Monday, April 23, 2018

√ Pemberdayaan Masyarakat Dalam Agribisnis


Pemberdayaan Masyarakat Dalam Agribisnis


I.PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam periode otonomi daerah, Pemda di seluruh Kalimantan Barat kesudahannya mengeluarkan kebijakan pengaturan pemberian izin penebangan hutan skala kecil. Izin penebangan hutan skala kecil ini disebut dengan HPHH 100 ha. Namun, sehabis itu telah terjadi banyak penyimpangan menyerupai tumpang tindih areal HPHH 100 ha dengan kawasan  HPH dan hutan lindung. Akhirnya, pada tahun 2002 pemerintah pusat membatalkan keputusan wacana kebijakan tersebut. Akan tetapi, para bupati di Kalimantan Barat tetap memperlihatkan perpanjangan izin dan proses perpanjangan tersebut berakhir pada tahun 2003.
Kebijakan HPHH 100 ha ini memperlihatkan kesempatan bagi masyarakat sekitar hutan untuk terlibat langsung dalam pengelolaan sumberdaya kayu. Tujuan kebijakan tersebut yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin dan yang tergantung pada sumberdaya hutan. Namun, keberhasilan dari efektivitas pelaksanaan kebijakan ini  terhambat oleh dua alasan utama yaitu yang pertama, kebijakan HPHH 100 ha ini hanya berlaku pada sebagian kecil daerah hutan di setiap kabupaten yaitu hanya meliputi 2% dari seluruh daerah hutan provinsi. Yang kedua, proses perumusan yang dilakukan secara tergesa-gesa dan tertutup serta pelaksanaannya yang tidak sesuai dengan ketentuan. Hal ini telah membatasi kesempatan masyarakat sekitar hutan untuk berperan serta dalam merancang kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat dan memperoleh manfaat aktual dari pelaksanaan kebijakan ini.
Masyarakat merasa bahwa kebijakan yang dikeluarkan sangat dipengaruhi oleh kepentingan elit lokal dan nasional, khususnya kalangan penanam modal swasta dimana persyaratan yang ada terlalu langsung dan tidak menjamin adanya pembagian laba yang adil antara masyarakat lokal dengan kawan swastanya.

1.2 Rumusan Masalah
1.  Bagaimana pelaksanaan kebijakan HPHH 100 Ha?
2.  Apa kebijakan permasalahan yang dihadapi pada pelaksanaan kebijakan HPHH?
3. Bagaimana hubungan permasalahan kebijakan HPHH dengan social exclusion/marginalisasi?
4. Bagaimana solusi kreatif dalam penanganan permasalahan tersebut?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui pelaksanaan kebijakan HPHH 100 Ha
2. Mengetahui permasalahan yang dihadapi pada pelaksanaan kebijakan HPHH?
3. Mengetahui hubungan permasalahan kebijakan HPHH dengan social exclusion/marginalisai.
4. Mengetahui solusi kreatif dalam penanganan permasalahan yang dihadapi.

II.TINJAUN PUSTAKA
2.1 Konsensi (HPH)
Konsesi yang di Indonesia dikenal sebagai HPH (Hak Pengusahaan Hutan) atau dalam peraturan gres (PP 34 Tahun 2002) disebut IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) yaitu suatu pemberian izin kepada suatu organisasi berbadan aturan untuk mengelola suatu daerah hutan produksi di mana kayu dalam hutan tersebut sanggup diambil pada suatu periode tertentu. Konsesi dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan didasarkan pada Undang-undang Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967, dan peraturan turunannya antara lain peraturan pemerintah No. 21 Tahun 1970 yang kemudian diganti dengan PP No. 6 Tahun 1999. HPH diberikan untuk periode 20 tahun dengan masa rotasi selama 35 tahun dan sanggup diperbaharui kemudian berdasarkan SK 05.1 Tahun 2000 sebagai peraturan pelaksanaan dari PP 6 Tahun 1999 ijin diberikan untuk periode 20 tahun. Kedua peraturan pemerintah ini telah dicabut dengan diterbitkannya PP 34 Tahun 2002. Menurut pasal 35 PP 34 Tahun 2002 IUPHHK sanggup diberikan paling usang hingga 55 tahun.
Perusahaan pemegang IUPHHK mempunyai kewajiban untuk melaksanakan perawatan dan penanaman kembali serta membayar iuran pemanfaatan hutan sebagai penerimaan negara bukan pajak. Menurut Pasal 48 PP 34 Tahun 2002 iuran ini terdiri dari Iuran Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan (IUPHH), Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) untuk melaksanakan penanaman kembali. Kenyataan memperlihatkan bahwa kebanyakan daerah bekas HPH tidak ditanami kembali dan telah rusak. Di beberapa kabupaten di Sumatera selain pungutan di atas sering masih ada pungutan lain menyerupai retribusi sehingga mengakibatkan perbedaan pendapat antara Kabupaten dengan Propinsi dan Pusat dan bahkan ada konflik antar Kabupaten. Di dalam kebijakan perijinan HPH pemegang ijin diwajibkan melaksanakan pembinaan masyarakat desa yang hidup di dalam dan di sekitar daerah HPH sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 523/Kpts-II/1997 wacana Pelaksanaan PMDH (Pembinaan Masyarakat Desa Hutan). Selain HPH atau IUPHHK ada beberapa bentuk konsesi lain menyerupai Ijin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan serta Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu.

