Sunday, April 22, 2018

√ Hak, Kewajiban Warga Negara Dan Rule Of Law



Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt. atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga kami sanggup menuntaskan penulisan Makalah Hak, Kewajiban Warga Negara dan Rule of Law untuk melengkapi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan tepat pada waktunya.
            Kami mengucapkan terimakasih kepada Dosen Pendidikan Kewarganegaraan yaitu Bapak Moh. Anas yang telah membimbing dan memperlihatkan ilmu kepada kami sehingga kami sanggup membuat dan menyelesaikan  makalah ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada teman-teman jurusan Sosial Ekonomi Pertanian FP-UB khususnya kelas E yang telah banyak membantu kami dalam menuntaskan makalah ini. Terakhir, terimakasih kepada orangtua dan keluarga kami atas semua doa, dukungan, dan motivasi yang diberikan.
            Kami menyadari dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, namun kami berharap semoga makalah ini sanggup bermanfaat. Kritik dan saran yang membangun senantiasa kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

I.     PENDAHULUAN

 Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam batas-batas tertentu telah difahami orang akan tetapi alasannya ialah setiap orang melaksanakan akitivitas yang beraneka ragam dalam kehidupan kenegaraan, maka apa yang menjadi hak dan kewajibannya seringkali terlupakan. Dalam kehidupan kenegaraan kadang kadang-kadang hak warga negara berhadapan dengan kewajibannya. Bahkan tidak jarang kewajiban warga negara lebih banyak dituntut sementara ha-hak warga negara kurang mendapat perhatian.
Hak dan kewajiban warga negara dalam kehidupan kenegaraan maupun hak dan kewajiban seseorang dalam kehidupan pribadinya, secara historis tidak pernah dirumuskan secara sempurna, alasannya ialah organisasi negara tidak bersifat statis. Artinya organisasi negara itu mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan manusia. Kedua konsep hak dan kewajiban warga negara/manusia berjalan seiring. Hak dan kewajiban asasi marupakan konsekwensi logis dari pada hak dan kewajiban kenegaraan juga insan tidak sanggup menyebarkan hak asasinya tanpa hidup dalam organisasi negara.

II.  PEMBAHASAN
2.1.1        Konsep Dasar wacana Warga Negara; hak dan kewajiban
Dalam pengertian warga negara diartikan dengan orang-orang sebagai kepingan dari suatu penduduk yang menjadi unsur negara serta mengandung arti peserta, anggota atau warga dari suatu negara, yakni akseptor dari suatu komplotan yang didirikan dengan kekuatan bersama. Dahulu istilah warga negara seringkali disebut hamba atau kawula negara yang dalam bahasa inggris (object) berarti orang yang mempunyai dan mengabdi kepada pemiliknya. AS Hikam mendifinisikan bahwa warga negara yang merupakan terjemahan dari citizenship ialah anggota dari sebuah komunitas yang membentuk negara itu sendiri. Sedangkan Koerniatmanto S, mendefinisikan warga negara dengan anggota negara. Sebagai anggota negara, seorang warga negara mempunyai kedudukan yang khusus terhadap negaranya.Ia mempunyai korelasi hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap negaranya.
Dalam konteks Indonesia, istilah warga negara (sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 26) dikhususkan untuk bangsa Indonesia orisinil dan bangsa lain yang disahkan undang-undang sebagai warga negara. Dalam pasal 1 UU No. 22/1958 bahwa warga negara Republik Indonesia ialah orang-orang yang berdasarkan perundang-undangan dan/atau perjanjian-perjanjian dan/atau peraturan-peraturan yang berlaku semenjak Proklamasi 17 Agustus 1945 sudah menjadi warga negara Republik Indonesia.Dalam konteks Indonesia, hak warga negara terhadap negara telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan banyak sekali peraturan lainnya yang merupakan derivasi dari hak-hak umum yang digariskan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Diantaranya hak asasi insan yang rumusan lengkapnya tertuang dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar gubahan kedua.

