Assalammualaikum, Selamat tiba di Kelas IPS. Disini Ibu Guru akan membahas perihal pelajaran Sejarah yaitu Tentang “Kerajaan Negara Daha“. Berikut dibawah ini penjelasannya:
Daftar Isi
Sejarah Berdirinya Kerajaan Negara Daha
Riwayat berdirinya Kerajaan Negara Daha sangat bersinggungan dengan sejarah dua kerajaan lain yang menjadi cikal-bakal kemunculan kerajaan bercorak Hindu di Kalimantan Selatan. Dua kerajaan yang menjadi pendahulu Kerajaan Negara Daha tersebut yaitu Kerajaan Nan Sarunai dan Kerajaan Negara Dipa. Kerajaan Nan Sarunai yaitu suatu pemerintahan purba yang diperkirakan sudah eksis semenjak zaman Sebelum Masehi. Bukti arkeologis yang ditemukan menyebutkan bahwa kerajaan ini mulai muncul antara tahun 242-226 Sebelum Masehi dan dikelola oleh orang-orang Suku Dayak Maanyan.
Eksistensi Kerajaan Nan Sarunai bertahan cukup lama. Memasuki kala ke-14, benih-benih keruntuhan kerajaan ini mulai muncul. Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan (Mojokerto, Jawa Timur), berambisi untuk menguasainya. Pada sekitar tahun 1355 Masehi, Hayam Wuruk, penguasa Kerajaan Majapahit waktu itu, memerintahkan panglimanya yang berjulukan Empu Jatmika untuk menaklukkan Kerajaan Nan Sarunai. Akhirnya, Kerajaan Nan Sarunai menjadi kepingan dari kekuasaan imperium Majapahit. Peristiwa ini dikenang oleh para seniman lokal dalam tutur wadian atau puisi ratapan yang dilisankan dalam bahasa Maanyan. Para seniman lokal mengenang keruntuhan Kerajaan Nan Sabunai sebagai kejadian “Usak Jawa” atau “Penyerangan oleh Kerajaan Jawa”. Sedangkan Fridolin Ukur (1977) menyebutnya sebagai “kerajaan orang Dayak Maanyan yang rusak oleh Jawa”.
Empu Jatmika kemudian membangun kerajaan gres di Pulau Hujung Tanah yang merupakan bekas wilayah kekuasaan Kerajaan Nan Sarunai. Kerajaan gres ini diberi nama Kerajaan Negara Dipa. Nama “Dipa” diambil dari bahasa Dayak Maanyan, yakni “dipah ten” yang berarti “kerajaan yang terletak di seberang”. Pemberian nama dengan makna “kerajaan yang terletak di seberang” ini sangat mungkin mengacu pada letak Kerajaan Negara Dipa yang berada di seberang lautan kalau ditempuh dari Kerajaan Majapahit yang berlokasi di Jawa.
Berbeda dengan Kerajaan Nan Sarunai yang eksis hingga ratusan tahun lamanya, Kerajaan Negara Dipa yang mulai berdiri pada tahun 1355 M itu hanya bertahan kurang dari satu kala saja. Keruntuhan Kerajaan Negara Dipa berawal dari kepemimpinan Raden Sekar Sungsang atau yang dikenal juga dengan nama Raden (Maharaja) Sari Kaburangan yang berkuasa semenjak tahun 1448 M. Pada masa inilah Kerajaan Negara Dipa mulai menuai keruntuhannya dan pada karenanya digantikan oleh sebuah kerajaan baru, yaitu Kerajaan Negara Daha.
Sama halnya dengan Kerajaan Nan Sarunai dan Kerajaan Negara Dipa, para sejarawan dan peneliti menggunakan Hikayat Banjar sebagai sumber utama dalam upaya melacak riwayat Kerajaan Negara Daha, yaitu dari dongeng tutur yang termaktub dalam hikayat ini. Sejarah Indonesia pada umumnya dalam menjelaskan suatu negara tradisional sangat bertumpu pada historiografi tradisional, ibarat babad, hikayat, atau dongeng rakyat. Historiografi tradisional mempunyai ciri-ciri yang menonjol dan saling berkaitan, yaitu etnosentrisme, rajasentrisme, dan antroposentrisme. Hikayat Banjar ditulis sepanjang 4.787 baris atau 120 halaman. Informasi yang diperoleh dari Hikayat Banjar ditandai oleh sifat-sifat mistis, legendaris, dan tidak ada unsur waktu dalam urutan ceritanya. Menurut Johannes Jacobus Ras (1968), penulisan Hikayat Banjar terbagi menjadi dua versi. Pertama yaitu versi yang diubah dan disusun pada masa Kesultanan Banjar yang telah memeluk Islam, sedangkan versi kedua yaitu versi dari Kerajaan Negara Dipa (dan Kerajaan Negara Daha) yang memeluk agama Hindu.
