Monday, June 25, 2018

√ Cerpen: Senja Di Ujung Malam - Khaeriyah Nasruddin

Senja di Ujung Malam by Khaeriyah Nasruddin √ Cerpen: Senja di Ujung Malam - Khaeriyah Nasruddin

“Selamat pagi, Mbak. Ini ada kiriman dari Pak Danias.” Kunang-Kunang Jantan yang bau tanah itu menyodorkan sepucuk surat. Ku sambut uluran tangannya. Dan saya sebagai Kunang-Kunang Muda menyerupai biasa mendapatkan suratnya. Dan, menyuruhnya duduk di samping ku merasakan secawan kopi hangat yang berasal dari putik-putik bunga.

“Kenapa, Pak?” Kunang-Kunang Jantan itu hanya tersenyum ketika kuberi pertanyaan.

“Ada apa, Pak? Sibuk lagi, ya?” tanyaku kembali mengulang pertanyaan sama pada hari yang lalu.

“Orang-orang sedang menanti kiriman suratnya.” Kali ini Kunang-Kunang Jantan itu memberi tanggapan dari penolakannya.Setelah sebelumnya hanya menggeleng.

“Kalau begitu Bapak harus tepat waktu.”Ku pandang wajah tuanya. Di sana terentang terperinci kulit putihnya mengeriput.“Bapak menentukan pekerjaan tukang pos, sebab ingin berguru setia?” ucapku kemudian. Kunang-Kunang Jantan bau tanah kembali menggeleng.

“Lantas, mengapa Bapak menentukan pekerjaan tukang pos?”

“Saya sudah berjanji kepada anak saya.”

“Janji?”

“Iya, setiap hari saya mengirimkan surat buat gadis-gadis cantik. Dengan begitu, saya bisa mencari jodoh buat dia.Maukah Mbak berkenalan dengan dia?”

“Terima kasih, Pak. Dengan bahagia hati.”

“Mbak gadis yang baik. Saya sungguh bahagia bila beliau bisa memiliki, Mbak.” Aku hanya menyungging senyum mendengar ucapannya, tanpa memalingkan pandang ke arahnya.

Aku terdiam, juga Kunang-Kunang Jantan bau tanah itu. Kami sama-sama terdiam. Suasana bermetamorfosis sunyi. Kunang-Kunang Jantan bau tanah itu memasang mata. Alis saling mentaut, kedua matanya sedikit menyipit. Kebingungan merayap di wajahnya. Ini kali pertama beliau memerhatikan gerakku. Menunjuk satu persatu bulir embun yang menempel pada daun.

“Apa yang Mbak lakukan?”

“Aku sedang mengucapkan selamat pagi pada embun-embun ini.”

“Tapi, Mbak tampak menghitungnya.”

Kunang-Kunang Jantan bau tanah itu masih setia menatap. Tak kutanggapi dia. Biarlah tanya dalam kepalanya mencecar. Aku memusatkan perhatian pada daun-daun itu. Mengarahkan telunjuk,menghitung berapa banyak bulir yang tertidur. Kunang-Kunang Jantan bau tanah itu juga terus memperhatikanku. Perlahan beliau mencoba berguru mengikuti jejakku, menggerak bibir merapal satu-dua. Sekali-kali beliau mencuri melirikku.

“Ada apa, Pak?”

“Mencoba mengikuti apa yang Mbak lakukan.”

“Apakah ini semacam permainan berdasarkan Bapak?”

“Sepertinya, iya.” Dia tersenyum,tampak senang.

“Tapi, ini bukan permainan.”

Dia enggan menyahut. Telunjuknya terus menari. Aku tersenyum melihatnya.

“Tunggu!”

“Ada apa?” saya mengerutkan dahi.

“Mbak, coba perhatikan ulat ini. Ia tampak kehausan.” Aku berjengket.

“Sebentar, saya akan mengambil sesuatu.”

