Tuesday, April 24, 2018

√ Kebijakan Pembangunan Pertanian


KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN
TUGAS PRAKTIKUM EKONOMI PEMBANGUNAN PERTANIAN
MODUL 3


OLEH:

DWI INTAN FITRIANI                                   105040101111126


PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Kebijakan perdagangan komoditas pertanian Indonesia sanggup dibedakan atas kiprah komoditas itu dalam perdagangan internasional, yaitu:
(1) Melakukan proteksi terhadap komoditas substitusi impor, khususnya komoditas-komoditas yang banyak diusahakan oleh petani. Komoditas yang dijadikan pilihan untuk menerima proteksi ialah beras, jagung, kedelai dan gula
(2) Melakukan promosi terhadap komoditas-komoditas promosi ekspor, khususnya komoditas-komoditas perkebunan yang banyak diusahakan oleh petani. Komoditas yang dijadikan pilihan untuk menerima promosi ialah karet, kopi, coklat, CPO dan lada.
Untuk operasionalisasi kebijakan yang harus diemban pemerintah, perlu diperhatikan tiga pilar yang merupakan elemen kebijakan yang terdapat dalam perjanjian perdagangan komoditas pertanian (AoA). Ketiga pilar itu adalah:
(1) Akses pasar
(2) Subsidi domestik
(3) Subsidi ekspor
Ketiga pilar itu terkait yang satu dengan yang lainnya, sehingga tidaklah sempurna apabila melihat perjanjian itu dari aspek saluran pasar saja, dengan melupakan pilar yang lainnya. Subsidi ekspor komoditas pertanian yang dilakukan oleh suatu negara, misalnya, akan berdampak luas terhadap pasar ekspornya, sehingga kuat jelek terhadap daya saing ekspor negara lain yang tidak menawarkan subsidi ekspor.
Sektor pertanian telah berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan PDB, perolehan devisa, penyediaan pangan dan materi baku industri, pengentasan kemiskinan, penciptaan kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Sektor pertanian mempunyai imbas pengganda kedepan dan kebelakang yang besar, melalui keterkaitan “input-output-outcome” antar industri, konsumsi dan investasi. Hal ini terjadi secara nasional maupun regional lantaran keunggulan komparatif sebagian besar wilayah Indonesia ialah di sektor pertanian. Namun demikian kinerja sektor pertanian cenderung menurun akhir kurang menerima perhatian sebagaimana mestinya. Pembangunan di masa kemudian kurang memperhatikan keunggulan komparatif yang dimiliki. Keunggulan komparatif yang dimiliki belum didayagunakan sehingga menjadi keunggulan kompetitif nasional. Akibat dari seni administrasi yang dibangun tersebut maka struktur ekonomi menjadi rapuh. Krisis ekonomi yang kemudian memberi pelajaran berharga dari kondisi tersebut. Apabila pengembangan ekonomi tempat dan nasional didasarkan atas keunggulan yang kita miliki maka perekonomian yang terbangun akan mempunyai kemampuan bersaing dan berdayaguna bagi seluruh rakyat Indonesia.
Belajar dari pengalaman tersebut, sudah selayaknya seni administrasi pembangunan nasional kembali memperhatikan keunggulan yang dimiliki Indonesia. Untuk itu Kabinet Indonesia Bersatu tetapkan Revitalisaisi Pertanian sebagai salah satu seni administrasi utama pembangunan nasional 2005-2009.

