Wednesday, September 19, 2018

√ Seruan Jiwa

Permintaan Jiwa

oleh: Saifah

Subuh masih jauh. Kokok ayam pun belum terdengar, namun Fikri sudah menajamkan matanya, di atas sajadah ia bersimpuh. Tangannya menengadah jauh ke langit, menyerupai meminta sesuatu yang sangat ia butuhkan. Pandangannya nanar oleh lantaran matanya berkaca-kaca. Mulutnya terus mengucap doa kepada Tuhannya. Berharap sebuah petunjuk dari istikharah yang senantiasa ia lakukan beberapa hari terakhir ini.

Ya Allah, sesungguhnya Engkau Mengetahui apa yang tidak kuketahui… sungguh hati ini telah pasrah pada ketentuan-Mu dan kuyakin apa yang terjadi padaku yaitu atas kehendak-Mu. Atas apa yang dikala ini kualami, tiada yang sanggup kulakukan selain bertanya kepada-Mu bagaimana baiknya keputusan yang kuambil. Ya Allah, jikalau memang kami berjodoh maka segerakanlah kami. Jika bukan, maka selamatkanlah kami dari fitnah.

Usai mengucap doa, Fikri mengusap wajahnya dengan dua telapak tangannya. Hatinya tak sanggup memilih apakah ia mendapatkan atau tidak undangan seorang akhwat yang sekarang lembaran biodatanya masih tergeletak di meja samping tempat tidurnya. Ia masih mengingat betul wajah bagus dalam foto yang disertakan dalam lembaran itu.

Sepekan kemudian ia didatangi dua orang akhwat di teras masjid. Dengan begitu sopan, dua akhwat tadi memberikan misinya, yakni pesan dari temannya untuk minta dinikahi oleh Fikri. Lugas, namun suatu keganjilan bagi lelaki yang gres menginjak usia 23 itu.

“Sahabat kami, sudah usang menyimpan niatan ini. Baru kali ini sempat tersampaikan, itu pun sesudah mendapat banyak masukan dari orang-orang terdekatnya. Insya Allah, sahabat kami ini orangnya solehah. Biodata lengkapnya bisa dilihat di sini.” Ujar salah seorang dari akhwat itu seraya menyerahkan amplop coklat menyerupai amplop untuk melamar kerja.

“Jika ada yang belum jelas, silakan eksklusif hubungi beliau. Ada nomor kontaknya di situ.” Sambung yang satunya sambil menunjuk amplop tersebut.

Fikri tak sanggup berkata-kata, berfikir pun tak mampu. Ini gres pertama kalinya ada gadis yang minta dinikahi. Terbayang kisah cinta Rasulullah dengan Ibunda Khadijah, yang diawali dengan undangan Ibunda untuk dinikahi Rasulullah. Bagaimanapun, ini pengalaman yang menciptakan tulang lututnya serasa lepas. Ia begitu lemas…

Ketika dua akhwat itu pergi dengan salam yang tegas namun lembut, Fikri masih tak sanggup memijak bumi. Ia berada di luar kesadarannya, dan ingin segera menyentuh air wudhu untuk menenangkan rasa bingungnya. Tangannya lembap lantaran berkeringat dingin, sehingga sebagian amplop itu turut lembap pula.

Sesampainya di asrama pesantren, barulah ia berani membuka amplop itu sesudah selesai sholat Isya. Hal itu ia sesali lantaran alhasil yaitu ia tak sanggup tidur, pikirannya jadi terbayang sosok bagus dalam foto itu, ditambah gosip dalam biodata tersebut yang aduhai memperlihatkan bahwa gadis yang minta dinikahi itu bukanlah akhwat sembarangan. Untuk menerimanya, Fikri malu, apakah ia pantas menjadi pendamping hidup akhwat itu? Namun untuk menolaknya pun, ia tak bisa tergesa-gesa.