“Untuk apa?”

“Untuk melenyapkan daun itu.”

“Sebaiknya jangan.”

“Kenapa, Pak? Toh, ia bisanya hanya merusak.”

“Apa setiap pagi, Mbak selalu menghitung bulir embun itu?” nada suaranya sedikit menurun.

“Ya.”

“Setelah itu?”

“Aku hanya ingin tahu ada berapa banyak embun yang tertidur pulas di atas daun-daun itu. Tapi, bagaimana mungkin akubisa tahu bila setiap hari saya tak bisa menghitungnya dengan sempurna,” ucapkusedikit kesal.

“Tapi, apa untungnya pekerjaan itu dilakukan?”

“Kekasihku berkata, bahwa semakin sedikit embun yang tertidur pada daun, maka sebentar lagi orang yang dicintai akan kembali hadir.”

Kunang-Kunang Jantan bau tanah itu hanya mengangguk. Seolah paham dengan jawabanku.

“Kalau begitu, Mbak bermetamorfosis embun saja.”

“Lalu?” saya mengernyitkan dahi.

Kunang-Kunang Jantan bau tanah itu bangun di depanku, menampilkan sepotong senyum. “Ya, biar Mbak bisa tahu di hari ke berapa pertemuan itu akan terjadi.”

“Tapi, saya cukup keberatan menjadi embun, Pak.”

“Karena?”

“Aku tidak ingin bila orang yang kucintai harus menyiapkan paginya hanya untuk terus menatapku.”

“Tapi, rindu akan terkikis dengan hadirnya surat itu,” saya mengikuti jari telunjuknya. Dia menunjuk surat yang terletak lemah di meja.

***

“Sepertinya, ini kali terakhir kita menyapa.”

“Kenapa? Kau ingin ke mana?”

“Jangan khawatir menyerupai itu. Kita akan kembali bertemu.” Kunang-Kunang Jantan itu tertawa kecil. Dia kemudian mencium tanganku tepat di depan senja yang memburam.

“Danias, berapa usang kau pergi?”

“Aku akan pergi sekarang.”

Kunang-Kunang Jantan itu melepas genggaman tanganku.Aku mendelik. Pertanyaan yang kuajukan tak terjawab. Kekasihku justru menentukan melenyapkan dirinya dalam pandanganku. Sedang, saya hanya bisa menguatkan kaki untuk menopang tubuh. Berusaha bangun walau rapuh.

Dengan aroma senja yang memburam. Aku masih tegap berdiri, melontarkan pandangan ke depan. Aku ingat, tak ada kata yang terlontar ketika beliau melangkah. Aku hanya memandangi punggungnya sampai menjauh. Sendiri yaitu karib yang setia menemani. Di daerah inilah perpisahan itu terangkai.

Angin menghembus mencuri celah memercik kenangan. Bagai lagu penggilas duka. Di depan senja inilah saya memintal hari. Menjelma Kunang-Kunang sunyi yang penanti senyum kekasihnya yang lesap.

“Beberapa orang suka bangun lama-lama di daerah ini,” Seekor Kunang-Kunang Jantan terbang menghampiriku. Dia memamerkan senyum ramah.

“Di sinilah saya menemukan kenangankuyang hilang kembali merentang.” Aku menatapnya, sambil membalas senyumnya. “Kausuka daerah ini?” tanyaku kemudian. Dia mengangguk.

“Pantai yaitu daerah untuk memantikkenangan yang sempat terkubur.” Kunang-Kunang Jantanitumenyilangkan tangan, pandangan matanya merayap, mengikuti langkah ombak yangmenggulung.

“Seperti itulah.”

Aku membisu sejenak. Kami sama-samamenatap ke depan. “Hmm... Siapa namamu?” saya kembali menatapnya.

