Friday, February 16, 2018

√ Politik Luar Negeri Bebas Aktif Dan Pelaksanaannya

Assalammualaikum, Selamat tiba di Kelas IPS. Disini Ibu Guru akan membahas ihwal pelajaran Sejarah yaitu Tentang “Politik Luar Negeri Bebas Aktif“. Berikut dibawah ini penjelasannya:


 Disini Ibu Guru akan membahas ihwal pelajaran  √ Politik Luar Negeri Bebas Aktif dan Pelaksanaannya


Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yaitu amanat paragraf keempat Preambule Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia harus turut serta dalam mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian infinit dan keadilan sosial.




Makna dari amanat tersebut, pemerintah Indonesia harus turut serta memperjuangkan terbebasnya pranata dunia dari segala macam bentuk kolonialisme. Indonesia juga harus secara aktif mewujudkan tercapainya perdamaian dunia berupa keterlibatan aktifnya dalam penyelesaian konflik di kawasan-kawasan tertentu maupun usaha bagi terciptanya perdamaian dunia.




Untuk mendapat pengetahuan ihwal politik luar negeri Indonesia secara utuh dalam belahan ini akan bahas ihwal landasan politik luar negeri bebas aktif Indonesia dan pelaksanaannya semenjak tahun 1948 hingga masa Reformasi. Selain itu akan dibahas juga tugas aktif Indonesia di panggung dunia/internasional khususnya dalam menjaga perdamaian dunia.





Landasan Ideal dan Konstitusional Politik Luar Negeri Indonesia Bebas Aktif


Politik luar negeri suatu negara lahir ketika negara itu sudah dinyatakan sebagai suatu negara yang berdaulat. Setiap entitas negara yang berdaulat mempunyai kebijakan yang mengatur hubungannya dengan dunia internasional, baik berupa negara maupun komunitas internasional lainnya. Kebijakan tersebut merupakan belahan dari politik luar negeri yang dijalankan negara dan merupakan pencerminan dari kepentingan nasionalnya. Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat juga menjalankan politik luar negeri yang senantiasa berkembang diadaptasi dengan kebutuhan dalam negeri dan perubahan situasi internasional.




Landasan ideal dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yaitu Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dijadikan sebagai pedoman dan pijakan dalam melaksanakan politik luar negeri Indonesia. Mohammad Hatta menyebutnya sebagai salah satu faktor yang membentuk politik luar negeri Indonesia.




Kelima sila yang termuat dalam Pancasila, berisi pedoman dasar bagi pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal dan meliputi seluruh sendi kehidupan manusia. Hatta lebih lanjut mengatakan, bahwa Pancasila merupakan salah satu faktor objektif yang kuat atas politik  luar  negeri Indonesia. Hal ini lantaran Pancasila sebagai falsafah negara mengikat seluruh bangsa Indonesia, sehingga golongan atau partai politik manapun yang berkuasa di Indonesia tidak sanggup menjalankan suatu politik negara yang menyimpang dari Pancasila.




Sedangkan landasan konstitusional dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 alinea pertama “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh alasannya itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan lantaran tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan” dan alinea keempat”…. dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial….”.




Tujuan politik luar negeri bebas aktif yaitu untuk mengabdi kepada tujuan nasional bangsa Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat yang menyatakan: “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian infinit dan keadilan sosial….”




Kemudian supaya prinsip bebas aktif sanggup dioperasionalisasikan dalam politik luar negeri Indonesia, maka setiap periode pemerintahan memutuskan landasan operasional politik luar negeri Indonesia yang senantiasa berubah sesuai dengan kepentingan nasional.


Sejak awal kemerdekaan hingga masa Orde Lama, landasan operasional dari politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif sebagian besar dinyatakan melalui maklumat dan pidato-pidato Presiden Soekarno. Beberapa dikala sesudah kemerdekaan, dikeluarkanlah Maklumat Politik Pemerintah tanggal  1 November 1945 yang isinya adalah; politik tenang dan hidup berdampingan secara damai; tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain; politik bertetangga baik dan kerja sama dengan semua negara di bidang ekonomi, politik dan lain-lain; serta selalu mengacu pada Piagam PBB dalam melaksanakan kekerabatan dengan negara lain.




Selanjutnya pada masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965 landasan operasional politik luar negeri Indonesia yaitu berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 yang terdapat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea pertama, pasal 11 dan pasal 13 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Dasar 1945, Amanat Presiden yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” pada 17 Agustus 1959 atau dikenal sebagai “Manifesto Politik Republik Indonesia”.




Amanat Presiden itu sendiri kemudian dijadikan sebagai Garis Besar Haluan Negara. Berkaitan dengan kebijakan politik luar negeri, Manifesto tersebut memuat tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek, yaitu:




Tudjuan djangka pendek jaitu melandjutkan perdjuangan anti imperialisme ditambah dengan mempertahankan kepribadian Indonesia di tengah- tengah tarikan-tarikan ke kanan dan ke kiri jang kini sedang berlaku kepada negara kita dalam pergolakan dunia menudju kepada suatu imbangan baru. Sementara dalam djangka pandjang di bidang luar negeri, Revolusi Indonesia bertudjuan melenjapkan imperialisme di mana-mana, dan mentjapai dasar-dasar bagi perdamaian dunia jang kekal dan abadi. Menurut Manipol, diplomasi jang sesuai dengan fungsinja sebagai art jang bekerjasama dengan tjara melaksanakannja harus tidak mengenal kompromi, harus radikal dan revolusioner.




