MAKALAH
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
“ Program Revitalisasi Perkebunan (Kelapa Sawit, Karet dan Kakao)
Pada Tahun 2007 ”
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Upaya pemerintah menurunkan jumlah pengangguran dan kemiskinan sesuai dengan RPJM sebesar 5,1% - 8,2%, ketika ini sulit untuk dicapai bila tidak ada upaya yang faktual untuk menyebarkan sektor riil. Pertumbuhan sektor riil mengalami penurunan yang signifikan beberapa tahun terakhir ini. Penguatan indikator makro ekonomi menyerupai penguatan nilai saham dan nilai tukar rupiah tidak mencerminkan dinamika ekonomi masyarakat.
Permasalahan kondisi sektor riil ini diakibatkan oleh lemahnya tiga sektor yang kontribusinya paling besar terhadap PDB yakni sektor Pertanian, Perdagangan dan Industri Manufaktur. Oleh lantaran itu perlu adanya upaya terobosan untuk mengungkit sektor riil semoga tumbuh positip, dan upaya ini sanggup dilakukan melalui pengembangan perkebunan, khususnya melalui pelaksanaan Program Revitalisasi Perkebunan kelapa sawit, karet dan kakao.
Program Revitalisasi Perkebunan ialah upaya percepatan. pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi tumbuhan perkebunan yang didukung kredit investasi perbankan dan subsidi bunga oleh pemerintah dengan melibatkan perusahaan dibidang perjuangan perkebunan sebagai kawan pengembangan dalam pembangunan kebun, pengolahan dan pemasaran hasil.
1.2 Tujuan
Tujuan dari makalah ini ialah untuk mengetahui :
1. Historis (sejarah) Program Revitalisasi Pekebunan (kelapa sawit, karet dan kakao).
2. Tujuan dari Program Revitalisasi Pekebunan (kelapa sawit, karet dan kakao).
3. Capaian Program Revitalisasi Pekebunan (kelapa sawit, karet dan kakao).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kelapa Sawit
Keberhasilan pengembangan perkebunan kelapa sawit, selain secara ekonomi memperlihatkan kiprah yang tinggi sebagai penyumbang devisa, sekaligus sanggup mencapai aneka macam manfaat yang terkait eksklusif dengan pembangunan ekonomi nasional menyerupai pembangunan wilayah, penumbuhan wilayah bukaan baru, perembesan tenaga kerja, peningkatan luas areal, peningkatan produksi dan peningkatan pendapatan pekebun. Keberhasilan pembangunan perkebunan kelapa sawit rakyat yang telah dilaksanakan melalui pola PIR, selain telah bisa meningkatkan luas areal dan produksi juga telah bisa meningkatkan pendapatan pekebun penerima dan keluarganya, bertumbuhnya unit-unit ekonomi gres (KUD, pasar, dll) juga telah bisa menyebarkan wilayah pengembangan menjadi unit-unit satuan pemukiman gres dan penambahan pemerintahan Desa.
Prospek pengembangan kelapa sawit tidak saja terkait dengan pertumbuhan undangan minyak nabati dalam negeri dan dunia, namun terkait juga dengan perkembangan sumber minyak nabati lainnya, menyerupai kedelai, rape seed dan bunga matahari. Dari segi daya saing, minyak kelapa sawit mempunyai kemampuan yang lebih cukup tinggi dibanding minyak nabati lainnya, karena: (a) Produktivitas per-hektar relatip lebih tinggi dari minyak nabati lainnya; (b) Merupakan tumbuhan tahunan yang cukup handal terhadap aneka macam perubahan agroklimat; dan (c) Ditinjau dari aspek gizi, minyak kelapa sawit tidak terbukti sebagai penyebab meningkatnya kadar kolesterol, bahkan mengandung beta karoten sebagai pro-vitamin A.
Persaingan dalam perdagangan minyak kelapa sawit (CPO) bergotong-royong hanya terjadi antara Indonesia dan Malaysia. Nigeria sebagai produsen nomor tiga lebih banyak mengalokasikan produksinya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Malaysia yang merupakan produsen dan eksportir terbesar akhir-akhir ini yang secara konsisten mengolah minyak sawitnya sehingga volume ekspornya dalam bentuk minyak sawit (CPO) diperkirakan akan mulai menurun. Keterbatasan lahan yang sesuai secara agroklimat serta tingginya upah, juga akan menahan ekspansi areal di Malaysia sehingga akan memperlambat laju peningkatan produksi dan ekspor. Di sisi lain, Indonesia yang hingga ketika ini sebagai negara produsen dan eksportir terbesar ke dua mempunyai peluang untuk meningkatkan produksi dan ekspornya. Indonesia dikenal sebagai negara paling efisien dalam memproduksi minyak sawit sehingga CPO Indonesia sangat kompetitif di pasar internasional. Dengan ketersediaan lahannya yang relatif luas, Indonesia berpeluang untuk meningkatkan produksi sehingga akan memacu pertumbuhan ekspor.