1 Lihat H. L. A. Hart, “Positivism and the Separation of Law and Morals”, Harvard Law Review 71 (1958); 593
(yang membela positivisme); Lon L. Fuller, “Positivism and Fidelity to Law – A Reply to Professor Hart”, Harvard Law Review 71 (1958): 630 (yang mengkritik Hart alasannya ialah mengabaikan kiprah moralitas dalam pembentukan hukum).
2Teori-teori lain wacana sifat kedaulatan aturan dalam karya-karya Franz Neumann dan Otto Kircheimer juga
mengambil masa ini sebagai titik tolaknya. Lihat Franz Neumann, Behemoth: The Structure and Practice of National Socialism (Frankfurt am Main: Europäjsche Verlagsanshalt, 1977), 1933-44; Franz Neumann, The Rule of Law: Political Theory and the Legal System in Modern Society (Dover: Berg Publishers, 1986); William E. Scheuerman, ed., The Rule of Law under Siege: Selected Essays of Franz L. Neumann and Otto Kirchheimer (Berkley: University of California Press, 1996). Untuk suatu eksposisi yang menarik wacana pandangan para pakar tersebut, lihat William E. Scheuermann, Between the Norms and the Exception: The Frankfurt School and
the Rule of Law (Cambridge: MIT Press, 1994), yang mencoba menerapkan analisis Neumann dan Kirchheimer
ke dalam negara kesejahteraan kapitalis periode ke-20.
Sedangkan pola kewajiban yang menempel bagi setiap warganegara antara lain kewajiban membayar pajak sebagai kontrak utama antara negara dengan warga, membela tanah air (pasal 27), membela pertahanan dan keamanan negara (pasal 29), menghormati hak asasi orang lain dan mematuhi pembatasan yang tertuang dalam peraturan (pasal 28 J),dan sebagainya.
Prinsip utama dalam penentuan hak dan kewajiban warga negara ialah terlibatnya warga secara pribadi ataupun perwakilan dalam saetiap perumusan dan kewajiban tersebut sehingga warga sadar dan menganggap hak dan kewajiban tersebut sebagai kepingan dari kesepakatan mereka yang dibentuk sendiri.

2.1.2        Asas  Kewarganegaan
Asas kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan ketentuan yang telah disepakati dalam negara tersebut. Dalam menerapkan asas kewarganegaraan dikenal dua pedoman penetapan, yaitu:

1). Asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dijumpai dua bentuk asas yaitu, ius soli dan ius sanguinis. Dalam bahasa Latin ius berarti hukum, dalih atau pedoman, soli berasal dari kata solum yang berartinegeri, tanah atau kawasan dan sanguinis yang berarti darah. Dengan demikian, ius soli berarti pedoman kewarganegaraan yang berdasarkan tempat atau kawasan kelahiran,sedangkan ius sanguinis ialah pedoman kewarganegaraan berdasarkan darah atau keturunan.

2). Asas kewarganegaraan berdasarkan perkawinan yang sanggup dilihat dari sisi perkawinan yang meliputi asas kesatuan aturan dan asas persamaan derajat.Asas kesatuan aturan berdasarkan pada paradigma bahwa suami- isteri ataupun ikatan keluarga merupakan inti masyarakat yang meniscayakan suasana sejahtera, sehat dan tidak terpecah dalam suatu kesatuan yang bulat, sehingga perlu adanya kesamaan pemahaman dan komitmen menjalankan kebersamaan atas dasar aturan yang sama dan meniscayakan kewarganegaraan yang sama pula. Sedangkan dalam asas persamaan derajat ditentukan bahwa suatu perkawinan tidak menimbulkan perubahan status kewarganegaraan masing-masingpihak. Mereka tetap mempunyai status kewarganegaraan sendiri sama halnya dikala mereka belum diikatkan menjadi suami istri. Asas ini sanggup menghindari terjadinya penyeludupan aturan sehingga banyak negara yang memakai asas persamaan derajat dalam peraturan kewarganegaraan .

