Assalammualaikum, Selamat tiba di Kelas IPS. Disini Ibu Guru akan membahas wacana pelajaran Sosiologi yaitu Tentang “Pengertian Kepribadian“. Berikut dibawah ini penjelasannya:
Daftar Isi
A. Pengertian Kepribadian
Kepribadian ialah sebagai kesan yang paling menonjol atau paling kentara yang ditunjukkan seseorang terhadap orang-orang lain. Maka, seseorang mungkin disebut mempunyai “kepribadian agresif” atau “kepribadian penurut” atau “kepribadian penakut”.
Di situ pengamat menentukan satu atribut atau kualitas yang paling khas pada subjek dan agaknya merupakan cuilan penting dari keseluruhan kesan yang ditimbulkan pada orang-orang lain sehingga kepribadian orang tersebut dikenal dengan istilah tersebut. Jelas, ada unsur penilaian dalam kedua pemakaian istilah tersebut, yaitu dilukiskan sebagai baik atau buruk.
B. Pengertian Kepribadian Menurut Para Ahli
Berikut dibawah ini terdapat beberapa pengertian kepribadian berdasarkan para ahli, antara lain sebagai berikut:
1. Menurut Supratiknya
Istilah kepribadian, ada yang memaknai sebagai keterampilan atau kecakapan sosial yang baik. Kepribadian individu dinilai berdasarkan kemampuannya memperoleh reaksi-reaksi positif dari banyak sekali orang dalam banyak sekali keadaan.
2. Menurut Mc Leod (1989)
Mengartikan kepribadian sebagai sifat khas yang dimiliki sese- orang, sifat, sikap, temperamen, tabiat (karakter), tipe, minat, dan pesona (topeng).
3. Menurut Sumadi Suryabrata (1983)
Mendefinisikan kepribadian sebagai suatu kebulatan yang terdiri dari aspek-aspek jasmaniah dan rohaniah, bersifat dinamik dalam hubungannya dengan lingkungan, khas (unik), berbeda dengan orang-orang lain, dan berkembang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam dan luar diri.
4. Menurut Horton, 1993
Menyatakan bahwa kepribadian ialah keseluruhan sikap dari seorang individu dengan sistem kecenderungan tertentu yang berinteraksi dengan serangkaian situasi.
5. Menurut Soekanto
Kepribadian ialah organisasi faktor-faktor biologis, psikologis dan sosiologis yang mendasari sikap individu (manusia).
C. Unsur-Unsur Kepribadian
Menurut Koentjaraningrat (1986) unsur-unsur dari kepribadian meliputi: pengetahuan, perasaan dan dorongan hati.
1. Pengetahuan
Pengetahuan sebagai salah satu unsur kepribadian mempunyai aspek-aspek sebagai berikut: penggambaran, apersepsi, pengamatan, konsep, dan fantasi yang berada di alam sadar manusia.
Walaupun demikian, diakui bahwa banyak pengetahuan atau cuilan dari seluruh himpunan pengetahuan yang ditimbun oleh seorang individu selama hidupnya itu, seringkali hilang dari alam akalnya yang sadar, atau dalam “kesadarannya,” lantaran banyak sekali macam sebab.
Walaupun demikian perlu diperhatikan bahwa unsur-unsur pengetahuan tadi sebetulnya tidak hilang lenyap begitu saja, melainkan hanya terdesak masuk saja ke dalam cuilan dari jiwa insan yang dalam ilmu psikologi disebut alam “bawah-sadar” (sub-conscious).
Pengetahuan individu di alam bawah sadar larut dan terpecah- pecah menjadi cuilan -bagian yang seringkali tercampur satu sama lain dengan tidak teratur.
Proses itu terjadi lantaran tidak ada lagi nalar sadar dari individu bersangkutan yang menyusun dan menatanya dengan rapi walaupun terdesak ke alam bawah sadar, namun kadang kala bagian-bagian pengetahuan tadi mungkin muncul lagi di alam kesadaran dari jiwa individu tersebut.
Unsur-unsur yang mengisi nalar dan alam jiwa seorang insan yang sadar, secara nyata terkandung dalam otaknya. Ada bermacam- macam hal yang dialami melalui penerimaan pancainderanya serta alat peserta atau reseptor organismanya yang lain, sebagai getaran eter (cahaya dan warna), getaran akustik (suara), bau, rasa, sentuhan, tekanan mekanikal (berat-ringan), tekanan termikal (panas-dingin) dan sebagainya, yang masuk ke dalam sel-sel tertentu di bagian-bagian tertentu dari otaknya.
Di sana banyak sekali macam proses fisik, fisiologi, dan psikologi terjadi, yang mengakibatkan banyak sekali macam getaran dan tekanan tadi diolah menjadi suatu susunan yang dipancarkan atau diproyeksikan oleh individu tersebut menjadi suatu penggambaran wacana lingkungan tadi. Seluruh proses nalar insan yang sadar (conscious) tadi, dalam ilmu psikologi disebut “persepsi.”
Penggambaran wacana lingkungan tersebut di atas berbeda dengan contohnya sebuah gambar foto yang secara lengkap memuat semua unsur dari lingkungan yang terkena cahaya sehingga ditangkap oleh film melalui lensa kamera.
Penggambaran oleh nalar insan hanya mengandung bagian-bagian khusus yang menerima perhatian dari nalar si individu, sehingga merupakan, suatu penggambaran yang terfokus pada bagian-bagian khusus tadi. Apabila individu tadi menutup matanya, maka akan terbayang dalam kesadarannya penggambaran yang berfokus dari alam lingkungan yang gres saja dilihatnya.
Bilamana penggambaran wacana lingkungan dengan fokus kepa- da bagian-bagian yang paling menarik perhatian seorang individu, diolah dalam akalnya dengan menghubungkan penggambaran tadi dengan banyak sekali penggambaran lain sejenis yang pemah diterima dan diproyek- sikan oleh akalnya dalam masa yang lalu, yang timbul kembali sebagai kenangan atau penggambaran usang dalam kesadarannya.
Penggambaran gres dengan pengertian gres menyerupai itu, dalam ilmu psikologi disebut apersepsi. Ada kalanya suatu persepsi, sesudah di- proyeksikan kembali oleh individu, menjadi suatu penggambaran berfo- kus wacana lingkungan yang mengandung bagian-bagian yang menye- babkan individu tertarik dan lebih intensif memusatkan akalnya terhadap bagian-bagian khusus tadi. Penggambaran yang lebih intensif terfokus, yang terjadi lantaran pemusatan nalar yang lebih intensif tadi, dalam ilmu psikologi disebut “pengamatan.”