Dari citra tersebut sanggup disampaikan bahwa prospek kelapa sawit masih sangat baik, tidak saja untuk pemenuhan kebutuhan minyak makan, tetapi juga untuk kebutuhan produk-produk turunannya. Untuk lebih meningkatkan daya saing produk kelapa sawit dan turunannya maka, keterpaduan penanganan semenjak dari kegiatan perencanaan, kegiatan on-farm, off-farm, dukungan pembiayaan sarana dan prasarana serta jasa-jasa penunjangnya sangat diperlukan.
2.2 Karet
Selama ini, Indonesia bersama 2 negara podusen karet alam terbesar dunia yaitu Thailand dan Malaysia, memperlihatkan bantuan sebesar 75% terhadap total produksi karet alam dunia. Khususnya Indonesia memperlihatkan bantuan sebesar 26% dari total produksi karet alam dunia. Berdasarkan data dan kecenderungan membaiknya harga karet alam pada beberapa tahun terakhir, diproyeksikan hingga tahun 2020 konsumsi karet alam dunia akan terus mengalami peningkatan rata-rata sebesar 2,6% per tahun. Hal ini sejalan dengan meningkatnya pendapatan, perekonomian negara berkembang khususnya pada negara-negara dengan populasi penduduk yang besar menyerupai India dan China.
Komoditas karet mempunyai aneka macam macam kegunaan, baik untuk industri ban maupun produk lainnya menyerupai benang karet, materi jadi karet untuk industri otomotif, industri ganjal kaki, industri mobil/pesawat, kebutuhan kesehatan, properti/bangunan dan farmasi. Selain itu, produk lainnya diperoleh dari hasil samping yang benilai tinggi menyerupai kayu olahan (MDF, moulding, particle board) berupa produk lantai, komponen furniture, daun meja serta sebagai substitusi kayu rami dan kayu bakar untuk materi pabrik genteng, bata, rumah tangga, atau dibentuk arang. Akhir-akhir ini peranan kayu karet sangat penting dalam mensubstitusi kayu alam yang ketersediaannya makin menurun, dimana peremajaan karet berpotensi untuk sanggup menghasilkan kayu karet sebesar 300 m3 per ha.
Peranan karet dan kayu karet dalam mendukung pengembangan industri tersebut selain akan berdampak pada aspek perekonomian masyarakat juga berimplikasi terhadap aspek sosial melalui peningkatan perembesan tenaga kerja yang bergerak dibidang industri olahan berbasis karet dan kayu serta secara ekologis mendukung terwujudnya pelestarian lingkungan secara berkelanjutan, serta berperan mengurangi laju konversi hutan alam.
Peranan pertanaman karet terhadap pelestarian lingkungan cukup potensial, mengingat tumbuhan karet merupakan tumbuhan tahunan yang bisa membuat Rubber Forest Plantation sekaligus mendukung aktivitas Clean Development Mechanism (CDM). Berdasarkan hasil penelitian, peranan tumbuhan karet dalam aktivitas CDM, selain sebagai penghasil O2 juga selama proses photosintesa (carbon sequestration), mampu menyerap 7 ton CO2 dari 1 ton karet alam.
2.3 Kakao
Indonesia ketika ini ialah negara terbesar ketiga dalam produksi kakao dunia sehabis Ghana dan Pantai Gading. Produksi kakao Indonesia ketika ini (2005) sekitar 651 ribu ton. Dengan kondisi menyerupai tersebut pada tahun 2005 telah bisa berkontribusi dan menempati posisi ke tiga dalam perolehan devisa senilai US $ 488 juta dari ekspor kakao sebesar 317 ton. Kakao sebagai komoditas ekspor, pemerintah telah bertekad menjadikan Indonesia sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, alasannya ialah selain tersedia lahan yang sesuai, dan didukung kemudahan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kakao, tersediannya SDM yang memadai, sehingga mempunyai potensi menghasilkan kakao sesuai dengan pertumbuhan undangan dunia.