2.1.3        Unsur-Unsur yang Menentukan Kewarganegaraan
Dalam menentukan kewarganegaraan setiap negara memberlakukan aturan yang berbeda, namun secara umum terdapat tiga unsur yang seringkali dipakai oleh negara - negara di dunia, antara lain :
1.Unsur Darah Keturunan (Ius Sanguinis)
Kewarganegaraan dari orang bau tanah yang menurunkannya menentukan kewarganegaraan seseorang, prinsip ini berlaku diantaranya di Inggris, Amerika, Perancis, Jepang, dan Indonesia.
2. Unsur Daerah Tempat Kelahiran (Ius Soli)
Daerah tempat seseorang dilahirkan menentukan kewarganegaraan,prinsip ini berlaku di Amerika, Inggris, Perancis, dan Indonesia, terkecuali di Jepang.
3.Unsur Pewarganegaraan ( Naturalisasi)
Syarat-syarat atau mekanisme pewarganegaraan diadaptasi berdasarkan kebutuhan yang dibawakan oleh kondisi dan situasi negara masing-masing.Dalam pewarganegaraan ini ada yang aktif ada pula yang pasif. Dalam pewarganegaraan aktif, seseorang dapa memakai hak opsi untuk menentukan atau mengajukan kehendak menjadi warga negara dari suatu negara. Sedangkan dalam pewarganegaraan pasif,seseorang yang tidak mau dijadikan warga negara suatu negara, maka yang bersangkutan sanggup memakai hak repuidasi yaitu hak untuk menolak pemberian kewarganegaraan tersebut.
Pembicaraan status kewarganegaraan seseorang dalam sebuah negara ada yang dikenal dengan apatride untuk orang-orang yang tidak mempunyai status kewarganegaraan, bipatride untuk orang- orang yang mempunyai status kewarganegaraan rangkap/dwi-kewarganegaraan, dan multipatride untuk menyebutkan status kewarganegaraan seseorang yang mempunyai dua atau lebih status kewarganegaraan.

