Friday, September 14, 2018

√ Rijalud-Da’Wah

رِجَالُ الدَّعْوَةِ
RIJALUD-DA’WAH

Oleh: Ahmad Madany

Jika kita membicarakan salah satu tokoh diantara tokoh ummat yang pernah hidup dalam perjalanan sejarah, kita akan menemukan persamaan antara tokoh yang satu dengan tokoh lainnya. Persamaan itu sanggup kit ambil titik temunya, mereka yaitu orang-orang yang memiliki:
1.Quwwatur-ruh
2.Quwwatul qalb.
Dengan kekuatan ini, berpengaruh pula segala hal lain yang mereka miliki.
Benar apa yang diungkapkan oleh Bisyr Al Khothib yang dikutip oleh Syekh Ahmad Rasyid dalam kitabnya, katanya: “Cukuplah bagimu, engkau melihat orang-orang yang telah mati yang ketika sejarah hidupnya dipelajari hati menjadi hidup, sebagaimana ada pula manusia-manusia yang hidup diantara kita yang dengan melihatnya hati kita menjadi mati”.
Rasulullah saw pernah bersabda dalam sebuah hadits shahih yang banyak dikutip dalam buku-buku sirah, ketika para sahabat menceritakan kepribadian Umar ra, Rasulullah saw bersabda:
إِنَّهُ قَدْ كَانَ فِيمَا مَضَى قَبْلَكُمْ مِنَ الْأُمَمِ مُحَدَّثُونَ وَإِنَّهُ إِنْ كَانَ فِي أُمَّتِي هَذِهِ مِنْهُمْ فَإِنَّهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ (رواه أحمد والبخاري).
“Sesungguhnya pada setiap ummat ada orang yang mendapatkan wangsit (muhaddits). Sesungguhnya jikalau di dalam ummatku ada muhaddits, maka dia yaitu Umar”.
Jika kita membaca sejarah hidup Umar ra, kita akan menemukan bahwa dia yaitu orang yang mempunyai banyak keistimewaan. Salah satunya yaitu wangsit yang dimilikinya. Suatu ketika, ketika dia berdiri di mimbarnya, Allah memperlihatkan kepadanya perjalanan pertempuran antara Sariyyah dan Romawi, dari jarak ratusan, bahkan ribuan mil, Umar memerintahkan: “Wahai Sariyyah, berlindunglah ke balik gunung, berlindunglah ke gunung”. Para sahabat yang mendengar kebingungan, tapi diantara mereka tidak ada yang berprasangka bukan-bukan terhadap Umar. Ketika Sariyyah pulang dari pertempuran dengan membawa kemenangan, mereka bertanya: “Apakah kalian mendengat undangan Umar?”. Kata Sariyyah: “Kami mendengar dan kami mentaatinya”.
Dalam kesempatan lain, dalam kesendiriannya, Umar berkata: “Barang siapa dari keturunanku nanti mempunyai luka di wajahnya, dia akan meramaikan dunia dengan keadilannya”.
Ketika Umar bin Abdul Aziz lahir, di wajahnya tidak ada luka. Tapi ketika ia masih kecil, dia pernah terluka di wajahnya ketika sedang bermain-main.
Ini sekaligus sebagai bukti kebenaran Ilham Umar ra.
Ketika Abdul Aziz bin Marwan (Bapaknya Umar bin Abdul Aziz) melihat hal itu, ia mengatakan: “Kalau engkau yaitu orang yang diungkapkan oleh kakekmu dulu, engkaulah pemakmur dunia ini dengan keadilan”.
Kebenaran ini terbukti kemudian.
Tahun 99 H, Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah. Meskipun ia hanya menjabat sebagai khalifah selama dua tahun lima bulan, namun hasil kekhalifahannya terlihat jelas.
Dalam kitab Hayatush-Shahabah disebutkan, ketika Umar menjadi khalifah, yaitu seorang cowok yang menjadi rakyatnya yang setiap shalat digoda oleh perempuan anggun untuk berbuat serong. Lama kelamaan ia termakan dan melaksanakan perbuatan serong. Ia menyesal dan kemudian meninggal. Ketika Umar tidak melihat cowok ini dalam jama’ah shalat, bertanyalah Umar perihal cowok ini. Diceritakanlah kisah perihal cowok itu. Karena kematiannya berada di daerah orang yang hanya cowok itu dan si wanita, segeralah cowok itu dikuburkan tanpa memberitahu orang lain. Ketika Umar ra mengetahui, ia bertanya: “Mengapa kalian lakukan yang demikian?”. Kemudian Umar ra ingin bicara eksklusif dengan cowok itu. Umar ra kemudian mendatangi kuburan cowok itu.
Dalam sejarah kita menemukan pula insiden serupa dalam diri imam Syafi’i. Beliau yaitu orang yang mendapatkan ilham. Muridnya yang empat: Ar-Rabi’ bin Sulaiman, Al Buwaithi, Al Muzani dan Ibnu Abdil Hakam, sebelum meninggal mengungkapkan kepada murid-muridnya tersebut, kau akan menjadi ini, kau akan menjadi ini dan sebagainya. Semua ucapan imam Syafi’i ini kemudian terbukti kebenarannya.
Pada dasa warsa ini, salah satu tokoh yang insya Allah mendapatkan wangsit yaitu asy-syahid imam Hasan Al Banna rahimahullah.
Kalau kita membaca buku Ikhwanul Muslimin; Ahdats Shana’at-Tarikh, kiat akan melihat bahwa perjalanan awal asy-syahid Sayiid Qutub, kelasnya selevel dengan “Nurcholis group”. Saat itu di Mesir terbit majalah sastra yang menjadi ajang pertemuan 20 sastrawan. Salah satu kubunya yaitu para tokoh anutan sastra bebas yang dikomandani oleh Abbas Mahmud Al Aqqad, dan kubu lainnya yaitu sastrawan muslim yang dikomandani oleh Musthofa Shadiq Ar-Rafi’i. Sayyid Qutub yaitu murid pilihan Al Aqqad. Ketika Musthofa meninggal, Al Aqqad naik, lantaran tidak ada saingan, murid-muridnya diberi rangsangan untuk menulis.
