TUGAS INDIVIDU DASAR PERLINDUNGAN TANAMAN
“Strategi Pengendalian Penyakit Tanaman ”
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Dasar Perlindungan Tanaman
Oleh :
Muhammad Guruh Arif Zulfahmi
(105040201111091)
PROGRAM STUDY AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRWIJAYA
MALANG
2010/2011
STRATEGI PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN
Epidemi dan perkembangan budidaya tanaman
Pertanian di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup panjang, terutama
di bidang perkebunan. Kopi arabika mulai dibudidayakan sekitar tahun 1700-
an dan merupakan perkebunan yang tertua di Indonesia. Tahun 1880-an terjadi
epidemi penyakit karat daun kopi yang disebabkan oleh Hemileia vastatrix,
sehingga kopi arabika diganti dengan kopi liberika dan kopi robusta. Tahun
1826 tumbuhan teh dari Cina (berdaun kecil) mulai ditanam, tetapi 50 tahun
kemudian jenis teh Cina diganti dengan teh Assam (India) dan gres ditanam
dalam perkebunan tahun 1910 di Sumatra Utara. Perkebunan tebu mulai
dikembangkan di sekitar Jakarta (Batavia) tahun 1830-an, kemudian baru
bergeser ke timur, tetapi tahun 1880 perkebunan tebu hampir punah karena
adanya epidemi penyakit ‘serah’. Perkebunan kina muncul tahun 1860 dan
perkebunan tembakau cerutu tahun 1864 di Klaten. Perkebunan kakao mulai
dibudidayakan di Jawa tengah tahun 1880 untuk mengganti tumbuhan kopi
arabika yang mengalami epidemi penyakit karat daun, kemudian kakao lindak
(yang dikembangkan sekarang) gres mulai dikembangkan tahun 1970-an di
Sumatra utara. Perkebunan karet Ficus elastica di Jawa termasuk perkebunan
tertua di dunia, tetapi perkebunan karet Hevea brasiliensis baru bangkit di
Sumatra utara tahun 1903 dan di Jawa tahun 1906. Perkebunan termuda adalah
perkebunan kelapa sawit dimulai di Sumatra utara tahun 1911.
Dalam goresan pena ini tumbuhan yang dipakai sebagai obyek pembahasan
sejarah yakni tumbuhan perkebunan lantaran perkebunan masih dianggap sebagai
usaha pertanian yang memegang peranan penting sehubungan dengan
peningkatan komoditi non-minyak (non-BBM) dan gas ditekankan kepada
intensifikasi dan ekstensifikasi perkebunan. Oleh lantaran itu sanggup dikemukakan
sebagai rujukan : berjangkitnya cacar daun cengkeh (Phyllosticta sp.) dan gugur
daun corynespora (Corynespora casicola) pada tumbuhan karet dan penyakitpenyakit
lain pada tumbuhan perkebunan selalu menjadi persoalan menurunnya
devisa negara. Dengan demikian dibutuhkan konsep taktik tertentu agar
kejadian-kejadian yang sangat merugikan tidak terulang kembali, baik pada
tanaman perkebunan maupun tanaman-tanaman lain.
Melihat jauh wacana Epidemiologi Penyakit Tanaman yang akan datang,
ada sejumlah ras-ras fisiologi diantara patogen-patogen. Setiap tumbuhan utama
dapat diserang oleh 50 hingga 200 patogen, sedangkan setiap spesies atau
varietas dari tumbuhan yang bersangkutan selalu mempunyai keadaan lingkunga
atau factor yang menghambat dan yang sesuai dengan perkembangannya.
Konsep memanipulasi macam-macam faktor untuk menekan patogen dilakukan
oleh hebat penyakit tumbuhan dan petani sendiri dengan memperhatikan siklus
penyakit, perkembangan tumbuhan inang dan efek lingkungan terhadap
siklus tersebut serta interaksi antar patogen dan inangnya. Konsep ini sudah
banyak dibicarakan dan diterapkan untuk pengendalian dengan mempergunakan
semua komponen pencegahan dalam satu kesatuan rencana dengan tujuan
keluaran produksi yang optimal sekaligus mempertahankan ekosistem pertanian
dan lingkungan hidup manusia
Keadaan konsep tersebut merupakan dasar pengelolaan penyakit secara
terpadu yang telah merupakan belahan integral dari ilmu penyakit tumbuhan
sejak pulahan tahun yang lampau. Sebagian besar penyakit tanaman
dikendalikan dengan pencegahan dan bukan pembrantasan. Hal ini berarti
bahwa tindakan yang tepat diambil sebelum penyakit itu berkembang sampai
lanjut supaya tidak terjadi eksplosi (out-break, epidemi puncak). Cara
pengendalian penyakit harus terpadu dengan paket pengelolaan pertanian secara
moderen, terutama yang ada hubungannya dengan biro mediator (vektor,
gulma). Pengendalian penyakit tumbuhan sanggup dilakukan secara aman, efektif
dan efisien, jikalau difahami aspek-aspek sosial ekonomi, budidaya, hayati, fisik
dan kimia yang menyangkut cara-cara pengendalian.