2.1.4        Konsep dan Prinsip Dasar Rule of Law dalam konteks kewarganegaraan
Sebagai negara hukum, Indonesia perlu memperjelas upaya-upaya penjaminan hak-hak warga negaranya melalui sistem yang tertata rapi. Sistem penegakan aturan perlu dibentuk biar kekuatan aturan bukan berada pada orang tapi pada institusi. Upaya penerapan penegakan aturan di Indonesia perlu dibenahi sehingga sanggup menjangkau seluruh kalangan, tanpa pandang bulu.
Secara historis, penegakan aturan atau  rule of law merupakan suatu kepercayaan dalam aturan yang mulai muncul pada periode ke-19, bersamaan dengan kelahiran negara berdasar aturan (konsitusi) dan demokrasi. Kehadiran rule of law boleh disebut sebagai reaksi dan koreksi terhadap negara adikara (kekuasaan di tangan penguasa) yang telah berkembang sebelumnya.
Berdasarkan pengertiannya, Friedman (1959) membedakan rule of law menjadi dua, yaitu pengertian secara formal (in the formal sense) dan pengertian secara hakiki/materiil (ideological sense). Secara formal, rule of law diartikan sebagai kekuasaan umum yang terorganisasi (organized public power), hal ini sanggup diartikan bahwa setiap negara mempunyai abdnegara penegak hukum. Sedangkan secara hakiki, rule of law terkait dengan penegakan aturan yang menyangkut ukuran aturan yaitu baik dan jelek (just and unjust law).Ada tidaknya penegakan hukum, tidak cukup hanya ditentukan oleh adanya aturan saja, akan tetapi lebih dari itu, ada tidaknya penegakan aturan ditentukan oleh ada tidaknya keadilan yang sanggup dinikmati setiap anggota masyarakat.
Rule of law tidak saja hanya mempunyai sistem peradilan yang tepat di atas kertas belaka, akan tetapi ada tidaknya rule of law di dalam suatu negara ditentukan oleh ”kenyataan”, apakah rakyatnya benar-benar sanggup menikmati keadilan, dalam arti perlakuan yang adil dan baik dari sesama warga negaranya, maupun dari pemerintahannya, sehingga inti dari rule of law ialah adanya jaminan keadilan yang dirasakan oleh masyarakat/bangsa.  Rule of law merupakan suatu legalisme yang mengandung gagasan bahwa keadilan sanggup dilayani melalui pembuatan sistem peraturan dan mekanisme yang bersifat objektif, tidak memihak, tidak personal, dan otonom.
Rule of law adalah suatu kepercayaan aturan yang mulai muncul pada periode ke-19, bersamaan dengan kelahiran negara konstitusi dan demokrasi. Ia lahir sejalan dengan tumbuh suburnya demokrasi dan meningkatnya kiprah dewan legislatif dalam penyelenggaraan negara dan sebagai reaksi terhadap negara adikara yang berkembang sebelumnya.
Paham rule of law di Inggris diletakkan pada korelasi antara aturan dan keadilan, di Amerika diletakkan pada hak-hak asasi manusia, dan di Belanda paham rule of law lahir dari paham kedaulatan negara, melalui paham kedaulatan aturan untuk mengawasi pelaksanaan kiprah kekuatan pemerintah.
Di indonesia, inti dari rule of law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakatnya, khususnya keadilan sosial. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 memuat prinsip-prinsip rule of law, yang pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap ”rasa keadilan” bagi rakyat Indonesia. Dengan kata lain, pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 memberi jaminan adanya rule of law dan sekaligus rule of justice. Prinsip-prinsip rule of law di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bersifat tetap dan instruktif bagi penyelenggara negara, alasannya ialah pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan pokok kaidah mendasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Fungsi Rule of Law
Fungsi rule of law pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap ”rasa keadilan” bagi rakyat indonesia dan juga ”keadilan sosial”, sehingga diatur pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, bersifat tetap dan instruktif bagi penyelenggaraan negara. Dengan demikian, inti dari Rule of Law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakat, terutama keadilan sosial. Prinsip-prinsip di atas merupakan dasar aturan pengambilan kebijakan bagi penyelenggara negara/pemerintahan, baik di tingkat sentra maupun daerah, yang berkaitan dengan jaminan atas rasa keadilan, terutama keadilan sosial.
Penjabaran prinsip-prinsip rule of law secara formal termuat di dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945, yaitu:
1. Negara indonesia ialah negara aturan (Pasal 1 ayat 3);
2. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelengggarakan peradilan guna menegakkan aturan dan keadilan (Pasal 24 ayat 1);
3. Segenap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam aturan dan pemerintahan dan wajib menjunjung aturan dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (Pasal 27 ayat 1);
4. Dalam Bab X A wacana Hak Asasi Manusia, memuat 10 pasal, antara lain bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian aturan yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan aturan (Pasal 28D ayat 1);
5. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam korelasi kerja (Pasal 28D ayat 2).
·         Prinsip-prinsip rule of law secara formal tertera dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan:
a.    bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa,…karena tidak sesuai dengan  peri kemanusiaan dan “peri keadilan”;
b.    …kemerdekaan Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, “adil” dan makmur;
c.    …untuk memajukan “kesejahteraan umum”,…dan “keadilan social”;
d.    …disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu “Undang-Undang Dasar Negara Indonesia”;
e.    “…kemanusiaan yang adil dan beradab”;
f.    …serta dengan mewujudkan suatu “keadilan social” bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian inti rule of law ialah jaminan adanya keadilan bagi masyarakat terutama keadilan social.
● Prinsip-prinsip rule of law secara hakiki (materiil) bersahabat kaitannya dengan (penyelenggaraan menyangkut ketentuan-ketentuan hukum) “the enforcement of the rules of law” dalam penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam penegakan aturan dan implementasi prinsip-prinsip rule of law. Berdasarkan pengalaman banyak sekali Negara dan hasil kajian, menandakan keberhasilan “the enforcement of the rules of law” bergantung pada kepribadian nasional setiap bangsa (Sunarjati Hartono: 1982).
Dinamika Pelaksanaan Rule of Law
Pelaksanaan the rule of law mengandung harapan untuk terciptanya negara hukum, yang membawa keadilan bagi seluruh rakyat. Penegakan rule of law harus diartikan secara hakiki (materiil), yaitu dalam arti ”pelaksanaan dari just law”. Prinsip-prinsip rule of law secara hakiki (materiil) sangat bersahabat kaitannya dengan ”the enforcement of the rules of law” dalam penyelenggaraan pemerintahan terutama dalam hal penegakan aturan dan implementasi prinsip-prinsip rule of law.
Berdasarkan pengalaman banyak sekali negara dan hasil kajian memperlihatkan bahwa keberhasilan ”the enforcement of the rules of law” tergantung kepada kepribadian nasional masing-masing bangsa (Sunarjati Hartono, 1982). Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa rule of law merupakan institusi sosial yang mempunyai struktur sosiologis yang khas dan mempunyai akar budayanya yang khas pula. Rule of law ini juga merupakan legalisme, suatu pemikiran pemikiran aturan yang di dalamnya terkandung wawasan sosial, gagasan wacana korelasi antarmanusia, masyarakat, dan negara, yang dengan demikian memuat nilai-nilai tertentu dan mempunyai struktur sosiologisnya sendiri. Legalisme tersebut mengandung gagasan bahwa keadilan sanggup dilayani melalui pembuatan sistem peraturan dan mekanisme yang sengaja bersifat objektif, tidak memihak, tidak personal, dan otonom. Secara kuantitatif, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan rule of law telah banyak dihasilkan di negara kita, namun implementasi/penegakannya belum mencapai hasil yang optimal, sehingga rasa keadilan sebagai perwujudan pelaksanaan rule of law belum dirasakan sebagian besar masyarakat. Hal-hal yang mengemuka untuk dipertanyakan antara lain ialah bagaimana komitmen pemerintah untuk melaksanakan prinsip-prinsip rule of law.
Proses penegakan aturan di Indonesia dilakukan oleh forum penegak aturan yang terdiri dari:
1. Kepolisian
2. Kejaksaan
3. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
4. Badan Peradilan:
a. Mahkamah Agung
b. Mahkamah Konstitusi
c. Pengadilan Negeri
d. Pengadilan Tinggi
2.1.5        Menuju kedaulatan hukum
Usaha untuk menaati kedaulatan aturan dalam masa gejolak politik sering kali menimbulkan dilema. Terdapat ketegangan antara kedaulatan aturan dalam masa transisi, yang sering kali melihat ke belakang selain ke depan, mapan sekaligus dinamis. Dalam dilema ini, kedaulatan aturan pada akibatnya menjadi kontekstual; alih-alih merupakan dasar tatanan aturan saja, ia juga memediasi pergeseran normatif yang mencirikan masa-masa tidak biasa tersebut. Di Negara-negara demokratis, pandangan kita ialah bahwa kedaulatan aturan mempunyai arti ketaatan pada aturan yang sudah ada, yang dipertentangkan dengan tindakan pemerintah secara sewenang-wenang.
Dilema wacana arti kedaulatan aturan sesungguhnya tidak terbatas pada masa-masa transformasi politik dan meliputi pula dasar negara liberal. Bahkan pada masa-masa biasa, negara-negara yang demokrasinya stabil pun sering kali mengalami kesulitan untuk mengartikan ketaatan pada kedaulatan hukum. Dilema kedaulatan aturan ini biasanya muncul di lingkup-lingkup politik yang konteroversial, di mana nilai perubahan legal mengalami ketegangan dengan nilai ketaatan pada prinsip aturan yang menjadi preseden. Pada masa biasa, duduk perkara ketaatan pada kontinuitas legal ini dilihat sebagai tantangan yang ditimbulkan perubahan politik dan social dalam jangka waktu yang panjang.