Konsep ialah penggambaran ajaib wacana bagian-bagian dari banyak sekali penggambaran lain yang sejenis, berdasarkan azas-azas ter- tentu secara konsisten. Dengan proses nalar itu individu mempunyai suatu kemampuan untuk membentuk suatu penggambaran gres yang ajaib yang sebetulnya dalam kenyataan tidak serupa dengan salah satu dari banyak sekali macam penggambaran yang menjadi materi aktual dari penggambaran gres itu.
Fantasi ialah penggambaran wacana lingkungan individu yang ditambah-tambah dan dibesar-besarkan, dan ada yang dikurangi serta dikecil-kecilkan pada bagian-bagian tertentu; ada pula yang digabung- gabungkan dengan penggambaran-penggambaran lain, menjadi peng- gambaran yang gres sama sekali, yang sebetulnya tidak akan pernah ada dalam kenyataan. Contoh menggambarkan ayam bertanduk, atau anjing yang bisa berbicara dan sebagainya.
Kemampuan nalar insan untuk membentuk konsep, serta kemampuannya untuk berfantasi, sudah tentu sangat penting bagi makhluk manusia. Ini disebabkan lantaran tanpa kemampuan nalar untuk membentuk konsep dan penggambaran fantasi, teru-tama konsep dan fantasi yang mempunyai nilai guna dan keindahan, artinya kemampuan nalar yang kreatif, maka insan tidak akan sanggup menyebarkan cita- cita serta gagasan-gagasan ideal; insan tidak akan sanggup mengem- bangkan ilmu pengetahuan, dan insan tidak akan sanggup mengkreasikan karya-karya keseniannya.
2. Perasaan
Koentjaraningrat (1986) menyatakan bahwa perasaan ialah suatu keadaan dalam kesadaran insan yang lantaran efek pengetahuannya dinilainya sebagai keadaan positif atau negatif. Suatu perasaan yang selalu bersifat subyektif lantaran adanya unsur penilaian, yang biasanya menjadikan suatu kehendak dalam kesadaran seorang individu.
Kehendak itu bisa juga positif, artinya individu tersebut ingin mendapatkan hal yang dirasakannya sebagai suatu hal yang akan memperlihatkan kenikmatan kepadanya, atau bisa juga negatif, artinya ia hendak menghindari hal yang dirasakannya sebagai hal yang akan membawa perasaan tidak nikmat kepadanya.
Alam kesadaran insan juga mengandung banyak sekali macam perasaan. Kalau orang pada suatu hari yang luar biasa panasnya melihat papan gambar reklame minuman es kelapa muda berwarna merah muda yang tampak segar dan nikmat, maka persepsi itu mengakibatkan seolah-olah terbayang di mukanya suatu penggambaran segelas es kelapa muda yang dingin, manis, dan menyegarkan pada waktu hari sedang panas-panasnya, yang seperti demikian realistiknya sehingga ke- luarlah air liurnya.
Apersepsi seorang individu yang menggambarkan diri sendiri sedang menikmati segelas es kelapa muda tadi menjadikan dalam kesadarannya suatu “perasaan” yang positif, yaitu perasaan nikmat, dan perasaan nikmat itu hingga nyata mengeluarkan air liur.
Sebaliknya, kita sanggup juga menggambarkan adanya seorang individu yang melihat sesuatu hal yang jelek atau mendengar bunyi yang tidak menyenangkan, mencium busuk busuk dan sebagainya. Dugaan-dugaan atau persepsi menyerupai itu sanggup menjadikan kesadaran akan perasaan yang negatif, lantaran dalam kesadaran terkenang lagi contohnya bagaimana kita menjadi muak lantaran sepotong ikan yang sudah busuk yang kita alami di masa yang lampau. Apersepsi tersebut mungkin sanggup mengakibatkan kita menjadi benar-benar merasa muak apabila kita mencium lagi busuk ikan busuk.
Suatu perasaan bisa berwujud menjadi kehendak, suatu kehendak juga sanggup menjadi sangat keras, dan hal itu sering terjadi apabila hal yang dikehendaki itu tidak gampang diperoleh, atau sebaliknya. Suatu kehendak yang kuat/keras disebut dengan keinginan. Suatu keinginan juga bisa menjadi sangat besar, dan bila hal ini terjadi maka disebut dengan emosi.
3. Dorongan Naluri
Kesadaran insan berdasarkan para jago psikologi juga mengandung banyak sekali perasaan lain yang tidak ditimbulkan lantaran efek penge- tahuannya, melainkan lantaran sudah terkandung dalam organismanya, dan khususnya dalam gen-nya (dirinya) sebagai naluri. Kemauan yang sudah merupakan naluri pada tiap makhluk insan tersebut, disebut dorongan (drive).