(Panitia Penulisan Sedjarah Departemen Luar Negeri, 1971. Jakarta: Deplu, 1971, hlm.259)




Tujuan jangka pendek dan jangka panjang tidak terlepas dari sejarah Indonesia, sebagai bangsa yang pernah mengalami penjajahan. Walaupun Indonesia sudah merdeka, usaha untuk melenyapkan imperialisme belum berakhir, alasannya negara-negara yang dianggap imperialis dan kolonialis (Barat), masih ada dan berusaha menanamkan pengaruhnya. Indonesia berusaha pula menghindari dari keberpihakan pada dua blok yang bersengketa dan masuk menjadi anggota Non Blok.




Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik/Manipol Indonesia berdasarkan pada amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960 yang populer dengan nama “Djalanja Revolusi Kita”, yang memutuskan penegasan mengenai cara-cara pelaksanaan Manipol di bidang politik luar negeri. Politik luar negeri Indonesia tidak netral, tidak menjadi penonton dan tidak tanpa prinsip. Politik bebas tidak sekedar “cuci tangan”, tidak sekedar defensif, tapi aktif dan berprinsip serta berpendirian.




Manipol, Djarek (Djalanja Revolusi Kita), merupakan embrio kelahiran serta iktikad baru, yaitu dunia tidak terbagi dalam Blok Barat, Blok Timur dan Blok Asia Afrika/Blok ketiga. Akan tetapi dunia terbagi menjadi dua Blok yang saling bertentangan yaitu New Emerging Forces/Nefos dan Old Established Forces/Oldefos.




Nefos merupakan kekuatan-kekuatan gres yang sedang bangkit. Sementara Oldefos merupakan kekuatan-kekuatan usang yang sudah mapan. Doktrin Nefos dan Oldefos menjadi dasar politik luar negeri anti imperialis dan kolonialis yang lebih militan. Soekarno mewujudkan gagasan Nefos dan Oldefos itu dengan suatu taktik diplomasi yang berangasan dan konfrontatif dengan negara-negara Barat.




Pada masa Orde Baru, landasan operasional politik luar negeri Indonesia kemudian semakin dipertegas dengan beberapa peraturan formal, di antaranya yaitu Ketetapan MPRS No. XII/ MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 ihwal penegasan kembali landasan kecerdikan politik luar negeri Indonesia. TAP MPRS ini menyatakan bahwa sifat politik luar negeri Indonesia adalah:



  • Bebas aktif, anti-imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk manifestasinya dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

  • Mengabdi kepada kepentingan nasional dan amanat  penderitaan.




Selanjutnya landasan operasional kebijakan politik luar negeri RI dipertegas lagi dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 ihwal Garis-Garis Besar Haluan Negara tanggal 22 Maret 1973, yang berisi:



  • Terus melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif dengan mengabdikannya kepada kepentingan nasional, khususnya pembangunan ekonomi;

  • Mengambil langkah-langkah untuk memantapkan stabilitas wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat Daya, sehingga memungkinkan negara- negara di wilayah ini bisa mengurus masa depannya sendiri melalui pembangunan ketahanan nasional masing-masing, serta memperkuat wadah dan kerja sama antara negara anggota perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara;

  • Mengembangkan kerja sama untuk maksud-maksud tenang dengan semua negara dan badan-badan internasional dan lebih meningkatkan peranannya dalam membantu bangsa-bangsa yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya tanpa mengorbankan kepentingan dan kedaulatan nasional.




Ketetapan-ketetapan MPR era Orde Baru dijabarkan dalam tumpuan umum pembangunan jangka panjang dan tumpuan umum Pelita dua hingga enam, pada pada dasarnya menyebutkan bahwa dalam bidang politik luar negeri yang bebas  dan aktif diusahakan supaya Indonesia sanggup terus meningkatkan peranannya dalam memperlihatkan sumbangannya untuk turut serta membuat perdamaian dunia yang abadi, adil dan sejahtera.




Namun demikan, menarik untuk dicatat bahwa TAP MPR RI No. IV/MPR/1973 berbeda dengan TAP MPRS tahun 1966. Perbedaan ini seiring dengan pergantian pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, sehingga konsep usaha Indonesia yang selalu didengung- dengungkan oleh Soekarno sebagai anti-kolonialisme dan anti-imperialisme tidak lagi memunculkan dalam TAP MPR tahun 1973 di atas. Selain itu, sosok politik luar negeri Indonesia juga lebih difokuskan pada upaya pembangunan bidang ekonomi dan peningkatan kerja sama dengan dunia internasional.




Selanjutnya TAP MPR RI No. IV/MPR/1978, pelaksanaan politik luar negeri Indonesia juga telah diperluas, yaitu ditujukan untuk kepentingan pembangunan di segala bidang. Realitas ini berbeda dengan TAP-TAP MPR sebelumnya, yang pada umumnya hanya meliputi satu aspek pembangunan saja, yaitu bidang ekonomi. Pada TAP MPR RI No. II/MPR/1983, sasaran politik luar negeri Indonesia dijelaskan secara lebih spesifik dan rinci. Perubahan ini mengambarkan bahwa Indonesia sudah mulai mengikuti dinamika politik internasional yang berkembang dikala itu.




