Sunday, July 22, 2018

√ Modernisasi Dan Perubahan Sosial Masyarakat Dalam Pembangunan Pertanian


MODERNISASI DAN PERUBAHAN SOSIAL MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN

Untuk memenuhi kiprah matakuliah
Sosiologi Pertanian
yang dibina oleh Bapak Suhirmanto

Oleh
Muhammad Guruh Arif Zulfahmi


Universitas Brawijaya
Fakultas Pertanian
Agroekoteknologi
Mei 2011
MODERNISASI DAN PERUBAHAN SOSIAL MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN

PENDAHULUAN
Hampir 80% atau lebih penduduk Indonesia tinggal di kawasan pedesaan yang bekerja pada sektor pertanian sebagai mata pencarian pokok, sehingga merupakan lapangan kerja dan produktif dan menyediakan pendapatan yang pada alhasil sanggup meningkatkan tarap hidup masyarakat.
Kebijaksanaan pembangunan pertanian dalam tiga dekade terakhir berorientasi pada peningkatan produksi melalui penggunaan teknologi padat modal. Tujuan tamat yang diharapkan pemerintah yakni meningkatnya pangan dalam negeri melalui pencapaian swasembada pangan dan mengurai ketergantungan pangan terhadap negara luar.
Untuk mencapai tujuan di atas, pelaksanaan pembangunan melalui progam progamnya dilaksanakan dengan penerapan kebijaksanaan menyeluruh yang direncanakan dan disusun secara top down. Daerah, dalam hal ini propinsi harus menuntaskan kebijaksanaan pusat dengan kondisi wilayah setempat. Selain itu, untuk mempercepat pertumbuhan pertanian dilakukan pembangunan sub sektor dengan pendekatan yang berbeda tetapi target sama. Tidak jarang unsur politis dan birokrasi turut bermain mewarnai pelaksanaan kebijakan pembangunan pertanian guna menyukseskan progam-progam nasional yang dilaksanakan di daerah. Konsepsi mengenai keberhasilan pencapaian kesejahteraan masyarakat diukur dari pertumbuhan ekonomi nasional (GNP), dengan mengandalkan terjadinya trickle down effect.
Kesejahteraan masyarakat yang diukur dari GNP merupakan anggapan yang keliru, lantaran dalam GNP kesejahteran sosial belum tentu tercapai. Selain itu, kesejahteraan sosial tidak sanggup disamakan dengan kesejahteran ekonomi. Dengan mengutip pendapat pranadji (1999), bahwa komponen kesejahteraan sosial hanya sanggup dicapai dengan perubahan struktur, keorganisasian, pertanian, dan budaya masyarakat pertanian setempat yang melatarbelakanginya. Di samping itu, penyehatan aspek sosio-budaya harus dipandang sebagai faktor pelopor utamanya.
Kebijakan pembangunan pertanian dengan pola top down dengan orientasi produksi melalui penggunaan teknologi modern yang sangat teknis mekanistis, telah mengakibatkan masalah-masalah dan perubahan-perubahan, baik pemerintah kawasan yang mengimplementasikan kebijaksanaan pusat maupun masyarakat petani sebagai obyek dari pembangunan. Masalah- dilema umum yang timbul sebagai jawaban dari pelaksanaan pembangunan pertanian antara lain:
1. Menumbuhkan ketergantungan pemerintah derah dalam perencanaan pembangunan, sehingga sering tidak sesuai dengan kondisi wilayah dan sosial budaya masyarakat.
2. Menimbulkan ego sub sektoral dalam pelaksanaan progam-program pembangunan pertanian, lantaran lemahnya kordinasi dan integrasi antara sub sektor.
3. Merosotnya nilai-nilai tradisional dan norma- norma kekeluargaan yang saling membutuhkan dan ketergantungan yang hidup di pedesaan.
4. Melahirkan ketergantungan petani terhadap pemerintah dalam pembangunan, sebagai jawaban pendekatan pelaksanaan acara melalui santunan subsidi.