“Kau bisa memanggilku Zhen,” ujarKunang-Kunang Jantan itu.Kami sama-sama tersenyum. Di pantai ini, saya mengenal Kunang-Kunang Jantan itubernama Zehn. Danias dan Zehn, keduanya kutemui di daerah ini.

***

Sudah beberapa hari, Kunang-Kunang Jantan bau tanah itu tidak hadir membawakiriman suratku. Aku mulai letih duduk berlama-lama di bersahabat jendela, hanyauntuk menunggu Kunang-Kunang Jantantua itu membawa surat kekasihku. Jika bukan sebab surat itu, saya tak inginmenahan kantuk. Hanya Kunang-Kunang Jantan bau tanah itulahtempatku mengais kabar kekasihku.

Kembali saya bangun di balik jendela.Pandangan mata setia kuarahkan ke teras. Mengawasi badan bau tanah itu tiba. Seekor Kunang-Kunang Jantanterbang pelan. Dalam tangannya saya menemukan segenggam buket mawar, amplopputih tersemat. Kunang-Kunang Jantanitu kemudian meletakkan kiriman itu tepat di atas anak tangga, kemudiankembali. Aku segera membuka pintu.

“Tunggu sebentar!” teriakku, berlarikecil. Kunang-Kunang Jantanitu mengulum langkah. Dia tidak menoleh.

“Kenapa Bapak menyisipkan surat itu?”dia terdiam. Aku terbang mendekatinya.Mencuri pandang untuk menangkap wajahnya.

“Kamu...” Tunjukku.

“Ya, bagaimana kabarmu?” sapanya.

“Baik. Ke mana Pak Tua itu?”

“Dia telah pergi,” Kunang-Kunang Jantan itumenyahut.

“Pergi? Ke mana?”

“Dia telah meninggal 3 hari yang lalu.”

“Apa, meninggal? Jangan bercanda,” katakutertawa kecil.

“Aku bisa mengantarmu ke makamnya.”

“Aku turut berduka cita.” Aku menunduk.

“Lalu, kamu?” lanjutku sembari menunjuktepat di depan dadanya.

“Aku bertugas untuk menggantikannya.”Dia memperbaiki letak topinya. Lantas, tersenyum.

Dia mengambil buket mawar lalumenyerahkan kepadaku, “Ini untukmu.”

“Mawar? Dari siapa?”

“Aku tidak tahu,” diamenggeleng.

“Ini kali pertama saya mendapatkan sebuketmawar hitam. Terima kasih.”

***

Senja merebah di atas maritim bersamakenanganku yang meluruh. Sisa-sisa bayangan wajahnya masih lekat terasa. Adaangin yang memantiknya. Mengendus bisikan rindu. Melukis remah senyumnya yanghampir lenyap. Ini sudah memasuki tahun pertama kekasihku pergi. Juga, telah genap setahunkuhabiskan waktu sore menatap senja di pantai ini.

“Hai, Elmira. Sepertinya kitaberjodoh.”

Kunang-Kunang Jantanitu menghampiriku.Dia kembali menyapaku.

“Zehn,” akumelihat matanya dan menemukan senyuman teduhnya.

“Sepertinya pantai ini begitu berartibuatmu, Elmira. Coba lihat itu!” tunjuknya.Dia kemudian menarik dingklik untuk duduk di depanku. Angin menderu. Beberapapotong rambutku mengibas kemudian saya menyembunyikannya di balik telinga.

“Kau tahu nama lampu itu?” saya mengangkat bahu, menggeleng.

“Lampu killok-killok[1], itu namanya. Ketikalangit mulai mengecup malam, lampu itu akan bersinar secara bersamaan.”

“Killok-killok? Nama yang aneh, kurasa,” saya membuang pandang. Tersenyum tipis.

“Coba perhatikan! Lihatlah, ia begitu lincah memainkan cahayanya,” Kunang-Kunang Jantan itu tertawa.