Pasca-Orde Baru atau dikenal dengan periode Reformasi yang dimulai dari masa pemerintahan B.J. Habibie hingga pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono secara substansif landasan operasional politik luar negeri Indonesia sanggup dilihat melalui: ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tanggal 19 Oktober 1999 ihwal Garis-Garis Besar  Haluan  Negara  (GBHN)  dalam rangka mewujudkan tujuan nasional periode 1999-2004.




GBHN ini menekankan pada faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya krisis ekonomi dan krisis nasional pada 1997, yang kemudian sanggup mengancam integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di antaranya adanya ketidakseimbangan dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi yang demokratis dan berkeadilan. Oleh lantaran itu, GBHN juga menekankan perlunya upaya reformasi di aneka macam bidang, khususnya memberantas segala bentuk penyelewengan menyerupai korupsi, kolusi, dan nepotisme serta kejahatan ekonomi dan penyalahgunaan kekuasaan.




Selanjutnya ketetapan ini juga memutuskan sasaran-sasaran yang harus dicapai dalam pelaksanaan politik dan kekerabatan luar negeri, yaitu:



  • menegaskan kembali pelaksanaan politik bebas dan aktif menuju pencapaian tujuan nasional;

  • ikut serta di dalam perjanjian internasional dan peningkatan kerja sama untuk kepentingan rakyat Indonesia;

  • memperbaiki performa, penampilan diplomat Indonesia dalam rangka suksesnya pelaksanaan diplomasi pro-aktif di semua bidang;

  • meningkatkan kualitas diplomasi dalam rangka mencapai pemulihan ekonomi yang cepat melalui intensifikasi kerja sama regional dan internasional;

  • mengintensifkan kesiapan Indonesia memasuki era perdagangan bebas;

  • memperluas perjanjian ekstradisi dengan negara-negara tetangga;

  • mengintensifkan kerja sama dengan negara-negara tetangga dalam kerangka ASEAN dengan tujuan memelihara stabilitas dan kemakmuran di wilayah Asia Tenggara.




Ketetapan MPR di atas, secara terperinci menegaskan arah politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif, berorientasi untuk kepentingan nasional, menitikberatkan pada solidaritas antarnegara berkembang, mendukung usaha kemerdekaan bangsa, menolak segala bentuk penjajahan serta meningkatkan kemandirian bangsa dan kerja sama internasional bagi kesejahteraan rakyat.




Politik Luar Negeri Bebas Aktif dan Pelaksanaannya


Berikut ini terdapat beberapa opolitik luar negeri bebas aktif dan pelaksanaannya, antara lain:




1. Lahirnya Politik Luar Negeri Bebas Aktif


Setelah proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia belum mempunyai rumusan yang terperinci mengenai bentuk politik luar negerinya. Akan tetapi pada masa tersebut politik luar negeri Indonesia sudah mempunyai landasan operasional yang jelas, yaitu hanya mengonsentrasikan diri pada tiga sasaran utama yaitu;



  1. Memperoleh pengukuhan internasional terhadap kemerdekaan RI,

  2. Mempertahankan kemerdekaan RI dari segala usaha Belanda untuk kembali bercokol di Indonesia,

  3. Mengusahakan serangkaian diplomasi untuk penyelesaian sengketa Indonesia-Belanda melalui perundingan dan fasilitas kepentingan, dengan menggunakan proteksi negara ketiga dalam bentuk good offices ataupun mediasi dan juga menggunakan jalur Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).


Sesuai dengan sasaran utama kebijakan politik luar negeri sebagaimana disebut di atas, maka Indonesia harus berusaha memperkuat kekuatan diplomasinya dengan menarik simpati negara-negara lain.




Dalam Perang Dingin yang sedang berkecamuk antara Blok Amerika (Barat) dengan Blok Uni Soviet (Timur) pada masa awal berdirinya negara Indonesia, Indonesia menentukan perilaku tidak memihak kepada salah satu blok yang ada. Hal ini untuk pertama kali diuraikan Syahrir, yang pada waktu    itu menjabat sebagai Perdana Menteri di dalam pidatonya pada Inter Asian Relations Conference di New Delhi pada tanggal 23 Maret–2 April 1947.




Dalam pidatonya tersebut, Syahrir mengajak bangsa-bangsa Asia untuk bersatu atas dasar kepentingan bersama demi tercapainya perdamaian dunia, yang hanya bisa dicapai dengan cara hidup berdampingan secara tenang antarbangsa serta menguatkan ikatan antara bangsa ataupun ras yang ada di dunia. Dengan demikian di dalam Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang memecah belah persatuan, perilaku tidak memihak yaitu perilaku yang paling sempurna untuk membuat perdamaian dunia atau paling tidak meredakan Perang Dingin tersebut.




Keinginan Indonesia pada awal kemerdekaannya untuk tidak memihak dalam Perang Dingin tersebut selain untuk meredakan ketegangan yang ada juga dilatarbelakangi oleh kepentingan nasional Indonesia dikala itu, yaitu mencari dukungan dunia Internasional terhadap usaha kemerdekaannya. Oleh lantaran itu, keterikatan pada salah satu kubu (blok) yang ada belum tentu akan mendatangkan laba bagi usaha kemerdekaannya.