Selain faktor-faktor eksternal, modernisasi pembangunan pertanian yang telah di uraikan di atas mengakibatkan perubahan sosial dalam masyarakat (dalam arti negatif). Tidak sedikit pula faktor-faktor internal yang ikut menghipnotis proses pembangunan dan modernisasi pertanian.
Koentjaraningrat (1985:37-49) menguraikan beberapa karakteristik mental insan Indonesia yang merupakan penghambat pembangunan dan proses modernisasi, antara lain:
1. Pandangan terhadap sesama lebih didasarkan pada prinsip bahu-membahu lebih baik, tetapi apabila keberhasilan seseorang dianggap sombong atau meremehkan mutu, selain itu munculnya sikap konformisme.
2. Pandangan hidup yang berorentasi pada waktu masa lalu.
3. Mentalitas yang suka menerbas, atau mentalitas mencari jalan pintas. Mentalitas muncul menerbas jawaban dari mentalitas meremehkan mutu.
4. Tidak percaya pada diri sendiri, dan ;
5. Orentasi nilai budaya yang terlampau mementingkan konsep ketergantungan pada atasan atau kepada sesama insan dalam melaksanakan segala sesuatu. Mentalitas ibarat ini sanggup menghilangkan dorongan inovatif dan kreatif manusia.
Mentalitas yang di uraikan oleh Kontjaraningrat tidak sanggup begitu saja di terima sebagai sesuatu yang berlaku universal, melainkan sangat tergantung kepada setiap individu, kelompok komunitas dalam memahami diri terhadap orientasi masa depannya, serta tergantung pada kondisi wilayah dan sosial- budaya setempat. Pranadji (2000) mempunyai pandangan bahwa desentralisasi akan lebih membuka peluang berperannya pranata sosial setempat untuk berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan pertanian. Selain itu, desentralisasi akan lebih membuka peluang berperannya mediator keteraturan, kerjasama sosial dan kontrol sosial yang lebih baik terhadap proses transformasi pertanian secara berkelanjutan di wilayah setempat.
Modernisasi di bidang pertanian di Indonesia di tandai dengan perubahan yang fundamental pada pola-pola pertanian, dari cara-cara tradisional menjadi cara-cara yang lebih maju. Perubahan-perubahan tersebut meliputi beberapa hal, antara lain dalam pengelolahan tanah, penggunaan bibit unggul, penggunaan pupuk, pengunaan sarana-sarana produksi pertanian, dan pengaturan waktu panen. Pengenalan terhadap pola yang gres dilakukan dengan pembenahan terhadap kelembagaan-kelembagaan yang berkaitan dengan pertanian, seperti, kelompok Tani, KUD, PPL, Bank Perkreditan, P3A, dan sebagainya.
Selanjutnya ditetapkan pola pengembangan dalam bentuk, usaha ekstensifikasi, intensifikasi dan diversifikasi. Selama beberapa pelita, modenisasi pertanian telah membawa perubahan-perubahan yang berarti. Hal ini sanggup dilihat dari peningkatan produksi pertanian yang mencapai puncak ketika tercapainya swasembada pangan. Namun kondisi ini tidak bertahan lama, dan pada alhasil membawa kembali bidang pertanian di Indonesia dalam suasana keperhatinan yang ditandai dengan menurunnya tingkat produksi, sehingga menjadikan Indonesia kembali sebagai pengimpor beras. Mengapa hal ini terjadi? Inilah permasalah yang terjadi di Indonesia. Sebagai perkiraan dasar, kondisi ini terbentuk melalui banyak sekali proses yang tidak sanggup di lepaskan.
Pertama, dari aspek modernisasi itu sendiri, dan Kedua berkaitan dengan perubahan-perubahan sosial yang muncul dari modernisasi yang tidak diantisipasi secara dini.