2.2 Konversi
Salah satu pola gres yang mungkin bisa memperlihatkan sumbangan untuk mendukung konservasi yaitu dengan pemberian izin dan hak untuk mengelola daerah konservasi yang disebut konsesi konservasi (Conservation Concession). Belum ada terjemahan resmi ke dalam bahasa Indonesia. Mungkin bisa disebut Ijin Usaha Konservasi Hutan jikalau kita ingin konsisten dengan tata cara penamaan ijin-ijin dalam PP 34 Tahun 2002. Konsesi konservasi atau hak konservasi hutan yaitu izin tertentu untuk melaksanakan kiprah dan fungsi proteksi dan pelestarian. Konsesi konservasi yaitu salah satu bentuk penerapan mekanisme pembiayaan untuk pemanfaatan jasa lingkungan yang agak berbeda dari konsesi pengusahaan hutan (HPH). Pola ini pertama kali diperkenalkan oleh CI (Conservation International) sebuah forum pelestarian alam internasional yang mempunyai Kantor Pusat di AS dan juga mempunyai cabang di Inonesia. Ada juga beberapa bentuk mekanisme pembiayaan pengelolaan daerah konservasi yang dikembangkan oleh forum lain menyerupai WWF (World Widelife Fund for Nature), Birdlife dan TNC (The Nature Conservation). Jika pada pola HPH atau IUPHHK pemerintah memberi hak kepada perusahaan untuk mengambil kayu, dalam pola ini forum tertentu diberi hak untuk mengelola suatu daerah untuk tujuan konservasi.
Suatu daerah akan disewa sesuai dengan mekanisme pasar sebagaimana dalam HPH atau IUPHHK. Pemerintah akan menerima uang dari daerah tersebut lantaran daerah tersebut telah dibeli hak kelolanya dari pemerintah. Prosedur pelelangan, pemberian hak atau izin, pajak dan kewajiban fiskal dan teknis lainnya dibentuk berdasarkan model HPH atau IUPHK. Mungkin lantaran kegiatan ini tidak merusak hutan maka dana reboisasi atau pungutan lain sejenis akan diubah. Juga lantaran kegiatan ini tidak merupakan ekploitasi hutan maka kewajiban finansial atau fiskal lainnya akan disesuaikan. Tentu saja kebijakan pemerintah untuk mendukung hal ini sangat penting peranannya Konsesi ini diberikan dengan misi dan target untuk lebih mendorong kegiatan konservasi hutan,melakukan penghutanan kembali (reboisasi), atau menjamin keselamatan dan melindungi warisan budaya masyarakat orisinil melalui mekanisme pemberian insentif pembiayaan. Ada juga misi yang ditujukan untuk mempromosikan keberlanjutan sumberdaya dan pelestarian hutan, melindungi satwan dan fauna langka
serta memperbaiki, mempertahankan keanekaragaman hayati dan mempertahankan cadangan karbon di hutan. Salah satu tantangan yang dihadapi yaitu bahwa dalam model konsesi ini dorongan untuk melaksanakan konservasi yaitu lantaran adanya uang sewa kawasan. Bagaimana keberlanjutannya? Bagaimana Beberapa tahun kemudian pemerintah Peru pernah mencoba melelang 800.000 ha pemerintah yang telah mendapatkan uang sewa daerah bisa melaksanakan upaya mengelola dan memutar untuk membantu proses pelestarian dan pembangunan sehingga dana yang ada bisa terus bergulir dan tidak tergantung lagi pada dana sewa gres lagi? Kegiatan yang sanggup dilakukan di dalam model ini yaitu dengan mencegah perusakan hutan, melaksanakan penghutanan kembali atau penanaman flora hutan, pengelolaan hutan yang berkelanjutan sebagai proyek menghasilkan laba dari perdagangan atau kompensasi mempertahankan karbon. Kegiatan juga sanggup dilakukan dengan mengubah praktek pembalakan (penebangan kayu) konvensional dengan cara-cara yang lebih lestari guna menghasilkan cadangan atau penyimpanan karbon yang lebih tinggi.
Dengan demikian dalam pemberian izin konsesi ini, misi, tujuan dan kegiatan yang akan dilakukan harus disebutkan dalam perjanjian kerjasama atau dalam perizinan. Artinya ijin konsesi ini juga sanggup diberikan bukan hanya di daerah koservasi tetapi juga di hutan produksi yang akan dilestarikan. Dalam kegiatan konsesi konservasi harus ada perhatian dan tanggung jawab untuk berhubungan dengan masyarakat lokal yang hidupnya tergantung pula pada daerah konservasi tersebut. Masyarakat lokal juga mempunyai kepentingan dalam pelestarian lingkungan dan lingkungan lantaran menyangkut hidup mereka juga. Hampir semua peraturan IUPHHK (Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) mensyaratkan kewajiban pemilik ijin untuk melaksanakan pembinaan masyarakat dan penguatan kelembagaan masyarakat di sekitarnya tetapi bagaimana pelaksanaannya?

2.3 Kebijakan Pemerintah
Rencana pemberian konsesi konservasi masih sedang dijajagi di Indonesia. Pada bulan April 2001 Menteri Kehutanan mengeluarkan pernyataan publik untuk mendukung pelaksanaan konsesi konservasi ini. Namun hingga kini belum berjalan lantaran Menteri Kehutanan sudah berganti. Selain itu kebijakan dan peraturan pemerintah yang menjadi landasan pengembangan model konservasi ini belum ada. Sebagaimana diuraikan di atas untuk penyelenggaraan konsesi ini diharapkan forum konservasi untuk diberi izin atau membeli hak kelola yang mendapatkan dukungan dana dari donor atau sumber lain. Lembaga internasional Conservation International (CI) mempunyai cabang di Indonesia yang tengah melaksanakan penelitian pendahuluan di Pulau Siberut dan Papua untuk mencari peluang membangun konsesi konservasi. Tantangan yang dihadapi forum ini tidak begitu gampang melihat aneka macam masalah kehutanan dalam masa otonomi daerah ketika ini.