Hikayat Banjar meriwayatkan, beralihnya Kerajaan Negara Dipa menjadi Kerajaan Negara Daha terjadi pada masa pemerintahan Raden Sekar Sungsang atau Pangeran (Maharaja) Sari Kaburangan yang berkuasa semenjak tahun 1448 M. Terdapat kejadian yang mewarnai pemerintahan Kerajaan Negara Dipa pada masa sebelum dan hingga Raden Sekar Sungsang dinobatkan menjadi raja. Raja terakhir Kerajaan Negara Dipa ini telah menikahi ibunya sendiri, yaitu Putri (Ratu) Kalungsu. Ratu Kalungsu yaitu pemimpin Kerajaan Negara Dipa sebelum era pemerintahan Raden Sekar Sungsang, yakni pada periode 1436-1448 M.
Kisah perkawinan ibu dan anak itu diceritakan dalam Hikayat Banjar. Dikisahkan, Putri Kalungsu melahirkan seorang anak pria yang diberi nama Raden Sekar Sungsang. Pada suatu hari, ketika sang pangeran berusia enam tahun, Putri Kalungsu sedang menciptakan makanan ringan manis (dalam Hikayat Banjar disebutkan dengan nama juadah) dan Raden Sekar Sungsang sesekali mendekati ibundanya untuk meminta makan. Putri Kalungsu meminta anaknya pergi sejenak sembari menunggu matangnya juadah. Namun, rupanya Raden Sekar Sungsang tidak sanggup lagi menahan seleranya, juadah yang belum matang itu dimakannya. Putri Kalungsu menjadi murka dan kemudian memukul kepala Raden Sekar Sungsang dengan sendok. Akibat kemurkaan sang ibu, Raden Sekar Sungsang melarikan diri dengan kepala yang masih bercucuran darah menuju pelabuhan. Seorang saudagar dari Jawa berjulukan Juragan Balaba melihat Raden Sekar Sungsang yang sedang kalut kemudian mengajaknya untuk ikut berlayar ke Jawa. Juragan Balaba merasa anak muda yang dilihatnya itu bukan anak sembarangan lantaran dari tubuhnya mengeluarkan cahaya terang.
Sementara itu di istana, Putri Kalungsu memerintahkan pencarian Raden Sekar Sungsang ke seluruh pelosok negeri. Akhirnya diperoleh kabar bahwa perihal sebuah kapal yang berlayar dengan membawa anak kecil, namun belum sanggup dipastikan apakah anak yang dimaksud yaitu Raden Sekar Sungsang atau bukan. Mangkubumi (patih/perdana menteri) Kerajaan Negara Dipa, Lambung Mangkurat, kemudian mengirim empat kapal untuk mengejar kapal itu. Empat kapal milik Kerajaan Negara Dipa itu karenanya tiba di seberang lautan, tepatnya di sebuah tempat yang kini dikenal dengan nama Surabaya (Jawa Timur). Akan tetapi, meskipun Lambung Mangkurat telah mengirim sejumlah penyidik untuk mencari tahu keberadaan Raden Sekar Sungsang, namun keberadaan sang pangeran masih belum sanggup dilacak juga.
Sebenarnya Raden Sungsang ada Surabaya. Ia diangkat anak oleh Juragan Balaba dan menggunakan nama Ki Mas Lelana (Kiai Mas Lalana). Setelah ayah angkatnya meninggal dunia, Ki Mas Lelana tetap tinggal di Surabaya bersama ibu angkatnya. Pada suatu hari, Ki Mas Lelana mengungkapkan keinginannya ingin pergi ke Kerajaan Negara Dipa dengan menumpang kapal Juragan Dampu Awang, teman Juragan Balaba. Pada awalnya, ibu angkat Ki Mas Lelana keberatan. Akan tetapi, lantaran melihat ketetapan hati anak angkatnya, maka kemudian janda Juragan Balaba itu mengizinkan Ki Mas Lelana untuk pergi ke Kerajaan Negara Dipa bersama Juragan Dampu Awang.
Sesampainya di pelabuhan Muara Bahan, Juragan Dampu Awang yang dibantu Ki Mas Lelana mulai berdagang. Kebetulan, Lambung Mangkurat sedang berada di pelabuhan. Lambung Mangkurat sepertinya tertarik pada kecakapan Ki Mas Lelana dan kemudian membujuk Ki Mas Lelana untuk tinggal di istana Kerajaan Negara Dipa (Sahriadi, 2009). Rupa-rupanya, Lambung Mangkurat, yang tidak mengetahui bahwa Ki Mas Lelana bahwasanya yaitu Raden Sekar Sungsang, berniat menjodohkan anak muda itu dengan Ratu Kalungsu yang sudah usang menjanda. Pada waktu itu, Ratu Kalungsu yaitu penguasa Kerajaan Negara Dipa. Ratu Kalungsu (berkuasa pada periode (1436-1448 M) meneruskan tahta suaminya, yakni Raden (Maharaja) Carang Lalean (berkuasa pada kurun 1421-1436 M), lantaran putra mahkota, yaitu Raden Sekar Sungsang, tidak diketahui keberadaannya.