Dalam bidang pertanian, perubahan- perubahan sosial petani jawaban dari modernisasi yakni dengan diperkenalkannya mesin-mesin, ibarat mesin penuai dan traktor tangan telah menghilangkan mata pencaharian penduduk yang selama ini mendapat upah dari menuai.
Kemudian, pemakaian traktor tangan telah menggantikan tenaga kerbau, sehingga sebagaian besar petani tidak lagi berternak kerbau. Untuk kasus ini, hasil penelitian Scott wacana petani di Sedaka, Malaysia, diuraikan dengan cermat bagaimana penggunaan teknologi itu telah merubah relasi sosial di Malaysia. Scott memperlihatkan teladan wacana digunakannya mesin pemanen dan perontok padi, kemudian pemilik tanah menetapkan relasi dengan pekerja.
Putusnya relasi antara pemilik tanah dan para pekerja menciptakan perbedaan antara kelas kaya dan miskin semakin nyata. Mesin juga telah merubah orientasi para tuan tanah, dari anggapan usaha sebagai salah satu fungsi sosial menjadi kerja sebagai upaya untuk mendapat laba (Scott, 2000: 202).
Penelitian Scott menandakan bahwa penggunaan teknologi pertanian mempunyai pengaruh terhadap perubahan struktur masyarakat, dan alhasil besar lengan berkuasa terhadap pola-pola institusional masyarakat. Kondisi ini akan memperluas struktur kemiskinan. Sedangkan tujuan dari pembangunan pertanian itu sendiri intinya yakni untuk memperkecil struktur kemiskinan.
Menurut Soedjatmoko, struktur yakni pola-pola organisasi sosial yang mantap, luas,stabil, dan bisa untuk meneruskan diri (self reproducing). Suatu masyarakat yang melintasi semua sektor.
Lebih lanjut, Soedjatmoko menyampaikan bahwa institusi atau forum yakni suatu rangkaian relasi antara insan yang teratur dan disahkan secara sosial, yang memilih hak dan kewajiban serta sifat hubungannya dengan orang lain. Lembaga- forum ini penting Karena mereka menjamin kemantapan, kepastian, dan prediktability dalam interaksi sosial dan memilih pola taat tertib masyarakat (Soedjatmoko, 1984: 157).
Sebelum di perkenalkannya mesin-mesin pertanian, struktur masyarakat petani sangat mendukung terciptanya kemantapan, kestabilan, dan kemampuan dalam menghubungkan dua fenomena ini. Maka, yang muncul kemudian dalam tatanan sosial masyarakat petani yakni suatu konflik masyarakat agraris. Tingkat kedua, bentuk usaha mengenai kepantasan suatu defenisi terhadap keadilan suatu kasus tertentu, seperangkat faktor tertentu, dan sesuatu sikap tertentu. Tingkat ketiga, pertarungan wacana tanah kerja, pendapatan, dan kekuasaan ditengah- tengah perubahan besar yang disebabkan oleh suatu revolusi pertanian (Scott, 2000: 36). Untuk hal ini Scott mengangkat suatu teladan bahwa orang kaya sepantasnya bersifat dermawan. Ini yakni suatu prinsip. Ketika prinsip ini dilanggar, maka mulailah konflik itu terjadi.
Apa yang ingin di ungkapkan oleh Scott dan Soedjatmoko ibarat diuraikan di atas, sangat terperinci memperlihatkan suatu citra bahwa modernisasi pertanian melalui pengunaan mesin- mesin pertanian yang kemudian berkembang menjadi suatu konflik dalam masyarakat agraris.

PEMBAHASAN
Tinjauan Historis Pembangunan Pertanian Berdasarkan sejarah, pembangunan pertanian telah mengalami beberapa tahap atau perkembangan. Secara garis besar sanggup dibagi menjadi dua bagian, yaitu zaman sebelum dan sehabis Bimas. Dari kedua zaman tersebut, banyak terjadi perubahaan yang sanggup dilihat dari aspek yang ditimbulkanya.