Dalam sebuah surat kabar mingguan, Sayyid Qutub menulis makalah di mana dia menyerukan kepada para perempuan muslimah untuk membuka auratnya, lantaran menutup aurat dianggap olehnya sebagai penghambat kemajuan wanita.
Tulisan ini dibaca oleh Ustadz Abdul Halim Mahmud dan dia menciptakan tanggapan. Tapi sebelum tanggapan ini dimuat di media massa, Ustadz Abdul Halim mendiskusikannya terlebih dahulu dengan Imam Al Banna.
Kata Imam Al Banna: “Saya menyetujui 100 % goresan pena kamu, tapi saya mempunyai perasaan lain perihal orang ini, berilah beberapa pertimbangan:
Pertama: Dia masih muda, dan apa yang ditulisnya bukanlah dari otaknya sendiri, tapi dari lingkungannya.
Kedua: Anak muda biasanya menyenangi sensasi dan mencari musuh, apa yang dilakukan Sayyid Qutub oleh Imam Al Banna dinilai sebagai upaya mencari eksistensi diri.
Ketiga: lantaran dia masih muda, kita masih mempunyai harapan, siapa tahu dia akan menjadi pemikul beban da’wah.
Pertimbangan yang lain, kata Imam Al Banna, dia (Sayyid) menulis di surat kabar yang tidak terlalu populer di Mesir ini. Kalaupun dikenal, makalah atau kolom, umumnya tidak terlalu menarik perhatian orang banyak untuk membacanya, apalagi kalau ditulis oleh seorang pemula yang belum mempunyai nama. Kalau kita menanggapinya, orang-orang yang semula tidak tahu menjadi ingin mengetahuinya, dan orang-orang yang mungkin pernah membaca secara selintas akan mengulang kembali membacanya untuk mengenali muatan goresan pena tersebut. Tujuan anak muda ini menulis yaitu untuk mendapatkan serangan atau tantangan dari khayalak yang dengan serangan itu akan menaikkan dan mengangkat namanya. Imam Al Banna berkata lagi: “Kalau kita bantah goresan pena itu, kita berarti menutup kesempatan diri cowok itu untuk bertobat lantaran orang cenderung untuk membela diri jikalau kesalahannya diluruskan, apalagi bila pelurusan itu dilakukan di depan umum, ia akan membela dirinya mati-matian, meskipun dalam hati kecilnya ia menyadari kesalahan atau kekeliruannya. Dengan demikian, kalau tanggapan itu ita lakukan, berarti kita telah menutup kesempatan bertaubat bagi dirinya”.
Akhirnya Imam Al Banna mengatakan: “Wahai Mahmud, inilah pandanganku perihal orang ini, akan tetapi, kalau engkau tetap ingin mengirimkannya, silahkan saja”.
Ustadz Mahmud oke untuk meninjau kembali planning pengiriman goresan pena itu, sehingga karenanya goresan pena itu tidak jadi dikirim.
Dan pada akhirnya, terbuktilah kebenaran perasaan Imam Al Banna, alasannya yaitu pada final perjalanan hidupnya, Sayyid Qutub menjadi penopang dan pemikul beban da’wah dan iapun bergabung dengan jama’ah ini.
Hal itu merupakan pecahan dari firasat seorang mukmin yang dimiliki oleh Imam Al Banna.
Untuk lebih jelasnya, mari kita ikuti perjalanan dia semenjak kecil hingga dia meninggalkan dunia yang fana ini.
Imam Al Banna dilahirkan sama dengan tahun dilahirkannya Sukarno, yaitu tahun 1906 M, di suatu wilayah yang berjulukan Al Mahmudiyah. Beliau dilahirkan dari keluarga yang gemar kepada ilmu. Ayahnya seorang ulama’ yang berjulukan Asy-Syekh Ahmad bin Abdur-Rahman As-Sa’ati, seorang tukang jam. Meskipun seorang tukang servis jam, namun dia juga seorang ulama’. Diantara karya besarnya yaitu menertibkan kitab hadits musnad Imam Ahmad sesuai dengan urutan tema fiqih, kitab itu diberi nama Al Fathu Ar-Rabbani fi Tartibi Musnadil Imami Ahmad Asy-Syaibani.
Ketika kecil dia mendapatkan pendidikan di Madrasah Ar-Rosyad Ad-Diniyyah yang diasuh oleh Asy-Syekh Az-Zahroni. Disekolah SD itulah dia menghafal Al Qur’an sebanyak setengah Al Qur’an atau kurang lebih 15 juz. Rupanya sekolah ini tidak usang umurnya, lantaran Asy-Syekh Az-Zahrani ditarik oleh departemen pendidikan di sana, dan bubarlah sekolahan itu.
Beliau kemudian melanjutkan sekolahnya di Al I’dadiyyah. Disana dia membagi waktunya menjadi empat bagian: berguru di pagi hari, kemudian sepulang sekolah dia berguru memperbaiki jam hingga sore hari, dan di malam harinya dia mempersiapkan diri untuk sekolah besok paginya, dan pagi harinya sehabis shalat Shubuh, dia menghafalkan Al Qur’an. Dengan kebiasaan inilah dia hampir menamatkan hafalan Al Qur’annya.
Setelah tamat di Al I’dadiyyah, Hasan Al Banna kecil melanjutkan sekolahnya ke Madrasah Al Mu’allimin Al Awwaliyyah di Damanhur. Disana dia tamat menghafalkan Al Qur’an. Madrasah Al Mu’allimin ini yaitu sekolah yang di sini setingkat dengan SPG atau SMU. Setelah itu dia mendapatkan dua peluang belajar, di Al Azhar atau di Darul ‘Ulum. Kalau melanjutkan di Darul ‘Ulum ia akan menjadi guru. Dan kalau di Al Azhar dia bisa melanjutkan dan biasanya menjadi ulama’ besar. Namun dia lebih menentukan Ma’had Darul ‘Ulum kegiatan diploma tiga tahun. Lalu pindahlah dia ke Kairo.
