Assalammualaikum, Selamat tiba di Kelas IPS. Disini Ibu Guru akan membahas perihal pelajaran Sejarah yaitu Tentang “Pertempuran Surabaya“. Berikut dibawah ini penjelasannya:
Daftar Isi
Latar Belakang Pertempuran Surabaya
Berikut latar belakang terjadinya pertempuran surabaya, yaitu sebagai berikut:
Situasi Indonesia Secara Umum
Pada tanggal 15 September 1945, sekutu mendaratkan tentaranya di Tanjung Priok yang disusul dengan pendaratan tentara sekutu yang dipimpin oleh W.R. Paterrson. Untuk menjalankan kiprah di Indonesia, sekutu membentuk AFNEI denagn panglimanya Letnan jendral Sir Philip Christison yang membawahi 3 pasukan divisi, yaitu divisi Jakarta, Surabaya, dan Sumatra.
Tugas AFNEI :
- Menerima kekuasaan dari Jepang
- Membebaskan tawan perang dan interniran sekutu
- Melucuti dan mengumpulkan tentara Jepang kemudian dipulangkan ke negaranya
- Menegahkan dan mempertahankan keadaan hening kemudian disahkan kepada pemerintah sipil
- Menghimpun peperangan dan menuntut pejahat perang
Kedatangan sekutu di Indonesia awalnya diterima dengan baik oleh pemerintah dan rakyat Indonesia. Ternyata kedatangan sekutu diboncengi NICA, hal ini yang menyebabkan banyak sekali macam pertempuran di banyak sekali kota menghadapi tentara jepang dan sekutu bahwa sesudah jepang mengalah kepada sekutu pada diduduki hingga kedatangan pasukan sekutu di tempat tersebut termasuk Indonesia. Jepang berusaha menghalangi bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Para cowok Indonesia yang tergabung dalam BKR berusaha melucuti senjata pasukan Jepang dengan alasan:
- Mendapatkan senjata untuk mempertahankan kemerdekaan
- Agar senjata pasukan Jepang tidak jatuh ke tangan Belanda
- Agar pasukan Jepang tidak menyerang demi mempertahankan “status quo”
Dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, dilakukan melalui dua cara yaitu dengan usaha fisik/bersenjata (Pertempuran Surabaya, Pertempuran Ambarawa, dan Peristiwa Bandung Lautan Api) dan usaha secara diplopmasi (Perjanjian Linggajati, Perjanjian Renville, KMB, dan Perundingan Roem-Roeyen.
Situasi Surabaya
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah- Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara.
Keesokan harinya para cowok Surabaya melihatnya dan menjadi murka alasannya mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
Tak usang sesudah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Sudirman, p0juang dan diplomat yang ketika itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, tiba melewati kerumunan massa kemudian masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono.
Sebagai perwakilan RI beliau berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta supaya bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam negosiasi ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan.
Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Sudirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian cowok berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda.
Hariyono yang semula bersama Sudirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Kusno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bab birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
26 Oktober 1945, tercapai persetujuan antara Bapak Suryo, Gubernur Jawa Timur dengan Brigjen Mallaby bahwa pasukan Indonesia dan milisi tidak harus menyerahkan senjata mereka. Sayangnya terjadi salah pengertian antara pasukan Inggris di Surabaya dengan markas tentara Inggris di Jakarta yang dipimpin Letnan Jenderal Sir Philip Christison.
27 Oktober 1945, jam 11.00 siang, pesawat Dakota AU Inggris dari Jakarta menjatuhkan selebaran di Surabaya yang memerintahkan semua tentara Indonesia dan milisi untuk menyerahkan senjata. Para pimpinan tentara dan milisi Indonesia murka waktu membaca selebaran ini dan menganggap Brigjen Mallaby tidak menepati perjanjian tanggal 26 Oktober 1945.
28 Oktober 1945, pasukan Indonesia dan milisi menggempur pasukan Inggris di Surabaya. Untuk menghindari kekalahan di Surabaya, Brigjen Mallaby meminta supaya Presiden RI Soekarno dan panglima pasukan Inggris Divisi 23, Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk pergi ke Surabaya dan mengusahakan perdamaian.
29 Oktober 1945, Presiden Soekarno, wapres Mohammad Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin Harahap bersama Mayjen Hawthorn pergi ke Surabaya untuk berunding.
Pada siang hari, 30 Oktober 1945, dicapai persetujuan yang ditanda-tangani oleh Presiden RI Soekarno dan Panglima Divisi 23 Mayjen Hawthorn. Isi perjanjian tersebut ialah diadakan perhentian tembak menembak dan pasukan Inggris akan ditarik mundur dari Surabaya secepatnya. Mayjen Hawthorn dan ke 3 pimpinan RI meninggalkan Surabaya dan kembali ke Jakarta.