Pada masa sebelum Bimas, umumnya masyarakat belum mengenal jenis-jenis padi unggul, sehingga mereka masih memakai varietas lokal yang dicirikan dengan umur yang panjang dan produksi yang relatif rendah. Dalam usaha tani, secara umum masyarakat belum memakai teknologi yang modern (seperti pupuk, dan obat-obatan). Dalam memilih jenis kegiatan termasuk jenis komoditi yang akan diusahakan, para petani `masih mempunyai kebebasan atau dengan kata lain tidak ada intervensi dari pemerintah.
Pada masa enam puluhan, pemerintah melalui suatu terobosan guna memacu peningkatan produksi, melaksanakan acara Bimas dengan menerapkan beberapa teknologi dalam usaha pertanian yang berlanjut hingga dikala ini. Dalam acara ini, sudah terlihat adanya suatu bentuk intevensi dari pemerintah dalam pengaturan terhadap kegiatan petani sehingga petani tidak bebas dalam memilih jenis usaha komoditi yang dilaksanakannya.
Pembangunan dengan cara penerapan teknologi yang dikenal dengan revolusi hijau, dimana penerapan teknologi sudah diperkenalkan kepada petani dengan tujuan untuk meningkatkan produksi pangan dan kesejahteraan petani ternyata tidak berhasil dan bahkan mengakibatkan perubahan sosial yang bersifat negatif pada masyarakat.
Modernisasi Pertanian dan Perubahan Sosial Masyarakat Modernisasi pertanian yakni suatu perubahan pengelolaan usaha tani dari tradisional ke pertanian yang lebih maju dengan penggunaan teknologi-teknologi baru. Modernisasi sanggup diartikan sebagai transformasi yaitu perubahan. Dalam arti yang lebih luas transformasi tidak hanya meliputi perubahan yang terjadi pada bentuk luar, namun pada hakekatnya meliputi bentuk dasar, fungsi, struktur, atau karakteristik suatu kegiatan usaha ekonomi masyarakat (Pranadji, 2000).
Modernisasi sanggup diartikan sebagai bentuk, ciri, struktur dan kemampuan sistem kegiatan agribisnis dalam menggairahkan, menumbuhkan, mengembangkan, dan menyehatkan perekonomian masyarakat pelakunya. Dumomt dalam Pranadji (2000) menyampaikan bahwa transformasi atau usaha pertanian sanggup disejajarkan dengan transformasi pedesaan. Dipandang dari aspek sosio budaya, transformasi pertanian identik dengan proses modernisasi dan pembangunan masyarakat pertanian di pedesaan. Sayagyo (1985: 10) mengartikan modernisasi suatu masyarakat yakni suatu proses transformasi, yaitu suatu perubahan masyarakat dalam segala aspek- aspeknya.
Perubahan sosial yakni terjadinya perbedaan dalam aspek kehidupan masyarakat dari waktu ke waktu (Rusidi, 2000). Aspek-aspek kehidupan masyarakat itu telah disistematiskan pada stuktur proses sosial. Dimana perubahan sosial merupakan perubahan yang terjadi pada struktur (kebudayan dan kelembagaan) pada pola proses sosial.
Menurut Parson, dinamika masyarakat bekerjasama dengan perubahan masyarakat. Kemudian, terdapat beberapa unsur yang berinteraksi satu sama lain. Unsur-unsur tersebut adalah:
1. Orientasi insan terhadap situasi yang melibatkan orang lain.
2. Pelaku yang mengadakan kegiatan dalam masyarakat.
3. Kegiatan sebagai hasil orientasi dan pengolahan anutan pelaku wacana bagaimana mencapai cita-cita.
4. Lambang dan sistem perlambangan yang mewujudkan komunikasi dalam mencapai tujuan. Sehubungan dengan itu sistem sosial merupakan hasil individu, yang terjadi dalam lingkungan fisik dan sosial.