Pada masa mudanya –bahkan semenjak masih duduk di dingklik SD- Hasan Al Banna tertarik kepada salah satu tarekat yang memang tumbuh menjamur pada masa itu. Tarekat yang diminatinya berjulukan tarekat Al Hashafiyyah, yang didirikan oleh seorang ulama’ besar berjulukan Syekh Al Hasanain Al Hashafi, seorang tamatan Al Azhar.
Dalam buku yang ditulis oleh Imam Al Banna; Mudzakkiratud-Da'wahwah Wad-Da'wahiyah, disebutkan, tarekat yang didirikan oleh Syekh Al Hashafi berbeda dengan tarekat-tarekat lain yang ada pada masa itu. Syekh Al Hashafi selalu gemar menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar. Imam Al Banna bercerita perihal Syekh Al Hashafi, meskipun dia belum pernah bertemu eksklusif dengannya. Kata beliau, pada ketika berkunjung kepada Syekh Khudhari Bik, seorang penguasa Mesir, dia memberikan salam yang kemudian dijawab oleh Hudhari Bik dengan isyarat. Dengan berang Al Hashofi mengatakan:
رَدُّ السَّلاَمِ وَاجِبٌ، وَلاَ يَكْفِي بِاْلإِشَارَةِ
Menjawab salam hukumnya wajib dan tidak cukup dengan isyarat.
Akhirnya Khudhari Bik malu sendiri dan menjawab:
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Kemudian ketika dia diundang oleh seorang perdana menteri Mesir bersama ulama’-ulama’ yang lain, dia melihat ulama’-ulama’ tersebut menundukkan kepada kepada perdana menteri lantaran mengikuti seorang ulama’ yang menundukkan kepalanya kepada sang perdana menteri itu. Ketika melihat hal itu syekh Al Hashafi memukul dan berkata kepada para ulama’ itu:
يَا هَذَا! اَلرُّكُوْعُ للهِ فَقَطْ، وَلاَ يَحِلُّ الرُّكُوْعُ لِلنَّاسِ!
Wahai orang ini! Ruku’ itu hanya untuk Allah semata, dan tidak halal ruku’ kepada manusia!
Inilah diantara kisah kepribadian Syekh Hasanain Al Hashafi yang menciptakan Hasan Al Banna tertarik kepadanya dan ingin berafiliasi lebih jauh dengan tarekat yang didirikannya.
Beliau mengikuti tarekat Al Hashafiyah semasa dipimpin oleh putra Syekh Hasanain Al Hashafi, namanya syekh Abdul Wahhab bin Hasanain Al Hashafi.
Diceritakan oleh Imam Al Banna bahwa syekh Abdul Wahhab tidak sekeras dan setegas bapaknya. Namun dia orang bersih, lurus dan dikenal sebagai hebat suluk, yaitu orang yang ibadahnya tidak diragukan lagi.
Beliau juga bisa dikatakan sebagai orang yang mulham.
Suatu ketika dia bersama seorang sahabatnya yang berjulukan Ahmad Affandi As-Sakari bertemu dengan syekh Abdul Wahhab, dia menyampaikan kepada keduanya:
أَنَّنِيْ أَتَوَسَّمُ أَنَّ اللهَ سَيَجْمَعُ عَلَيْكُمُ الْقُلُوْبَ وَيَنْضَمُّ عَلَيْكُمْ كَثِيْرًا مِنَ النَّاسِ، فَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ سَيَسْأَلُكُمْ عَنْ أَوْقَاتِ هَؤُلاَءِ الَّذِيْنَ سَيَجْتَمِعُوْنَ عَلَيْكُمْ، أَفَدْتُمُوْهُمْ فِيْهَا، وَيَكُوْنُ لَهُمْ الثَّوَابُ، وَلَكُمْ مِثْلُهُمْ، أَمْ اِنْصَرَفَتْ هَبَاءً فَيُؤَاخَذُوْنَ وَتُؤَاخَذُوْنَ.
Aku melihat dari wajah kalian bahwa Allah swt akan menghimpun hati insan kepada kalian dan Allah akan menyatukan mereka kepada kalian. Dan ketahuilah bahwa Allah swt akan bertanya kepada kalian atas waktu mereka yang berkumpul kepada kalian itu, apakah kalian memberikan kepada mereka manfaat dan tentunya mereka akan mendapat pahala dan demikian pula kalian, atau waktu mereka itu hilang percuma, maka mereka akan dimintai pertanggung tanggapan dan demikian pula kalian.
Inilah yang diungkapkan oleh Syekh Abdul Wahhab kepada Hasan Al Banna dan Ahmad Affandi As-Sakari.
Dari pengalamannya di tarekat inilah dia mulai berorganisasi dengan membentuk satu organisasi yang diberi nama Jam’iyyah Al Khairiyyah Al Hashafiyyah. Dalam organisasi ini yang menjadi ketuanya yaitu Ahmad Affandi As-Sakari –yang nantinya dalam jama’ah Ikhwanul Muslimin dia menjadi wakil- dan yang menjadi sekretarisnya yaitu Hasan Al Banna.
Aktifitas organisasi ini ada dua:
1. Menyebarkan da'wah kepada akhlaq yang mulia dan memerangi banyak sekali kemunkaran dan hal-hal yang diharamkan dan tersebar luas di masyarakat, seperti: jodi, minuman keras, dan bid’ah-bid’ah yang ada pada perayaan-perayaan.
2. Menghadapi propaganda missi Zending Nasrani yang ada di Mesir pada waktu itu.
Dalam buku Mudzakkirotud-Da'wah Wad-Da'iyah Imam Al Banna menceritakan, beberapa kantor IM berdampingan dengan kantor-kantor missi kristenisasi.