1.2  Tujuan Penulisan
§  Untuk mengetahui  kebijakan pertanian yang diterapkan di Indonesia
§  Untuk mengetahui  kebijakan pemerintah dalam bidang kelembagaan pertanian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pembangunan Pertanian
Pembangunan pertanian pada masa mendatang dihadapkan pada warta strategis yang terus berkembang secara dinamis, antara lain: globalisasi ekonomi meningkatkan kerusakan lingkungan; dan perubahan iklim (climate change) global; keterbatasan saluran petani terhadap permodalan dan tingginya suku bunga usahatani, degadrasi lingkungan; kemiskinan dan pengangguran; kerawanan pangan dan ketahanan energi; terbatasnya kapasitas dan kelembagaan petani dan penyuluhan dan penurunan minat generasi muda terhadap sektor pertanian.
Mengantisipasi 9 (sembilan) warta strategis di atas, arah kebijakan bidang pertanian adalah: (1) meningkatkan dan memantapkan bantuan sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi nasional; (2) meningkatkan produksi dan produktivitas komoditas pertanian; (3) meningkatkan tingkat kesejahteraan petani, produktivitas tenaga kerja pertanian, kemampuan/keterampilan SDM pertanian; (4) meningkatkan daya saing dan nilai tambah hasil pertanian di pasar domestik dan pasar global; (5) mendorong terjadinya transformasi struktur ketenagakerjaan dari sektor pertanian ke non pertanian melalui pengembangan agroindustri perdesaan, serta (6) meningkatkan pengelolaan sumberdaya pertanian yang lestari dan berkelanjutan.
2.2 Tugas Pokok Pemerintah Indonesia
Sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 61/Permentan/OT.140/10/2010 tanggal 14 Oktober 2010 wacana Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian dinyatakan bahwa Pusdikdarkasi mempunyai kiprah melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan, agenda dan pelaksanaan pendidikan, standardisasi dan sertifikasi profesi pertanian. Dalam melaksanakan kiprah tersebut, Pusat ini menyelenggarakan fungsi:
a. Penyiapan perumusan kebijakan pendidikan, standardisasi dan sertifikasi profesi peratanian
b. Perumusan agenda pendidikan, standardisasi dan sertifikasi profesi peratanian
c. Pelaksanaan kerjasama pendidikan, standardisasi dan sertifikasi profesi peratanian
d. Pembinaan penyelenggaraan, kelembagaan dan ketenagaan pendidikan pertanian
e. Penyusunan standar kompetensi kerja nasional Indonesia (SKKNI) bidang pertanian
f. Menyelenggarakan dan melaksanakan training sertifikasi profesi bidang pertanian
g. Pemantauan dan penilaian pelaksanaan pendidikan, standardisasi dan sertifikasi profesi peratanian
2.3 Strategi Pendekatan Kelembagaan Masa Depan
Strategi pendekatan kelembagaan masa depan seyogyanya mencakup pemahaman dan penguasaan yang mendalam dalam memanfaatkan, memobilisasi, dan memadukan potensi kelembagaan lokal dengan kelembagaan yang dibuat pemerintah (state-imposed institution) menjadi suatu alat percepatan pembangunan pertanian spesifik lokasi. Hambatan fisik dan ekologis dalam upaya introduksi state-imposed institution umumnya sanggup diatasi dengan relatif mudah, tetapi kendala sosial-budaya jauh lebih sulit untuk dikendalikan. Konsekuensinya ialah kalau stateimposed institution tidak sanggup diterapkan, maka terbuka peluang memberdayakan kelembagaan self-imposed institution (lembaga kemasyarakatan lokal yang masih berfungsi), atau menyebarkan kelembagaan gres yang mempunyai keseimbangan elemen-elemen keduanya.