Salah satu masalah yang dihadapi dalam pengembangan konsesi konservasi ini ialah dalam segi kebijakan dan peraturan pemerintah wacana pembagian kewenangan pemerintah pusat dan daerah di bidang konservasi. Berdasarkan Undangundang No. 22 Tahun1999 wacana Pemda dan Undang-undang Pokok Kehutanan No. 41 Tahun 1999 konservasi ada di tangan pemerintah pusat. Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 wacana kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom juga menyebutkan bahwa kewenangan konservasi ada di tangan pemerintah pusat. Apa lagi jikalau urusan ini melibatkan pihak luar atau menyangkut hubungan internasional. Menurut Undang-undang No. 22 Tahun 1999, urusan luar negeri yaitu kewenangan pemerintah pusat. Pasal 10 Undang-undang No. 22 Tahun 1999 wacana pemerintah daerah menyatakan secara spesifik tentang kewenangan hanya di wilayah bahari (dalam hal ini umumnya ekosistem pantai) bukan ekosistem darat. Pasal ini menyebutkan bahwa pemerintah daerah berwewenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di daerahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundangan.
Persoalan konservasi ini perlu juga memperhatikan kebijakan pemerintah wacana dekonsentrasi (Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2001) dan kiprah pembantuan (Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2001). Kewenangan untuk memutuskan daerah untuk konsesi konservasi ini sepertinya menjadi wewenang pusat. Demikian pula dalam hal penandatanganan kontrak dan pengelolan uang hasil sewa konsesi ini. Namun bagi daerah di mana ada daerah konservasi mereka akan menuntut pembagian lantaran kehilangan kesempatan untuk memperoleh hasil penerimaan daerah lantaran daerah tersebut tidak bisa dieksploitasi. Dalam hal ini mekanisme kerjasama serta model hubungan keuangan atau kebijakan fiskal antara pusat dan daerah perlu diperhatikan.
Menurut pasal 6 wacana dana perimbangan dari Undang-undang No. 25 Tahun 1999 wacana Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, penerimaan negara dari sumberdaya alam sektor kehutanan (dan beberapa sektor lainnya) dibagi dengan perimbangan 20 persen untuk pemerintah pusat dan 80 persen untuk pemerintah daerah. Apakah dari konsesi konservasi ini pemerintah daerah akan mendapatkan 80 persen hasil sewa proteksi kawasan? Persoalan ini belum ditentukan dalam peraturan pemerintah secara khusus. Apakah sanggup dilakukan terobosan menyerupai yang pemerintah pernah melakukannya dengan mengeluarkan SK KDTI (Kawasan Dengan Tujuan Istimewa) pada tahun 1998? Dengan SK No. 47/KPTSII/ 1998 Menteri kehutanan memperlihatkan hak pengelolaan hutan kepada masyarakat dengan system administrasi lokal walaupun daerah tetap milik negara. Penetapan KDTI pada waktu itu merupakan sumbangan dan terobosan yang sangat anggun untuk menghargai kiprah serta dan hak masyarakat lokal.
Namun ada resiko politik lantaran tidak ada landasan aturan yang berpengaruh di dalam Undang-undang Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967 yang seharusnya menjadi landasannya sebelum Undang-Undang 41 diterbitkan. Pasal 8 Undang-undang 41 Pokok Kehutanan Kehutanan Tahun 1999 memutuskan bahwa pemerintah sanggup memutuskan daerah hutan tertentu dengan tujuan khusus. Namun penetapan ini hanya ditujukan untuk penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta untuk tujuan religi (upacara ritual keagamaan dan upacara adat) dan budaya. Apakah kegiatan konservasi konsesi sanggup dimasukan dalam kategori ini? Peluang ini ditegaskan kembali dalam pasal 4 PP 34 tahun 2002. Ketentuan wacana tata hutan dan penyusunan planning pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan daerah hutan untuk tujuan ini sanggup diatur dengan KeputusanMenteri.
Pada tahun 1999 Menteri Kehutanan dan Perkebunan mengeluarkan kebijakan untuk pemberian hak pemanfaatan hutan untuk pendidikan, training dan penelitian yang dituangkan dalam Surat Keputusan No. 465/Kpts-II/1999. Di sini ada peluang untuk memperoleh kesempatan menciptakan landasan kebijakan pengelolaan konsesi konservasi ini. Namun persoalannya Surat Keputusan ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1999 sebagai  peraturan pelaksanaan Undang-Undang Kehutanan No. 5 Tahun 1967 sebelum Undang-Undang No. 41 tahun 1999 diterbitkan.
Walaupun kewenangan ada di tangan pemerintah pusat tetapi dengan adanya otonomi daerah pemerintah kewenangan daerah memang kekuasaan yang besar. Bagaimana pengaturannya? Walaupun berdasarkan peraturan kewenangan akan lebih besar di tangan pemerintah pusat bagaimana hal ini bisa dilaksanakan? Proses transisi pelaksanaan otonomi daerah menghadapi aneka macam masalah serius di mana ada kecenderungan daerah mengabaikan sebagian kewenangan pusat. Bagaimana kiprah BKSDA (Balai Konservasi Sumberdaya Alam) dan BPDAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai) yang sebelumnya berjulukan BRLKT (Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah)? Jika lokasi konsesi konservasi juga dilakukan di Taman Nasional artinya forum Balai Taman Nasional yang berwewenang juga bisa terlibat. Dengan demikian badan-badan yang menyelenggarakan kiprah dekonsentrasi ini perlu tahu model konsesi ini terutama dari aspek teknis pelestarian atau konservasi hutan. Di lapangan masyarakat sering tidak memahami pembagian kiprah antara lembaga-lembaga pengelola konservasi ini.