Singkat cerita, karenanya digelarlah pesta perkawinan antara Ki Mas Lelana dengan Ratu Kalungsu. Pada suatu waktu, ketika Ratu Kalungsu sedang membersihkan kepala Ki Mas Lelana, ia melihat tanda bekas luka di kepala suaminya itu. Ratu Kalungsu kemudian bertanya mengapa luka itu bisa terjadi. Mula-mula Ki Mas Lelana menunjukan bahwa ia sendiri pun tidak mengetahuinya. Tetapi ketika istrinya terus-menerus mendesak, karenanya ia menceritakan kisahnya. Ki Mas Lelana berkisah, dikala masih kecil, ia pernah menerima pukulan di kepala dari ibunya hingga terluka. Diceritakan juga oleh Ki Mas Lelana bahwa ia kemudian lari dan beberapa tahun tinggal di Jawa, ikut dengan Juragan Balaba. Alangkah terkejutnya Ratu Kalungsu mendengar dongeng itu. Ki Mas Lelana pun sama terperanjatnya dan memohon ampun serta meminta supaya Ratu Kalungsu membunuhnya. Ratu Kalungsu memutuskan bahwa mereka harus bercerai untuk selama-lamanya. Selain itu, Ratu Kalungsu mengganti nama Ki Mas Lelana atau Raden Sekar Sungsang dengan Raden Sari Kaburangan.
Pada tahun 1448 M, Raden Sari Kaburangan dinobatkan sebagai pemimpin Kerajaan Negara Dipa dan berhak menyandang gelar sebagai Maharaja sebagai simbol penguasa tertinggi. Maharaja Sari Kaburangan berhak menjadi Raja Kerajaan Negara Dipa lantaran ia yaitu putra mahkota yang memang sudah diproyeksikan untuk menduduki tahta Kerajaan Negara Dipa meski kemudian terjadi banyak sekali kejadian yang menggemparkan, yakni dimulai dari hilangnya Raden Sekar Sungsang hingga kejadian pernikahannya dengan ibu kandungnya sendiri.
Setahun sesudah Maharaja Raden Sari Kaburangan berkuasa di Kerajaan Negara Dipa, ia memindahkan kedudukan pusat pemerintahan ke Muara Hulak, atau di tempat yang kini dikenal dengan nama Negara. Sejak tahun 1449 M itulah, Kerajaan Negara Daha resmi berdiri. Dalam Hikayat Banjar dikisahkan bahwa tidak usang sesudah Kerajaan Negara Daha berdiri, Ratu Kalungsu yang masih tinggal di bekas istana Kerajaan Negara Dipa, menghilang secara misterius (muksa) bersama 500 orang pengiringinya. Pada waktu yang hampir bersamaan, sang Mangkubumi, Lambung Mangkurat meninggal dunia. Pengganti Lambung Mangkurat yaitu Aria Taranggana untuk mendampingi Maharaja Sari Kaburangan mengelola pemerintahan Kerajaan Negara Daha.
Tampilnya Maharaja Sari Kaburangan sebagai raja di Kerajaan Negara Daha merupakan kejadian yang menandai pulihnya kembali hegemoni etnis Suku Dayak Maanyan sebagai penguasa di tanah leluhurnya sendiri, sama ibarat yang berlaku pada masa Kerajaan Nan Sarunai dahulu. Di dalam badan Maharaja Sari Kaburangan memang mengalir darah Jawa (dari Majapahit) yang diwarisinya dari kakek buyutnya yakni Pangeran Suryanata (penguasa Kerajaan Negara Dipa pada kurun 1362-1358 M). Namun, darah Jawa itu sudah semakin memudar lantaran Maharaja Sari Kaburangan merupakan generasi ke-4 alias buyut. Ini berarti, secara genetik, darah yang mengalir di dalam tubuhnya didominasi oleh darah Suku Dayak Maanyan.
Baik Kerajaan Negara Dipa maupun Kerajaan Negara Daha, masih mempunyai koleksi barang-barang atau pusaka yang berasal dari Kerajaan Majapahit. Anton Abraham Cense (1928) dalam penelitiannya bertajuk De Kroniek van Bandjarmasin menyebutkan beberapa jenis pusaka tersebut, antara lain mahkota kerajaan, gamelan yang berjulukan Larasati, gong yang berjulukan Rambut Peradah, canang berjulukan Macan Papatuk, tombak berjulukan Panutus, dan keris yang berjulukan Masagirang dan Jokopiturun. Kerajaan Negara Daha juga masih mempunyai pusaka peninggalan Majapahit lainnya, yaitu singgasana, emas, payung kerajaan, keris berjulukan Baru Lembah dan Naga Salira dengan sarungnya yang terbalut dari emas dan gagangnya bertahtakan berlian, sebilah pedang, lima buah tombak, beberapa buah perisai yang terbuat dari emas dan perak, serta seperangkat gamelan dan kain langgundi.
Salah satu peninggalan arkeologis yang berasal dari zaman Kerajaan Negara Daha yaitu inovasi sebuah candi yang kemudian dikenal sebagai Candi Laras. Candi ini terletak di pinggiran Desa Margasari, Kecamatan Candi Laras Selatan, Kabupaten Tapin, Provinsi Kalimantan Selatan. Desa Margasari populer akan wisata sungainya serta masyarakatnya yang berprofesi sebagai perajin anyaman rotan semenjak ratusan tahun. Pada kala ke-14 M, desa ini merupakan gerbang bandar Kerajaan Negara Dipa. Pengujian yang dilakukan terhadap tiang bangunan Candi Laras menghasilkan angka tahun dengan kisaran 1240-1426 M. Selain itu, Candi Agung, prasasti yang ditemukan sebelumnya dan yang diduga sudah ada semenjak zaman Kerajaan Nan Sarunai, juga masih dipakai pada masa Kerajaan Negara Daha.