Naluri yang terkandung dalam diri insan sangat bermacam-macam (Koentjaraningrat, 1986), beberapa jago mempunyai perbedaan, namun mereka sepakat bahwa ada paling sedikit tujuh macam dorongan naluri, yaitu:
- Dorongan untuk mempertahankan hidup. Dorongan ini memang merupakan suatu kekuatan biologi yang juga ada pada semua makhluk di dunia ini dan yang mengakibatkan bahwa semua jenis makhluk bisa mempertahankan hidupnya di muka bumi ini;
- Dorongan sec. Dorongan ini malahan telah menarik perhatian banyak jago psikologi, dan banyak sekali teori telah dikembangkan sekitar soal ini. Suatu hal yang terang ialah bahwa dorongan ini timbul pada tiap individu yang normal tanpa terkena efek pengetahuan, dan memang dorongan ini mempunyai landasan biologi yang mendorong makhluk insan untuk membentuk keturunan yang melanjutkan jenisnya (regenerasi);
- Dorongan untuk usaha men- cari makan. Dorongan ini tidak perlu dipelajari, dan semenjak bayi pun manu- sia sudah memperlihatkan dorongan untuk mencari makan, yaitu dengan mencari susu ibunya atau botol susunya, tanpa dipengaruhi oleh penge- tahuan wacana adanya hal-hal itu tadi;
- Dorongan untuk bergaul atau berinteraksi dengan sesama manusia. Dorongan ini memang merupakan landasan biologi dari kehidupan masyarakat insan sebagai makhluk kolektif;
- dorongan untuk memalsukan tingkah-laku sesamanya. Dorongan ini merupakan Dorongan dari adanya beraneka warna kebudayaan di anta- ra manusia, lantaran adanya dorongan ini insan menyebarkan adat yang memaksanya berbuat konform dengan insan sekitarnya;
- Dorongan untuk berbakti. Dorongan ini mungkin ada dalam naluri manusia, lantaran insan merupakan makhluk, yang hidup kolektif, sehingga untuk sanggup hidup bersama dengan insan lain secara harmonis ia perlu mem- punyai suatu landasan biologi untuk mengem bangkan rasa altruistik, rasa simpati, rasa cinta dan sebagainya, yang memungkinkannya hidup bersama itu. Kalau dorongan untuk banyak sekali hal itu diekstensikan dari sesama manusianya kepada kekuatan-kekuatan yang oleh perasaanya dianggap berada di luar akalnya, maka akan timbul religi;
- Dorongan akan keindahan, dalam arti keindahan bentuk, warna, suara, atau gerak. Pada seorang bayi dorongan ini sudah sering tampak pada tanda-tanda tertariknya seorang bayi kepada bentuk-bentuk tertentu dari benda-benda di sekitamya, kepada warna-warna cerah, kepada bunyi nyaring dan berirama, dan kepada gerak-gerak yang selaras. Beberapa jago berkata bahwa dorongan naluri ini merupakan landasan dari suatu unsur penting dalam kebudayaan manusia, yaitu kesenian.
A.F.C. Wallace (dalam Koentjaraningrat, 1986), pernah menciptakan suatu kerangka di mana terdaftar secara sistematis seluruh materi yang menjadi obyek dan sasaran unsur-unsur kepribadian manusia. Kerangka itu menyebut tiga hal yang pada tahap pertama merupakan isi kepriba- dian yang pokok, yaitu:
- Aneka wama kebutuhan organik diri sendiri, aneka-warna kebutuhan serta dorongan psikologi diri sendiri, dan aneka wama kebutuhan serta dorongan organik maupun psikologi sesama insan yang lain daripada diri sendiri; sedangkan kebutuhan-kebutuhan tadi sanggup dipenuhi atau tidak dipenuhi oleh individu yang bersangkutan, sehingga memuaskan dan bernilai positif baginya, atau tidak memuaskan dan bemilai negative;
- Aneka warna hal yang bersangkutan dengan kesadaran individu akan identitas diri sendiri, atau “identitas aku”, baik aspek fisik maupun psikologinya, dan segala hal yang bersangkutan dengan kesadaran individu mengenai bermacam-macani kategori manu- sia, binatang, tumbuh-tumbuhan, benda, zat, kekuatan, dan tanda-tanda alam, baik yang nyata maupun yang mistik dalam lingkungan sekelilingnya; dan banyak sekali macam cara untuk memenuhi, memperkuat, berhubungan, mendapatkan, atau mempergunakan, aneka warna kebutuhan dari hal tersebut di atas, sehingga tercapai keadaan memuaskan dalam kesadar- an individu bersangkutan. Pelaksanaan banyak sekali macam cara dan jalan tersebut terwujud dalam kegiatan hidup sehari-hari dari seorang individu.
D. Faktor yang Mempengaruhi Kepribadian
Pembentukan kepribadian seseorang berlangsung dalam suatu proses yang disebut dengan sosialisasi, yaitu suatu proses dengan mana seseorang menghayati (mendarah-dagingkan-internalize) norma-norma kelompok dimana ia hidup sehingga muncullah dirinya yang “unik”. (Horton, 1993).
Faktor-faktor yang besar lengan berkuasa dalam pembentukan kepribadian sebagai proses sosialisasi mencakup:
1. Warisan Biologis
Semua insan yang normal dan sehat mempunyai persamaan biologis tertentu, menyerupai mempunyai dua tangan, panca indera, kelenjar sec, dan otak yang rumit. Persamaan biologis ini membantu menjelas- kan beberapa persamaan dalam kepribadian dan sikap semua orang.
Setiap warisan biologis seserang juga bersifat unik, yang berarti, bahwa tidak seorang pun (kecuali anak kembar) yang mempunyai karakteristik fisik yang hampir sama.
Beberapa orang percaya bahwa kepribadian seseorang tidak lebih dari sekedar penampilan warisan biologisnya. Karakteristik kepribadian menyerupai ketekunan, ambisi, kejujuran, kriminalitas, kelainan secual, dan ciri yang lain dianggap timbul dari kecenderungan-kecenderungan turunan Bahkan ada yang beranggapan, melalui tampilan fisik sanggup diketahui bagaimana kepribadian orang tersebut. Contoh dalam hal ini sanggup dilihat dalam buku-buku primbon Jawa, mulai dari fisik, rambut, kulit, bentuk muka, hingga tahi lalat.
Dewasa ini tidak banyak lagi yang masih mempercayai anggapan ini. Pandangan kini ini menyatakan bahwa kepribadian seseorang dibuat oleh pengalaman. Sebenarnya perbedaan individual dalam ke- mampuan, prestasi, dan sikap hampir semuanya bekerjasama dengan lingkungan, dan bahwa perbedaan individu dalam warisan biologis tidak begitu penting (Whimby, 1975).
Fenomena kontradiktif ini, antara “bawaan dan asuhan”, berlangsung cukup lama, dan masing-masing mempunyai penganut yang cukup besar. Suatu penelitian terhadap 2.500 anak kembar siswa SLTA merupakan salah satu langkah untuk mencari derajat kebenaran dari masing-masing anggapan dikemukakan oleh Nichols (1977), hasilnya menyimpulkan bahwa hampir setengah variasi di antara orang-orang dalam spektrum ciri-ciri psikologis yang luas ialah akhir dari perbedaan karakteristik genetis, sedangkan setengahnya lagi ialah akhir lingkungan.
Penelitian lain dilaksanakan Medico-genetical Institute di Moskow, yang memisahkan seribu pasangan anak kembar ketika masih bayi dan menempatkan mereka dalam lingkungan yang terkendali untuk diamati selama 2 tahun. Hasilnya mendukung dengan terang suatu dasar keturun- an dalam beberapa ciri, termasuk perbedaan kecerdasan. (Hardin, 1959, dalam Horton, 1993).