Pada sore hari, 30 Oktober 1945, Brigjen Mallaby berkeliling ke banyak sekali pos pasukan Inggris di Surabaya untuk memberitahukan soal persetujuan tersebut. Saat mendekati pos pasukan Inggris di gedung Internatio, bersahabat Jembatan merah, kendaraan beroda empat Brigjen Mallaby dikepung oleh milisi yang sebelumnya telah mengepung gedung Internatio.
Karena menduga komandannya akan diserang oleh milisi, pasukan Inggris kompi D yang dipimpin Mayor Venu K. Gopal melepaskan tembakan ke atas untuk membubarkan para milisi. Para milisi menduga mereka diserang / ditembaki tentara Inggris dari dalam gedung Internatio dan balas menembak. Seorang perwira Inggris, Kapten R.C. Smith melemparkan granat ke arah milisi Indonesia, tetapi meleset dan malah jatuh sempurna di kendaraan beroda empat Brigjen Mallaby.
Granat meledak dan kendaraan beroda empat terbakar. Akibatnya Brigjen Mallaby dan sopirnya tewas. Laporan awal yang diberikan pasukan Inggris di Surabaya ke markas besar pasukan Inggris di Jakarta menyebutkan Brigjen Mallaby tewas ditembak oleh milisi Indonesia. Letjen Sir Philip Christison murka besar mendengar kabar maut Brigjen Mallaby dan mengerahkan 24000 pasukan suplemen untuk menguasai Surabaya.
Kronologi Pertempuran Surabaya
Pada 10 November 1945 pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar, yang diawali dengan pengeboman udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian mengarahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang.
Menjelang senja, Inggris telah menguasai sepertiga kota. Surat kabar Times di London mengabarkan bahwa kekuatan Inggris terdiri dari 25 ponders, 37 howitser, HMS Sussec dibantu 4 kapal perang destroyer, 12 kapal terbang jenis Mosquito, 15.000 personel dari divisi 5 dan 6.000 personel dari brigade 49 The Fighting Cock.
David Welch menggambarkan pertempuran tersebut dalam bukunya, Birth of Indonesia ; “Di sentra kota pertempuran ialah lebih dahsyat, jalan-jalan diduduki satu per satu, dari satu pintu ke pintu lainnya. Mayat dari manusia, kuda-kuda, kucing-kucing, serta anjing-anjing bergelimangan di selokan-selokan.
Gelas-gelas berpecahan, perabot rumah tangga, kawat-kawat telephon bergelantungan di jalan-jalan dan bunyi pertempuran menggema di tengah gedung-gedung kantor yang kosong. Perlawanan Indonesia berlangsung 2 tahap, pertama pengorbanan diri secara fanatik, dengan orang-orang yang hanya bersenjatakan pisau-pisau belati menyerang tank-tank Sherman, dan kemudian dengan cara yang lebih terorganisir dan lebih efektif, mengikuti dengan cermat buku-buku petunjuk militer Jepang.”
Inggris kemudian memborbardir kota Surabaya dengan meriam dari bahari dan darat. Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota, dengan tunjangan yang aktif dari penduduk.
Terlibatnya penduduk dalam pertempuran ini menyebabkan ribuan penduduk sipil jatuh menjadi korban dalam serangan tersebut baik meninggal maupun terluka.
Semboyan Merdeka Atau Mati
Ultimatum-ultimatum yang disebarkan melalui pamflet udara oleh tentara Inggris menciptakan rakyat Surabaya sangat marah. Nyaris seluruh sudut kota Surabaya dipenuhi cowok dan kelompok bersenjata. Dalam ingatan Suhario alias Hario Kecik (Wakil Komandan Tentara Polisi Keamanan Rakyat), di sekitarnya berkumpul ratusan pemuda, semuanya membawa senjata dan pistol otomatis.
Hario Kecik menyampaikan bahwa mereka yang disebut tidak lengkap, membawa granat. Pertemuan cowok dan kelompok bersenjata di Surabaya memutuskan mengangkat Sungkono sebagai Komandan Pertahanan Kota Surabaya dan mengangkat Surachman sebagai Komandan Pertempuran. Dari sini, muncul semboyan “Merdeka atau Mati” dan Sumpah msdhdfang Surabaya sebagai berikut:
Tetap Merdeka!
Kedaulatan Negara dan Bangsa Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 akan kami pertahankan dengan sungguh-sungguh, penuh tanggungjawab bersama, bersatu, lapang dada berkorban dengan tekad: Merdeka atau Mati! Sekali Merdeka tetap Merdeka!
Di luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa perlawanan di Surabaya sanggup ditaklukkan dalam tempo tiga hari, para tokoh masyarakat ibarat penggerak muda Bung Tomo yang kuat besar di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris.
Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kyai-kyai pondok Jawa ibarat KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai) sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung usang dari hari ke hari, hingga dari ahad ke ahad lainnya.
Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara impulsif dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini mencapai waktu hingga tiga miggu, sebelum seluruh kota Surabaya risikonya jatuh di tangan pihak Inggris. Para p0juang yang masih hidup mengikuti ribuan pengungsi meninggalkan Surabaya dan selanjutnya menciptakan garis pertahanan gres dari Mojokerto di Barat hingga ke arah Sidoarjo di Timur.