Era pemerintahan Maharaja Sari Kaburangan berakhir pada tahun 1486 M. Selanjutnya, tahta tertinggi pemerintahan Kerajaan Negara Daha dilanjutkan oleh Raden Paksa yang kemudian menyandang gelar sebagai Maharaja Sukarama. Pada masa pemerintahan raja ke-2 Kerajaan Negara Daha ini, tepatnya pada tahun 1511 M, Kerajaan Negara Daha mendapatkan kedatangan orang-orang Melayu dari Kesultanan Melaka. Orang-orang Melayu Semenanjung tersebut melaksanakan migrasi massal seiring dengan takluknya Kesultanan Melaka oleh bangsa Portugis. Para imigran dari Melaka ini kemudian menetap di tepi kiri dan kanan Sungai Kuin atau di Muara Kuin (Banjarmasin) dan bergabung dengan suku bangsa Melayu lainnya.
Pada selesai era pemerintahan Maharaja Sukarama, terjadi pertikaian di lingkungan internal Kerajaan Negara Daha. Permasalahan dimulai ketika pada tahun 1515 M, Maharaja Sukarama mengeluarkan wasiat semoga kelak kekuasaan tertinggi Kerajaan Negara Daha dilimpahkan kepada cucunya yang berjulukan Pangeran Samudera. Kebijakan ini menerima saingan dari ketiga putra Maharaja Sukarama, yakni Pangeran Aria Mangkubumi, Pangeran Tumenggung (Tomonggong), dan Pangeran Bagalung.
Benih-benih perpecahan mulai tumbuh di kalangan keluarga istana Kerajaan Negara Daha. Ketika Maharaja Sukarama meninggal dunia pada tahun 1525 M, atau sepuluh tahun sesudah dikeluarkannya wasiat yang menunjuk Pangeran Samudera (Cucu Maharaja) sebagai calon raja, terjadilah perselisihan di antara keturunan Maharaja Sukarama. Putra sulung Maharaja Sukarama, yakni Pangeran Aria Mangkubumi, yang merasa dilangkahi oleh keponakannya sendiri (Pangeran Samudera), merasa tidak terima dan kemudian merebut tahta Kerajaan Negara Daha yang bahwasanya bukan menjadi haknya.
Pangeran Samudera yang masih berusia belia diungsikan ke hilir Sungai Barito, tepatnya di Muara Kuin. Pangeran Samudera menerima proteksi dari beberapa kelompok suku bangsa yang bermukim di Muara Kuin, terutama oleh komunitas orang-orang Melayu. Oleh orang-orang Dayak Manyaan, kampung orang-orang Melayu di Muara Kuin itu dengan nama “Banjar Oloh Masih”, yang berarti kampungnya orang Melayu dengan pemimpinnya yang berjulukan Pati Masih. Banjar Oloh Masih lambat-laun disingkat menjadi Banjarmasih hingga karenanya menjadi Banjarmasin hingga sekarang. Namun, pada tahun 1525 M itu, Maharaja Aria Pangeran Mangkubumi tewas dibunuh. Setelah Aria Pangeran Mangkubumi meninggal dunia, Pangeran Tumanggung menobatkan dirinya sebagai raja Kerajaan Negara Daha yang baru.
Sementara itu, Pangeran Samudera, pewaris tahta Kerajaan Negara Daha yang sah, semakin menerima tempat di kalangan orang-orang Melayu yang bermukim di Muara Kuin atau Banjarmasih. Dalam pelarian politiknya, Pangeran Samudera melihat bahwa Banjarmasih merupakan kekuatan potensial untuk mengadakan perlawanan terhadap Kerajaan Negara Daha. Potensi Banjarmasih untuk menentang kekuatan pusat karenanya menerima ratifikasi ketika Pangeran Samudera diangkat menjadi pemimpin oleh kelompok Melayu di daerah itu.
Pengangkatan Pangeran Samudera sebagai pemimpin di Banjarmasih melambangkan terbentuknya kekuatan politik tandingan, perpaduan kultural, dan kelak merupakan embrio bagi kelahiran urang Banjar dan Kesultanan Banjar. Terbentuknya kekuatan politik gres di Banjarmasih bagi Pangeran Samudera merupakan kekuatan tandingan untuk memperoleh haknya sebagai calon raja yang sah di Kerajaan Negara Daha, sedangkan bagi kelompok Melayu, independensi mereka di Banjarmasih menjadi bentuk perlawanan untuk tidak membayar pajak kepada Kerajaan Negara Daha.
Konflik yang terjadi kemudian yaitu perang saudara yang melibatkan kubu Pangeran Tumenggung dengan pihak Raden Samudera. Perang saudara antara keponakan dengan paman ini memakan korban jiwa yang cukup besar. Untuk melawan pasukan Kerajaan Negara Daha yang lebih kuat, Raden Samudera meminta derma dari Kerajaan Demak (kerajaan Islam pertama di Jawa yang menggantikan hegemoni Kerajaan Majapahit) yang dikala itu dipimpin oleh Sultan Trenggono (berkuasa semenjak tahun 1524 M). Sultan Trenggono menyanggupi seruan Pangeran Samudera dengan syarat, Pangeran Samudera harus menggunakan aturan agama Islam di Kerajaan kalau ia berhasil memenangkan perang saudara itu.