Tercatat pada periode 1997-2002 laju pertumbuhan ekspor kakao Indonesia mencapai 12%, sementara pertumbuhan ekspor dunia hanya 3,51%. Pada tahun 2002 hingga tahun 2005 ekspor kakao Indonesia masih berkembang dengan 12,6 %, sementara rata-rata ekspor dunia mencapai 5,6 %. Pertumbuhan undangan dunia akan kakao antara lain akhir tingginya tingkat konsumsi dunia akan kakao dan produk olahanya menyerupai yang terjadi di negara-negara maju Eropa dan Amerika Serikat serta perkembangan IPTEK dibidang farmasi/kosmetik yang menyangkut dengan upaya peningkatan derajat kesehatan konsumen kakao. Sebagai teladan tingkat konsumsi di negara-negara Eropa, menyerupai Belanda berkisar 4,5 Kg/kapita/tahun, Switzerland 10,3 Kg/kapita/tahun, sedangkan Amerika Serikat tingkat konsumsinya telah mencapai 5,3 Kg/kapita/tahun pada tahun 2002. Dalam pada itu tingkat konsumsi di negara berkembang menyerupai Indonesia diperkirakan gres mencapai 0,06 Kg/kapita/tahun. Dari citra tersebut terlihat bahwa selain prospek pasar luar negeri, pasar dalam negeri merupakan peluang pasar industri kakao yang perlu didukung dengan kampanye peningkatan konsumsi kakao di dalam negeri.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Historis (Sejarah)
Sejarah Indonesia semenjak masa kolonial hingga kini tidak sanggup dipisahkan dari sektor perkebunan, lantaran sektor ini mempunyai arti yang sangat penting dan memilih dalam pembentukan aneka macam realitas ekonomi dan sosial masyarakat di banyak wilayah di Indonesia. Perkembangan perkebunan pada satu sisi dianggap sebagai jembatan yang menghubungkan masyarakat Indonesia dengan ekonomi dunia, memberi laba finansial yang besar, serta membuka kesempatan ekonomi baru, namun pada sisi yang lain perkembangan perkebunan juga dianggap sebagai hambatan bagi diversifikasi ekonomi masyarakat yang lebih luas, sumber penindasan, serta salah satu faktor penting yang menjadikan kemiskinan struktural. Bahkan dalam konteks masa kemudian ada yang beropini bahwa sejarah kolonialisme dan imperialisme Barat di Indonesia merupakan sejarah perkebunan itu sendiri.
Sejak awal kedatangan bangsa Barat yang mengidentifikasi diri sebagai pedagang hingga masa-masa ketika Barat identik dengan kekuasaan kolonial dan pemilik modal, perkebunan menjadi salah satu fakta atau variabel yang tidak bisa diabaikan untuk merekonstruksi dan menjelaskan realitas masa kemudian yang ada.
Dimensi waktu
Membahas proses dan struktur perkembangan perkebunan dan komunitasnya semenjak pertengahan masa ke-19 hingga paruh pertama masa ke-20, ketika sektor perkebunan mengalami pertumbuhan yang luar biasa dan menjadikan efek yang sangat besar baik bagi negara kolonial, para pemodal besar maupun masyarakat di Indonesia. Konstruksi ini diharapkan memberi bekal untuk memahami sejauhmanakah realitas kekinian perkebunan Indonesia merupakan lanjutan dari masa lalunya, atau telah terjadi perubahan yang fundamental sehingga tidak relevan mencari akar permasalahan perkebunan di Indonesia pada masa kini pada realitas historis perkebunan di masa kolonial.
Jauh sebelum perkebunan milik para pemodal swasta Barat berkembang pesat di masa ke-19, perjuangan perkebunan untuk ekspor bergotong-royong telah mempunyai sejarah yang panjang di Indonesia. Perubahan pola perdagangan pasar dunia pada tamat masa ke-15 dan awal masa ke-16 yang disertai dengan pelayaran orang Barat eksklusif ke pusat-pusat produksi dan perdagangan di Asia Tenggara menjadikan peningkatan undangan terhadap beberapa jenis komoditi yang dihasilkan kepulauan Indonesia. Beberapa komoditi menyerupai lada, pala, cengkeh, dan kayu elok yang sebelumnya hanya dikumpulkan dari tumbuhan liar mulai dibudidayakan penduduk di aneka macam kawasan di Indonesia.
Para penguasa di kerajaan Aceh dan Banten misalnya, telah melaksanakan langkah yang sistematis melalui jalur birokrasinya dalam mengusahakan perkebunan lada pada tamat masa ke-16. Di Banten, pembukaan perkebunan itu tidak hanya terbatas di tanah-tanah yang tersedia di ujung barat pulau Jawa melainkan juga merambat ke kawasan kekuasaannya di Lampung, sehingga terjadi mobilitas penduduk secara rutin menyeberangi Selat Sunda.