STUDI KASUS
a.         KPAI : 50 Juta Anak Indonesia Tak Miliki Akte Kelahiran
b.        Urus Akta Anak Panti Asuhan Rp 1 Juta per Orang
c.         Pemkot Siantar Diharapkan Perhatikan Hak Anak
Tribun Medan - Senin, 9 April 2012 22:02 WIB
Laporan Wartawan Tribun Medan/ Adol Frian Rumaijuk

III.             PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam konteks Indonesia, istilah warga negara (sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 26) dikhususkan untuk bangsa Indonesia orisinil dan bangsa lain yang disahkan undang-undang sebagai warga negara. Dalam menentukan kewarganegaraan setiap negara memberlakukan aturan yang berbeda, namun secara umum terdapat tiga unsur yang seringkali dipakai oleh negara - negara di dunia, antara lain : unsur darah keturunan (ius sanguinis), unsur kawasan tempat kelahiran (ius soli), unsur pewarganegaraan ( naturalisasi).
Secara formal, rule of law diartikan sebagai kekuasaan umum yang terorganisasi (organized public power), hal ini sanggup diartikan bahwa setiap negara mempunyai abdnegara penegak hukum. Sedangkan secara hakiki, rule of law terkait dengan penegakan aturan yang menyangkut ukuran aturan yaitu baik dan jelek (just and unjust law).

3.2 Saran
Setelah membaca makalah ini dibutuhkan pembaca sanggup memahami mengenai Hak dan Kewajiban sebagai Warga Negara dan Rule of Law pada suatu negara. Serta sanggup menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2012. Konsep Dasar wacana Warga Negara: hak dan Kewajiban.  http://sugiartoagribisnis.wordpress.com/2010/08/27/konsep-dasar-tentang-warga-negara/(online). Diakses tanggal 12 April 2012.
Hart, H. L. A., “Positivism and the Separation of Law and Morals”, Harvard Law Review 71 (1958).
Fuller, Lon L., “Positivism and Fidelity to Law – A Reply to Professor Hart”, Harvard
Law Review 71 (1958).
Fuller, Lon L., The Morality of Law, New Haven: Yale University Press, 1964.
Hart, H.L.A., The Concept of Law, edisi kedua, Oxford-Clarendon Press 1994.
Kant, Immanuel, The Metaphysical Elements of Justice: Part 1 of the Metaphisics of Morals, terjemahan J.I. Ladd, Indianapolis: Bobb-Merrill, 1965.
Kelman, Mark, A Guide to Critical Legal Studies, Cambridge: Harvard University Press,1986.
Kusmiaty, Dra, dkk. 2000. Tata Negara. Jakarta : PT Bumi Aksara
Neumann, Franz, The Rule of Law: Political Theory and the Legal System in Modern Society, Dover: Berg Publishers, 1986.
Scheuermann, E., Between the Norms and the Exception: The Frankfurt School and the Rule of Law, Cambridge: MIT Press, 1994.
Scheuerman, William E. (ed.), The Rule of Law under Siege: Selected Essays of Franz L.   Neumann and Otto Kirchheimer, Berkley: University of California Press, 1996.
Tim Dosen Kewarganegaraan UPT Bidang Study Unipersitas Padjadjaran. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: UPT Bidang Study Universitas Padjadjaran
Wahab, Abdul Azis dkk. 1993. Materi Pokok Pendidikan Pancasila. Jakarta: Universitas Terbuka DEPDIKBUD

Sumber http://kickfahmi.blogspot.com