Pada tahun 1526 M, Pangeran Samudera berhasil mengalahkan Pangeran Tumenggung dan resmi menjadi penguasa tunggal di bekas wilayah Kerajaan Negara Daha. Kemenangan Raden Samudera menandai berakhirnya riwayat Kerajaan Negara Daha sekaligus menjadi awal dari berdirinya Kesultanan Banjar yang bercorak Islam. Setelah mengalahkan Kerajaan Negara Daha, Pangeran Samudera dinobatkan dirinya sebagai pemimpin Kesultanan Banjar dengan gelar Sultan Suriansyah semenjak tanggal 25 September 1526 M. Pusat pemerintahan Kesultanan Banjar berada di Banjarmasin. Selain itu, Sultan Suriansyah memindahkan penduduk Kerajaan Negara Daha ke Banjarmasin. Inilah masa dimulainya proses kemajemukan di Banjarmasin, di mana masyarakatnya terdiri dari orang-orang dari banyak sekali suku bangsa, yaitu orang-orang Dayak, Melayu, dan Jawa.
Pusat Kerajaan Negara Daha
Kerajaan Negara Daha terletak di tepi sungai Negara dan berjarak 165 km di sebelah utara Kota Banjarmasin, ibukota provinsi Kalimantan Selatan.
Kerajaan Negara Daha merupakan kelanjutan dari Kerajaan Negara Dipa yang dikala itu berkedudukan di Kuripan/Candi Agung, (sekarang kota Amuntai). Pemindahan ibukota dari Kuripan yaitu untuk menghindari bala tragedi lantaran kota itu dianggap sudah kehilangan tuahnya. Pusat pemerintahan dipindah ke arah hilir sungai Negara (sungai Bahan) mengakibatkan nama kerajaan juga berubah sehingga disebut dengan nama yang gres sesuai letak ibukotanya yang ketiga ketika dipindahkan yaitu Kerajaan Negara Daha.
Silsilah Raja Kerajaan Negara Daha
Berikut dibawah ini terdapat beberapa silsilah raja kerajaan negara daha, antara lain:
- Maharaja Sari Kaburangan atau Raden Sakar Sungsang atau Panji Agung Rama Nata atau Ki Mas Lelana (1448-1486 M).
- Maharaja Sukarama atau Raden Paksa (1486-1525 M).
- Maharaja Pangeran Aria Mangkubumi (1525 M).
- Maharaja Pangeran Tumenggung atau Raden Panjang (1525-1526 M).
Sistem Pemerintahan Kerajaan Negara Daha
Kepemimpinan dalam masyarakat tradisional berakar kepada struktur sosial yang tertata berdasarkan kelahiran, kekayaan, dan status. Status seorang pemimpin cenderung berkaitan dengan evaluasi sosial terhadap kehormatan dan citra, sedangkan pembagian atas kelas-kelas sosial bersifat pembagian politik. Dalam struktur politik pemerintahan Kerajaan Negara Daha, raja yaitu titik pusat kekuasaan. Raja Negara Daha sebagai pemegang jabatan tertinggi dalam hierarki kerajaan mempunyai kekuasaan yang sangat besar. Hal ini terlihat dengan terdapatnya atribut-atribut kerajaan, ibarat benda-benda pusaka, gelar, atau mitos-mitos geneologi yang berfungsi untuk mengabsahkan kedudukan raja sebagai penguasa.
Kedudukan raja dalam sistem pemerintahan Kerajaan Negara Daha diwarisi secara bebuyutan sesuai dengan garis geneologi atau kekerabatan. Posisi raja bersifat keramat lantaran dianggap mempunyai kesaktian yang sanggup menambah wewenang. Wewenang raja intinya merupakan salah satu komponen kekuasaan. Kerabat raja berada pada tataran kedudukan tinggi yang juga berhak menguasai rakyat sebagai hambanya. Jika dicermati, wewenang yang dimiliki oleh raja memungkinkan sekali baginya untuk bertindak absolut. Namun, meskipun mempunyai wewenang yang cukup besar, namun belum berarti seorang raja sanggup menguasai seluruh kekuasaan lantaran faktor kekayaan turut memilih kedudukan raja.
Proses suksesi kekuasaan yang berlaku di Kerajaan Negara Daha diterangkan dalam Hikayat Banjar. Ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh kandidat raja atau putra mahkota, yakni:
- pangeran yang dipilih sebagai putra mahkota harus benar-benar keturunan raja dari permaisuri,
- dapat berbuat adil kepada rakyat dan keluarga,
- terbuka untuk mendapatkan saran dan kritik,
- tidak boleh mempunyai sifat iri dan dengki,
- bersedia menuntaskan setiap problem yang ada melalui mufakat.