Walaupun kegiatan ini sepertinya untuk tujuan konservasi namun dari pengalaman di Amerika Latin memperlihatkan hak konservasi konsesi sanggup dilakukan di daerah hutan yang sanggup diekploitasi menyerupai dalam contoh di Peru di atas. Artinya konsesi ini sanggup dilakukan di daerah hutan produksi yang sudah rusak maupun yang bisa dilindungi atau yang bisa dicegah untuk tidak diekploitasi. Apalagi jikalau salah satu tujuannya yaitu untuk mempertahankan cadangan karbon. Apakah konsesi ini juga bisa menyewa daerah hanya untuk direhabilitasi dengan memakai jenistamama non-komersial namun sanggup diperhitungkan kemampuan perembesan karbonnya?
Kegiatan konservasi konsesi sanggup dianggap sebagai bentuk pemanfaatan jasa lingkungan dan sebagaimana disampaikan dalam pasal 39 PP 34 Tahun 2002 pemberian izin tergantung pada lokasi kawasan. Izin diberikan oleh Bupati jikalau berada dalam satu Kabupaten atau oleh Gubernur jikalau berada di daerah yang meliputi beberapa kabupaten. Namun jikalau berada dikawasan yang meliputi beberapa propinsi izin dikeluarkan oleh Menteri. Pertanyaannya yaitu lantaran sewa daerah melibatkan forum internasional maka urusan fiscal lintas negara apakah memerlukan keterlibatan forum lain? Persoalan kunci kini juga yaitu bagaimana konservasi konsesi didukung oleh kebijakan pemerintah dari segi teknis (Departemen Kehutanan) dan kebijakan fiskal (Depertemen Keuangan) serta kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan otonomi daerah (Departemen Dalam Negeri). Landasan perpaduan kebijakan ini belum terperinci terlihat.
Peraturan pemerintah yang khusus berkaitan dengan konsesi konservasi ini belum ada sama sekali. Sehingga dasar-dasar aturan dan peraturan yang lebih tinggi untuk memfasilitasi peraturan lokal dan perjanjian di tingkat lapangan maupun dengan forum internasional yang mempunyai uang dan kemampuan teknis untuk kegiatan ini belum kuat.
2.4 Bagaimana Melaksanakan
Konservasi Konsesi?
Pelaksanaan konsesi konservasi memerlukan perjanjian kerjasama antara investor lingkungan dengan pemerintah atau pemilik sumberdaya alam lain contohnya masyarakat susila atau masyarakat desa kalau mungkin. Berdasarkan pengalaman pelaksanaan konsesi konservasi di Amerika Latin hal-hal yang dapat dirundingkan untuk pelaksanaan kegiatan ini adalah sebagai berikut:
Di mana izin bisa diberikan?
konsesi konservasi sanggup diberikan di semua daerah yang kritis dan harus dilindungi baik di darat maupun di daerah perairan. Makara daerah hutan tropis, daerah bakau atau ekosistem pantai yang harus dilindungi bisa diberikan konsesi pelestarian ini. Hal ini berbeda dengan HPH atau IUPHHK di mana izin diberikan untuk pengambilan kayu hanya di hutan produksi di daerah hutan alam untuk tujuan produksi kayu. Demikian pula HPHTI (Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri) atau Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman. Idealnya konsesi konservasi sanggup dilakukan di mana saja jikalau daerah tersebut sanggup atau ingin dilindungi. Kebanyakan daerah ini di Indonesia dikuasai negara jadi perundingan hanya bisa dilakukan dengan pemerintah. Bagaimana jikalau daerah dikuasai oleh masyarakat susila juga? Makara jikalau pemerintah daerah dan masyarakat susila merasa mempunyai hak untuk pengelolaan suatu wilayah tentu harus melaksanakan kerjasama dengan pemerintah pusat. Persoalan-persoalan tata ruang dan kepemilikan tanah atau daerah hutan memerlukan penyelidikan dan penyelesaian sengketa terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan untuk konsesi konservasi ini dilakukan.
Siapa yang bisa diberi izin?
Dalam kegiatan konservasi konsesi harus ada investor lingkungan, bukan kontraktor atau investor menyerupai pengusaha kayu untuk pengusahaan hutan. Investor lingkungan dalam hal ini yaitu forum konservasi atau forum mana saja yang mempunyai dana dan perhatian pada kegiatan pelestarian sumberdaya hutan. Sejauh ini perhatian kita niscaya ditujukan kepada forum lembaga-konservasi internasional lantaran mereka mempunyai dana yang cukup. Perlu diperhatikan bahwa forum konservasi internasional kiprah utamanya sejauh ini yaitu mencari dana dan melaksanakan perundingan dengan pemerintah. Karena itu sangat diharapkan pihak lain yang bertanggung jawab dan sanggup melaksanakan kiprah konservasi di lapangan. Pihak ketiga ini bisa menjadi tubuh pelaksana konsesi konservasi yang tentu saja sudah dilibatkan dalam proses perundingan dan penawaran. Karena itu izin juga sanggup diberikan kepada forum swadaya masyarakat nasional berhubungan dengan forum internasional menyerupai yang terjadi di Peru. Pemberian konsesi konservasi oleh pemerintah Guyana mengharuskan forum konservasi dan LSM melaksanakan kerjasama dengan masyarakat lokal untuk mengusahakan hutan tersebut. Dalam kegiatan ini kerjasama juga mungkin saja dilakukan dengan forum penelitian, universitas dan forum lain yang sesuai.
Masa Waktu Konsesi
Masa waktu konsesi konservasi seharusnya diberikan untuk selama-lamanya lantaran biasanya upaya pelestarian hutan tidak dibatasi waktu atau daerah konservasi harus dijaga secara permanen. Izin dan kewajiban pelaksanaan konservasi sanggup diberikan untuk jangka waktu tertentu apakah 25 tahun atau 35 tahun dan izin pelestarian hutan secara permanen dapat dilakukan melalui pembaharuan izin secara langsung pada tamat masa izin tersebut selesai. Namun komitmen pemerintah sangat penting peranannya. Konsesi ini juga sanggup diberikan untuk batas waktu tertentu pada suatu daerah yang harus dilindungi atau dilestarikan sebagai tindakan sementara hingga pemerintah suatu negara atau daerah berhasil membentuk tubuh resmi untuk melindungi daerah tersebut. Alternatif lain yaitu memperlihatkan izin untuk masa transisi antara masa penetapan status kawasan yang bisa dipakai untuk pengelolaan sumberdaya alam hingga dengan penetapan daerah lindung secara definitif. Sebagai contoh pemberian izin konsesi konservasi untuk areal seluas 400.000 ha di daerah Amazon di Brazil diberikan untuk waktu yang tidak terbatas sedangkan di Chili untuk areal seluas 120.000 ha diberikan izin selama 50 tahun.