Dampak Pertempuran Surabaya
Berikut ini terdapat beberapa dampak pertempuran surabaya, yaitu sebagai berikut:
Dampak Negatif
Indonesia kehilangan setidaknya 6.000-16.000 p0juang yang tewas dan 200.000 rakyat sipil yang mengungsi dari Surabaya. Tetapi Indonesia juga banyak mengalahkan korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600-2.000 tentara.
Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan.
Kurang lebih 160 ribu jiwa gugur ketika insiden 10 November 1945. Paling banyak korban ialah di jalan raya Pahlawan yang ketika ini dibangun Tugu Pahlawan. Banyaknya p0juang yang gugur dan rakyat sipil menjadi korban pada hari 10 November 1945, maka Indonesia mengenang tanggal itu sebagai Hari Pahlawan hingga sekarang.
Dampak Positif
Dampak lainnya yaitu dengan pertempuran Surabaya sebagai pembentukan jiwa nasionalisme bangsa Indonesia untuk menentang kembali dominasi Sekutu/NICA di Indonesia. Sehingga pertempuran Surabaya merupakan barometer dan motivasi bagi daerah-daerah lain yang ada di wilayah teritorial Indonesia untuk melaksanakan hal yang sama.
Tokoh Pertempuran Surabaya
Berikut ini terdapat beberapa tokoh pertempuran surabaya, yaitu sebagai berikut:
Jend. Sir Philip Christison
Pada tanggal 15 September 1945, sekutu mendaratkan tentaranya di Tanjung Priok yang disusul dengan pendaratan tentara sekutu yang dipimpin oleh W.R. Paterrson. Untuk menjalankan kiprah di Indonesia, sekutu membentuk AFNEI denagn panglimanya Letnan jendral Sir Philip Christison yang membawahi 3 pasukan divisi, yaitu divisi Jakarta, Surabaya, dan Sumatra.
Jenderal Mallaby
Jenderal Mallaby ialah jenderal tertinggi di Jawa Timur. Ia tewas ketika mobilnya berpapasan dengan milisi Indonesia. Sebuah percekcokan salah paham terjadi sebelum risikonya dua anggota bersenjata beda kubu itu saling melancarkan serangan.
Dari pihak Indonesia ada satu orang yang hingga kini tidak diketahui namanya yang menembak Mallaby hingga tewas. Tidak hanya itu, kendaraan beroda empat Jenderal Mallaby juga terkena granat, dan akhinrya mayit Mallaby sulit dikenali.
Mayor Jenderal Robert Mansergh
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum ialah jam 6.00 pagi pada tanggal 10 November 1945.
Hariyono dan Kusno Wibowo
Hariyono yang semula bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Bung Tomo
Ketika dirinya mengetahui Inggris telah berbagi ribuan kertas yang berisi supaya Rakyat Surabaya tunduk, di situ Bung Tomo naik pitam. Dirinya merasa apa yang telah dilakukan Inggris ialah bentuk penghinaan. Lewat radio yang ia tukangi, Bung Tomo berorasi dan memperabukan semangat usaha Rakyat Indonesia untuk menolak tunduk.
Pertemuan cowok dan kelompok bersenjata di Surabaya memutuskan mengangkat Sungkono sebagai Komandan Pertahanan Kota Surabaya dan mengangkat Surachman sebagai Komandan Pertempuran. Dari sini, muncul semboyan “Merdeka atau Mati” dan Sumpah msdhdfang Surabaya sebagai berikut.
Tetap Merdeka!
Kedaulatan Negara dan Bangsa Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 akan kami pertahankan dengan sungguh-sungguh, penuh tanggungjawab bersama, bersatu, lapang dada berkorban dengan tekad: Merdeka atau Mati! Sekali Merdeka tetap Merdeka!
K.H Hasyim Asy’ari
KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai/ulama) sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung alot, dari hari ke hari, hingga dari ahad ke ahad lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara impulsif dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran ini mencapai waktu sekitar tiga minggu.
Daftar Pustaka:
Dekker, N. 1980. Sejarah Revolusi Nasional. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2008. Sejarah Nasional Indonesia.-cet.2-Edisi Pemutakhiran. Jakarta: PT Balai Pustaka.
Demikian Penjelasan Pelajaran IPS-Sejarah Tentang Latar Belakang Pertempuran Surabaya: Kronologi, Dampak & Tokoh
Semoga Materi Pada Hari ini Bermanfaat Bagi Siswa-Siswi, Terima Kasih !!!
Baca Artikel Lainnya:
- Penanaman Modal Asing
- Organisasi Bentukan Belanda
- Kerajaan Majapahit Didirikan Oleh
- Pengertian Wilayah Menurut Para Ahli, Ciri dan Macam Lengkap
Sumber aciknadzirah.blogspot.com