Karena pada waktu itu negara-negara dari Blok Barat (Amerika) masih ragu-ragu untuk mendukung usaha kemerdekaan Indonesia menghadapi Belanda yang juga termasuk salah satu dari Blok Barat. Di lain pihak, para pemimpin Indonesia dikala itu juga masih ragu-ragu dan belum sanggup memastikan apa tujuan bahwasanya dari dukungan-dukungan yang diberikan negara Blok Timur terhadap usaha kemerdekaan Indonesia di lembaga PBB. Selain itu, Indonesia pada dikala itu disibukkan oleh usaha mendapat pengukuhan atas kedaulatannya, sehingga Indonesia harus berkonsentrasi pada duduk kasus tersebut.




Secara resmi politik luar negeri Indonesia gres mendapat bentuknya pada dikala Wapres Mohammad Hatta memperlihatkan keterangannya kepada BP KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) mengenai kedudukan politik Indonesia pada bulan September 1948, pada dikala itu Hatta menyampaikan bahwa:




“………tetapi mestikah kita bangsa Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara kita, harus menentukan antara pro-Rusia atau pro-Amerika. Apakah tidak ada pendirian yang lain yang harus kita ambil dalam mengejar impian kita? Pemerintahan beropini bahwa pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi objek dalam pertarungan politik Internasional, melainkan kita harus menjadi subyek yang berhak menentukan perilaku kita sendiri, berhakmemperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya.” ( Sumber: Sejarah Diplomasi RI dari Masa ke Masa, Deplu, 2004).




Dari pernyataan Mohammad Hatta tersebut terperinci terlihat bahwa Indonesia berkeinginan untuk tidak memihak salah satu blok yang ada pada dikala itu. Bahkan bercita-cita untuk membuat perdamaian dunia yang infinit atau minimal meredakan Perang Dingin yang ada dengan cara dekat dengan semua negara baik di Blok Barat maupun di Blok Timur, lantaran hanya dengan cara demikian impian usaha kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia sanggup dicapai.




Tetapi walaupun Indonesia menentukan untuk tidak memihak kepada salah satu blok yang ada, hal itu tidak berarti Indonesia berniat untuk membuat blok baru. Karena itu berdasarkan Hatta, Indonesia juga tidak bersedia mengadakan atau ikut campur dengan suatu blok ketiga yang dimaksud untuk mengimbangi kedua blok raksasa itu.




Sikap yang demikian inilah  yang  kemudian  menjadi  dasar  politik  luar negeri Indonesia yang biasa disebut dengan istilah Bebas Aktif, yang artinya dalam menjalankan politik luar negerinya Indonesia tidak  hanya tidak memihak tetapi juga “aktif“ dalam usaha memelihara perdamaian dan meredakan kontradiksi yang ada di antara dua blok tersebut dengan cara “bebas“ mengadakan persahabatan dengan semua negara atas dasar saling menghargai.




Sejak Mohammad Hatta memberikan pidatonya berjudul ”Mendayung Antara Dua Karang” di depan Sidang BP KNIP pada bulan September 1948, Indonesia menganut politik luar negeri bebas-aktif yang dipahami sebagai perilaku dasar Indonesia yang menolak masuk dalam salah satu Blok negara- negara superpower, menentang pembangunan pangkalan militer gila di dalam negeri, serta menolak terlibat dalam pakta pertahanan negara-negara besar. Namun, Indonesia tetap berusaha aktif terlibat dalam setiap upaya meredakan ketegangan di dunia internasional (Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945).




Politik luar negeri RI yang bebas dan aktif itu sanggup diartikan sebagai kecerdikan dan tindakan-tindakan yang diambil atau sengaja tidak diambil oleh Pemerintah dalam hubungannya dengan negara-negara gila atau organisasi-organisasi internasional dan regional yang diarahkan untuk tercapainya tujuan nasional bangsa.




Politik luar negeri bebas aktif inilah yang kemudian menjadi prinsip dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia pada masa pemerintahan selanjutnya. Tentunya pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif ini juga diadaptasi dengan kepentingan dalam negeri serta konstelasi politik internasional pada dikala itu.




2. Politik Luar Negeri Indonesia Masa Demokrasi Parlermenter 1950-1959


Prioritas utama politik luar negeri dan diplomasi Indonesia pasca kemerdekaan hingga tahun 1950an lebih ditujukan untuk menentang segala macam bentuk penjajahan di atas dunia, termasuk juga untuk memperoleh pengukuhan internasional atas proses dekolonisasi yang belum selesai di Indonesia, dan membuat perdamaian dan ketertiban dunia melalui politik bebas aktifnya.




Usaha dekolonisasi yang dilakukan oleh pihak Belanda dan Sekutu membuat Indonesia memperlihatkan perhatian ekstra pada bagaimana mempertahankan kemerdekaan yang telah digapai dan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Indonesia dituntut untuk cerdas dalam menentukan taktik supaya kemerdekaan yang telah diraih tidak sia-sia.