Masalah warisan biologis/keturunan versus lingkungan pada da- sarnya bukan hanya masalah ilmiah, tetapi juga politis. Seperti gusarnya golongan Marxis (penganut aliran Marx) melihat bukti bahwa ada perbe- daan dalam kecakapan bawaan, kalangan konservatif (kolot, konvensional, tradisional) yang dengan senang hati memakai bukti kecakapan warisan yang berbeda untuk memperoleh hak yang berbeda.
Perbedaan individual dalam warisan biologis ialah nyata, terlepas dari apakah kenyataannya demikian mengakibatkan seseorang senang atau tidak. Untuk beberapa ciri, warisan biologis lebih penting daripada yang lain. Misalnya, beberapa penelitian memperlihatkan bahwa IQ anak angkat lebih menyerupai dengan IQ orang bau tanah kandungnya daripada dengan orang bau tanah angkatnya (Horton, 1993).
Namun, meskipun perbedaan individual dalam IQ sepertinya lebih banyak ditentukan oleh keturunan daripada oleh lingkungan, banyak perbedaan yang lainnya ditentukan oleh lingkungan. Suatu studi baru-baru ini menemukan bukti bahwa faktor keturunan besar lengan berkuasa kuat terhadap keramah-tamahan, sikap kompulsif (memaksa) dan fasilitas dalam pergaulan sosial, tetapi faktor keturunan tidak begitu penting dalam kepemimpinan, pengendalian dorongan spontan (cepat bertindak), sikap, dan minat (Horn, 1976, dalam Horton, 1993).
Kesimpulannya, bahwa warisan biologis penting dalam beberapa ciri kepribadian dan kurang penting dalam hal-hal lain. Tidak ada masalah yang sanggup mengukur efek keturunan dan lingkungan dengan tepat, tetapi banyak ilmuwan sependapat bahwa apakah potensi warisan sese- orang berkembang sepenuhnya, sangat dipengaruhl oleh pengalaman sosial orang yang bersangkutan.
Beberapa orang berpandangan bahwa orang gemuk ialah periang, bahwa orang dengan kening yang lebar cerdas, bahwa orang berambut merah berwatak gampang meledak atau marah, bahwa orang dengan rahang lebar mempunyai kepribadian yang kuat. Banyak keyakinan umum menyerupai itu telah terbukti tidak benar ketika diuji secara empiris, meskipun kadang kala ditemukan beberapa relasi yang absah.
Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Bar (1977) dengan membandingkan kelompok sampel berambut merah dengan suatu kelompok kendali yang terdiri dari orang-orang dengan banyak sekali warna rambut dan melaporkan bahwa tabiat si rambut merah umumnya memang lebih sering meledak-ledak dan agresif. la mengemukakan adanya relasi genetis antara karakteristik fisik (rambut merah) dengan karakteristik kepribadian (mudah meledak, agresif).
Penjelasan lain menyatakan bahwa setiap karakteristik fisik didefinisikan secara sosial dan kultural dalam setiap masyarakat (Horton, 1993). Misalkan, gadis gemuk dikagumi di Dahomey.
Suatu karakteristik fisik sanggup menjadikan seseorang anggun dalam suatu masyarakat dan menjadi “anak angsa jelek rupa” dalam masyarakat lain. Oleh lantaran itu, karakteristik fisik tertentu menjadi suatu faktor dalam perkembangan kepribadian sesuai dengan bagaimana ia didefinisikan dan diperlakukan dalam masyarakat dan oleh kelompok pola seseorang.
Kalau orang berambut merah dibutuhkan gampang meledak dan dibenarkan kalau marah, tidak mengherankan bila mereka menjadi pemarah. Sebagaimana dinya- takan diatas, orang menanggapi impian sikap dari orang lain dan cenderung menjadi berperilaku menyerupai yang dibutuhkan oleh orang lain tersebut.
Sebagai kesimpulan, karakteristik fisik jarang menghasilkan sifat- sifat sikap tertentu, impian sosial dan kulturallah yang menyebabkan- nya demikian.
2. Lingkungan Fisik
Sorokin (1928) menyimpulkan teori beratus-ratus penulis dari Conficius, Aristoteles, dan Hipocrates hingga kepada jago geografi Ellsworth Huntington, yang menekankan bahwa perbedaan sikap kelompok terutama disebabkan oleh perbedaan iklim, topografi, dan sumber alam.
Teori tersebut sesuai benar dengan kerangka etnosentris (pandangan yang menyatakan anggota tubuh kita lebih baik dibandingkan dengan lainnya, lantaran geografi memperlihatkan keterangan yang cukup baik dan terang objektif terhadap kebajikan nasional dan sifat- sifat jelek orang lain.
Pada umumnya diakui bahwa lingkungan fisik mensugesti kepribadian. Bangsa Athabascans mempunyai kepribadian yang mayoritas yang mengakibatkan mereka sanggup bertahan hidup dalam iklim yang lebih cuek daripada tempat Arctic (Boyer, 1974).
Orang pedalaman Australia harus berjuang dengan gigih untuk tetap hidup, padahal bangsa Samoa hanya memerlukan sedikit waktu setiap harinya untuk mendapatkan lebih banyak masakan daripada yang bisa mereka makan. Malah kini beberapa tempat hanya sanggup menolong sebagian kecil penduduk yang tersebar sangat jarang, dan kepadatan penduduk mensugesti kepribadian.
Suku Ik dari Uganda sedang mengalami kelaparan secara perlahan, lantaran hilangnya tanah tempat perburuan tradisional, dan berdasarkan Turnbull (1973) mereka menjadi sekelompok orang yang paling tamak, paling rakus di dunia; sama sekali tidak mempunyai keramahan, tidak suka menolong atau tidak mempunyai rasa kasihan, malah merebut masakan dari lisan anak mereka dalam usaha mempertahankan hidup.
Suku Quolla dari Peru digambarkan oleh Trotter (1973) sebagai sekelompok orang yang paling keras di dunia, dan ia menghubungkan hal ini dengan hipoglikemia (menurunnya kandungan glukosa darah) yang timbul lantaran kekurangan makanan.
Jelaslah bahwa lingkungan fisik mensugesti kepribadian dan perilaku. Namun, dari lima faktor tersebut di atas, lingkungan fisik merupakan faktor yang paling tidak penting, jauh kurang pentingnya dari faktor kebudayaan, pengalaman kelompok, atau pengalaman unik.