Apabila putra mahkota dianggap belum remaja untuk menjabat sebagai raja, maka untuk sementara, kendali pemerintahan kerajaan dijalankan oleh sistem perwalian yang terdiri dari kerabat raja. Orang yang biasanya bertindak sebagai pemimpin sementara sembari menunggu putra mahkota dewasa dan dirasa berhak memimpin pemerintahan yaitu Mangkubumi (Patih), jabatan yang setara dengan perdana menteri.
Penobatan seorang putra mahkota menjadi raja dilakukan melalui suatu ritual upacara. Ritual upacara suci yang dianggap sebagai simbol kekuasaan raja ini dikenal sebagai upacara badudusan. Disebutkan bahwa upacara ini dimulai ketika seluruh kerabat sudah berkumpul. Putra mahkota atau calon raja duduk di sebelah bangku kemudian diperciki dengan air suci oleh keluarga yang sedarah dengan raja. Kemudian, air suci itu dibawa ke dalam istana dan ditimbang sebanyak tiga kali. Jika sudah diketahui beratnya, maka calon raja diukur dengan benang emas dan perak. Setelah itu, diadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam. Selanjutnya yaitu hari penobatan putra mahkota sebagai raja, yakni dilakukan pada hari ke delapan. Sebenarnya upacara penobatan raja merupakan salah satu cara untuk mengesahkan kedudukan raja. Upacara badudusan ini mulai diperkenalkan semenjak Putri Junjung Buih dan Maharaja Suryanata diangkat menjadi raja di Kerajaan Negara Dipa pada tahun 1362 M.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Raja Negara Daha sebagai pemimpin tertinggi mendelegasikan kekuasaannya ke bawah melalui jabatan birokrasi. Jabatan birokrasi ini biasanya diemban oleh kerabat raja. Model birokrasi ibarat ini dikenal sebagai model birokrasi patrimonial. Para pelaku dan jabatan sistem pemerintahan yang diterapkan di Kerajaan Negara Daha hampir sama dengan yang berlaku di Kerajaan Negara Dipa pada masa-masa sebelumnya. Raja Negara Dipa sebagai puncak piramida kekuasaan didukung oleh seseorang yang dipercaya sebagai Mangkubumi. Mangkubumi yaitu jabatan yang paling strategis lantaran seorang Mangkubumi mempunyai efek yang sangat besar dalam segala kebijakan yang dikeluarkan oleh raja. Dalam mengelola pemerintahan kerajaan, Mangkubumi memimpin dan mengkoordinasi kiprah pejabat-pejabat kerajaan lainnya, ibarat Panganan, Pangiwa, Mantri Bumi, dan 40 orang Mantri Sikep.
Selain itu, terdapat sejumlah jabatan dan wewenang yang berlaku dalam pemerintahan Kerajaan Negara Daha, yaitu Lelawang (kepala distrik), Sarabraja (koordinator pasukan penjaga keluarga istana), Sarayuda (koordinator pasukan pengawal langsung raja), Singapati (koordinator pasukan Parabawa yang bertugas menjaga keamanan kerajaan, Saradipa (koordinator pasukan penjaga senjata), Puspawana (koordinator pasukan Tuhaburu yang bertugas mengawal raja ketika raja sedang pergi berburu), Rasajiwa (koordinator petugas pembantu istana, Pamayungan (penghias balai), Wargasari (koordinator petugas penyedia makanan kerajaan), Anggaprana (koordinator pujangga istana), Mangkumbara (kepala urusan upacara), Wiramartas (bertugas untuk mengadakan kekerabatan dagang dengan luar negeri, Bujangga (kepala urusan bangunan rumah peribadatan), dan Singabana (bertanggungjawab atas terjaminnya ketenteraman umum).
Wilayah Kekuasaan Kerajaan Negara Daha
Dalam buku Sejarah Banjar suntingan Ideham dan kawan-kawan disebutkan bahwa secara garis besar, keseluruhan wilayah Kerajaan Negara Daha terbagi atas dua bagian, yakni wilayah negara (kraton) dan daerah taklukan. Bagian yang pertama, yakni wilayah negara (kraton) merupakan wilayah unit politik terbesar. Istilah “negara” sendiri mengatakan adanya suatu daerah pemerintah di bawah seorang penguasa tertinggi yang menggunakan gelar kehormatan maharaja di depan namanya dengan pemerintahan yang merdeka. Wilayah negara disebut juga sebagai wilayah inti yang merupakan pusat pemerintahan kerajaan sekaligus berfungsi sebagai ibukota negara.
Pusat pemerintahan Kerajaan Negara Daha terletak di sebuah tempat yang dikenal dengan nama Muara Hulak. Selain itu, kerajaan ini juga mempunyai pelabuhan dan bandar dagang yang terletak di Muara Bahan. Penyebutan “muara” yang terdapat pada Muara Hulak dan Muara Bahan mengatakan bahwa kedua tempat itu akrab dengan daerah perairan. Sejak zaman purba hingga dikala ini, sungai-sungai di Kalimantan Selatan memang berfungsi sebagai tempat konsentrasi permukiman penduduk dan menjadi prasarana lalulintas yang menghubungkan daerah muara dengan daerah perdalaman. Di Kalimantan Selatan, sungai yaitu jantung kehidupan lantaran kehidupan mereka sangat akrab dengan sungai. Antara masyarakat dengan sungai saling berinteraksi, beradaptasi, dan saling mengisi. Bermula dari fakta inilah maka etnis di Kalimantan Selatan, termasuk di dalamnya penduduk Kerajaan Negara Daha, dikenal sebagai suku bangsa yang identik dengan budaya sungai.