Pada waktu itu Indonesia berusaha keras untuk mendapat pengukuhan dunia internasional dengan cara diplomasi. Keberhasilan Indonesia mendapat pengakuan  dunia  internasional  melalui  meja  perundingan ini menjadi titik tolak dari usaha diplomasi Indonesia mencapai kepentingannya. Betapa pada masa itu, kekuatan diplomasi Indonesia disegani oleh negara-negara lain. Pada kondisi kemampuan militer dan ekonomi yang kurang, Indonesia bisa meraih simpati publik internasional dan berhasil mendapat pengukuhan kedaulatan secara resmi melalui perundingan.




Sejak  pertengahan  tahun  1950-an,  Indonesia  telah   memprakarsai  dan mengambil sejumlah kebijakan luar negeri yang sangat penting dan monumental, menyerupai Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955. Konsep politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif merupakan gambaran dan usaha Indonesia untuk membantu terwujudnya perdamaian dunia.




Salah satu implementasinya yaitu keikutsertaan Indonesia dalam membentuk solidaritas bangsa-bangsa yang gres merdeka dalam lembaga Gerakan Non-Blok (GNB) atau (Non-Aligned Movement/NAM). Forum ini merupakan refleksi atas terbaginya dunia menjadi dua kekuatan besar, yakni Blok Barat (Amerika Serikat ) dan Blok Timur (Uni Soviet). Konsep politik luar negeri yang bebas aktif ini berusaha membantu bangsa-bangsa di dunia yang belum terlepas dari belenggu penjajahan.




3. Politik Luar Negeri Indonesia Masa (Demokrasi Terpimpin)


Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), politik luar negeri Indonesia bersifat high profile, yang diwarnai perilaku anti-imperialisme dan kolonialisme yang tegas dan cenderung bersifat konfrontatif. Pada era itu kepentingan nasional Indonesia yaitu pengukuhan kedaulatan politik dan pembentukan identitas bangsa (national character building).




Kepentingan nasional itu diterjemahkan dalam suatu kebijakan luar negeri yang bertujuan untuk mencari dukungan international terhadap eksistensi Indonesia sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat, sekaligus menunjukan huruf atau identitas bangsa Indonesia pada bangsa-bangsa lain di dunia internasional.




“Onward no retreat” adalah kata-kata yang sering diucapkan dalam beberapa pidato Presiden Soekarno yang memperlihatkan tekad revolusionernya dalam membangun Kekuatan Dunia Baru (new emerging forces). Dalam mempromosikan Indonesia ke dunia internasional Presiden Soekarno juga memperlihatkan bahwa dia mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat yang tercermin dari Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) yang menjadi jiwa bangsa Indonesia, yang diperhitungkan sanggup menjadi satu kekuatan (Nasakom Jiwaku). untuk mengalahkan Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme).




Dari sini sanggup dilihat adanya pergeseran arah politik  luar negeri Indonesia yakni condong ke blok komunis, baik secara domestik maupun internasional. Hal ini dilihat dengan adanya kerja sama politik antara Indonesia dengan China dan bagaimana Presiden Soekarno memberi peluang politik kepada PKI sehingga partai yang pernah menikam usaha bangsa Indonesia pada tahun 1948, menjelma partai terbesar dan paling kuat di Indonesia sekitar tahun 1964-1965. Kebijakan Soekarno itu didasari oleh keinginannya supaya kaum komunis yang merupakan salah satu kekuatan politik bisa berasimilasi dengan revolusi Indonesia dan tidak merasa dianggap sebagai kelompok luar.




Politik luar negeri pada masa Demokrasi Terpimpin juga ditandai dengan usaha keras Presiden Soekarno membuat Indonesia semakin dikenal di dunia internasional melalui bermacam-macam konferensi internasional yang diadakan maupun diikuti Indonesia. Tujuan awal dari dikenalnya Indonesia yaitu mencari dukungan atas usaha dan usaha Indonesia merebut dan mempertahankan Irian Barat.




Namun seiring berjalannya waktu, status dan prestige menjadi faktor-faktor pendorong semakin gencarnya Soekarno melaksanakan acara politik luar negeri ini. Sebagai dampaknya Soekarno banyak meninggalkan masalah-masalah domestik menyerupai duduk kasus ekonomi. Soekarno beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi pada fase awal berdirinya suatu negara yaitu hal yang tidak terlalu penting.




Ia beranggapan bahwa pemusnahan pengaruh- dampak gila baik itu dalam segi politik, ekonomi maupun budaya yaitu hal-hal yang harus diutamakan dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi domestik. Soekarno dengan gencar melancarkan politik luar negeri aktif namun tidak diimbangi dengan kondisi perekonomian dalam negeri yang pada kenyatannya morat-marit akhir inflasi yang terjadi secara terus-menerus, penghasilan negara merosot sedangkan pengeluaran untuk proyek-proyek Politik Mercusuar menyerupai GANEFO (Games of The New Emerging Forces) dan CONEFO ( Conference of The New Emerging Forces) terus membengkak. Hal inilah yang pada akibatnya menjadi salah satu penyebab krisis politik dan ekonomi Indonesia pada masa selesai pemerintahan Demokrasi Terpimpin.




