Saturday, June 23, 2018

√ Kerusakan Lahan Akhir Pengikisan Tanah Di Dataran Tinggi Dieng Dan Langkah – Langkah Teknis Penanggulangannya


BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
                   Dataran tinggi Dieng merupakan daerah di wilayah perbatasan antara Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Batang, dan Kabupaten Temanggung. Kawasan tersebut mempunyai kurang lebih 20.161 hektar hutan Negara yang dikelola Perhutani dan 19.472 hektar hutan rakyat. Wilayah ini berada pada ketinggian antara 1.500 hingga dengan 2.095 meter diatas permukaan bahari dengan kemiringan lebih dari antara 15-40% dan dibeberapa wilayah >40%. Dataran tinggi Dieng yakni belahan hulu DAS Serayu dan merupakan pusat produksi sayuran dataran tinggi Jawa Tengah. Curah hujan di dataran tinggi Dieng termasuk tinggi, yaitu 3.917 mm/tahun. Curah hujan yang tinggi ditambah dengan intensitasnya yang tinggi merupakan penyebab utama tingginya laju abrasi dan penurunan produktivitas tanah di daerah tersebut. Terlebih lagi, budidaya yang dilakukan pada lahan berlereng tersebut tanpa upaya pencegahan erosi.
              Petani di dataran tinggi Dieng umumnya berusaha tani sayuran pada bedengan-bedengan dengan kemiringan lahan di atas 30% tanpa upaya-upaya melestarikan lahan atau mengendalikan erosi. Bedengan-bedengan tersebut dibentuk searah dan sepanjang lereng tanpa upaya memperpendek atau memotong panjang lereng. Kebiasaan menanam sayuran menyerupai itu bertujuan untuk membuat kondisi aerasi atau drainase dan kelembaban tanah yang baik. Hal ini dikarenakan kondisi aerasi tanah yang jelek sanggup membahayakan pertumbuhan tumbuhan sayuran. Pada umumnya, petani di sana membuat bedengan atau guludan searah lereng pada teras-teras bangku, namun tanpa upaya menstabilkan teras tersebut, sehingga pada bibir dan tampingan teras cenderung mengalami longsor. Teras dingklik tersebut umumnya miring keluar sehingga abrasi atau longsor masih mungkin terjadi. Selain itu, pada ujung luar teras (talud) tidak ditanami tumbuhan penguat teras dan permukaan tanah pada tampingan teras juga terbuka atau higienis tidak ada tanaman.
              Akibat dari abrasi tersebut, sedimentasi di DAS semakin meluas serta terjadi penurunan kesuburan di dataran tinggi Dieng. Hal ini dikarenakan hara tanah yang terkandung di lapisan teratas tanah hanyut terseret arus air. Miskinnya hara tanah otomatis akan berakibat pada penurunan produktivitas lahan pertanian.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Karakteristik dan Permasalahan Kerusakan Lahan
            Dataran tinggi Dieng mempunyai kemiringan antara 25-40% bahkan di beberapa wilayah > 40%, dengan jenis tanah Andosol dan curah hujan rata-rata >3.000 mm/tahun. Dengan demikian dataran tinggi Dieng mempunyai kelas lereng curam dengan jenis tanah yang peka terhadap abrasi serta curah hujan sangat tinggi. Dataran tinggi Dieng berada pada ketinggian lebih dari 2.000 m dpl, merupakan cagar budaya yang berupa candi-candi Hindu, merupakan jalur pengaman Daerah Aliran Sungai dan merupakan hulu Sungai Serayu. Berdasarkan kondisi tersebut maka Dataran Tinggi Dieng ditetapkan sebagai daerah fungsi lindung yang meliputi daerah yang memberi pertolongan daerah dibawahnya dan daerah cagar budaya. Alokasi ruang di wilayah ini yakni untuk hutan lidung dan sebagai daerah resapan air, serta sebagai daerah konservasi peninggalan budaya yang berupa candi-candi Hindu.