Nama Muara Hulak dan Muara Bahan sebagai pusat pemerintahan dan pelabuhan Kerajaan Negara Daha disebutkan dalam Hikayat Banjar. Kemudian Raden Sari Kaburungan dinobatkan menjadi raja. Setahun kemudian raja memindahkan kedudukan negara ke Muara Hulak. Kedudukan gres itu disebut Negara Daha dan hingga kini ini tempat itu masih berjulukan Negara. Di Muara Bahan dibuat sebuah pangkalan (pelabuhan) yang kemudian ramai sekali didatangi para pedagang.”.
Wilayah kekuasaan Kerajaan Negara Daha mencakup daerah-daerah yang sebelumnya menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Negara Dipa, termasuk juga wilayah yang merupakan daerah taklukan. Disebutkan bahwa daerah-daerah yang termasuk ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Negara Dipa dan kemudian beralih menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Negara Daha. Daerah-daerah tersebut antara lain Batang Tabalong, Batang Balangan, Batang Pitap, Batang Alai, Batang Amandit, Batang Emas, Sukadana, Sambas, Batang Lawai, Kotawaringin, Pasir, Kutai, Karasikan, dan Berau. Selain itu, Kerajaan Negara Daha memperluas daerah kekuasaannya dengan menguasai Sewa Agung dan Bunyut. Sedangkan berdasarkan C.A.L.M. Schwaner (1953) dalam karyanya yang berjudul Borneo disebutkan bahwa selama masa pemerintahan Kerajaan Negara Daha, penduduk yang mendiami aliran Sungai Negara dan Sungai Bahan telah mengalami masa kemakmuran.
Peninggalan Kerajaan Negara Daha
Kerajaan Negara Daha masih mempunyai koleksi barang-barang atau pusaka yang berasal dari kerajaan Majapahit, antara lain:
- Mahkota kerajaan
- Gamelan yang berjulukan larasati
- Gong yang berjulukan rambut peradah
- Canang yang berjulukan Macan Papatuk, tombak yang berjulukan pnutos
- Keris yang berjulukan masagirang dan jokopitoron
- Singasanam emas
- Payung kerajaan
- Keris berjulukan gres lembah dan naga salira dengan sarungnya yang berbalut dari emas dan gagangnya berlian
- Sebilah pedang
- Lima buah tombak
- Perisai yang terbuat dari emas dan perak
- Candi laras
Keruntuhan Kerajaan Negara Daha
Pewaris kerajaan yang sah, Pangeran Samudera, niscaya tidak kondusif kalau tetap tinggal dalam Lingkungan kerajaan. Atas derma patihKerajaan Nagara Daha, Pangeran Samudera melarikan diri. Ia menyamar dan hidup di daerah sepi di sekitar muara Sungai Barito. Dari Muara Bahan, bandar utama Nagara Daha, mengikuti aliran sungai hingga ke muara Sungai Barito, terdapat kampung-kampung yang berbanjar-banjar atau berderet-deret melintasi tepi-tepi sungai. Kampung-kampung itu yaitu Balandean, Sarapat, Muhur, Tamban, Kuin, Balitung, dan Banjar.
Di antara kampung-kampung itu, Banjar-lah yang paling anggun letaknya. Kampung Banjar dibuat oleh lima aliran sungai yang muaranya bertemu di Sungai Kuin.
Karena letaknya yang bagus, kampung Banjar kemudian bermetamorfosis bandar, kota perdagangan yang ramai dikunjungi kapal-kapal dagang dari banyak sekali negeri. Bandar itu di bawah kekuasaan seorang patih yang biasa disebut Patih Masih. Bandar itu juga dikenal dengan nama Bandar Masih.
Patih Masih mengetahui bahwa Pangeran Samudera, pemegang hak atas Nagara Daha yang sah, ada di wilayahnya. Kemudian, ia mengajak Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung, dan Patih Kuin untuk berunding. Mereka bersepakat mencari Pangeran Samudera di tempat persembunyiannya untuk dinobatkan menjadi raja, memenuhi wasiat Maharaja Sukarama.
Dengan diangkatnya Pangeran Samudera menjadi raja dan Bandar Masih sebagai pusat kerajaansekaligus bandar perdagangan, semakin terdesaklah kedudukan Pangeran Tumenggung. Apalagi para patih tidak mengakuinya lagi sebagai raja yang sah. Mereka pun tidak rela menyerahkan upeti kepada Pangeran Tumenggung di Nagara Daha.
Pangeran Tumenggung tidak tinggal membisu menghadapi keadaan itu. Tentara dan armada diturunkannya ke Sungai Barito sehingga terjadilah pertempuran besar-besaran. Peperangan berlanjut terus, belum ada kepastian pihak mana yang menang. Patih menyarankan kepada Pangeran Samudera semoga minta derma ke Demak. Konon berdasarkan Patih Masih, dikala itu Demak menjadi penakluk kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa dan menjadi kerajaan terkuat sesudah Majapahit.