Presiden Soekarno memperkenalkan iktikad politik gres berkaitan dengan perilaku konfrontasi penuhnya terhadap imperialisme dan kolonialisme. Doktrin itu menyampaikan bahwa dunia terbagi dalam dua blok, yaitu “Oldefos” (Old Established Forces) dan “Nefos” (New Emerging Forces). Soekarno menyatakan bahwa ketegangan-ketegangan di dunia pada dasarnya akhir dari kontradiksi antara kekuatan-kekuatan usang (Oldefos) dan kekuatan-kekuatan yang gres bangun atau negara-negara progresif (Nefos). Imperialisme, kolonialisme, dan neokolonialisme merupakan paham-paham yang dibawa dan dijalankan oleh negara-negara kapitalis Barat.




Dalam upayanya menyebarkan Nefos, Presiden Soekarno melaksanakan Politik Mercusuar bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang bisa menerangi jalan bagi Nefos di seluruh dunia. Salah satu tindakan usaha penguatan eksistensi Indonesia dan Nefos juga sanggup dilihat dari pembentukan poros Jakarta – Peking yang membuat Indonesia semakin dekat dengan negara- negara sosialis dan komunis menyerupai China.




Faktor dibentuknya poros ini antara lain, pertama, lantaran konfrontasi dengan Malaysia menjadikan Indonesia membutuhkan proteksi militer dan logistik, mengingat Malaysia mendapat dukungan penuh dari Inggris, Indonesia pun harus mencari mitra negara besar yang mau mendukungnya dan bukan sekutu Inggris, salah satunya yaitu China.




Kedua, Indonesia perlu mencari negara yang mau membantunya dalam duduk kasus dana dengan persyaratan yang mudah, yakni negara China dan Uni Soviet. Namun sayangnya, menyerupai yang telah dijelaskan sebelumnya, kebijakan-kebijakan luar negeri yang diinisiasi Soekarno untuk Indonesia rupanya kurang memperhatikan sektor domestik.




Ketidaksukaan Presiden Soekarno terhadap imperialisme lantaran dalam kenyataannya, sebagian dari bangsa dan negara Indonesia masih dikuasai Belanda, yakni Irian Barat (sekarang Papua). Setelah jalan diplomasi selalu mengalami kegagalan, maka Soekarno memutuskan akan merebut kembali Irian Barat dengan kekuatan bersenjata. Melihat kesungguhan Indonesia, perilaku Amerika Serikat yang kemudian berubah membantu Indonesia, terutama sesudah Indonesia memperoleh proteksi persenjataan dari Uni Soviet guna mendapat kembali Irian Barat.




Taktik konfrontatif ini kemudian dipakai kembali oleh Soekarno ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia akhir pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap oleh Indonesia sebagai produk Nekolim (Neokolonialisme dan imperialisme). Puncak ketegangan terjadi ketika Malaysia ditetapkan sebagai Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB.




Hal ini menyulut kemarahan Indonesia. Hingga akibatnya pada 15 September 1965 Indonesia menyatakan keluar dari PBB lantaran Soekarno beranggapan bahwa PBB berpihak pada Blok Barat. Mundurnya Indonesia dari PBB berujung pada terhambatnya pembangunan dan modernisasi Indonesia lantaran menjauhnya Indonesia dari pergaulan internasional.




4.  Politik Luar Negeri Indonesia pada Masa Orde Baru


Pada masaawal Orde Baru terjadi perubahan pada tumpuan kekerabatan luar negeri Indonesia dalam segala bidang. Pada masa pemerintahan Soeharto, Indonesia lebih memfokuskan pada pembangunan sektor ekonomi. Pembangunan ekonomi tidak sanggup dilaksanakan secara baik, tanpa adanya stabilitas politik keamanan dalam negeri maupun di tingkat regional.




Pemikiran inilah yang mendasari Presiden Soeharto mengambil beberapa langkah kebijakan politik luar negeri (polugri), yaitu membangun kekerabatan yang baik dengan pihak- pihak Barat dan “good neighbourhood policy” melalui Association South East Asian Nation (ASEAN). Titik berat pembangunan jangka panjang Indonesia dikala itu yaitu pembangunan ekonomi, untuk mencapai struktur ekonomi yang seimbang dan terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, pada dasawarsa kurun yang akan datang.




Tujuan utama politik luar negeri Soeharto pada awal penerapan New Order (tatanan baru) yaitu untuk memobilisasi sumber dana internasional demi membantu rehabilitasi ekonomi negara dan pembangunan, serta untuk menjamin lingkungan regional yang aman yang memudahkan Indonesia untuk berkonsentrasi pada acara domestiknya.




Berikut pernyataan Presiden Soeharto mengenai politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif.




“ Bagi Indonesia, politik luar negerinya yang berprinsip non-Blok tidak identik dengan tidak adanya keterlibatan. Itulah alasannya mengapa Indonesia lebih suka mengatakannya sebagai politik luar negeri yang bebas dan aktif lantaran politik luar negeri kita tidak hampa, mati, atau tidak berjalan. Politik luar negeri Indonesia yaitu bebas di mana Indonesia bebas dari ikatan apapun juga, baik itu dalam secara militer, politik ataupun secara ideologis bahwa Indonesia benar-benar terbebas dari aneka macam duduk kasus atau kejadian dengan tidak adanya dampak dari pihak manapun, baik secara militer, politis, ataupun secara ideologis.”




Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dalam bidang politik luar negeri, kebijakan politik luar negeri Indonesia lebih menaruh perhatian khusus terhadap soal regionalisme. Para pemimpin Indonesia menyadari pentingnya stabilitas regional akan sanggup menjamin keberhasilan rencana pembangunan Indonesia.




Kebijakan luar negeri Indonesia juga mempertahankan persahabatan dengan pihak Barat, memperkenalkan pintu terbuka bagi investor  asing, serta proteksi pinjaman. Presiden Soeharto juga selalu menempatkan posisi Indonesia sebagai pemeran utama dalam pelaksanaan kebijakan luar negerinya tersebut, menyerupai halnya pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.




Beberapa perilaku Indonesia dalam melaksanakan politik luar negerinya antara lain; menghentikan konfrontasi dengan Malaysia. Upaya mengakhiri konfrontasi terhadap Malaysia dilakukan supaya Indonesia mendapat kembali kepercayaan dari Barat dan membangun kembali ekonomi Indonesia melalui investasi dan proteksi dari pihak asing.




Tindakan ini juga dilakukan untuk memperlihatkan pada dunia bahwa Indonesia meninggalkan kebijakan luar negerinya yang agresif. Konfrontasi berakhir sesudah Adam Malik yang pada dikala itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri menandatangani Perjanjian Bangkok pada tanggal 11 Agustus 1966 yang isinya mengakui Malaysia sebagai suatu negara.




Selanjutnya Indonesia juga terlibat aktif membentuk organisasi ASEAN bersama dengan Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina. Indonesia memainkan peranan utama dalam pembentukan organisasi ASEAN. ASEAN merupakan wadah bagi politik luar negeri Indonesia. Kerja sama ASEAN dipandang sebagai belahan terpenting dari kebijakan luar negeri Indonesia.




Ada kesamaan kepentingan nasional antara negara-negara anggota ASEAN, yaitu pembangunan ekonomi dan perilaku nonkomunis. Dengan demikian, stabilitas negara-negara anggota ASEAN bagi kepentingan nasional Indonesia sendiri sangatlah penting. ASEAN dijadikan barometer utama pelaksanaan kerangka politik luar negeri Indonesia. Berbagai kebutuhan masyarakat Indonesia coba difasilitasi dan dicarikan solusinya dalam lembaga regional ini.




Pemerintahan Soeharto mencoba membangun Indonesia sebagai salah satu negara Industri gres di daerah Asia Tenggara, sehingga pernah disejajarkan dengan Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand sebagai macan-macan Asia baru. Di samping itu, politik luar negeri Indonesia dalam lembaga ASEAN, juga untuk membentuk gambaran positif Indonesia sebagai salah satu negara yang paling demokratis dan sangat layak bagi investasi industri.




Presiden Soeharto menggunakan Kerja sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) untuk memproyeksikan posisi kepemimpinan Indonesia. Pada awalnya Indonesia  tidak  setuju  dengan  APEC.  Kekhawatiran  itu  didasarkan   pada ketidakmampuan Indonesia menghadapi liberalisasi perdagangan. Kekhawatiran lainnya yaitu kehadiran APEC sanggup mengikis kerja sama antara negara-negara ASEAN.




Setelah berakhirnya Perang Dingin, Indonesia mengubah pandangannya terhadap APEC. Faktor  pendorongnya  antara  lain yaitu lantaran Indonesia menjadi ketua pertemuan APEC selanjutnya. Keberhasilan Indonesia menjadi ketua pertemuan APEC dan juga keberhasilan menjadi Ketua Gerakan Non Blok X pada tahun 1992, setidaknya memperlihatkan pengukuhan bahwa Indonesia yaitu salah satu pemimpin internasional.




Selain ASEAN, keterlibatan Indonesia dalam membentuk kondisi perekonomian global yang stabil dan kondusif, serta memaksimalkan kepentingan nasional, Indonesia juga masuk sebagai anggota negara-negara produsen atau penghasil minyak dalam OPEC. OPEC menjadi barometer pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia dalam hal stabilitas perekonomian dunia.




Kepemimpinan Soeharto secara umum mempunyai karakteristik yang berbeda dengan pendahulunya. Di paruh pertama kepemimpinannya, dia cenderung adaptif dan low profile. Dan pada paruh terakhir kepemimpinannya, semenjak 1983, Soeharto mengubah gaya kepemimpinannya menjadi high profile.




Gayanya tersebut mempengaruhi pilihan-pilihan politik luar negerinya, yang pada kenyataannya tidak sanggup dilepaskan  dari  kondisi  politik-ekonomi  dan keamanan dalam negeri Indonesia, dengan nilai ingin menyejahterakan bangsa, Soeharto mengambil gaya represif (di dalam negeri) dan akomodatif (di luar negeri).




5. Politik Luar Negeri Indonesia Era Reformasi


Orientasi politik luar negeri Indonesia di awal reformasi masih sangat dipengaruhi oleh kondisi domestik akhir krisis multidimensi dan transisi pemerintahan. Perhatian utama politik luar negeri Indonesia diarahkan pada upaya pemulihan kembali kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia serta memulihkan perekonomian nasional. Politik luar negeri Indonesia dikala itu lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan politik domestik daripada politik internasional.