“Selain pantai Seruni ini, Bantaeng juga mempunyai pantai Marina. Pantai itu menghadap Laut Flores. Kau bisa bercerita bersama ombaknya,”Dia membuang pandangannya jauh ke depan.

“Di sini banyak bunga mawar. Apa kau mengasihi tanaman itu?” kataku seraya menatap beberapa meja di ruangan ini.

“Kurang lebih begitu.”

Kunang-Kunang Jantan itu memanggil waitress dan membisikkan sesuatu. Waitress itu mengangguk. Aku mengerutkan dahi, dan beliau hanya tersenyum kepadaku.

“Apa yang kalian bicarakan?” tanyaku sedikit ingin tahu.

“Hanya sebuah rahasia.” Lagi-lagi beliau menjawab pertanyaanku dengan tersenyum. Aku menopang dagu, menikmati setiap inci senyumnya yang selalu menggoda.

“Mengapa menatapku menyerupai itu?” beliau melayangkan tangannya di depan wajahku.

“Kau mengingatkanku pada seseorang,” ucapku tanpa melepas menatap matanya.

“Siapa?”

“Kau dan kekasihku. Tapi, lupakanlah.”

Aku tersenyum melihat beliau menyerutkan alis. Sesekali kami berdua melepas tawa. Beberapa ketika kemudian, waitress itu tiba membawa sebuket mawar. Kunang-Kunang Jantan itumengangguk kemudian mengucapkan terima kasih.

“Ini buatmu.”

Dia menyodorkan buket itu kepadaku. Menatap matanya menyerupai saya menatap mata kekasihku. Aku ingat ketika saya menatap wajahke kasihku, seringkali saya menemukan mataku berbinar menatapnya.

“Mengapa kau suka memberiku mawar hitam, bukannya mawar merah atau putih?”

“Keberanian dan kekuatan merupakan makna umum buat mawar hitam. Ia juga dikenal dengan simbol sebuah perpisahan,” diamenatapku lekat.

“Simbol sebuah perpisahan,” saya mengulang kalimat itu.

“Mengapa? Tapi, itu bukanlah satu-satunya makna yang menempel pada bunga itu.” Senyumnya. Kunang-Kunang Jantan itu belum menatapku. Dia cukup bahagia mengamati senja yang beringsut dari pantai.

“Apakah kau juga akan mengakhiri perkenalan kita di pantai ini?” saya mencoba menatap matanya, mencari jawaban.

“Kalau begitu biarkan saya yang memulai perpisahan itu.”

“Jangan, Elmira! Bukan, bukan menyerupai itu maksudku.” Dia menarik tanganku untuk menahan langkahku.

“Lepaskan, Zehn!” saya menepis tangannya.

“Aku mencintaimu, Elmira!” katanya keras. Semua kunang-kunang yang beradadi daerah itu memasang mata menatap ke arah kami.

“Aku mengenalmu dari ayahku. Katanya,kau yaitu gadis yang selalu menyiakan waktu pagi hanya untuk menghitung bulir-bulir embun di daun. Setiap ahad sehabis pulang dari mengantar suratmu, ayahku selalu bercerita mengenai dirimu, Elmira.”

Tak ada kalimat yang bisa kusulam untuk menimpali perkataan Kunang-Kunang Jantan itu.Aku mematung. Dia makin mengeratkan genggaman tangannya.

“Tap ... tapi..” Aku terbata. Aku menemukan sebuah ketulusan terpancar dari matanya.

“Mengapa, Elmira? Apakah kau masihsetia menunggu kekasihmu?”

“Aku tidak mau perpisahan kedua terjadidi pantai ini, Zehn,” saya menggeleng lemah.

“Kau takut? Tidak selamanya perpisahan itu akan terjadi dua kali di daerah ini.”

“Biarkan saya pergi, Zehn.” Aku kemudian mengepakkan sayap dan terbang.

Ditulis oleh : Khaeriyah Nasruddin

Sumber http://www.maringngerrang.com/