Proses produksi dan pemasaran ditentukan oleh negara, keluarga kerajaan, dan para birokratnya melalui jaringan birokrasi dan institusi tradisional, sementara itu rakyat hanya berfungsi sebagai penyedia tenaga kerja dan tidak mempunyai kekuatan tawar menawar untuk memilih besar kecilnya nilai dan hasil produksi. Penguasa dan birokrasinya bahkan memilih distribusi kebutuhan sehari-hari produsen, yang merupakan kompensasi atas keterlibatan mereka dalam proses produksi. Hal itu memperlihatkan bahwa pasar bukan merupakan komponen ekonomi yang penting, baik untuk memasarkan produksi maupun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lantaran birokrasi memilih segala hal.
Program Revitalisasi Perkebunan merupakan salah satu upaya percepatan pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi tumbuhan perkebunan, yang didukung kredit investasi dan subsidi bunga oleh pemerintah dengan melibatkan perusahaan di bidang perjuangan perkebunan sebagai kawan pengembangan dalam pembangunan kebun, pengolahan dan pemasaran hasil. Revitalisasi Perkebunan bertujuan untuk meningkatkan lapangan kerja dan pendapatan masyarakat melalui pengembangan perkebunan; meningkatkan daya saing melalui peningkatan produktivitas dan pengembangan industri hilir berbasis perkebunan; meningkatkan penguasaan ekonomi nasional dengan mengikutsertakan masyarakat dan pengusaha lokal; mendukung pengembangan wilayah. Salah satu komoditi aktivitas revitalisasi perkebunan ialah kelapa sawit, karet, cacao.
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi potensial yang dikembangkan ketika ini dengan alasan mempunyai peranan sangat strategis sebagai sumber pendapatan masyarakat, mempunyai prospek pasar yang sangat baik di dalam negeri maupun luar negeri (ekspor), bisa menyerap tenaga kerja gres dan mempunyai peranan dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.
3.2 Tujuan Dilakukannya Revitalisasi Perkebunan
Tujuan Program Revitalisasi Perkebunan ialah :
a) Meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat melalui pengembangan perkebunan.
b) Meningkatkan daya saing melalui peningkatan produktivitas dan pengembangan industri hilir berbasis perkebunan.
c) Meningkatkan penguasaan ekonomi nasional dengan mengikutsertakan masyarakat dan pengusaha lokal.
d) Mendukung pengembangan wilayah.
3.3 Pendekatan dan Target Pengembangan (Pencapaian)
1. Pendekatan Pengembangan
Pelaksanaan pengembangan perkebunan melalui Program Revitalisasi Perkebunan ditujukan untuk membangun perkebunan rakyat, dengan pendekatan pengembangan sebagai berikut:
a. Pengembangan perkebunan rakyat yang dilakukan ialah melalui kemitraan, baik pola PIR (Perusahaan Inti Rakyat) maupun kemitraan lainnya. Untuk wilayah yang tidak tersedia mitranya, dimungkinkan pengembangan dilakukan eksklusif oleh pekebun atau melalui Koperasi dengan training oleh jajaran Departemen Pertanian dan Dinas yang membidangi Perkebunan Provinsi dan Kabupaten;
b. Setiap lokasi pengembangan diarahkan untuk terwujudnya hamparan yang kompak serta memenuhi skala ekonomi;
c. Luas lahan maksimum untuk masing-masing petani penerima yang ikut dalam Program Revitalisasi Perkebunan ialah 4 ha per KK, kecuali untuk wilayah khusus yang pengaturannya ditetapkan oleh Menteri Pertanian;
d. Untuk memperlihatkan jaminan kepastian dan keberlanjutan usaha, pengembangan perkebunan yang melibatkan kawan perjuangan sanggup dilakukan melalui pengelolaan kebun dalam satu administrasi minimal 1 (satu) siklus tanaman;
e. Bunga kredit yang diberikan kepada petani penerima sebesar 10%, dengan subsidi bunga menjadi beban pemerintah sebesar selisih antara bunga pasar yang berlaku untuk kredit sejenis dengan bunga yang dibayar petani peserta. Subsidi bunga diberikan selama masa pembangunan yaitu hingga dengan tumbuhan menghasilkan (maksimal 5 tahun untuk kelapa sawit dan kakao, dan 7 tahun untuk karet). Besarnya suku bunga yang dibayar pekebun sehabis masa tenggang ialah sesuai dengan ketentuan yang berlaku di bank (tanpa subsidi bunga);
f. Untuk meningkatkan dan memperkuat kesinambungan kemitraan usaha, setiap unit pengembangan diarahkan terintegrasi dengan unit pengolahan, dan secara sedikit demi sedikit petani peserta/koperasi petani dimungkinkan mempunyai saham perusahaan mitra.