3. Kebudayaan
Beberapa pengalaman umum bagi seluruh kebudayaan, dimana bayi dipelihara atau diberi makan oleh orang yang lebih tua, hidup dalam kelompok, mencar ilmu berkomunikasi melalui bahasa, mengalami eksekusi dan mendapatkan imbalan/pujian dan semacamnya, serta mengalami penga- laman lain yang umum dialami oleh jenis manusia.
Setiap masyarakat sebetulnya memperlihatkan pengalaman tertentu yang tidak diberikan oleh masyarakat lain kepada anggotanya. Dari pengalaman sosial yang sebetulnya yang umum bagi seluruh anggota masyarakat tertentu, timbullah konfigurasi kepribadian yang khas dari anggota masyarakat tersebut.
DuBois (1944) menyebutnya sebagai “modal personality” (diambil dari istilah statistis “mode” yang mengacu pada suatu nilai yang paling sering timbul dalam banyak sekali seri).
Beberapa contoh dari efek unsur kebudayaan terhadap kepribadian, sebagaimana masalah suku Dobu di Melanisia (Horton, 1993). Anak suku Dobu yang lahir ke dunia hanya pamannya yang mungkin menyayanginya, terhadap siapa ia akan menjadi jago warisnya, Ayahnya yang lebih tertarik kepada belum dewasa saudara perempuannya biasanya membencinya, lantaran si ayah harus menunggu hingga anak tersebut disapih untuk sanggup melaksanakan relasi secual dengan ibunya.
Sering juga ia tidak dibutuhkan oleh ibunya dan tidak jarang terjadi penggu- guran. Hidup suku Dobu diatur oleh ilmu sihir, penyebab kejadian bukan berasal dari alam; semua tanda-tanda dikendalikan oleh ilmu sihir yang telah dikenakan terhadap seseorang dan mengakibatkan balas dendam dari keluarganya.
Bahkan mimpipun diinterpretasikan sebagai sihir. Malah nafsu secual tidak akan muncul apabila tidak menanggapi penyihiran cinta orang lain, yang membimbingnya menuju kepadanya, sementara daya sihir cinta seseorang memperlihatkan keberhasilannya. Setiap orang Dobu selalu merasa takut akan diracun.
Makanan dijaga dengan waspa- da pada waktu dimasak dan hanya dengan beberapa orang tertentulah orang Dobu bersedia makan bersama. Setiap ketika setiap desa melin- dungi diri dari semua pasangan yang berkunjung dari desa lain, dan semua tamu ini tidak sanggup dipercayai oleh yang punya rumah dan para tamu sendiri tidak saling percaya.
Sungguh tidak seorang pun sanggup dipercaya penuh; para suami cemas terhadap sihir isterinya dan takut terhadap mertua. Sepintas lalu, relasi sosial di Dobu ialah cerah dan sopan meskipun keras dan tanpa humor.
Pertentangan hanyalah sedikit, lantaran menghina atau bermusuhan berbahaya. Namun, teman- sahabat juga berbahaya. Persahabatan mungkin merupakan awal pengracunan atau pengumpulan materi (rambut, kuku tangan) yang mempunyai kegunaan untuk menyihir.
Kepribadian yang berkembang dalam kebudayaan semacam itu? setiap orang Dobu bersifat bermusuhan, curiga, tidak sanggup dipercaya, cemburu, penuh rahasia, dan tidak jujur. Sifat-sifat ini merupakan tang- gapan yang rasional, lantaran orang Dobu hidup dalam dunia yang penuh kejahatan, dikelilingi musuh dan tukang sihir.
Pada karenanya mereka yakin akan dihancurkan. Walaupun mereka melindungi diri dengan sihir mereka, tetapi mereka tidak pemah mencicipi proteksi yang nyaman. Mimpi jelek mungkin mengakibatkan mereka terkapar di tempat tidur berhari-hari. dan ini ialah suatu hal yang nyata, benar bukan hayalan/irasional.
Contoh masalah lain ialah yang terjadi pada suku Zuni di Meksiko, yang diidentifikasikan sebagai bangsa yang hening dalam lingkungan yang sehat secara emosional. Kelahiran anak disambut dengan hangat, diperlakukan dengan kemesraan yang lembut dan banyak menerima kasih sayang.
Tanggung jawab dalam mendidik anak sungguh besar dan menyebar; seorang anak akan ditolong atau diperhatikan oleh setiap orang bakir balig cukup akal yang ada. Menghadapi benteng orang bakir balig cukup akal yang terpadu, belum dewasa jarang berperilaku salah; dan sekalipun mungkin dikata-katai, tetapi jarang dihukum. Rasa malu ialah alat kendali yang paling utama yang sangat sering ditimbulkan di depan orang lain.
Berkelahi dan sikap berangasan sangat tidak disetujui dan orang Zuni dididik untuk mengendalikan nafsu mereka pada usia muda. Per- tengkaran terbuka hampir tidak tampak. Nilai-nilai orang Zuni menekankan hormat, kolaborasi dan ketiadaan persaingan, agresivitas atau keserakahan.
Ketidakwajaran dalam segala bentuk ditolak, dan alkohol umumnya ditolak lantaran mendorong sikap yang tidak wajar. Harta di- nilai untuk penggunaan langsung, bukan untuk prestise atau simbol keku- asaan. Walaupun orang Zuni tidak ambisius, mereka memperoleh keku- asaan melalui pengalaman dalam upacara, nyanyian, dan fetis agama.
Seorang yang “miskin” bukanlah orang yang tidak mempunyai harta, tetapi orang yang tidak mempunyai sumber dan relasi yang bersifat upacara (seremonial). Kehidupan upacara memenuhi setiap segi kehidupan orang Zuni.
Kerja sama, sikap yang masuk akal dan minimnya individualisme me- resap dalam sikap orang Zuni. Milik pribadi tidaklah penting dan siap untuk dipinjamkan pada orang lain. Anggota rumah tangga yang bersifat matrilineal bekerja bersama sebagai suatu kelompok dan hasil tumbuhan disimpan dalam gudang umum.
Setiap orang bekerja untuk kepentingan kelompok, bukan untuk kepentingan pribadi. Peran pemimpin jarang dicari tetapi harus dipaksakan pada seseorang.
Isyu dan perselisihan diselesaikan secara masuk akal bukan dengan permohonan pada penguasa atau dengan mempertunjukkan kekuasaan atau dengan perdebatan yang berkepanjangan, tetapi dengan diskusi yang usang dan sabar.