Secara umum terdapat dua ekstrim dampak pendekatan kelembagaan koersif menyerupai itu, yaitu mempercepat pertumbuhan kelembaga an, atau sebaliknya melemahkan kelembagaan lokal. Telah diungkap pula bahwa pendekatan koersif mempunyai potensi berbahaya, menyerupai mem persempit atau mencekik inisiatif dan tanggung jawab lokal, atau mengendalikan inisiatif dan sumberdaya lokal untuk kepentingan lain. Sering terjadi, tokoh politik lokal mengambil alih sukses yang dicapai oleh suatu forum atau organisasi lokal untuk kepentingan sendiri (vested interest) Padahal di sisi lain, tidak seluruh inisiatif lokal secara otomatis menjadi sah atau legitimate dalam pandangan masyarakat setempat.
Orstrom (1990) dan Roling (1994) menyarankan semoga pembentukan kelembagaan pada suatu komunitas hendaknya dilakukan secara organik dan tidak terlalu cepat. Artinya, upaya revitalisasi kelembagaan seyogyanya diselaraskan dengan kondisi sosio-budaya, norma, dan kebiasaan masyarakat, dan dilakukan secara bertahap, sehingga tidak menimbulkan pergesekan nilai yang berdampak jelek pada banyak sekali aspek yang terlibat. Lebih jauh lagi Suradisastra (2005b) menyarankan konsep pendekatan intrusif sebagai suatu seni administrasi pendekatan dalam upaya meningkatkan kinerja kelem bagaan pertanian.
Improvisasi pendekatan kelembagaan kini dan masa mendatang mengarah ke pada pencapaian dampak positif yang akan dicapai sejalan dengan tujuan pembangunan setempat. Dalam era pembangunan otonom, metode dan seni administrasi revitalisasi kelembagaan berada dalam konteks kewilayahan. Artinya, implementasi kebijakan pembangunan pertanian hendaknya senantiasa berada dalam rambu rambu kebutuhan wilayah yang bersifat holistik dan terintegrasi secara lintas sektor dan komoditas. Implikasi positif dari kebijakan pembangunan kewilayahan terintegrasi ini antara lain ialah berkurangnya pendekatan parsial dengan ego kesektoran yang tinggi. Dalam hal ini terbuka pilihan dua alternatif seni administrasi dasar (basic strategy), yaitu seni administrasi intrusif dan seni administrasi introduksi.
a. Strategi Intrusif
Strategi intrusif menerapkan paradigma evolusi sesuai dengan perjalanan evolusi kelembagaan secara alami, dimana penemuan kelembagaan dilakukan sedekat mungkin dengan bentuk dan struktur kelembagaan lokal yang masih berjalan (Suradisastra, 2005b). Strategi ini memakan waktu relatif usang dan perubahan terjadi secara bertahap, lantaran kelompok stakeholder diberi cukup waktu untuk memahami dan melaksanakan eksperimentasi penerapan penemuan secara gradual.
b. Strategi Introduksi
Strategi introduksi menerapkan paradigma revolusi, dimana kelembagaan lokal yang ada digantikan secara total dengan forum gres dengan struktur yang diadaptasi dengan tuntutan kebutuhan. Hal ini terjadi dalam era Orde Baru, dimana banyak sekali kelembagaan lokal, menyerupai forum norma kegiatan bertani digantikan oleh forum organisasi penyuluhan; forum kepala suku digantikan secara total oleh forum kepemimpinan formal (organisasi struktural pemerintahan). Dalam beberapa kondisi seni administrasi ini menawarkan hasil yang diharapkan, namun dalam kenyataan lebih banyak keberhasilan yang bersifat artifisial lantaran sifat pendekatan koersif top-down dalam pembentukan forum gres tersebut.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kelembagaan Pertanian
Kelembagaan petani mempunyai titik strategis (entry point) dalam menggerakkan sistem agribisnis di pedesaan. Untuk itu segala sumberdaya yang ada di pedesaan perlu diarahkan/diprioritaskan dalam rangka peningkatan profesionalisme dan posisi tawar petani (kelompoktani). Saat ini potret petani dan kelembagaan petani di Indonesia diakui masih belum sebagaimana yang diharapkan. Menurut Dimyati ( 2007), permasalahan yang masih menempel pada sosok petani dan kelembagaan petani di Indonesia adalah:

1. Masih minimnya wawasan dan pengetahuan petani terhadap dilema administrasi produksi maupun jaringan pemasaran.

2. Belum terlibatnya secara utuh petani dalam kegiatan agribisnis. Aktivitas petani masih terfokus pada kegiatan produksi (on farm).

3. Peran dan fungsi kelembagaan petani sebagai wadah organisasi petani belum berjalan secara optimal.

Untuk mengatasi permasalahan di atas perlu melaksanakan upaya pengembangan, pemberdayaan, dan penguatan kelembagaan petani (seperti : kelompok tani, forum tenaga kerja, kelembagaan penyedia input, kelembagaan output, kelembagaan penyuluh, dan dibutuhkan sanggup melindungi bargaining position petani. Tindakan proteksi sebagai keberpihakan pada petani tersebut, baik sebagai produsen maupun penikmat hasil jerih payah usahatani mereka terutama diwujudkan melalui tingkat harga output yang layak dan menguntungkan petani. Dengan demikian, penguatan dan pemberdayaan kelembagaan tersebut juga untuk menghasilkan pencapaian kesinambungan dan keberlanjutan daya dukung SDA dan banyak sekali perjuangan untuk menopang dan menunjang kegiatan kehidupan pembangunan pertanian di pedesaan.

3.2 Makna dan dilema pendekatan kelembagaan
1. Harus dipahami perbedaan efektifitas penetrasi gagasan kedalam kelembagaan yang bersifat individual (seperti forum kepemimpinan, forum tokoh masyarakat, dan Iain-Iain), forum organisasi, forum tata peraturan dan hokum formal, serta forum norma dan budaya masyarakat.
2. Partisipasi stakeholder merupakan elemen penting dalam upaya penetrasi gagasan pembangunan sektor. Contoh klasik keberhasilan penetrasi kelembagaan lokal ialah manorial agriculture system di Inggris pada kurun pertengahan. Keberhasilan manorial system tersebut berpangkal 5 pada perilaku partisipatif dan tindak kolektif {collective action) masyarakat petani. Tindak kolektif menyerupai ini dijumpai pula pada forum subak yang memberi sangsi kepada individu yang bersifat over-consume dan underinvest
3. Secara teoritis, forum sektor menghadapi tantangan dan peluang besar untuk menyelenggarakan penelitian, pengembangan dan pemanfaatan potensi kelembagaan lokal yang sangat besar. Namun teladan pendekatan parsial yang disertai tanda-tanda persaingan kelembagaan {institutional competition) dan ketidak seimbangan kelembagaan {institutional imbalance) merupakan penghambat besar dalam upaya mengintegrasikan penelitian kelembagaan kedalam seni administrasi pendekatan teknis dan ekonomi. Minat menyelenggarakan penelitian kelembagaan relatif rendah.
4. Kelembagaan tata peraturan, kebijakan dan rencana penelitian serta pengembangan iptek pada umumnya dikembangkan oleh forum organisasi sektor. Pelaksanaan dan penilaian kebijakannya juga dilaksanakan oleh forum yang bersangkutan atau oleh forum lain yang berada dalam posisi pengawas dan berstatus struktural yang terkait secara formal dan dengan kiprah dan fungsi yang jelas. Sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah terjadi penelitian terhadap efisiensi dan efektivitas forum organisasi formal yang dilaksanakan oleh forum penelitian yang berorientasi akademik atau oleh forum independen. Kondisi di atas ditengarai sebagai dampak sistem pengelolaan {managementsystem) yang kurang efisien {undermanaged).
