanya, belum pernah saya melihat cowok setampan dia, sesempurna otaknya dan seluhur akhlaqnya padahal dia masih ia dan kurang pengalaman.

Ketika di penghujung siang, pembantunya tiba semberi berkata,
“Semoga Allah memperbaiki dirimu, kami sudah kosongkan!.” Lalu dia diam…

Aku bertanya kepadanya,
“Apa yang mereka kosongkan itu?.”
“WC.” Katanya
“Bagaimana caranya.?” Tanyaku lagi
“Yah, mereka kosongkan dari orang-orang.” Jawabnya
“Tadinya sikapmu mendapat tempat yang agung di hatiku hingga kini saya dengar hal ini.” Kataku
Dia begitu cemas dan mengucap Innâ Lillâhi Wa Innâ Ilaihi Râji’ûn, kemudian berkata,
“Apa itu, wahai paman –semoga Allah merahmatimu-?.”
“Apakah WC itu milikmu.?” Tanyaku
“Bukan.” Katanya

“Lantas apa alasanmu mengeluarkan orang-orang darinya.? Sepertinya dengan tindakanmu itu, engkau ingin mengangkat dirimu di atas mereka dan mengakibatkan kedudukanmu berada di atas kedudukan mereka. Kemudian engkau juga menyakiti si penunggu WC ini dengan tidak mengabaikan upah hariannya dan menciptakan orang yang tiba ke mari pulang sia-sia.” Kataku lagi

Dia berkata, “Adapun mengenai penunggu WC ini, maka saya sudah membuatnya rela dengan menawarkan upah hariannya.”
“Ini namanya pengeluaran foya-foya yang dicampuri oleh kesombongan. Apa sih yang membuatmu enggan masuk WC bersama orang-orang padahal engkau sama saja dengan salah seorang dari mereka.?” Kataku

“Yang membuatku enggan hanyalah polah beberapa orang-orang tak beres yang masuk WC tanpa penghalang sehingga kau tidak suka melihat aurat-aurat mereka itu. Demikian pula, saya tidak suka memaksa mereka mengenakan penghalang sehingga hal ini sanggup mereka anggap sebagai campur tanganku terhadap mereka dengan memakai kewenangan penguasa yang saya bermohon kepada Allah biar kita terhindar darinya. Karena itu, tolong nasehati saya –semoga Allah merahmatimu- sehingga mempunyai kegunaan bagiku dan carilah solusi dari permasalahan ini!” Jawabnya.

Aku berkata,
“Tunggulah dulu hingga orang-orang keluar dari WC pada malam hari dan kembali ke rumah-rumah mereka, kemudian masuklah.!”

“Kalau begitu, saya berjanji. Aku tidak akan masuk selama-lamanya pada siang hari semenjak hari ini dan andaikata bukan lantaran begitu dinginnya temperatur di negeri ini (sehingga selalu ingin buang hajat-red.,), tentu saya tidak akan masuk ke WC itu selama-lamanya.” Katanya

Dia berhenti sejenak seakan memikirkan sesuatu, kemudian mengangkat kepalanya menoleh ke arahku sembari berkata,
“Aku bersumpah di hadapanmu, tolong dengan sangat engkau simpan diam-diam ini sehingga tidak didengar ayahandaku, alasannya ialah saya tidak suka dia masih murka padaku. Aku khawatir bila tiba maut sementara tidak mendapat keridlaan beliau.”

Maimun berkata,
“Lalu saya berniat ingin mengetesnya seberapa jauh ke dalaman akalnya, seraya berkata kepadanya,
‘Jika Amirul Mukminin (‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, ayahandanya) bertanya kepadaku, apakah saya melihat sesuatu darimu, apakah engkau tega saya berdusta terhadapnya?.”
“Tidak. Ma’adzallâh, akan tetapi katakan padanya, ‘aku telah melihat sesuatu darinya lantas saya nasehati dia, saya jadikan hal itu sebagai kasus besar di hadapan matanya kemudian dia cepat-cepat sadar.’ Setelah itu, ayahandaku niscaya tidak akan menanyakanmu untuk menyingkap hal-hal yang tidak engkau tampakkan padanya. Sebab, Allah Ta’ala juga melindunginya dari mencari hal-hal yang masih terselubung.” Jawabnya

Maimun berkata,
“Sungguh, saya belum pernah sama sekali melihat seorang anak dan ayah ibarat mereka berdua –semoga Allah merahmati keduanya-.“
Semoga Allah meridlai khalifah ar-Rasyid kelima, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, menyejukkan kuburannya dan kuburan putra serta buah hatinya, ‘‘Abdul Malik.

Keselamatanlah bagi keduanya pada hari bertemu dengan Allah Ta’ala, ar-Rafîq al-A’la.
Keselamatanlah bagi keduanya pada hari dibangkitkan bersama orang-orang pilihan dan jago kebajikan.

CATATAN:

Sebagai materi pelengkap mengenai biografi ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dan anaknya ‘Abdul Malik, silahkan rujuk:
1. Sîrah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz karya Ibn al-Jauziy.
2. Sîrah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz karya Ibn Abdil Hakam.
3. Ath-Thabaqât al-Kubra karya Ibnu Sa’d, Jld. I,II,III,IV,V,VI,VII,VIII
4. Shifah ash-Shafwah karya Ibnu al-Jauziy, Jld.II, h.113-126. Dan di halaman 127 (buku asli) dan setelahnya terdapat bigrafi khusus wacana putranya ‘Abdul Malik.
5. Hilyah al-Auliyâ` karya al-Ashfahâniy, Jld.V,h.203-353. Dan di halaman 353 hingga halaman 364 (buku asli) terdapat biografi khusus wacana putranya ‘Abdul Malik.
6. Wafayât al-A’yân karya Ibn Khalakân, Jld.I,II,III,IV,V
7. Târîkh ath-Thabariy, Jld.I,II,III,IV,V,VI,VII,VIII
8. Al-‘Iqd al-Farîd karya Ibn ‘Abd Rabbih, Jld.I,II,III,IV,V,VI,VI,VII,VIII
9. Al-Bayân wa at-Tabyîn karya al-Jâhizh
10. Târîkh Madînah Dimasyq karya Ibn ‘Asâkir, Jld.II, h.115-127
11. Tahdzîb at-Tahdzîb karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Jld.VII, h.475-478


Sumber http://teenozhealthanalyst.blogspot.com