Foto: Brian Belch
III.PEMBAHASAN

3.1 Pelaksanaan Kebijakan HPHH 100 Ha
Perumusan kebijakan HPHH 100 ha ini secara terperinci memutuskan sasarannya untuk memajukan pembangunan ekonom yang memberi manfaat bagi masyarakat lokal. Dalam proses perumusannya, Surat Keputusan Bupati No. 19/1999 wacana “Pemberian Izin Hak Pemungutan Hasil Hutan melalui permohonan dengan luas maksimal 100 hektar” disusun rancangannya oleh Dinas Kehutanan kabupaten dan diserahkan kepada bupati. Walaupun sebuah keputusan bupati tidak perlu melalui mekanisme konsultasi publik, Bupati Sintang tetap menyerahkan rancangan tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk mendapatkan persetujuan informal. Pada tanggal 30 November 1999, DPRD memperlihatkan dukungan informal atas kebijakan tersebut2, dan pada tanggal 23 Desember 1999, keputusan tersebut ditetapkan dan diundangkan melalui sebuah SK Bupati3, dan semenjak ketika itu juga keputusan tersebut
mulai berlaku.
Beberapa pihak merasa bahwa keputusan tersebut dikeluarkan terlalu cepat lantaran adanya kepentingan-kepentingan elit-elit lokal, menyerupai oknum pejabat pemerintah dan DPRD serta investor swasta, yang diduga memperoleh laba besar dari kebijakan tersebut. Karena sempitnya waktu, masyarakat tidak dilibatkan di dalam proses perumusan dan tidak dimintakan pendapat dan aspirasinya. Selain itu, juga tidak ada upaya untuk mengkaji sejauh mana kebijakan tersebut memenuhi tujuannya memajukan pembangunan masyarakat setempat.
3.1.1 SK Bupati 19/1999: Ketentuan-ketentuan wacana Akses dan Perlindungan Sumberdaya Hutan
SK Bupati ini menyatakan bahwa izin HPHH sanggup diberikan kepada koperasi, kelompok tani atau perorangan warga negara Indonesia atau tubuh aturan yang seluruh modalnya dimiliki oleh warga negara Indonesia. Dikarenakan aneka macam persyaratan dan tingginya investasi awal untuk kegiatan tersebut, dalam prakteknya, lebih banyak perusahaan-perusahaan yang bermitra dengan masyarakat setempat untuk mengajukan diri mendapatkan izin. Untuk sanggup memenuhi persyaratan tersebut, masyarakat lokal harus mempunyai tubuh hokum sebagai suatu kelompok perjuangan tani (KUT) dan harus membuktikan hak-hak kepemilikan tradisional atas lahan hutan. Namun demikian, peraturan yang ada tidak menjabarkan pengertian “hak-hak milik tradisional”, atau bagaimana cara pembuktiannya. Dalam pelaksanaannya, hanya masyarakat yang sanggup membuktikan bahwa mereka mempunyai hak-hak tradisional “damar tebok” yang dianggap memenuhi persyaratan. Menurut sejarah, hak “damar tebok” dipakai masyarakat setempat sebagai bentuk ratifikasi secara tradisional terhadap beberapa jenis pohon penghasil damar, yaitu dengan melaksanakan penyadapan atau menebok atau melubangi batang pohon dammar di hutan alam. Hak tersebut bukan merupakan hak milik, tetapi hanya hak untuk pemanfaatan (usufruct).
Bukti-bukti atas hak hutan susila damar tebok mengacu pada ratifikasi dari para tetua desa atau dan tanda bukti pembayaran cukai kepada pemerintahan kolonial Belanda. Praktek penyadapan damar telah usang berakhir, tetapi ratifikasi melalui hak damar tebok muncul kembali seiring dengan berlakunya kebijakan HPHH 100 ha. Hak damar tebok dipakai sebagai salah satu mekanisme klaim atas wilayah hutan dan bukan pohon-pohon tertentu yang menjadi calon areal HPHH 100 ha. Akses terhadap pohon-pohon bukan penghasil damar sebelumnya terbuka untuk kelompok masyarakat lain yang tidak mempunyai hak damar tebok. Namun, dengan adanya praktek ratifikasi hak milik berdasarkan damar tebok, manfaat-manfaat sumberdaya alam lebih besar dinikmati oleh sebagian kelompok masyarakat yang secara turun temurun merupakan penyadap pohon-pohon damar pada zaman colonial Belanda.
Hal ini mengakibatkan kelompok-kelompok masyarakat lain, khususnya kelompok-kelompok masyarakat miskin lainnya dan pendatang, tidak mempunyai hak untuk mengajukan permohonan izin HPHH 100 ha. Dalam SK Bupati tertuang aturan mengenai kewajiban pemegang hak untuk melaksanakan upaya pemeliharaan lingkungan dan batas-batas konsesi. Tetapi pemantauan dan pengawasan kegiatan tersebut kurang memadai lantaran terbatasnya kemampuan dan jumlah personil. SK tersebut menyatakan bahwa HPHH 100 ha tidak sanggup diberikan pada areal yang telah dibebani hak atau izin yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, menyerupai HPH5 atau Izin Pemanfaatan Kayu (IPK). SK Bupati juga mewajibkan pemegang hak untuk menanam kembali pohon dengan jumlah yang sama dengan yang dipanen. Pemungutan kayu pada areal HPHH 100 ha harus dilaksanakan secara manual dan semi mekanis yaitu berupa jalan kuda-kuda tradisional dan/atau lokomotif kecil untuk menarik kayu gelondong.