Dan kita lihat pula dalam kitab fi qafilatil Ikhwan Al Muslimin yang ditulis oleh Ustadz Abbas As-Sisi, foto-foto yang ada dalam buku tersebut menggambarkan betapa jama’ah ini mempunyai toleransi dengan orang-orang palangis itu. Hasan Al Hudhaibi, mursyid ‘aam kedua misalnya, dalam foto-foto itu bergambar berdampingan dengan pembesar Nasrani Qibti. Hal itu menunjukan bahwa jama’ah ini semenjak pertama tidak melupakan tugas sosialnya kepada orang Nasrani yang merupakan pecahan dari ummat manusia.
Setelah dia selesai dari Mu’allimin Al Awwaliyyah dan sehabis dia menentukan Darul ‘Ulum sebagai sekolah kelanjutannya, dia terpaksa harus berpisah dengan keluarga dan sahabat yang dicintainya. Disana, di Kairo, dia hidup sendirian dan tidak mengandalkan kiriman wesel dari orang tuanya, dia benar-benar mandiri. Karena kemandiriannya ini, dia menjadi sangat sibuk, sampai-sampai ketika menjelang ujian masuk Darul ‘Ulum dia tidak sempat belajar.
Dalam kitab Ahdats Shana’at-Tarikh Imam Al Banna bercerita: Di malam ujian itu dia melaksanakan shalat tahajjud menyerupai biasanya, dan memohon serta mengadu kepada Allah swt. Dalam do’anya dia berkata: “Ya Allah! Sesungguhnya Engkau tahu betapa rindunya diriku kepada ilmu dan betapa cintaku kepada-Mu, tapi Engkau juga tahu betapa sibuknya diriku dalam mencari ma’isyah untuk mempertahankan hidup di kota ini, berilah jalan keluar bagiku”.
Beliau karenanya tertidur malam itu dan bermimpi kedatangan seseorang yang membawa buku dan membuka-buka buku itu dan dia turut membuka dan membacanya. Ketika ujian tiba, ternyata apa yang dia baca dalam mimpi itulah yang diujikan esok harinya.
Beliau lulus dan mendapatkan nilai istimewa. Ini juga salah satu tanda bahwa dia termasuk seorang yang Muhaddats, Mulham lantaran kebersihan dan ketaqwaannya, insya Allah.
Beliau selanjutnya berguru di Darul ‘Ulum dengan lancar. Selain menyayangi Al Qur’an dan As-Sunnah, dia juga menyenangi syi’ir-syi’ir Arab. Setiap mendapatkan syi’ir dia mencatatnya hingga buku-bukunya perihal syi’ir bertumpuk.
Ketika ujian kelulusan dari Darul ‘Ulum, ketika tes lisan, dia bawa buku-buku itu. Salah satu dari dua orang penguji bertanya perihal apa yang dihafalnya dari syi’ir-syi’ir itu. Dia menjawab: “Semuanya saya hafal”. Yang satunya lagi bertanya: “Bait mana yang paling engkau senangi dari syi’ir-syi’ir itu? Al Banna mengatakan: “Bait Syi’ir yang diucapkan oleh Thorfah bin Al ‘Abd, salah seorang penyair di zaman jahiliyyah.
إِذَا الْقَوْمُ قَالُوْا مَنْ فَتَى؟ خِلْتُ أَنَّنِيْ عُنِيْتُ فَلَمْ أَكْسَلْ وَلَمْ أَتَبَلَّدِ
Bila orang bertanya : “Siapa pemuda? Saya membayangkan akulah yang dimaksud, karenanya, saya tidak bermalas-malas dan tidak membodohi diri.
Mendengar tanggapan itu, sang penguji mengatakan: “Wahai anakku, dengan demikian saya nyatakan engkau lulus dari Darul ‘Ulum, dan yang mempunyai tanggapan menyerupai ini hanya engkau dan ustadz Muhammad Abduh. Aku melihat bahwa engkau akan mempunyai masa depan yang gemilang”.
Ada syi’ir lain yang selalu dia kumandangkan, yaitu:
قَدْ رَشَّحُوْكَ لأَمْرٍ لَوْ فَطِنْتَ لَهُ فَارْبَأْ بِنَفْسِكَ أَنْ تَكُوْنَ مَعَ الْهَمَلِ
Orang-orang telah mencalonkan kau untuk suatu urusan, kalau saja kau tahu.
Maka jagalah dirimu jangan hingga engkau termasuk orang-orang yang lalai.
Beliau lulus dari Darul ‘Ulum tahun 1926 M dan eksklusif menentukan mengajar di sebuah SD di Isma’iliyyah. Ketika dia hidup di tengah masyarakat, mulailah dia berkomunikasi dan berbaur dengan masyarakat danmendekati tokoh-tokoh agama.
Pada suatu malam di bulan Ramadhan, dia berkumpul bersama tokoh-tokoh ‘ulama’ di rumah salah seorang ‘ulama’ senior yang berjulukan syekh Yusuf Ad-Dajawiy. Di masa itu, orang-orang sosialid komunis, kapitalis dan palanis telah merajalela dalam perngrusakan ummat, sehingga kemungkarantersebar ke mana-mana. Dalam kesempatan tersebut Hasan Al Banna mengutarakan keresahan hatinya dan meminta para ulama’ itu untuk melaksanakan sesuatu demi amar ma’ruf nahi munkar. Jawaban syekh Yusuf pada waktu itu: “Sesungguhnya Allah swt tidak membebani seseorang yang melebih kemampuannya”.
Mendengar tanggapan menyerupai itu Hasan Al Banna tidak puas, ia kemudian berkata: “Wahai Syekh! Andaikan ucapan ini diucapkan oleh selain anda, mungkin kami bisa menerimanya, tapi bila anda yang mengucapkannya, maka sulit bagi kami untuk menerimanya. Ucapan ini terkesan lebih merupakan pembelaan diri, sementara tidak ada sesuatu-pun yag anda lakukan untuk membendung kemungkaran ini”.