Salah satu hal yang membuatnya ragu dan banyak menimbang yaitu kondisi keluarganya di Semarang. Masih ada dua orang adiknya yang masih sekolah, sedangkan orangtuanya bukan termasuk keluarga berada dan mengharap-harap Fikri sebagai anak ketiganya itu sukses. Bisa kuliah hingga ke luar negeri, bisa bekerja enak, hidup mapan dan tidak kesusahan menyerupai orangtuanya. Terbukti doa mereka bisa menciptakan Fikri masih bisa berguru hingga S1 dengan pemberian beasiswa.

Hal lain yang juga amat berat baginya adalah, ia sedang mendaftar untuk mendapat beasiswa ke Madinah. Ia ingin bisa berguru agama di sana, supaya suasananya bisa terasa akrab dengan Rasulullah. Tak terhitung banyaknya doa yang ia panjatkan untuk mendapat beasiswa itu.

Gundahnya terasa menggunung dikala membaca pesan dalam lembar bioadata akhwat berjulukan Sabila itu. Ana tunggu keputusan Akhy paling usang dua pekan sesudah Akhy mendapatkan biodata ana. Jazakallahu khairan.

Sabila. Nama akhwat pemberani itu. Di kampus, termasuk mahasiswa yang aktif di acara kemuslimahan, namun Fikri tak pernah melihatnya. Orangtuanya berada di Magelang dan mempunyai sebuah pesantren yang cukup terkenal. Dia bungsu dari sepuluh bersaudara. Kuliah di Jogja mengambil jurusan kedokteran umum. Cita-citanya yaitu menciptakan sebuah klinik gratis di desa terpencil entah di mana, atau pergi ke Palestina atau tempat konflik lainnya untuk menyumbangkan keahliannya dalam hal medis. Ia pun amat menyukai dunia jurnalistik. Satu hal lagi yang menciptakan Fikri semakin berdebar ketika membacanya, yaitu Sabila sudah mengenal Fikri semenjak pertama kali masuk kuliah. Bagaimana bisa?

Itu yang ingin Fikri ketahui. Maka dengan keberanian yang ia kumpulkan dari banyak doanya berhari-hari, ia mantapkan diri untuk bertanya melalui telepon.
“Ukhti….Sabila?”
“Na’am, siapa ini?”
“Ukhti, ini…Fikri…Hm…” tak sanggup ia menyembunyikan getar-getar kegugupan dalam hatinya. Mendengar bunyi tegas Sabila justru menciptakan tangannya lemas seakan ponsel yang dipegangnya hendak terlepas.
“Oh, iya Akhi..ada apa?”
Deg. Ada apa katanya? Seakan tak ada sesuatu yang pernah terjadi pada mereka. Sempat pula timbul persangkaan, mungkin saja dua orang akhwat yang tiba tempo hari itu hanya mengerjainya? Tapi akhwat menyerupai itu apakah begitu usilnya?
“Halo...?” bunyi imut namun tegas itu menyadarkan Fikri.

“Ermh…begini Ukhti…” Fikri hampir lupa pada apa yang akan ia katakan. Ini gres pertama kalinya ia bekerjasama dengan akhwat untuk maksud yang sifatnya pribadi, yakni perjalanan menuju pernikahan.
“Biodata Ukhti….” Kalimatnya menggantung.
“Ya, ada yang ingin ditanyakan mengenai bioadata ana?” bunyi itu masih juga imut dan tegas, tapi cukup menciptakan Fikri lega. Ia menanyakannya, artinya memang dia sudah tahu perihal hal itu dan dua temannya waktu itu tidak sedang mengerjainya.

“Ada Ukhti. Ada. Apakah…Ukhti sendiri yang membuatnya?”
“Tentu Akhi. Ana sendiri yang menulisnya.”

Gugup lagi. “Anu…anu lho Mbak’e, eh Ukhti…duh piye tho iki?” membisu sejenak. Dalam hati terus mengucap istighfar. “Afwan Mbak, apa Mbak Sabila serius? Masalahe kok Mbak milih kulo? Terus gimana caranya Anti bisa kenal saya?”