Pangeran Samudera pun mengirim Patih Balit ke Demak. Demak sepakat nnemberikan bantuan, asalkan Pangeran Samudera sepakat dengan syarat yang mereka ajukan, yaitu mau memeluk agama Islam. Pangeran Samudera bersedia mendapatkan syarat itu. Kemudian, sebuah armada besar pun pergi menyerang pusat Kerajaan Nagara Daha. Armada besar itu terdiri atas tentara Demak dan sekutunya dari seluruh Kalimantan, yang membantu Pangeran Samudera dan para patih pendukungnya. Kontak senjata pertama terjadi di Sangiang Gantung. Pangeran Tumenggung berhasil dipukul mundur dan bertahan di muara Sungai Amandit dan Alai. Korban berjatuhan di kedua belah pihak. Panji-panji Pangeran Samudera, Tatunggul Wulung Wanara Putih, semakin banyak berkibar di tempat-tempat taklukannya.
Hati Arya Terenggana, Patih Nagara Dipa, sedih melihat demikian banyak korban rakyat jelata dari kedua belah pihak. Ia mengusulkan kepada Pangeran Tumenggung suatu cara untuk mempercepat selesainya peperangan, yakni melalui perang tanding atau duel antara kedua raja yang bertikai. Cara itu diusulkan untuk menghindari semakin banyaknya korban di kedua belah pihak. Pihak yang kalah harus mengakui kedaulatan pihak yang menang. Usul Arya Terenggana ini diterima kedua belah pihak.
Pangeran Tumenggung dan Pangeran Samudera naik sebuah bahtera yang disebut talangkasan. Perahu-perahu itu dikemudikan oleh panglima kedua, belah pihak. Kedua pangeran itu menggunakan pakaian perang serta membawa parang, sumpitan, keris, dan perisai atau telabang.
Mereka saling berhadapan di Sungai Parit Basar. Pangeran Tumenggung dengan nafsu angkaranya ingin membunuh Pangeran Samudera. Sebaliknya, Pangeran Samudera tidak tega berkelahi melawan pamannya. Pangeran Samudera mempersilakan pamannya untuk membunuhnya. Ia rela mati di tangan orang bau tanah yang intinya tetap diakui sebagai pamannya.
Akhirnya, luluh juga hati Pangeran Tumenggung. Kesadarannya muncul. la bisa menatap Pangeran Samudera bukan sebagai musuh, tetapi sebagai keponakannya yang di dalam tubuhnya mengalir darahnya sendiri. Pangeran Tumenggung melemparkan senjatanya. Kemudian, Pangeran Samudera dipeluk. Mereka bertangis-tangisan.
Dengan hati tulus, Pangeran Tumenggung menyerahkan kekuasaan kepada Pangeran Samudera. Artinya, Nagara Daha ada di tangan Pangeran Samudera. Akan tetapi, Pangeran Samudera bertekad menjadikan Bandar Masih atau Banjar Masih sebagai pusat pemerintahan lantaran bandar itu lebih akrab dengan muara Sungai Barito yang telah bermetamorfosis kota perdagangan. Tidak hanya itu, rakyat Nagara Daha pun dibawa ke Bandar Masih atau Banjar Masih. Pangeran Tumenggung diberi daerah kekuasaan di Batang Alai dengan seribu orang penduduk sebagai rakyatnya. Nagara Daha pun menjadi daerah kosong.
Sebagai seorang raja yang beragama Islam, Pangeran Samudera mengubah namanya menjadi Sultan Suriansyah. Hari kemenangan Pangeran Samudera atau Sultan Suriansyah, 24 September 1526, dijadikan hari jadi kota Banjar Masih atau Bandar Masih.
Karena setiap kemarau landang (panjang) air menjadi masin (asin), lama-kelamaan nama Bandar Masih atau Banjar Masih menjadi Banjarmasin.
Akhirnya, Sultan Suriansyah pun meninggal. Makamnya hingga kini terpelihara dengan baik dan ramai dikunjungi orang. Letaknya di Kuin Utara, di pinggir Sungai Kuin, Kecamatan Banjar Utara, Kota Madya Daerah Tingkat II Banjarmasin.
Setiap tanggal 24 September Wali Kota Madya Banjarmasin dan para pejabat berziarah ke makam itu untuk memperingati kemenangan Sultan Suriansyah atas Pangeran Tumenggung. Sultan Suriansyah yaitu sultan atau raja Banjar pertama yang beragama Islam.
Daftar Pustaka:
- Wikipedia
- Buku Sejarah Kelas X SMA/MA/SMK
Demikian Penjelasan Pelajaran IPS-Sejarah Tentang Kerajaan Negara Daha: Sejarah, Raja dan Peninggalan
Semoga Materi Pada Hari ini Bermanfaat Bagi Siswa-Siswi, Terima Kasih !!!
Baca Artikel Lainnya:
- Pengertian Pengendalian Sosial, Ciri, Fungsi, Tujuan dan Jenisnya
- Pengertian Koperasi Sekolah, Ciri Serta Tujuannya
- Pengertian, Unsur dan Interaksi Sosial yang menjadikan Asimilasi
- Materi Perang Padri Lengkap
Sumber aciknadzirah.blogspot.com