            Secara visual nampak bahwa lahan di daerah tersebut mempunyai lapisan olah yang sangat tipis dimana terlihat adanya batu-batu yang nampak di permukaan tanah. Padahal berdasarkan sumber yang berasal dari penduduk disekitar daerah tersebut, batu-batu itu dahulu tidak nampak. Hal ini mengatakan bahwa terjadi pengikisan lapisan olah yang disebabkan oleh adanya run off yang tinggi pada dikala hujan. Run off yang tinggi lantaran tidak adanya penguat pada lapisan tanah atas lantaran tidak adanya tumbuhan keras maupun tumbuhan epilog tanah, terlebih lagi lahan tersebut yakni lahan miring dengan tersering yang buruk. Pola tanam yang monokultur dan terus menerus sepanjang tahun juga menjadi penyebab semakin tingginya intensitas pengolahan tanah yang berakibat pada semakin mudahnya tanah tererosi. Kondisi ini terperinci merupakan faktor yang menjadi pemicu semakin berkurangnya tingkat kesuburan tanah bahkan lebih parah lagi terjadinya degradasi lahan yang semakin tinggi.
            Erosi juga menjadikan menurunnya kuantitas dan kualitas air di telaga yang banyak terdapat di daerah Dieng diantaranya yakni Telaga Cebong di Desa Sembungan serta Telaga Warna dan Telaga Pengilon di Desa Dieng. Pendangkalan yang terjadi di telaga-telaga tersebut mengakibatkan penurunan debit air pada demam isu kemarau. Pada demam isu dimana tidak ada hujan maka air telaga juga dipakai untuk mengairi ladang kentang mereka. Sehingga kondisi telaga semakin usang semakin rusak dan pemenuhan kebutuhan air untuk konsumsi rumah tangga pun berkurang. Selain itu kualitas air pun menjadi sangat jelek lantaran air menjadi keruh oleh banyaknya kandungan pupuk sangkar dan sisa materi kimia dari pupuk dan pestisida.
            Selain menjadikan bertambah luasnya lahan kritis, abrasi yang tinggi juga berakibat pada sedimentasi di daerah hilir. Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa Dieng merupakan hulu sungai Serayu, dengan beberapa anak sungainya, yang bermuara di Waduk Panglima Besar Jenderal Sudirman. Erosi dan sedimentasi yang cukup tinggi dari Daerah Aliran Sungai Serayu dan Merawu masih menjadi problem bagi Bendungan Panglima Besar Sudirman (PLTA Mrica) di Kabupaten Banjarnegara. Erosi dan sedimentasi yang tinggi menurunkan volume waduk. Selama 15 tahun volume waduk berkurang sekitar 43%. Hal ini tentu sangat besar lengan berkuasa terhadap fungsi waduk sebagai sumber pembangkit listrik, baik dari kapasitas daya yang dihasilkan maupun dari jangka waktu operasi waduk itu lantaran semakin berkurangnya debit air waduk. Jika hal itu dibiarkan, waduk tersebut akan tertutup sedimentasi. Bila waduk tertutup sedimentasi, PLTA Mrica tak bisa lagi dioperasikan.
            Besarnya abrasi yang terjadi di dataran tinggi Dieng yang jauh melebihi besarnya abrasi yang masih diperbolehkan, mengatakan telah demikian tingginya degradasi lingkungan di dataran tinggi Dieng. Bila kondisi ini terus berlanjut tanpa adanya upaya konservasi, maka pada beberapa tahun yang akan tiba tidak ada lagi tumbuhan yang sanggup tumbuh di sana lantaran tidak ada lagi lapisan olah yang mengandung materi organik, sehingga yang muncul tidak hanya permasalahan lingkungan namun juga permasalahan ekonomi dan sosial yang semakin kompleks. Hal ini dikarenakan ketergantungan masyarakat yang sangat tinggi terhadap lahan, sehingga apabila lahan tidak sanggup lagi berproduksi maka akan hilanglah sumber mata pencaharian mereka.

BAB III
STRATEGI MANAJEMEN
3.1 Strategi Konservasi Tanah
            Untuk mencapai keberlanjutan produktivitas lahan perlu dilakukan tindakan konservasi tanah dan air. Hal tersebut sanggup dicapai dengan menerapkan teknologi konservasi tanah secara vegetatif dan mekanik. Konservasi tanah vegetatif meliputi semua tindakan konservasi yang memakai tumbuh-tumbuhan (vegetasi), baik tumbuhan legum yang menjalar, semak atau perdu, maupun pohon dan rumput-rumputan, serta tumbuh-tumbuhan lain, yang ditujukan untuk mengendalikan abrasi dan anutan permukaan pada lahan pertanian.
            Tindakan konservasi tanah vegetatif tersebut sangat beragam, mulai dari pengendalian abrasi pada bidang olah atau lahan yang ditanami dengan tumbuhan utama, hingga dengan stabilisasi lereng pada bidang olah, susukan pembuangan air (SPA), maupun jalan kebun.