Keputusan mayoritas sederhana tidak menuntaskan duduk masalah secara menyenang- kan, komitmen (konsensus) perlu dan komitmen lingkaran diharapkan.
Bagaimana perkembangan kepribadian orang Zuni? sangat ber- saingan dengan kepribadian normal di antara orang Dobu. Bila bangsa Dobu bersifat curiga dan tidak sanggup dipercaya, bangsa Zuni mempunyai kepercayaan diri dan sanggup dipercaya; bila bangsa Dobu cemas dan merasa tidak aman, bangsa Zuni merasa kondusif dan tentram.
Bangsa Zuni umumnya mempunyai tabiat yang suka menyerah dan pemurah, sopan dan suka bekerja sama. Bangsa Zuni ialah orang-orang konformis yang tanpa pikir, lantaran menjadi seseorang yang nyata-nyata berbeda dari orang lain sanggup mengakibatkan seseorang atau kelompok itu sangat cemas. Hal ini membantu mengendalikan sikap tanpa perasaan berdo- sa dan bersalah yang banyak ditemukan dalam banyak masyarakat.
Bertolak dari contoh di atas, sanggup diketahui ada beberapa segi dari kebudayaan yang mensugesti proses perkembangan kepriba- dian, yaitu norma-norma kebudayaan masyarakat dan proses sosialisasi diri (Horton, 1993).
Norma-norma kebudayaan yang ada dalam ling- kungan masyarakat mengikat insan semenjak ketika kelahirannya. Seorang anak diperlakukan dalam cara-cara yang membentuk kepribadian. Setiap kebudayaan menyediakan seperangkat efek umum, yang sangat berbeda dari masyarakat ke masyarakat.
Linton (1985) menyampaikan bahwa setiap kebudayaan menekankan serangkaian efek umum terhadap individu yang tumbuh di bawah kebudayaan masyarakat. Pengaruh-pengaruh ini berbeda dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain, tetapi semuanya merupakan denominator pengalaman bagi setiap orang yang termasuk ke dalam masyarakat tersebut.
Penelitian dalam soal perkembangan kepribadian dalam kebudayaan juga telah gagal dalam menandakan teori Freud wacana hasil cara mengasuh anak yang khusus (Eggan, 1943, Dai, 1957 dalam Horton, 1993). Dimana hasilnya memperlihatkan bahwa suasana lingkungan keseluruhan merupakan hal penting dalam perkembangan kepribadian, bukan cara tertentu yang spesifik.
Apakah seorang anak diberi susu ASI atau susu botol, tidaklah penting; yang penting ialah apakah cara pinjaman susu itu dilakukan dalam kondisi yang merupakan suasana mesra dan penuh kasih sayang dalarn dunia yang hangat dan aman; atau kejadian biasa yang terburu-buru dalam situasi yang tanpa perasaan, kurang tanggap dan tidak akrab.
Seorang bayi lahir ke dunia ini sebagai suatu organisme kecil yang egois yang penuh dengan segala macam kebutuhan fisik.
Kemudian ia menjadi seorang insan dengan seperangkat sikap dan nilai, kesukaan dan ketidaksukaan, tujuan serta maksud, pola reaksi, dan konsep yang mendalam serta konsisten wacana dirinya. Setiap orang memperoleh semua itu melalui suatu proses yang disebut sosialisasi. Sosialisasi ialah suatu proses dengan mana seseorang menghayati (mendarah dagingkan-internalize) norma-nonna kelompok di mana ia hidup sehingga timbullah “diri” yang unik.
4. Pengalaman Kelompok
Pada awal kehidupan insan tidak ditemukan apa yang disebut diri. Terdapat organisme fisik, tetapi tidak ada rasa pribadi. Kemudian bayi mencoba mencicipi batas-batas tubuhnya, mereka mulai mengenali orang. Kemudian beranjak dari nama yang membedakan status menjadi nama yang mengidentifikasi individu, termasuk dirinya.
Kemudian mereka memakai kata “saya” yang merupakan suatu tanda yang terang atas kesadaran diri yang pasti. Suatu tanda bahwa anak tersebut telah semakin sadar sebagai insan yang berbeda dari yang lainnya. (Horton, 1993).
Dengan kematangan fisik serta akumulasi pengalaman-pengalaman sosialnya anak itu membentuk suatu gambaran wacana diri- nya. Pembentukan gambaran diri seseorang mungkin merupakan proses tunggal yang sangat penting dalam perkembangan kepribadian.
Pengalaman sosial merupakan suatu hal penting untuk pertum- buhan manusia. Perkembangan kepribadian bukanlah hanya sekedar pembukaan otomatis potensi bawaan.
Tanpa pengalaman kelompok, kepribadian insan tidak berkembang. Bahkan sanggup dikatakan bahwa insan membutuhkan pengalaman kelompok yang intim bila mereka ingin berkembang sebagai makluk bakir balig cukup akal yang normal.
Keberadaan kelompok dalam masyarakat merupakan suatu hal penting dalam perkembangan kepribadian seseorang, lantaran kelompok- kelompok ini merupakan model untuk gagasan atau norma-norma sikap seseorang. Kelompok semacam itu disebut kelompok pola (reference group).
Mula-mula kelompok keluarga ialah kelompok yang terpenting, lantaran kelompok ini merupakan kelompok satu-satunya yang dimiliki bayi selama masa-masa yang paling peka. Semua yang berwenang oke bahwa ciri-ciri kepribadian dasar dari individu dibuat pada tahun-tahun pertama ini dalam lingkungan keluarga.
Kemudian, kelompok sebaya (peer group), yakni kelompok lain yang sama usia dan statusnya, menjadi penting sebagai suatu kelompok referens. Kegagalan seorang anak untuk mendapatkan akreditasi sosial dalam kelompok sebaya sering diikuti oleh pola penolakan sosial dan kegagalan sosial seumur hidup.
Apabila seorang belum mempunyai ukuran yang masuk akal wacana penerimaan kelompok sebaya ialah sulit, kalau tidak sanggup dikatakan mustahil, bagi seorang untuk menyebarkan gambaran diri yang bakir balig cukup akal sebagai seorang yang berharga dan kompeten.