Di seberang telepon, bahwasanya Sabila tersenyum. Ia geli mendengar kata-kata Fikri yang bahasanya campur aduk. Kadang memanggil Mbak, Ukhti, Anti. Kadang pakai bahasa Indonesia yang baku, kadang justru pakai bahasa Jawa. Tampak benar kegugupan dalam nada bicaranya.

“Begini Akhi. Ana sering melihat Antum mengisi kajian di kampus. Baik kajian bahasa Arab, atau kajian keislaman lainnya. Menurut Ana, tak semua mahasiswa bisa begitu. Kemudian Ana mencari gosip perihal Antum, Insya Allah shohih, dari guru ngaji Antum. Dari beliau, Ana mengetahui kepribadian Antum, insya Allah sholih.”

“Maksud Mbak Ukhti…guru ngaji ana…Mas Bahri?”
“Beliau mahram ana. Saudara sepersusuan.”

Terlalu tak sanggup mencerna dengan sempurna, Fikri eksklusif mematikan ponselnya tanpa mengucap salam. Ia amat gugup sehingga ia gres sadar ketika ia menempelkan lagi ponsel di telinganya kemudian berbicara lagi.

“Mbak Ukhti….” Tak ada jawaban, Fikri aib sendiri lantaran ponselnya sudah tak lagi tersambung dengan Sabila. Ia cengengesan sendiri. Teringat sebuah pertanyaan yang harus ia temukan jawabnya. Ia kirim pertanyaan itu lewat pesan pendek. Ukhti serius dengan ana? Sedangkan ana bukan dari keluarga terpandang, ana hanya anak perantauan yang miskin bahkan sekolah pun dari beasiswa. Apa Ukhti siap menjalani hidup dengan getir?

Beberapa menit menanti jawaban, akhirnya ponselnya berbunyi. Sebuah pesan pendek tertera dari sebuah nomor baru. Rizki itu minallah Akhi. Bukan lantaran menikah atau tidak menikah dengan Akhi maka saya kaya atau miskin. Tapi Allah yang telah mengatur rizki kita masing-masing, insya Allah takkan tertukar.

Nyess…Lega hatinya, namun semakin membuatnya berat antara mendapatkan atau menolaknya. Madinah telah lebih dulu memanggilnya.

***
Istikharah ke sekiam kalinya, nyaris menciptakan hatinya condong kepada Sabila. Ia sering melihatnya dalam mimpi, dalam balutan busana pengantin dengan senyum merekah. Untuk memantapkan hatinya, ia pun sudah berkonsultasi dengan Mas Bahri, sang guru spiritualnya yang secara tak eksklusif telah menjadi perantaranya.

“Sabila kalau sudah punya keinginan, akan sulit untuk mundur lagi. Sejak mendapat info perihal antum, Sa jadi termotivasi untuk menikah dengan antum. Makanya ana usulkan supaya dia berusaha sendiri, yakni dengan meminta untuk dinikahi.”

“Lalu, dia eksklusif mendapatkan usul itu?”

“Tidak. Dia juga wanita biasa yang punya rasa malu. Tapi ana ceritakan juga bahwa antum itu orangnya susah kalau untuk memulai, dikarenakan telah banyak calon yang ditawarkan tapi sepertinya kurang ngena di hati antum. Gak ngefek. Makanya, Sabila harus mengambil inisiatif, memperlihatkan sengatan listrik biar antum melek.”

Kebingungan Fikri hampir hilang, ia berniat untuk mendapatkan anjuran ijab kabul itu namun sebuah kabar besar hati menghalanginya untuk mengungkapkan niatnya kepada Sabila. Ia resmi mendapat beasiswa ke Madinah. Impiannya semenjak masih Aliyah.