Rupanya ucapan Hasan Al Banna ini menciptakan murka hadirin yang lain. Tapi Al Hamdulillah dia didukung oleh salah seorang hadirin yang berjulukan Syekh Bik Kamil. Hasan Al Banna bekerjsama gres pertama kali bertemu dengan syekh Ahmad Bik Kamil ini, namun lantaran pembelaannya yang sempurna pada waktunya itu –di ketika Al Banna dalam posisi tersudut- menciptakan Al Banna tertarik kepadanya dan berharap sanggup berjumpa kembali dengannya pada masa yang akan datang.
Karena pembicaraan itu terus berkepanjangan, sementara mereka yang hadir juga diundang di majlis yang lain, maka syekh Yusuf mengajak tamu-tamunya untuk pergi. Hasan Al Banna yang bekerjsama tidak diundang untuk kegiatan tersebut, ikut pula bersama mereka. Mereka semua berkunjung ke rumah salah seorang ulama’ yang berjulukan syekh Muhammad Sa’ad.
Di rumah syekh Muhammad Sa’ad, Hasan Al Banna sengaja menentukan daerah duduk persis di sebelah syekh Yusuf yang merupakan ulama’ yang dituakan, supaya perhatian turut pula ditujukan kepadanya. Benar saja, tuan rumah tidak usang kemudian bertanya kepada syekh Yusuf perihal cowok yang ada di sebelahnya, yang tidak lain yaitu Hasan Al Banna, yang ketika itu usianya gres 21 tahun.
Di rumah syekh Sa’ad mereka disuguhi aneka makanan lezat. Melihat semuanya itu, Hasan Al Banna merasa panas dan tidak bahagia hatinya. Beliau kemudian berkata: “Apakah kalian kira Allah swt tidak akan menghisab kalian dengan apa yang kalian perbuatan menyerupai ini? Jika kalian tahu bahwa Islam mempunyai ulama’-ulama’ selain kalian, tolong tunjukkan saya kepada mereka, mungkin saya akan mendapatkan sesuatu dari mereka yang tidak saya dapatkan pada kalian!”
Mendengar ucapan Hasan Al Banna ini, syekh Sa’ad menangis, kemudian ia berkata: “idzan, madza af’al (kalau begitu, apa yang harus saya lakukan?) jawab Al Banna: Masalah ummat ini yaitu duduk perkara yang berat. Sebagaimana mereka menyerang ummat ini dengan tulisan-tulisan, kita hadapi pula tindakan mereka dengan tulisan, kalian yaitu ulama’-ulama’ besar dan mempunyai kekerabatan yang luas. Kumpulkan orang-orang kaya untuk menyokong dana dan kalian para ulama’ menyiapkan tulisan-tulisan untuk menghadapi serangan mereka”.
Mendengar tanggapan Hasan Al Banna, syekh Sa’ad segera memerintahkan menyingkirkan makanan dan minuman, dan kemudian mengambil pena dan kertas. Malam itu juga mereka menginventarisir siapa ulama’ yang harus mereka hubungi untuk menciptakan goresan pena dan siapa orang-orang kaya yang akan mereka mintai pertolongan dananya.
Kelompok ini pada ketika itu agak berseberangan jalan dengan kelompok syekh Rasyid Ridha dan kawan-kawannya. Pada malam itu syekh Sa’ad memerintahkan pula untuk melibatkan syekh Rasyid Ridha dkk. Diantara yang hadir mengatakan: “Bukankah mereka berbeda (tidak sefikrah) dengan kita? Jawab syekh Sa’ad: “Masalah kini ini lebih besar daripada duduk perkara yang kita perselisihkan selama ini, lupakan semua perbedaan itu dan kita cari apa yang kita sepakati”.
Dari pertemuan inilah kemudian berdiri satu jam’iyyah, yaitu: Jam’iyyah Syubbanul Muslimin.
Tidak usang sehabis itu terbitlah majallah Syubbanul Muslimin yang berjulukan Al Fath Al Islami.
Hasan Al Banna sebelumnya, semasa di Kairo, selain belajar, dia juga aktif berda’wah. Ketika di Al Isma’iliyyah, dia kembali melakukannya. Beliau mendatangi kedai-kedai kopi. Da’wah dia begitu indahnya. Meskipun hanya beberapa menit saja, bisa mengundang sempati orang-orang yang kurang terpelajar. Mengenai hal ini semua antum sudah mengetahui.
Suatu ketika datanglah beberapa orang kepada Hasan Al Banna. Mereka berkata: “Wahai Ustadz! Kami sudah tidak sabar. Kami hanyalah orang yang tidak mengerti apa-apa, hendak engkau bawa kemana-pun kami, kami akan ikuti. Sekarang, apa yang harus kami lakukan?
Dari pembicaraan-pembicaraan menyerupai ini, kemudian pada bulan Maret 1928 M terjadilah pembai’atan pertama dalam sejarah jama’ah ini. Ada enam orang yang berbai’at, yaitu:
1. Hafizh Abdul Halim.
2. Ahmad Al Hushari.
3. Fuad Ibrahim.
4. Abdur-Rahman Hasbullah.
5. Isma’il Izz, dan
6. Zakkiy Al Maghribi.
Setelah keenam orang ini berbai’at, salah seorang diantaranya bertanya: “Sekarang kita sudah berkumpul, hendak kita namakan apa kelompok kita ini? Apakah kita perlu membentuk organisasi atau klub atau salah satu tarekat atau yang lainnya dan kita mengambil bentuk yang formal?
Hasan Al Banna menjawab: “Sesungguhnya kita tidak termasuk yang ini atau yang itu dan kita tidak terlalu peduli duduk perkara formal menyerupai ini. Hendaknya kita mengakibatkan awal dan dasar pertemuan ini lantaran kesamaan fikrah, perasaan dan kesamaan untuk beramal. Kita bersaudara dalam berkhidmah kepada ummat Islam. Berarti kita yaitu Ikhwanul Muslimin”. Sejak itulah istilah Ikhwanul Muslimin digunakan.