5. Kebijakan penelitian dan pengembangan pertanian di Indonesia pada umumnya bersifat teknis dan ekonomis, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Kebijakan ini didukung oleh pendekatan-pendekatan yang melibatkan teknologi dan perhitungan ekonomi secara rinci. Peta sosiokultural dan kondisi sosial kelembagaan lokal sangat jarang dijamah dan bahkan belum dikembangkan untuk mempercepat proses alih teknologi yang didahului oleh pendekatan akademik. Padahal pengalaman memperlihatkan bahwa kelambatan atau kegagalan adopsi dan penemuan teknologi pertanian lebih banyak disebabkan oleh faktor insan pengguna teknologi tersebut. Memahami pengetahuan dan keterampilan serta pengalaman kawan pembangunan {stakeholder) usahatani saja tidak cukup. Sangat dibutuhkan penguasaan teladan dan kekuatan interaksi faktor teknis dan teknologi dengan faktor sosial {interaksi tekno-kultural) secara komprehensif.
6. Pemahaman terhadap pranata dan tatanan sosial sangat membantu dalam mencari celah masuk kelembagaan {entry point) bagi peneliti, penyuluh atau change agent dalam diseminasi penemuan tanpa terlalu mengganggu pranata dan tatanan sosial masyarakat setempat.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pembangunan sektor pertanian, melalui pendekatan koersif kelembagaan, memperlihatkan kinerja positif dalam pencapaian teknis dan kuantitatif, yang ditunjukkan oleh peningkatan produk si dan produktivitas sektor, namun secara kualitatif merusak struktur dan kelembagaan sosial yang selama ini menjadi pemandu kehidupan bertani di lingkungan masyarakat. Era reformasi dan pascareformasi masih mencari bentuk pendekatan dan pengembangan kelembagaan yang sejalan dengan dinamika pembangunan spesifik wilayah otonom, namun terbuka peluang meman faatkan seni administrasi intrusif dan seni administrasi lain yang sesuai dengan kondisi setempat.
Kinerja kelembagaan pembangunan sektor pertanian masa depan akan berhasil baik kalau didukung oleh kebijakan pemihakan (affirmative policy) yang merupakan komitmen pembangunan pihak pemerintah, mempunyai seni administrasi dan teknik implementasi kebijakan yang terang dan terstruktur, serta mempunyai tolok ukur kinerja yang terang untuk kepentingan penyempurnaan seni administrasi pembangunan pertanian nasional.
4.2 Rekomendasi
1. Strategi pendekatan kelembagaan hendaknya bersifat organik, artinya, setiap langkah pendekatan dan penggalian informasi hendaknya diselaraskan dengan kondisi sosio-budaya, norma dan kebiasaan masyarakat secara sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan pergesekan nilai yang berdampak jelek pada banyak sekali aspek yang terlibat.
2. Dalam menyebarkan seni administrasi pendekatan dan penelitian kelembagaan layak dikaji faktor-faktor berikut:
(a) struktur kelembagaan
(b) potensi pemanfaatan
(c) legitimasi atau pengukuhan terhadap kepemimpinan dan produk kesepakatan
(d) teladan manajemen.

DAFTAR PUSTAKA

Annonymous. 2011. Kebijakan Pemerintah . (online). http://www.info.stppmedan.ac.id/pdf/jurnalsesbany1.pdf. Di saluran pada tanggal 1 Mei 2012
Annonymous. 2011. Kebijakan Pemerintah . (online). http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/SEM_17-05-06.pdf. Di saluran pada tanggal 1 Mei 2012
Annonymous. 2011. Kebijakan
Kartasubrata, J. 1993. Indonesia. In Sustainable Agriculture and the Environtment in the Humid Tropics. National Academy Press, Washington DC.
Soetrisno, L. 1982. Further Agricultural Intensification in Indonesia: Who Gains and Who Loses? Meeting on Agricultural Intensification in Indonesia. June 25-27.
Suradisastra, K. 1999. Perspektif Keterlibatan Wanita di Sektor Pertanian. Forum Agro Ekonomi, Desember 1999. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Per tanian.
Suradisastra, K. 2000. Implikasi Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 (PP25/2000) terhadap Manajemen Pembangunan Pertanian. Makalah Seminar Nasional Pembangunan Pertanian dalam Era Otonomi Daerah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor, 9-10 November 2000. (Unpublished).

Sumber http://kickfahmi.blogspot.com