Pada masa awal reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden B.J. Habibie, pemerintah Habibie disibukkan dengan usaha memperbaiki gambaran Indonesia di kancah internasional yang sempat terpuruk sebagai dampak krisis ekonomi di selesai era Orde Baru dan kerusuhan pasca jajak  pendapat di Timor-Timur. Lewat usaha kerasnya, Presiden Habibie berhasil menarik simpati dari Dana Moneter Internasional/International Monetary Funds (IMF) dan Bank Dunia untuk mencairkan acara proteksi untuk mengatasi krisis ekonomi. Presiden Habibie juga memperlihatkan cara berdemokrasi yang baik dengan menentukan tidak mau dicalonkan lagi menjadi presiden sesudah pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR-RI.




Pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid, kekerabatan RI dengan negara-negara Barat mengalami sedikit duduk kasus sesudah lepasnya Timor- Timur dari NKRI. Presiden Wahid mempunyai impian mengembalikan gambaran Indonesia di mata internasional. Untuk itu dia banyak melaksanakan kunjungan kenegaraan ke luar negeri.




Dalam setiap kunjungan luar negeri yang ekstensif, selama masa pemerintahan yang singkat Presiden Wahid secara konstan mengangkat isu-isu domestik dalam setiap pertemuannya dengan setiap kepala negara yang dikunjunginya. Termasuk dalam hal ini, selain informasi Timor-Timur, yaitu soal integritas tertorial Indonesia menyerupai masalah Aceh, Papua dan informasi perbaikan ekonomi.




Diplomasi di era pemerintahan Abdurahman Wahid dalam konteks kepentingan nasional selain mencari dukungan pemulihan ekonomi, rangkaian kunjungan ke mancanegara diarahkan pula pada upaya-upaya menarik dukungan mengatasi konflik domestik, mempertahankan integritas teritorial Indonesia, dan hal yang tak kalah penting yaitu demokratisasi melalui proses tugas militer supaya kembali ke tugas profesional.




Ancaman terhadap disintegrasi nasional di era Presiden Wahid menjadi kepentingan nasional yang sangat mendesak dan menjadi prioritas. Akan tetapi kebijakan politiknya itu ternyata dinilai oleh beberapa kekuatan politik dalam negeri sebagai kelemahan, terutama dalam menghadapi duduk kasus disintegrasi dan konflik-konflik horizontal yang terjadi di beberapa daerah Indonesia. Faktor- faktor semacam inilah yang menjadi salah satu penyebab pada awal tahun 2001, munculnya desakan dari DPR/MPR-RI supaya Presiden Abdurrakhman Wahid meletakkan jabatan selaku Presiden RI.




Setelah Presiden Abdurahman Wahid turun dari jabatannya, Megawati dilantik menjadi Presiden wanita pertama  di  Indonesia  pada  tanggal 23 Juli 2001. Pada awal pemerintahannya, suasana politik dan keamanan dalam negeri menjadi agak lebih kondusif. Situasi  ekonomi  Indonesia  mulai membaik ditandai dengan nilai tukar rupiah yang stabil.




Belajar dari pemerintahan sebelumnya, Presiden Megawati lebih memerhatikan dan memertimbangkan tugas dewan perwakilan rakyat dalam penentuan kebijakan luar negeri dan diplomasi menyerupai diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Presiden Megawati juga lebih memprioritaskan kunjungannya mendatangi wilayah-wilayah konflik di tanah air seperti, Aceh, Maluku, Irian Jaya, Kalimantan Selatan atau Timor Barat.




Pada era pemerintahan Megawati, disintegrasi nasional masih menjadi bahaya bagi keutuhan teritorial. Selain itu, pada masa pemerintahan Megawati juga terjadi serangkaian ledakan bom di tanah air. Sehingga sanggup dipahami, kalau informasi t3r0risme menjadi perhatian serius bagi pemerintahan Megawati.




Pada Pemilihan Umum tahun 2004 yang merupakan pemilihan presiden secara pribadi oleh masyarakat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih menjadi presiden mengalahkan Megawati. Ia dilantik menjadi presiden Republik Indonesia ke-6 pada 20 Oktober 2004.




Selama era kepemimpinnya, SBY berhasil mengubah gambaran Indonesia  dan menarik banyak investasi gila dengan menjalin aneka macam kerja sama dengan banyak negara pada masa pemerintahannya. Perubahan-perubahan global pun dijadikannya sebagai peluang. Politik luar negeri Indonesia di masa pemerintahan SBY diumpamakan dengan istilah ‘mengarungi lautan bergelombang’, bahkan ‘menjembatani dua karang’. Hal tersebut sanggup dilihat dengan aneka macam inisiatif Indonesia untuk menjembatani pihak-pihak yang sedang bermasalah. Indonesia bekerjasama baik dengan negara manapun sejauh memperlihatkan manfaat bagi Indonesia.




Demikian Penjelasan Pelajaran IPS-Sejarah Tentang Politik Luar Negeri Bebas Aktif dan Pelaksanaannya


Semoga Materi Pada Hari ini Bermanfaat Bagi Siswa-Siswi, Terima Kasih !!!




Baca Artikel Lainnya:




Sumber aciknadzirah.blogspot.com