3.1.2 Permohonan dan Pemberian Izin
Dinas Kehutanan dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) melaksanakan penilaian wacana permohonan izin yang meliputi kenbenaran kelembagaan dan status pemohon. Namun Dinas Kehutanan memberikan pertimbamgan tersebut kepada Bupati, yang mempunyai wewenag untuk memperlihatkan izin. Keseluruhan mekanisme dan proses tersebut hampir seluruhnya dikendalikan oleh Bupati dan Instasi pemerintah daerah terkait dan kurang memperlihatkan kesempatan kepada masyarakat untuk memperlihatkan masukan terhadap keputusan-keputusan yang diambil, contohnya mengenai aspek-aspek kelayakan areal atau kepatutan pemohon.
Sistem HPHH 100 ha memperlihatkan kesempatan kepada pemerintah kabupaten untuk secara langsung mengelola dan meningkatkan penerimaan dari sektor kehutanan. Saat kebijakan ini masih berlaku (1999-2002),sekitar 944 izin ini diterbitkan di Kalimantan Barat yang berada di kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu. Sebagian besar Bupati di Kalimantan Barat beropini besarnya izin HPHH 100 ha yang diterbitkan,dikarenakan mereka melihat saatnya untuk penduduk setempat menikmati hasil hutan.Kebijakan ini dilihat sebagai cara untuk mengatasi ketidakadilan selama Rezim Orde Baru,yang menyedot laba lebih banyak sumber daya hutan untuk kepentingan pemerintah pusat dan pengusaha konglomerat kayu. Namun hasil analisis peneletian memperlihatkan bahwa oknum pengusaha dan kelompok elit mendominasi dan melaksankan kebijakan tersebut untuk kepentingan pribadi.
Walaupun masyarakat setempat secara aturan berhak atas pembagian manfaat, penelitian kami  menunjukan bahwa rata-rata kemitraan dengan pemegang HPH tidak mendatangkan manfaat bagi masyarakat miskin. Sejumlah besar manfaaat tersebut dinikmati oleh elit-elit lokal dan pengusaha HPH. Izin mereka dicabut lantaran terjadi konflik-konflik dengan masyarakat setempat dan aneka macam pelanggaran namun mereka masih tetap melaksanakan penebangan dengan sistem HPHH 100 ha. 
3.2 Masalah-masalah dalam Pelaksanaan
3.2.1 Areal yang Tumpang Tindih dan Hak-hak Properti
Pelaksanaan tata batas, survei potensi dan identifikasi hak-hak pihak ketiga sebelum izin diterbitkan masih belum memadai. Dinas Kehutanan Kabupaten seharusnya mempunyai kewajiban melaksanakan survey lapangan, tetapi pada kenyataannya identifi kasi areal dan tata batas lebih banyak dilakukan “di atas kertas”. Peninjauan dan pengukuran langsung di lapangan jarang sekali dilakukan dan koordinasi antar aneka macam instansi pemerintah di semua tingkat yang bertanggung jawab dalam melaksanakan pengawasan pelaksanaan operasional izin dirasakan kurang.
Akibatnya, banyak areal HPHH 100 ha yang tumpang tindih dengan areal konsesi HPH, hutan produksi, dan hutan lindung. Ada kasus-kasus di mana terdapat lebih dari satu izin HPHH untuk wilayah yang sama. Survei lapangan yang tidak memadai tersebut sering memicu konflik-konflik lokal. Sebagai contoh: konflik antara penduduk Desa Nanga Sayan dan tetangganya di desa Mekar Pelita dan Madya Raya yang disebabkan lantaran masing-masing penduduk desa merasa mempunyai hutan ulayat, yang diperbolehkan untuk dieksploitasi dengan sistem HPHH. Batas-batas wilayah hutan ulayat masing-masing desa tersebut belum disepakati. Batas-batas susila tersebut juga seringkali tidak sesuai dengan batas administrative yang ditetapkan pemerintahan. Walaupun demikian, perbatasan administratif masih dipakai untuk tujuan-tujuan perencanaan pembangunan.
Kawasan konsesi HPHH 100 ha juga seringkali tumpang tindih dengan hutan lindung. Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat memperkirakan sekitar 30% daerah HPHH berada dalam daerah hutan lindung. Hal ini bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang tertuang di dalam kebijakan-kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten wacana penentuan wilayah.

3.2.2 Lemahnya Mekanisme Pendistribusian Keuntungan
Sampai pertengahan April 2004, PSDH dan DR yang dibayarkan oleh pemegang HPHH 100 ha tidak dilaporkan dan tidak disetorkan ke rekening Menteri Kehutanan. Ketentuan-ketentuan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan wacana mekanisme pembayaran untuk penerimaan negara bukan pajak dan penyetoran dana. Ketentuannya yaitu bahwa PSDH (IHH) wajib disetor langsung ke Kas Negara, yang tatacara penyetorannya diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan. Kenyataannya, pemerintah kabupaten mengharuskan para pemegang hak untuk menyetor PSDH dan DR ke Kas Pemerintah Kabupaten Sintang dan tidak diikuti dengan transfer dana kepada pemerintah pusat.