Kelompok pola ini dalam perkembangannya mengalami pergan- tian seiring dengan usia dan aktifitas individu yang bersangkutan. Hanya perlunya disadari bahwa dari ratusan kemungkinan kelompok referens yang menjadi penting bagi setiap orang dan dari penilaian kelompok ini gambaran diri seseorang secara terus-menerus dibuat dan diperbaharui.
Oleh lantaran itu, tidaklah salah kalau dikatakan bahwa setiap individu bisa menjadi pola atau referens bagi individu lainnya dalam pembentukan kepribadian yang bersangkutan, demikian juga sebaliknya.
Masyarakat yang kompleks/majemuk mempunyai banyak kelompok dan kebudayaan khusus dengan standar yang berbeda dan kadangkala bertentangan. Seseorang dihadapkan pada model-model sikap yang pada suatu ketika dipuji sedang pada ketika lain dicela atau disetujui oleh beberapa kelompok dan dikutuk oleh kelompok lainnya.
Dengan demikian seorang anak akan mencar ilmu bahwa ia harus “tangguh” dan bisa untuk “menegakkan haknya”, namun pada ketika yang sama ia pun harus sanggup berlaku tertib, penuh pertimbangan dan rasa hormat.
Dalam suatu ma- syarakat di mana setiap orang bergerak dalam sejumlah kelompok dengan standar dan nilai yang berbeda, setiap orang harus bisa menentukan cara untuk mengatasi tantangan-tantangan yang serba bertentangan.
5. Pengalaman yang Unik
Mengapa belum dewasa yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang sama sedemikian berbeda satu dengan yang lainnya, sekalipun mereka pernah mendapatkan pengalaman yang sama? Masalahnya ialah lantaran mereka tidak mendapatkan pengalaman yang sama; mereka pernah mendapatkan pengalaman yang serupa dalam beberapa hal dan berbeda dalam beberapa hal lainnya.
Setiap anak memasuki suatu unit/kesatuan keluarga yang berbe- da. Anak yang dilahirkan pertama, yang merupakan anak satu-satunya hingga kelahiran anak yang kedua, kemudian akan mempunyai adik laki- laki atau wanita dengan siapa ia sanggup bertengkar.
Orang bau tanah berubah dan tidak memperlakukan sama semua anak-nya. Anak-anak memasuki kelompok sebaya yang bebeda, mungkin mempunyai guru yang berbeda dan berhasil melampaui kejadian yang berbeda pula. Sepasang anak kembar mempunyai warisan (heredity) yang identik dan (kecuali bila dipisahkan) lebih cenderung memperoleh pengalaman yang sama.
Mereka berada dalam suatu keluarga bersama-sama, seringkali mempunyai kelompok sebaya yang sama, dan diperlakukan kurang lebih sama oleh orang lain; akan tetapi bahkan anak kembar pun tidak mengalami bersama seluruh kejadian dan pengalaman.
Karena pengalaman setiap orang ialah unik dan tidak ada persamaannya. Pengalaman sen- diripun tidak ada yang secara tepat sanggup menyamainya.
Suatu inventarisasi dari pengalaman sehari-hari banyak sekali anak- anak dalam suatu keluarga yang sama akan mengungkapkan banyaknya perbedaan. Maka setiap anak (terkecuali anak kembar yang identik) mempunyai warisan biologis yang unik, yang benar-benar tidak seorang pun sanggup mehyamainya, dan demikian pula halnya suatu rangkaian pengalaman hidup yang unik tidak sanggup benar-benar disamai oleh pengalaman siapapun.
Pengalaman tidaklah sekedar bertambah, akan tetapi menyatu. Kepribadian tidaklah dibangun dengan menyusun suatu kejadian di atas kejadian lainnya sebagaimana membangun tembok bata. memalsukan satu sama lainnya, akan tetapi mereka juga berusaha untuk mempunyai identitas sendiri.
Anak-anak yang lebih muda seringkali menolak kegiatan yang telah dikerjakan dengan baik oleh kakak-kakaknya, dan mencari peng- akuan melalui kegiatan-kegiatan lainnya. Tanpa disadari, orang bau tanah membantu proses seleksi ini.
Seorang ibu sanggup mengatakan, “Susi si kecil ialah pembantu mama, tetapi saya pikir Anna akan menjadi anak wanita yang kelaki-lakian”, ketika Susi mulai merapikan meja, sedangkan Anna sedang berjumpalitan di tangga.
Jadi dalam relasi ini dan dalam banyak hal lainnya setiap pengalaman hidup seseorang ialah unik. Unik dalam pengertian tidak seorangpun mengalami serangkaian pengalaman menyerupai ini dengan cara yang persis sama dan unik dalam pengertian bahwa tidak seorangpun mempunyai latar belakang pengalaman yang sama, setiap kejadian gres akan menjadikan efek yang akan sanggup diperoleh suatu makna.
Teori Kepribadian
Beberapa teori kepribadian yang dikenal dalam kajian sosiologi, psikologi maupun antropologi, secara umum sanggup dikelompokkan menja- di beberapa empat (4) bagian, sebagai berikut.
- Teori-teori kepribadian yang berorientasi psikodinamik, teori ini berpandangan bahwa sebagian terbesar tingkah laris insan digerakkan oleh daya-daya psikodinamik menyerupai motif-motif, konflik- konflik, dan kecemasan-kecemasan. Diantaranya yang termasuk dalam kelompok ini adalah: teori psikoanalisis klasik Freud, psikologi ego Erik Erikson, teori Analitik Carl Jung, teori psikologi sosial Alfres Adler, Erich Fromm, Karen Horney, dan Harry Stack
- Teori-teori kepribadian yang berorientasi holisitik, teori ini berpandangan bahwa insan merupakan suatu organisme yang utuh atau padu dan bahwa tingkah laris insan tidak sanggup dijelaskan semata-mata berdasarkan aktifitas bagian-bagiannya. Kelompok yang termasuk dalam teori ini adalah: Personologi Henry Murray, teori organismik Kurt Goldstein dan Andras Angyal, teori Humanistik Abraham Maslow dan Carl Rogers, teori Eksistensial Ludwig Binswanger dan Medard Boss, dan teori Medan Kurt Lewin. Selain itu kelompok teori ini juga disebut dengan teori kepribadian yang berorienttasi fenomenologis, lantaran teori ini menekankan pentingnya cara sang individu insan dalam mempersepsikan dan mengalami dirinya serta dunia
- Teori-teori kepribadian yang berorientasi sifat (trait theories) atau teori tipe (type theories), teori ini berpandangan bahwa sebagian terbesar insan mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni pola kecenderungan untuk bertingkah laris dengan cara tertentu, sifat yang stabil ini menyebab- kan insan bertingkah laris secara relatif tetap dari situasi ke situasi. Mereka yang termasuk dalam kelompok teori ini adalah: teori psikologi individu dari Gordon Allport, psikologi konstitusi dari William Sheldon, dan teori faktor Raymond.