Strategi Pembangunan Pertanian Pengalaman menunjukkan, bahwa secara umum pembangunan masyarakat desa yang dilakukan di desa melalui sektoral mempunyai taktik atau pendekatan yang berbeda-beda.
Demikian pula pembangunan dalam sektor pertanian melaksanakan hal yang sama yaitu pendekatan sub-sektoral. Nasikun dalam Leibo (1995: 97) menyampaikan bahwa adanya banyak sekali taktik atau pendekatan organisasional pembangunan masyarakat desa barangkali merupakan indikasi yang paling jelas, oleh lantaran strategi-strategi tersebut terbukti telah berkembang lebih di atas dasar akumulasi pengertian keilmuan yang mantap.
Praktek-praktek pembangunan masyarakat pertanian di pedesaan yang kita kenal selama ini sangat hegemoni yang berparadigma tunggal, yaitu paradigma “struktural fungsional”. Pembangunan masyarakat pertanian yang berparadigma tunggal memakai pendekatan teori demokrasi liberal barat, merupakan kesalahan fatal jika diterapkan di Indonesia yang mempunyai keanekaragaman budaya lokal, serta sistem sosial-politik dan demokrasi yang labil. Praktik pembangunan masyarakat pedesaan yang berparadigma tunggal, bukan mustahil telah melahirkan ketergantungan-ketergantungan masyarakat pedesaan ibarat pemberian santunan modal petani, baik yang berupa kredit dan subsidi maupun santunan hibah. Berdasarkan pengalaman proyek-proyek pembangunan berupa kredit dan subsidi maupun santunan hibah, proyek-proyek pembangunan tersebut bertujuan untuk meningkatkan pendapatan, serta kesejahteraan masyarakat ibarat proyek pengembangan perkebunan rakyat, ekspansi areal tanam dan lain-lain memperlihatkan hibah untuk tahun pertama, kemudian kemudian pada tahun-tahun berikutnya santunan diberikan dalam bentuk kredit. Merupakan suatu anggapan keliru jika bentuk santunan tersebut diartikan sebagai suatu pemberdayaan masyarakat petani.
Perumusan taktik atau pendekatan pembangunan masyarakat yang direncanakan tidak hanya diturunkan dari orientasi-orientasi filosofikal yang menjadi landasannya, akan tetapi juga menurut pengalaman empirik (Nasikun dalam Leibo, 1995). Perumusan taktik dengan landasan filosofikal dan pengalaman empirik itupun belum menjamin keberhasilannya, apabila bukan merupakan perencanaan partisipatif (participatory planning).
Strategi-strategi pembangunan pertanian (masyarakat pedesaan) yang dilakukan selama ini hanya sebatas menganjurkan taktik perubahan masyarakat menurut partisipasi luas, akan tetapi tidak pernah dilakukan, meskipun pendekatan pembangunan masyarakat yakni gotong royong. Partisipasi luas yang digalakkan tersebut tidak jarang disertai dengan pemaksaan “halus” (Koentjaraningrat, 1985: 97-105) membedakan partisipasi dalam bentuk aktifitas-aktifitas bersama dalam proyek-proyek pembangunan yang khusus; kedua partisipasi individu diluar acara bersama dalam pembangunan. Kedua tipe partisipasi yang digambarkan oleh Koenjaraningrat merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan, dimana acara pembangunan atau proyek yang telah direncanakan di tingkat pusat tanpa melibatkan masyarakat mulai dari diagnosis dilema dan potensi sumber daya, perencanaan acara dan pelaksanaan. Sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa perumusan taktik pembangunan dalam rangka otonomi kawasan harus sarat dengan partisipasi. Partisipasi yang dimaksudkan berbeda dengan yang diuraikan Koentjaraningrat, yaitu melibatkan masyarakat desa secara luas dalam pengambilan keputusan-keputusan, mulai dari diagnosis masalah, identifikasi potensi sumber daya, perencanaan acara dan penentuan acara yang diusulkan hingga ke tingkat daerah, dan hingga pada pelaksanaan acara pembangunan serta pengawasan dan evaluasi.