Pemerintah-pemerintah kabupaten setempat umumnya berdalih bahwa mereka menahan pembayaran dana tersebut sebagai sebuah “pernyataan kekecewaan mereka” dengan kebijakan Departemen Kehutanan wacana bagi hasil dari kehutanan. Pemerintah kabupaten beropini bahwa jumlah dana PSDH dan DH yang sebelumnya dikembalikan oleh pemerintah pusat yaitu 40% lebih rendah dari yang seharusnya diterima kabupaten. Sementara itu, Kelompok Usaha Tani (KUT) yang mendapatkan izin HPHH umumnya tidak mempunyai modal atau kemampuan untuk mengelola sebuah konsesi sehingga mereka “menjual” izin mereka kepada pada kawan kerja, yang seringkali yaitu pemilik HPH. Akibatnya, KUT hanya mendapatkan uang ganti rugi (fee) berkisar antara Rp. 40.000-Rp. 60.000 per m3 kayu, yang kemudian dibagi secara merata kepada seluruh anggota dari KUT. Setelah dipotong Rp. 5.000 per m3 untuk koordinator KUT, uang yang higienis diterima KUT berkisar antara Rp. 35.000 hingga Rp. 55.000 per m3. Dengan mengasumsikan nilai pasar untuk kayu menyerupai Meranti yang umumnya berkisar Rp. 700.000 per m3, berarti masyarakat, yang diwakili oleh kelompok-kelompok petani (yang semuanya lakilaki) umumnya hanya mendapatkan laba kurang dari 9% dari nilai pasar atas kayu yang ditebang di hutan-hutan adat.
Baik peraturan perundangan di tingkat pusat maupun daerah yang mengatur izin pemungutan kayu skala kecil, tidak ada yang mengatur atau menyediakan petunjuk wacana cara-cara mengatur pengelolaan dan pembagian keuntungan. Dalam banyak kasus, surat kesepakatan yang disusun oleh kawan kerja dan diakui oleh instansi berwenang justru menjadi contoh dan mengatur aneka macam syarat dan kondisi kemitraan yang mengikat antara kelompok tani dengan pengusaha.
3.2.3 Lemahnya Pengawasan dan Pemantauan
Sesuai dengan peraturan perundangan, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kabupaten memutuskan bahwa pelaksanaan pemungutan hasil hutan pada daerah HPHH 100 ha hanya dilakukan secara manual dan semi mekanis yaitu berupa jalan kuda dan atau memakai lokomotif. Tetapi, dalam pelaksanaannya, hampir seluruh kegiatan penebangan dilakukan dengan alat-alat berat menyerupai traktor dan truk logging.
Dalam peraturannya, ada ketentuan-ketentuan yang membatasi terjadinya kerusakan lingkungan. Namun demikian, aturan-aturan tersebut tidak diterapkan lantaran pemerintah kabupaten kurang mempunyai kemampuan, misalnya, untuk mengawasi penggunaan alat-alat berat. Yang juga penting untuk dicatat yaitu bahwa pada areal konsesi yang dialokasikan bagi masyarakat pemilik hak damar tebok, pohon-pohon yang telah disadap otomatis mempunyai nilai jual yang rendah lantaran kayunya sudah berlubang. Dalam prakteknya, penebangan pohon dilakukan secara selektif dan kayu-kayu yang ditebang bukan penghasil damar tetapi jenis-jenis kayu komersial.
Pemegang HPHH yang daerahnya terletak dalam hutan produksi atau lahan-lahan pertanian yang kering (bukan untuk dialihfungsikan), berdasarkan aturannya diwajibkan melaksanakan penanaman dengan jumlah pohon yang sama dengan yang ditebang. Namun, banyak areal konsesi yang tidak ditanami kembali, lantaran kawan kerja yang lebih banyak melaksanakan kegiatan pemungutan kayu sementara kelompok tani yang mempunyai izin. Mengingat kelompokkelompok tani mempunyai tuntutan kepemilikan jangka panjang atas lahan, mereka mempunyai insentif lebih untuk melaksanakan penanaman kembali, tetapi mereka kurang mempunyai keterampilan, dana dan kemampuan. Izin hanya berlaku untuk satu tahun - waktu yang cukup untuk melaksanakan penebangan. Ketika izin telah berakhir, kecil sekali insentif bagi kawan investor untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan penanaman kembali atau regenerasi.
2.3 Korelasi Permasalahan Kebijakan HPHH Dengan Social Exclusion/ Marginalisasi
            Dalam masalah HPHH 100 Ha ini muncul adanya marginaliasasi lantaran 2 alasan utama Pertama, kebijakan tersebut hanya berlaku pada sebagian kecil daerah hutan di setiap kabupaten. Seperti disajikan dalam tabel di bawah ini, kebijakan ini hanya meliputi luasan 2% dari seluruh daerah hutan provinsi. Faktor kedua yang membatasi efektivitas pelaksanaan kebijakan tersebut menyangkut proses perumusan yang dilakukan secara tergesa-gesa dan tertutup serta pelaksanaanya yang tidak sesuai
dengan ketentuan. Akibatnya, kondisi tersebut telah membatasi kesempatan masyarakat sekitar hutan untuk berperan serta dalam merancang kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat, dan memperoleh manfaat aktual dari pelaksanaan kebijakan ini. Masyarakat merasa bahwa kebijakan yang dikeluarkan sangat dipengaruhi oleh kepentingan elit lokal dan nasional, khususnya kalangan penanam modal swasta. Persyaratan yang tertuang dalam kebijakan tersebut terlalu langsung dan tidak menjamin adanya pembagian laba yang adil antara masyarakat lokal dengan kawan swastanya.
Sekalipun sebagian anggota masyarakat telah mendapatkan penggalan kecil laba dari pelaksanaan HPHH 100 ha, laba tersebut belum tersebar merata. Kelompok-kelompok tertentu yang paling terpinggirkan, menyerupai yaitu wanita dan pendatang, mendapatkan penggalan yang sangat kecil  bahkan ada yang tidak mendapatkan apa-apa. Elit lokal yang berkuasa merupakan akseptor penggalan laba yang terbesar. Di ketika masyarakat diberikan kesempatan untuk mendapatkan laba fi nansial melalui izin pemungutan hasil hutan berupa kayu, konfl ik juga ternyata terjadi diantara masyarakat sendiri, dan antara masyarakat dan kawan investor.