Istikharah penentuan, yang mengantarnya pada pecahnya tangis di malam sunyi. Hatinya merasa condong pada Sabila, tapi Madinah jauh lebih menggigilkan hatinya. Pernikahan memang salah satu impiannya, tapi bisa mencium busuk tanah Daulah Islamiyah pertama lebih menarik minatnya. Sabila memang sholehah, tapi keinginan kuatnya untuk berguru di Madinah melebihi keinginannya untuk menggenapkan separuh diennya.
“Aku resah Mas harus bagaimana…”
Mas Bahri menepuk pundak Fikri, “Sudah istikharah?”
“Tak terhitung Mas. Sebenarnya ana sudah memutuskan untuk mengambil beasiswa itu, tapi ana gak yummy sama Sabila…”
Mas Bahri tersenyum, “Katakan saja, Sabila orang yang kuat.”
***
“Maaf…ana…sebenarnya…punya keinginan yang sama dengan Mbak Ukhti Sabila….tapi…ana mendapat beasiswa ke Madinah Mbak Ukhti Sabila…Afwan… Mungkin ana bukan jodoh anti… Ana akan mengenang perkenalan ini, dan bahwasanya ana ingin kita bisa menikah sesudah ana selesai kuliah nanti. Tapi ana tahu itu gak mungkin, lantaran Mbak Ukhti Sabila kan akhwat yang banyak dicari…jadi kalau Mbak Ukhti Sabila sudah ada yang melamar, baiknya diterima saja. Khawatir kalau menunggu ana, kelamaan…”

Sabila masih mendengar kegugupan Fikri dalam nada bicaranya, sama menyerupai biasa. Namun yang lebih ia dengar dikala ini yaitu justru degup jantungnya sendiri. Kerongkongannya mendadak kering, sulit baginya mengucapkan apapun.
“Mbak Ukhti Sabila….?”
“Berapa lama?”
“Nggak tahu Mbak, mungkin tiga tahun, empat tahun atau lebih, atau bahkan nggak
pulang lagi lantaran ana pengen juga eksklusif mencari jalan menuju Palestina kalau bisa….”
“Sudahlah. Begini saja, antum silakan berangkat. Doa ana menyertai antum. Berat memang bagi ana, tapi ana sangat mendukung keputusan antum. Bila ana berada di posisi antum, ana juga akan mengambil beasiswa itu. Karena bagi ana, ilmu itu sangat penting Akhi… Maka, jangan risaukan ana, tenanglah. Ana juga gak akan menjanjikan apapun untuk setia atau tidak, lantaran ana gak tahu hingga di mana jatah hidup ana. Ana juga gak tahu siapa jodoh ana sebenarnya. Tapi satu hal yang perlu antum tahu, kalau sudah pulang ke Indonesia, harap hubungi ana ya? Itu saja yang ana minta. Bisa kan?”

Kini kerongkongan Fikri yang kering. Berat namun harus ia ucapkan sebuah kata
janji, “Insya Allah Mbak Ukhti Sabila….”
“Kalau begitu, ma’akum najah! Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam….”
Kembali lemas, Fikri hanya termangu menatap lambaian dedaunan di balik jendela kamarnya. Aroma Madinah telah memanggil-manggilnya. Besok ia akan pulang ke Semarang untuk pamit pada keluarganya. Tak usang lagi, ia akan terbang meninggalkan Indonesia, kampung kelahirannya, juga meninggalkan jantung hatinya yang tak menjanjikan kesetiaan namun meminta satu kepastian bahwa Fikri akan menghubunginya sekembalinya dari Madinah.

Apakah itu kata lain dari: “cepatlah pulang dan segera cari aku, lantaran saya akan selalu menunggumu entah kapan kamu datang….”

Fikri tak sanggup memastikan benar atau tidaknya khayalannya itu. Ia tutup jendela ketika langit mulai jingga dan burung-burung terbang kembali ke sarang. Sebentar lagi Maghrib tiba!


3 April 2010
“Mencintaimu tanpa batas waktu….”
Sumber http://frequencia89.blogspot.com