Namun demikian, pemerintah tetap sebagai kontrol sehingga perencanaan pembangunan yang bottom-up tidak melenceng dari tujuan pembangunan. Pembangunan masyarakat yang direncanakan dari bawah harus menyentuh seluruh masyarakat, dan bukan untuk golongan tertentu. Untuk mengatasi adanya perbedaan-perbedaan, maka perlu dibuat suatu institusi atau forum yang terintegrasi secara normatif pada kondisi yang kompleks secara keseluruhan di banyak sekali tingkat pelayanan dalam suatu sistem pemerintahan (Parsons, 1964: 76).



Nasikun dalam Leibo (1995) menglasifikasikan strategi-strategi organisasional pembangunan masyarakat desa menjadi empat taktik yang berlandaskan pendekatan teoritis, yaitu:
1. Strategi pembangunan gotong royong
2. Strategi teknikal professional.
3. Strategi konflik, dan
4. Strategi pembelotan kultural.
Strategi pembangunan bahu-membahu perkiraan dasarnya yakni paradigma struktural fungsional, dimana taktik ini melibatkan masyarakat sebagai suatu “sistem sosial” yang terdiri atas bagian-bagian terintegrasi secara normatif, dimana tiap-tiap penggalan memperlihatkan sumbangan fungsional masing-masingnya bagi pencapaian tujuan masyarakat secara keseluruhan.
Demikian pula taktik pembangunan teknikal profesional, bahwa asumsi-asumsi yang melandasi taktik ini tidak berbeda dengan perkiraan yang mendasari taktik pembangunan gotong-royong.
Strategi pembangunan teknikal profesional memandang masyarakat sebagai suatu sistem relasi sosial yang semakin kompleks, dengan struktur-struktur serta proses-proses kemasyarakatan yang semakin modern. Telah diuraikan di atas bahwa pembangunan suatu pertanian juga diwarnai oleh ego sub sektoral, lemahnya koordinasi, dan integrasi antar sub-sektoral serta konsep pemberdayaan masyarakat yang berbeda turut menghipnotis pola pendekatan pembangunan masyarakat yang digunakan. Berdasarkan fenomena tersebut, sesuai dengan pendapat Nasikun (Leibo, 1995: 111) mengenai perlunya suatu taktik pembangunan berparadigma ganda, yaitu suatu integrasi atau sintesis dari banyak sekali taktik pembangunan. Strategi yang diusulkan ini secara teoritik sangat realistik, namun yang dilupakan Nasikun bahwa di Indonesia terdapat pola tani yang heterogen, kondisi agroekologi dan agroklimat, kondisi sosial budaya, dan kearifan lokal yang beraneka ragam.
Dalam rangka pemberlakuan otonomi daerah, maka terjadi pergeseran paradigma kebijaksanaan dan administrasi pembangunan sektoral serta penerapannya. Untuk sektor pertanian, telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan Pemerintah Provinsi sebagai kawasan otonom di bidang pertanian, yang meliputi aspek- aspek kebijakan non teknis kelembagaan dalam pelaksanaannya berikut hirarki yang mempunyai wewenang untuk mengimplementasikan.
Menurut Suradisastra (2000) dalam implementasi otonomi kawasan sesuai dengan penerapan PP No 25/2000, pada sektor pertanian akan terjadi perubahan paradigma yang salah satunya yakni sentralisasi, akan bermetamorfosis desentralisasi dalam konteks pengelolaan wilayah, keuangan, dan proses pengambilan keputusan. Pola pikir dan administrasi berorientasi pusat akan bergeser menjadi pola pikir dan administrasi pengambilan keputusan yang bersifat spesifik wilayah, baik secara teknis dan hemat maupun secara sosiokultural, sehingga proses pengambilan keputusan akan melibatkan seluruh komponen pembangunan termasuk masyarakat adat.