g. Petani penerima yang belum mempunyai kawan usaha, secara sedikit demi sedikit akan didorong melaksanakan kemitraan dengan perusahaan yang mempunyai industri pengolahan dibidang perkebunan;
h. Untuk mengawal pelaksanaan aktivitas ini akan memanfaatkan tenaga sarjana pertanian (sistem kontrak) dan diutamakan dari perguruan tinggi tinggi setempat sebagai petugas pendamping.
2. Target Pengembangan (Pencapaian)
Kegiatan penanaman pada pengembangan Revitalisasi Perkebunan direncanakan dilaksanakan mulai tahun 2007 hingga dengan tahun 2010. Target pengembangan revitalisasi perkebunan ialah menyerupai tabel 1 berikut.
Dari tabel 1 diatas sanggup disampaikan bahwa aktivitas Revitalisasi Perkebunan akan meliputi areal pengembangan seluas 2 juta ha, meliputi kelapa sawit 1.500 ribu ha (1.375 ribu ha ekspansi dan 125 ribu ha peremajaan), karet 300 ribu ha (perluasan 50 ribu ha, dan peremajaan 250 ribu ha), dan kakao 200 ribu ha (perluasan 110 ribu ha, peremajaan 54 ribu ha dan rehabilitasi 36 ribu ha). Dalam pelaksanaannya, sasaran Program Revitalisasi Perkebunan akan di penilaian secara terpola sesuai realisasi penanaman tahun sebelumnya.
Dengan pertimbangan perlunya kesiapan di lapangan, baik menyangkut kesiapan bibit, calon pekebun, calon lahan dan perusahaan mitra, maka sasaran fisik pengembangan tumbuhan dalam aktivitas Revitalisasi Perkebunan untuk tahun 2007 termasuk tumbuhan yang telah ada maksimal tumbuhan yang berumur satu tahun/tanaman belum menghasilkan (TBM I) sepanjang tumbuhan tersebut tidak dibiayai oleh anggaran pemerintah (APBN/APBD).
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
sektor perkebunan mempunyai arti yang sangat penting dan memilih dalam pembentukan aneka macam realitas ekonomi dan sosial masyarakat di banyak wilayah di Indonesia.
Program Revitalisasi Perkebunan merupakan salah satu upaya percepatan pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi tumbuhan perkebunan, yang didukung kredit investasi dan subsidi bunga oleh pemerintah dengan melibatkan perusahaan di bidang perjuangan perkebunan sebagai kawan pengembangan dalam pembangunan kebun, pengolahan dan pemasaran hasil.
Revitalisasi Perkebunan bertujuan untuk meningkatkan lapangan kerja dan pendapatan masyarakat melalui pengembangan perkebunan; meningkatkan daya saing melalui peningkatan produktivitas dan pengembangan industri hilir berbasis perkebunan; meningkatkan penguasaan ekonomi nasional dengan mengikutsertakan masyarakat dan pengusaha lokal; mendukung pengembangan wilayah.
4.2 Saran
Dalam pelaksanaan aktivitas Revitalisasi Perkebunan semoga dinas yang membidangi Perkebunan baik di Provinsi maupun di Kabupaten sanggup menjabarkan pelaksanaan aktivitas revitalisasi yang diadaptasi dengan karakteristik kawasan sehingga kegiatan Program Revitalisasi Perkebunan ini sanggup berjalan menyerupai yang diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2012. Revitalisasi Perkebunan (Kelapa Sawit, Karet Dan Kakao),(Online) (http://sejarah .fib.ugm.ac.id/artdetail.php) Diakses tanggal 19 Mei 2012.
Anonymous. 2012. Model Pembiayaan Program Revitalisasi Perkebunan,(Online) (http://balits.com/alternatif,model-pembiayaan-program-revitalisasi-perkebunan) Diakses tanggal 19 Mei 2012.
Direktorat Jendral Perkebunan. 2007. Pedoman Umum Program Revitalisasi Perkebunan (Kelapa Sawit, Karet Dan Kakao. Departemen Pertanian. Jakarta.