            Konservasi tanah mekanik yakni semua perlakuan fisik mekanis yang diberikan terhadap tanah dan pembuatan bangunan yang ditujukan untuk mengurangi anutan permukaan dan abrasi serta meningkatkan kelas kemampuan tanah.
            Teknik konservasi tanah ini dikenal pula dengan sebutan metode sipil teknis. Untuk mencapai hasil maksimum dalam mengendalikan abrasi dan anutan permukaan, sebaiknya tindakan konservasi tanah vegetatif dan mekanik dikombinasikan sesuai dengan karakteristik lahan.
            Pada umumnya, petani di dataran tinggi Dieng telah membuat bedengan atau guludan searah lereng pada bidang-bidang teras bambu. Namun, sangat disayangkan bahwa teras dingklik tersebut umumnya miring ke luar, sehingga abrasi atau longsor masih mungkin terjadi. Selain itu, pada belahan ujung luar teras (talud) tidak ditanami tumbuhan penguat teras dan permukaan tanah pada tampingan teras juga terbuka atau higienis tidak ada tanaman. Jika melihat tingkat abrasi yang sangat tinggi di daerah tersebut, perjuangan yang dilakukan petani di sana masih belum sesuai dengan kaidah konservasi. Teras dingklik tidak sesuai untuk tanah yang gampang tererosi pada daerah berlereng curam serta curah hujan yang cukup tinggi. Teras gulud berdasarkan kaidah konservasi lebih efektif untuk menahan abrasi pada lahan yang demikian dengan biaya pembangunan yang relatif lebih murah dibandingikan dengan teras bangku. Untuk membantu mengurangi erosi, bedengan juga perlu dibentuk searah dengan garis kontur.
            Untuk meningkatkan efektivitas teras yang dibuat, perlu ditanami tumbuhan penguat teras pada bibir dan tampingan teras. Rumput Bede (Brachiaria decumbens) dan Rumput Bahia (Paspalum notatum) merupakan teladan dari tumbuhan penguat teras yang terbukti efektif mengurangi tingkat abrasi pada lahan yang curam. Dengan dilakukannya penanaman tumbuhan penguat teras tersebut, juga akan didapat nilai tambah lainnya dari teras yang dibuat, yaitu sebagai sumber pakan ternak dan materi organik tanah. Pembangunan teras juga sanggup dikombinasikan dengan pembangunan rorak untuk memperbesar penyerapan air ke dalam tanah dan menampung tanah yang tererosi, serta pembangunan susukan teras yang berada sempurna di atas guludan. Saluran teras dibentuk semoga air yang mengalir dari bidang olah sanggup dialirkan secara kondusif ke SPA (saluran pembuangan air).
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
            Lahan di dataran tinggi Dieng telah mengalami kerusakan tanggapan besarnya abrasi yang terjadi di daerah tersebut. Erosi tersebut dikarenakan karakteristik dari dataran tinggi Dieng yang berlereng dengan struktur tanah yang gampang lepas serta curah hujan yang relatif tinggi, ditambah dengan praktek pertanian yang dilaksanakan oleh petani sangat tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi. Petani menanam tumbuhan kentang secara intensif pada bedengan yang dibentuk searah lereng pada teras dingklik yang miring ke luar, serta tanpa ditanami dengan tumbuhan penguat teras.
            Untuk menanggulangi kasus tersebut, perlu dilakukan upaya konservasi yang mengkombinasikan upaya secara vegetatif dan mekanik. Teras gulud mempunyai efektivitas menahan abrasi yang tinggi sehingga sangat cocok untuk mengurangi kasus abrasi pada lahan tersebut. Namun, teras gulud juga haru diperkuat dengan tumbuhan penguat teras berupa tumbuhan Rumput Bede (Brachiaria decumbens) dan Rumput Bahia (Paspalum notatum). Untuk memperbesar penyerapan air ke dalam tanah dan menampung tanah yang tererosi, perlu dibangun rorak pada bidang olah dan susukan peresapan. Selain itu, semoga air yang mengalir dari bidang olah sanggup dialirkan secara kondusif ke SPA (saluran pembuangan air), teras gulud perlu dilengkapi dengan susukan teras yang dibangun sempurna di atas guludan.



Sumber http://kickfahmi.blogspot.com