Melibatkan masyarakat budpekerti yang berperan dalam pengolahan sumber daya pertanian tradisional, bisa menghindarkan timbulnya rural exodus syndrome. Strategi pembangunan berparadigma ganda yang diusulkan Nasikun sangat sesuai untuk diterapkan dalam perumusan taktik pembangunan masyarakat desa. Namun demikian taktik tersebut masih perlu disentesiskan lagi menurut keragaman sosial budaya masyarakat setempat. Seluruh komponen pembangunan dituntut untuk menyebarkan suatu sistem komunikasi yang terbuka sehingga sanggup menghindari berkembangnya banyak sekali kelompok dan kepentingan.
Pergeseran paradigma pembangunan sektoral dan kemungkinan pengaruh dari implementasi PP 25/2000, serta penerapan taktik pembangunan berparadigma ganda terhadap pembangunan kawasan otonom, tentu akan mengakibatkan perbedaan persepsi atas misi dan visi pembangunan masyarakat pertanian di pedesaan sehingga dibutuhkan antisipasi semenjak dini.
Sebagai bentuk antisipasi terhadap pengaruh aplikasi taktik pembangunan yang direncanakan dari bawah, perlu dibuat suatu tubuh perwakilan desa sesuai dengan pasal 104 UU No. 22/1999 wacana Pemerintahan Daerah yang anggotanya terdiri dari banyak sekali komponen masyarakat, termasuk masyarakat adat, kelompok kepentingan, dan pegawanegeri pemerintah. Badan Perwakilan Desa ini berfungsi pelopor integrasi dari banyak sekali komponen masyarakat, mengayomi masyarakat adat, menciptakan peraturan desa, menampung, dan menyalurkan banyak sekali aspirasi masyarakat, melaksanakan pengawasan, ikut serta dalam pelaksanaan pembangunan, penyelenggaraan pemerintah desa, serta mengajukan pertimbangan-pertimbangan lain kepada pemerintah kawasan kepada tingkat yang lebih tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat. 1985. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembagunan. Jakarta: Gramedia.
Leibo, J. Sosiologi Pedesaan: Mencari Suatu Strategi Pembangunan Masyarakat Desa Berparadigma Ganda. Yogyakarta: Andi Offset.
Parson, Talcott. A Function Theory of Change. Dalam Eva Etzioni H dan Amitai Etzioni (eds.), Social Change; Surces, Patterns and Consequences. New York: Basic Book Inc.
Pranadji, T. 1999. Dinamika Inovasi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Pertanian 2. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
Pranadji, T. 2000. Desentralisasi dan Pemberdayaan Sosio Budaya Setempat untuk Pencepatan Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Makalah disampaikan dalam Pelatihan Pemahaman Aspek Sosial dan Budaya Masyarakat dalam Perencanaan dan Penerapan Teknologi, Bandung, 28 Februari - 30 April 2000.
Pranadji, T. 2000. Pendekatan Sosio-Budaya dalam Transformasi (pembangunan). Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Perspektif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2001 ke Depan; Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor, 9 - 10 September 2000.
Rusidi, H. 2000. Sosiologi Pedesaan Dalam Pemahaman Aspek Sosial Budaya Masyarakat Bagi Perencanaan dan Penerapan Teknologi. Makalah disampaikan dalam Pelatihan Pemahaman Aspek Sosial Budaya Mayarakat dalam Perencanaan dan Penerapan Teknologi, Bandung, 28 Februari - 30 April 2000.
Scoot, James, C. 2000. Senjatanya Orang-Orang Kalah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Soedjatmoko. 2000. Dimensi Manusia dalam Pembangunan; Pilihan Karangan. Jakarta: LP3ES.
Suradisastra, K. 2000. Implikasi PP No. 25/2000 Terhadap Manajemen Pembangunan Pertanian. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Perspektif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2001, Bogor, 9 - 10 Nopember 2000.

Sumber http://kickfahmi.blogspot.com