Ada beberapa sisi lain dari kehidupan Hasan Al Banna yang sanggup kita pelajari. Diantaranya yaitu sebagaimana yang diungkapkan oleh Ustadz Abdul Halim Mahmud ketika dia berjumpa dengan seorang ulama’ Al Azhar yang dikenal dengan sebutan Hakimul Islam, yaitu: Syekh Thanthawi Jauhari. Beliau yaitu seorang ulama’ yang berusaha menggabungkan ilmu qauli dengan ilmu kauni, salah seorang ulama’ tafsir, kitab tafsirnya bernama: Al Jawahir. Dalam usianya yang sudah tua, dia rela dipimpin oleh seorang yang masih muda dan hanya sebatas guru SD. Padahal dia yaitu syekh yang dituakan dan ulama’ terkenal.
Kata Ustadz Abdul Halim, ketika dia sedang menulis Arjuzah di kantor Ikhwanul Muslimin, ketika itu dia sedang sendirian, datanglah syekh Thanthawi menjumpainya. Sebelumnya Ustadz Abdul Halim sempat berharap sanggup bertemu eksklusif dengan syekh Thanthawi dan berbicara secara khusus, dan Al Hamdulillah Allah swt mengabulkannya.
Syekh Thanthawi bertanya kepada Ustadz Abdul Halim: “Apa yang sedang engkau tulis? Dijawab oleh ustadz Abdul Halim: “Saya sedang menulis syi’ir yang dipesankan oleh Imam Hasan Al Banna”. Syi’ir itu kemudian dibaca oleh syekh Thanthawi dan dia kemudian meminta ustadz Abdul Halim membacakanya untuknya. Ustadz Abdul Halim yang hanya lulusan teknik dan bukan lulusan syari’ah serta tidak memahami cara membaca syi’ir, kemudian membaca syi’ir itu. Kata syekh Thanthawi: “Bukan begitu cara membaca syi’ir”. Ustadz Abdul Halim bertanya: “Apakah ada pecahan yang keliru saya baca? Jawab syekh Thanthawi: “Tidak, tidak ada satupun pecahan yang keliru, akan tetapi bukan begitu cara membaca syi’ir”. Kemudian syekh Thanthawi menambahkan lagi: “Dulu, di masa jahiliyyah, ada sebuah pasar berjulukan Ukazh, di sana orang-orang jahiliyyah mengambil syi’irnya, seandainya syi’ir itu dibaca dengan cara hafal membacanya, tidak ada daya tariknya, akan tetapi, syi’ir itu harus dibaca sesuai dengan ruhnya”. Maka syekh Thanthawi kemudian mencontohkan cara membacanya dengan demikian indahnya.
Kemudian syekh Thnathawi melanjutkan: “Wahai anakku, insan dalam hidup ini membutuhkan riyadhah (latihan), sebagaimana fisik itu harus dilatih, ruh itupun harus dilatih. Orang-orang yang biasa berlatih akan mempunyai satu tingkat dari orang-orang yang tidak pernah berlatih”. (Di dalam tarekat ada satu tingkatan yang paling tinggi, yaitu Al Kasyf, yaitu kemampuan mengetahui apa-apa yang tidak diketahui oleh orang lain, bi-idznillah, suatu tingkatan bagi orang-orang yang mempunyai tingkat latihan ruhiyyah paling tinggi). Syekh Thanthawi kemudian bertanya: “Adakah orang lain yang kedudukannya lebih tinggi lagi dari Ahlul Al Kasyf wahai anakku! Kata ustadz Abdul Halim: “Saya kira tidak ada wahai syekh!”.
Dijawab oleh Thanthawi: “Tidak wahai anakku”. Abdul Halim bertanya lagi: “Kedudukan mana lagi yang lebih tinggi dari itu?”. Jawab syekh Thanthawi: “Kedudukan yang lebih tinggi dari itu yaitu kedudukan para rijal yang dibuat oleh Allah swt dan dipilih diantara makhluq-Nya, mereka dipilih oleh Allah swt untuk memusnahkan kerusakan, menghilangkan kezhaliman, menghidupkan api keimanan di dalam hati setiap orang, serta membuatkan ukhuwwah diantara orang-orang yang beriman, hingga da’wah ini menjadi berpengaruh dan bisa mengangkat nama Allah di atas bumi dan bisa menghadapi orang-orang zhalim yang menciptakan kerusakan”.
Selanjutnya syekh Thanthawi mengatakan: “Ketahuilah anakku, misi ini, yang Allah pilih mereka untuk mengemban-Nya, menuntut mereka menjadi ahlul hajb, menjadi orang yang tidak nampak kekuatan spiritualnya (tidak bisa jalan di air, tahan dibakar api, dsb) –akan tetapi kedudukan mereka lebih tinggi dari Ahlul Kasyf, mengapa? Sebab, ilmu ahlul kasyf tidak sanggup dipelajari, sedangkan ilmu ahlil hajb sanggup dipelajari dan sanggup berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga final zaman”. Tambah syekh Thanthawi, “termasuk diantara ahlil hajb yaitu para rasul, nabi Musa as (ahlul hajb) kedudukannya lebih tinggi dari nabi Khidhir as (ahlul kasyf), alasannya yaitu nabi Musa as termasuk ulul ‘azmi minar-rasul, hanya lima dari sekian banyak nabi dan rasul yang mendapatkan gelar ini, meskipun di dalam Al Qur’an secara sepintas seolah nabi Khidhir lebih tinggi daripadanya. Demikian pula dengan nabi Sulaiman as, ketika burung pelatuk kecil menemukan kerajaan Bilqis, berkata nabi Sulaiman: “Siapa yang sanggup memindahkan singgasana ratu Bilqis kemari sebelum mereka tiba ke sini? Berkata salah satu jin Ifrith: “Aku bisa memindahkan singgasana itu sebelum engkau bangun dari daerah dudukmu”. Berkatalah seseorang yang diberi ilmu kitab, Asyif namanya: “Aku bisa memindahkan singgasana itu sebelum matamu berkedip”. Meskipun ilmu hebat kitab (ahlul kasyf) itu lebih tinggi dibanding nabi Sulaiman as, akan tetapi kedudukan nabi Sulaiman tetap lebih mulia, alasannya yaitu dia yaitu seorang rasul Allah, sedangkan Asyif tidak”.