- Teori-teori kepribadian yang berorientasi behavioristik, teori ini menekankan proses mencar ilmu serta peranan lingkungan yang merupa- kan kondisi eksklusif belajar, dalam menjelaskan tingkah laku. Menurut teori ini semua bentuk tingkah laris insan merupakan hasil mencar ilmu yang bersifat mekanistik lewat proses perkuatan. Mereka yang termasuk dalam kelompok ini ialah teori stimulus-respon John Dollard dan Neal Miller, serta peori perkuatan operan B.F. Skinner.
E. Bentuk Kepribadian Manusia
Kepribadian insan bentuknya khas dan unik sehingga menjadi identitas yang bersangkutan, namun demikian tidak berarti di dunia ini bentuk kepribadian insan sejumlah insan yang ada di permukaan bumi. Beberapa jago mencoba mengelompokkan bentuk kepribadian insan tersebut dalam beberapa bentuk.
Robbins (1996) mengidentifikasi ada 16 ciri primer atau bentuk primer kepribadian manusia, sekaligus sebagai sumber sikap yang sifatnya ajek (steady) dan konstan, yang memungkinkan ramalan dari sikap seseorang individu dalam situasi-situasi khusus dengan menim bang karakteristik-karakteristik untuk relevansi situasionalnya. Ke-enam belas ciri perimer kepribadian tersebut ialah sebagai berikut.
- pendiam → ramah
- kurang cerdas → lebih cerdas
- dipengaruhi perasaan → mantap secara emosional
- mengalah → dominan
- serius → suka bersenang-senang
- mudah bersedia → berhati-hati
- malu-malu → petualang
- keras hati → peka
- mempercayai → mencurigai
- praktis → imajinatif
- terus terang → lihai/licin
- percaya diri → takut-takut
- konservatif → suka bereksperimen
- bergantung kelompok → berdiri sendiri
- tak terkendali → terkendali
- santai → tegang
Identifikasi lain wacana bentuk kepribadian insan juga dikemukakan oleh Robbins (1996) yang disebut dengan Indikator Tipe Myers-Briggs (MBTI) yaitu, suatu tes kepribadian yang menyadap 4 karakteristik dan mengelompokkan orang-orang kedalam 16 kelompok, yaitu:
(1) ekstrovert atau introvert (E atau I); (2) menginderai (sensing) atau intuitif (S atau N); (3) berpikir (thinking) atau mencicipi (feeling) (T atau F); (4) mencicipi (perceiving) atau menimbang-nimbang (judging) (P atau J).
Setiap insan yang mengikuti tes MBTI akan berada diantara keempat alternatif tersebut, contohnya mereka yang berada dalam tipe INTJ ialah kaum visioner, biasanya mereka mempunyai pikiran yang orisionil dan dorongan yang besar untuk wangsit dan maksud mereka sendiri, mereka dicirikan sebagai skeptis, kritis, tidak bergantung, lingkaran tekad, dan sering keras kepala.
Tipe ESTJ ialah pengorganisasi, mereka praktis, realistis, tidak berbelit-belit, dengan otak alami untuk bisinis atau permesinan, mereka menyukai mengorganisasi dan menjalankan kegiatan.
Tipe ENTP ialah pengkonsep, ia cepat, banyak akal, dan baik dalam banyak hal, insan tipe ini cenderung banyak nalar dalam memecahkan masalah-masalah yang menantang, tetapi mungkin mengabaikan tugas-tugas rutin.
Suatu studi di beberapa perusahaan besar yang ada di dunia menemukan bahwa tokoh-tokoh bisnis kontemporer yang mensugesti dunia bisinis ialah pemikir intuitif, tipe NT.
Robbins (1996) juga mengemukakan adanya lima (5) dimensi kepribadian yang mendasari semua dimensi yang lain, yaitu:
- Ekstraversi yaitu suatu dimensi kepribadian yang memerikan seseorang yang senang bergaul, banyak bicara dan tegas;
- Sifat menyenangkan, yaitu suatu dimensi kepribadian yang memerikan seseorang yang hati- hati, kooperatif dan mepercayai;
- Sifat mendengarkan kata hati, yaitu suatu dimensi kepribadian yang memerikan seseorang yang ber- tanggungjawab, sanggup diandalkan, tekun dan berorientasi prestasi;
- Kemampuan emosional, yaitu suatu dimensi kepribadian yang mencirikan seseorang yang tenang, bergairah, terjamin (positif) lawan tegang, gelisah, murung dan tak-kokoh (negatif);
- Keterbukaan terhadap pengalaman, yaitu suatu dimensi kepribadian yang mencirikan seseorang yang imaginatif, secara artistik peka, dan intelektual.
Jenis-Jenis Kepribadian
Berikut ini terdapat beberapa jenis-jenis kepribadian, antara lain sebagai berikut:
1. Tipe Kepribadian Sanguinis
2. Tipe Kepribadian Melankolis
3. Tipe Kepribadian Koleris
Orang dengan tipe kepribadian ini cenderung tenang, cool, rasional, dan konsisten namun juga lamban dan pemalu. Orang Koleris ialah mereka yang punya kadar cairan empedu lebih banyak dalam tubuh. Karakteristik orang Koleris berdasarkan Galen ialah bersemangat, antusias, enerjik, dan passionate. Terakhir, orang Melankolis ialah mereka yang punya kadar black bile lebih banyak dalam tubuh.
4. Tipe Kepribadian Phlegmatis
Demikian Penjelasan Pelajaran IPS-Sosiologi Tentang Jenis-Jenis Kepribadian: Pengertian, Unsur, Faktor dan Teori
Semoga Materi Pada Hari ini Bermanfaat Bagi Siswa-Siswi, Terima Kasih !!!
Baca Artikel Lainnya:
- Pendudukan Jepang
- Sejarah Kerajaan Malaka, Masa Kejayaan, Raja dan Masa Keruntuhan
- Peradaban Yunani Kuno
- Rangkuman Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Adalah
Sumber aciknadzirah.blogspot.com