Selain itu Sebagian besar bupati di Kalimantan Barat beropini bahwa banyaknya jumlah izin HPHH 100 ha yang diterbitkan lantaran mereka melihat bahwa telah tiba saatnya bagi penduduk setempat untuk menikmati manfaat dari hutan yang ada di sekitarnya. Kebijakan ini dilihat sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah ketidakadilan selama rezim Orde Baru, yang lebih banyak menyedot laba dari sumberdaya hutan untuk kepentingan pemerintah pusat dan segelintir pengusaha konglomerat kayu. Namun demikian, hasil analisis pemangku kepentingan (stakeholder) terhadap jalan masuk HPHH 100 ha memperlihatkan bahwa oknum penguasa, pengusaha dan kelompok elit mendominasi perumusan dan pelaksanaan kebijakan tersebut guna memenuhi kepentingan pribadi mereka.
Elit-elit lokal melaksanakan pendekatan kepada para pemilik konsesi HPH untuk menjadi mediator dalam pembagian laba dan menjadi kawan kerja masyarakat setempat. Para pemegang HPH dan industri kehutanan memanfaatkan kesempatan kemitraan dan mendapatkan laba dari adanya pasokan kayu murah hasil eksploitasi dari HPHH 100 ha. Selain itu, lokasi HPHH 100 ha sering kali tumpang tindih dengan wilayah-wilayah HPH, sehingga potensi konflik yang disebabkan oleh ketidak jelasan batas konsesi meningkat.
Walaupun masyarakat setempat secara hokum berhak atas pembagian manfaat, penelitian kami memperlihatkan bahwa rata-rata kemitraan dengan pemegang HPHH tidak mendatangkan manfaat bagi anggota masyarakat termiskin. Sejumlah besar manfaat tersebut lebih dinikmati oleh elit-elit lokal dan pengusaha-pengusaha HPH, serta industry pengolahan kayu. Beberapa pemilik HPH yang telah menghentikan kegiatannya baik lantaran izin mereka telah dicabut lantaran aneka macam pelanggaran maupun
karena konfl ik-konfl ik dengan masyarakat setempat, dilaporkan menerima laba dari system HPHH 100 ha dengan tetap melanjutkan kegiatan penebangan.
            Beberapa factor diataslah yang menciptakan kebijakan HPPH ini tidak menguntungkan untuk kalangan masyarakat biasa. Dan hanya elit-elit masyarakat lokallah yng mempunyai laba yang lebih. Hal ini lantaran kebijakan yang duturunkan oleh pemerintah pusat mempunyai kecenderungan keterpihakan untuk para elit lokal.
2.5 Pemerintah Pusat Mencabut Kebijakan
Departemen Kehutanan menarik kembali kewenangan bupati untuk menerbitkan HPHH 100 ha yang berlaku mulai tanggal 1 Maret 2002. Akan tetapi, pemerintah daerah Kabupaten Sintang tetap memperpanjang izin-izin setidaknya hingga Desember 2003. Melalui penerbitan SK Menteri, Pemerintah pusat memperlihatkan kewenangan kepada gubernur dan bupati untuk mengeluarkan izin pemungutan hasil hutan dengan batasan maksimum 20 m3 kayu atau 20 ton hasil bukan kayu untuk jangka waktu satu tahun. Hasil pemungutan hasil hutan tersebut ditujukan hanya untuk kepentingan pemakaian sendiri dan tidak untuk diperdagangkan. Kebijakan gres tersebut tidak disambut antusias oleh para pemangku kepentingan setempat, yang tidak lagi mempunyai kesempatan untuk mengendalikan atau menerima laba dari kegiatan-kegiatan penebangan komersial.

IV.KESIMPULAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Dampak dari kegiatan HPHH 100 ha yaitu masyarakat local yang kehidupannya bergantung terhadap sumber daya hutan megalami kesulitan secara terus menerus. Hal ini dikarenakan kriteria penetapan kelompok-kelompok masyarakat yang memenuhi persyaratan memenuhi izin dipandang terlalu eksklusif, dan kurang memperhitungkan perbedaan tingkat social, kebutuhan atau kemampuan masyarakat yang sesungguhnya.
Singkatnya periode kontrak, dan waktu yang terbatas mengakibatkan kurang memadainya perencanaan pengelolaan areal konsesi, dan tidak ada tuntutan untuk menciptakan planning pengelolaan jangka panjang. Tingkat eksploitasi hutan yang tinggi dan berskala komersil, mengakibatkan masyarkat yang mempunyai kemampuan kurang kesulitan bersaing dengan pengusaha besar yang mempunyai modal dan pengetahuan yang lebih.
Kebijakan ini menciptakan masyarakat yang sebelumnya berperan sebagai pengamat menjadi pelaku. Pengenalan sistem gres yang terlalu cepat menciptakan kelompok yang pinggiran tidak menikmati laba dari kebijakan ini, hanya pejabat elit pemerintahan dan penguhasa besar saja yang menikmati keuntungannya. Sehingga kebijakan ini bisa dikatakan hanya menguntungkan sepihak saja.
3.2 Saran
Pemerintah baik pusat maupun daerah seharusnya mempertimbangkan praktek pemanfaatan hutan secara tradisional dan menerapkan kriteria dan indicator yang jelasbagi pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan kesepakatan kemitraan. Hal ini akan meningkatkan kemampuan masyarakat setempat dalam pengelolaan hutan dan menjamin adanya denah kemitraan yang memperlihatkan manfaat yang adil bagi semua pihak.





Sumber http://kickfahmi.blogspot.com