Kata syekh Thanthawi: “Diantara ahlul hajb yaitu sahabat-sahabat yang besar, menyerupai Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al Khoththob, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dll. Diantara mereka yang lain yaitu kibarul mushlihin (para reformer besar) yang diantaranya yaitu Hasan Al Banna”.
Bertanya Ustadza Abdul Halim: “Begitukah engkau melihat Hasan Al Banna?”.
Dijawab: “Ya”.
Ditanya lagi: “Bagaimana engkau sanggup mengenalnya?”
Jawab Thanthawi: “Ketika saya mendangar namanya disebut-sebut orang, saya datangi dia dan saya duduk bersamanya, saya tanya dia: “Apa yang engkau da’wahkan?”. Sebagaimana banyak orang yang yang pernah saya jumpai dia menjawab: “Aku menda’wahi orang kepada Al Qur’an”. Maka saya katakan kepadanya: “Masing-masing kelompok mengaku bernisbat kepada Al Qur’an, tidak ada satu kelompokpun di dalam da’wah Islamiyyah ini –termasuk yang sesat sekalipun- kecuali mereka mengatakan: mengajak kepada Al Qur’an. Jawablah pertanyaan saya dengan rinci perihal da’wah yang engkau serukan itu pada setiap aspek kehidupan! Kemudian ia menerangkan da’wahnya dan saya dapati da’wahnya tidak keluar dari kitabullah dan sunnatur-Rasul saw”.
Diceritakan pula, ketika Thanthawi karenanya terkesan dan tertarik serta ingin bergabung dengan Hasan Al Banna, dia bertanya: “Wahai Ustadz! Engkau yaitu ustadz kami, dan ustadz semua orang di Mesir ini, andalah Hakimul Islam, kulihat anda lebih berhak untuk menduduki kepemimpinan di dalam da’wah ini, ini tanganku, saya siap berbai’at kepadamu”. Ketika Hasan Al Banna menjawab sungkan, dijawab oleh Thanthawi: “Tidak, wahai shahibud-da’wah, engkau lebih bisa untuk memikul beban da’wah ini dan engkau lebih pantas, dan ini tanganku”.
Ketika dia bergabung dengan Ikhwanul Muslimin, teman-teman seangkatan dia meledeknya dengan mengatakan: “Anda seorang ulama’ besar dan seorang syekh, mengapa anda mau menjadi kelompok yang dipimpin seorang anak muda dan anda hanya menjadi seorang pemimpin redaksi? Dijawab oleh Thanthawi: “Seandainya anda mengetahui siapa Al Banna, anda akan lebih dahulu bergabung daripada saya, sayang anda tidak mengetahuinya”.
Dari apa yang diungkapkan oleh Ustadz Abdul Halim Mahmud, kita sanggup melihat bahwa Hasan Al Banna yaitu orang yang sanggup secara bersahabat menjalin kekerabatan dengan anggota setiap kelompok masyarakat tanpa membedakan satu dengan lainnya.
Dalam buku ini pula sanggup kita saksikan bagaimana kearifan perilaku Hasan Al Banna ketika menghadapi Thaha Husain, gembong kerusakan di bidang pemikiran yang membuka cakrawala pemikiran sesat di kalangan para pemikir Islam di belahan dunia, ketika ia menerbitkan buku Mustaqbaluts-Tsaqafah fi Mishr (Masa depan budaya Mesir), yang mendapat sanggahan bertubi-tubi dari banyak sekali kelompok yang ada di Mesir. Hasan Al Banna sendiri –karena kesibukannya- tidak mempunyai waktu untuk menanggapinya. Beberapa pengikutnya kemudian mengingatkan dia dan berkata bahwa orang-orang menunggu tanggapan Ikhwanul Muslimin atas buku Thaha Husain itu, lantaran kedudukan Ikhwanul Muslimin ketika itu sudah diperhitungkan di masyarakat. Dijawab oleh Hasan Al Banna bahwa dia sibuk dan tidak sempat membacanya.
Tanpa sepengetahuan Hasan Al Banna, para pengikutnya merencanakan untuk mengadakan semacam bedah buku Thaha Husain itu, dengan dia sebagai pembahasanya. Lima hari sebelum kegiatan berlangsung, diberitahukan kepadanya mengenai hal ini. Hasan Al Banna berkata terpaksa dia membaca buku itu dari rumah ke sekolah dan dari sekolah ke rumah, sementara ia berada di atas treem. Ia membaca buku itu dan memberi garis bawah bagian-bagian yang penting. Sebelum lima hari buku itu sudah selesai dibaca dan sudah pula dihafalnya. Buku itu tebalnya dua ratus halaman lebih.
Bedah buku itu diselenggarakan di kantor Syubbanul Muslimin, yang menjadi moderator yaitu DR. Yahya Ad-Dardiri, sekjen Syubbanul Muslimin dan hadir pada kegiatan bedah buku itu tokoh-tokoh Mesir dari banyak sekali kalangan.
Hasan Al Banna mengkritik buku itu dengan cara yang unik, dia mengatakan: “Saya tidak akan mengkritik buku ini dengan pendapat saya, tapi saya akan mengkritiknya dengan buku ini sendiri”. Kemudian dia mengungkapkan bagian-bagian yang kontradiktif dari buku itu, lengkap dengan letak nomor halamannya, sekian dan sekian.
DR. Yahya Ad-Dardiri kemudian menyetop dan menyampaikan bahwa dirinya telah membaca buku itu, tapi tampaknya dia tidak menemukan apa yang Hasan Al Banna kemukakan, dan dia meminta kepada Hasan Al Banna untuk mengijinkannya mengecek kebenaran kutipan-kutipan Hasan Al Banna eksklusif kepada buku itu. Ternyata terbukti, seluruh yang diungkapkan Hasan Al Banna benar adanya.
Dalam kegiatan bedah buku itu bekerjsama Thaha Husain juga hadir, namun ia berada di daerah yang tersembunyi. Sebelum pulang ia menyampaikan bahwa ia ingin bertemu dan berdialog dengan Hasan Al Banna. Ia memperlihatkan tiga tempat; di rumahnya, di kantornya atau di rumah Hasan Al Banna. Adapun waktunya, ia menyerahkannya kepada Hasan Al Banna. (bayangkan! Seorang mustasyar atau penasehat negara, menyerahkan waktu pertemuannya kepada seorang guru SD!).
Akhirnya terjadilah pertemuan di kantor Thoha Husain. Berkata Thoha Husain: “Seandainya di Mesir ini ada tokoh yang paling besar, andalah orangnya, apa yang anda sampaikan perihal buku saya, demikian baik”. Kata Hasan Al Banna: “Al Hamdulillah, adakah hal-hal yang tidak anda setujui?” dijwab oleh Thoha Husain: “Tidak ada, bahkan saya ingin supaya pembahasan itu ditambah lagi”.
Kemudian Thaha Husain bertanya: “Apakah ada perilaku dan perkataan saya yang tidak anda senangi? Ketahuilah! Selama ini saya berhadapan dengan orang yang tidak mempunyai susila dalam berdebat, ketika mereka menyerang saya, diri saya-pun diserang. Seandainya musuh-musuh saya yaitu orang-orang semulia anda, semenjak awal saya akan menghormati mereka”.
Hasan Al Banna menjawab: “Anda yaitu seseorang yang cukup gembira dengan Barat, akan tetapi sayang, anda tidak bisa membedakan dua hal yang sangat berbeda. Adapun ilmu, itu yaitu sesuatu yang terus berkembang, hari ini kita benar, esok hari bisa jadi kita keliru. Akan tetapi agama, dia yaitu sesuatu yang niscaya dan tidak berubah, jikalau kita mengakibatkan agama sebagai ilmu, sama artinya kita merubah agama itu dari hari ke hari, dan jikalau kita mengakibatkan ilmu sebagai agama, kita berarti telah membunuh hak ilmu itu untuk berkembang, padahal semestinya kita meletakkan keduanya pada tempatnya masing-masing.
Hal yang lain lagi, kalian –para pengagum Barat- lebih mendahulukan akan daripada wahyu, ketika nalar bertabrakan dengan wahyu, kalian mengambil nalar dan membuang wahyu”.
Dalam kesempatan obrolan itu Hasan Al Banna juga mengkritik polemik yang tejadi antar sesama ummat Islam. Beliau menyampaikan kalau seandainya berpolemik ummat Islam mempunyai tenggang rasa sedikit saja, mereka akan bertemu pada satu titik persamaan, akan tetapi sayang, mereka menentukan bersikap menyerupai empat orang buta yang mensifati hewan gajah, yang kata Imam Al Ghozali, masing-masing bersikeras pada pendapatnya yang bekerjsama juz’i. Seandainya mereka mempunyai toleransi sedikit saja, mereka bisa bersepakat dalam menilai gajah tersebut dalam bentuknya yang utuh.
Ustadz Abdul Halim mencatat, semenjak ketika itu Thaha Husain menjadi lebih baik sikapnya. Beliau kemudian menentukan untuk mendalami sastra Arab dan mengurangi kiprahnya dalam menyesatkan ummat.
Adapun kekerabatan Hasan Al Banna dengan para ulama’, ketika syekh Abdul yazid tiba ke Indonesia, dia bercerita: “Di Mesir, ada sebuah kota yang berjulukan Zaqzuq. Ketika Hasan Al Banna hendak melaksanakan kunjungan ke sana, yaitu seorang ulama’ tarekat populer yang mempunyai banyak murid. Ia berupaya menciptakan makar untuk menggagalkan kegiatan kunjungan Hasan Al Banna. Namun lantaran tanggal kedatangan Hasan Al Banna dirahasiakan, hanya sedikit orang yang tahu, ulama’ ini tidak mengetahui persis kapan Hasan Al Banna akan tiba berkunjung. Pada suatu hari, sang ulama’ ini dikejutkan oleh seseorang yang mengetuk pintunya untuk berkunjung. Ulama’ itu bertanya: “Siapa?” dijawab: “Saya, Hasan Al Banna”. Maka terkejutlah dia, dengan ‘terpaksa’ ia menjamu Hasan Al Banna. Hasan Al Banna kemudian berkata kepada sang ulama’ itu: “Adalah satu hal yang tidak pantas bagi saya, ketika saya masuk suatu negeri dengan tidak meminta ijin pada penguasanya”. Sampai ketika ini keturunan ulama’ itu, meskipun tidak bergabung dengan Ikhwanul Muslimin, setiap kali ada kegiatan ikhwan, selalu membantu.
Demikian pula perilaku Hasan Al Banna terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani. Ketika Ikhwanul Muslimin mengirim pasukan ke Paletina, Hasan Al Banna bisa mempergunakan Manthiqul Hal dalam berdialog dengan para penguasa maupun tokoh-tokoh lainnya.
Inilah profil Hasan Al Banna. Kita perlu menggali lebih jauh dan dalam lagi. Dalam sejarah, umumnya memang para tokoh-tokoh utama itulah yang muncul secara mengesankan, sehingga bisa memberi warna perjalanan da’wah.
Di zaman Rasulullah saw misalnya, sepeninggal Rasulullah bisa dibilang tidak ada tokoh sehebat dia yang muncul.
Demikian pula dalam jama’ah ini, yang berdasarkan DR. Al Faruqi, belum ada tokoh sebesar Hasan Al Banna yang muncul, namun kita tetap yakin bahwa :
إِنَّ لِكُلِّ مَرْحَلَةٍ رِجَالُهَا
Sesungguhnya tiap-tiap marhalah itu ada tokohnya.
Pertanyaan kita hari ini:
رِدَّةٌ وَلاَ أَبَا بَكْرٍ لَهَا!
Kalau pada zaman dahulu, ada kemurtadan, dan ada Abu Bakar, sehingga kemurtadan itu sirna.
Sekarang ini ada masyarakat, mana Hasan Al Banna-nya?!!
Sumber http://frequencia89.blogspot.com