Pengendalian penyakit tumbuhan pada hakekatnya merupakan kiprah dan
kuwajiban petani sendiri. Bagi petani Indonesia yang masih berpandangan
sebagai ‘orang timur’, pencapaian peradaban berarti membutuhkan
kesejahteraan material dan kesejahteraan spiritual dalam bentuk ilmu
pengetahuan dan kearifan yang bersumber pada agama yang bersifat
monotheisme dan disana sini masih ada dogma komplemen sebagai sisa-sisa
animisme dan sejenisnya yang belum sanggup dihilangkan. Oleh lantaran itu
penyuluhan dan peningkatan ketrampilan kepada petani Indonesia tidak cukup
hanya menerapkan ilmu pengetahuan semata-mata, tetapi masih perlu
menggunakan kearifan yang diwariskan oleh nenek moyang sebagai media
penyuluhan. Peningkatan ketrampilan yang intensif sebaiknya dimulai dari
anak-anak petani sendiri yang terorganisasi secara baik.
Karantina Tumbuhan
Pengendalian penyakit dengan undang-undang dan peraturan-peraturan
bertujuan untuk melindungi hasil-hasil pertanian di dalam negeri terhadap hama
dan penyakit gres yang mungkin terdapat pada tumbuhan yang diimport atau
sudah ada di suatu daerah, tetapi belum terdapat di kawasan lain. Tindakan
larangan atau pembatasan sanggup dilakukan tergantung kepda ancaman dari hama
atau penyakitnya, keadaan lingkungan, macam tumbuhan dan kepentingan
ekonominya. Misalnya : larangan import tumbuhan karet dari Amerika Selatan ke
Indonesia, lantaran disana ada penyakit daun yang disebabkan oleh Microcyclus
ulei (=Dothidella ulei) yang belum terdapat di Indonesia (LN. No 427 jo No
532, 1932), larangan membawa tumbuhan pisang, buah pisang dan bagan-bagian
tanaman pisang lainnya dari Sulawesi dan dari Minahasa ke tempat dan daerah
lain untuk mencegah penjalaran penyakit darah yang disebabkan oleh
Pseudomonas celebensis serta masih banyak lagi larangan dan pembatasanpembatasan
yang diatur dalam suatu undang-undang Karantina dan peraturanperaturan
pelaksanaannya.
Penggunaan benih dan bibit
Penggunaan benih dan bibit yang sehat sanggup diperoleh dari tumbuhan yang
ditanam di kawasan yang tidak ada penyakit. Oleh lantaran itu benih yang akan
disebar luaskan perlu mempunyai akta kesehatan, kemurnian, kemampuan
adaptasi dengan keadaan setempat, kemampuan berproduksi, ketahanan
terhadap hama dan penyakit, sifat-sifat agronomi, serta kualitas yang
menyangkut sifat-sifat khusus. Untuk mematikan atau menciptakan patogen tidak
aktif sanggup dilakukan pemanasan, penyimpanan atau perawatan dengan
pestisida. Semua perlakuan perlu memenuhi beberapa syarat antara lain yakni :
dapat membunuh patogen yang dimaksud, sanggup dikerjakan dengan mudah,
tidak merusak benih, murah harganya, dan tidak berbahaya bagi orang.
Dalam menentukan benih atau bibit perlu diperhatikan jenis ketahanannya
terhadap hama dan penyakit. Apakah benih atau bibit tersebut berasal dari hasil
pemuliaan yang mempunyai ketahanan vertikal, horizontal atau toleransi ?.
Populasi inang yang semua individunya mempunyai ketahanan umum disebut
patodem, sedangkan populasi patogen yang semua individunya mempunyai
patogenisitas yang umum disebut patotipe. Apabila dilakukan sederetan
inokulasi, jumlah penyakit yang ditimbulkan sebagai interaksi antara inang dan
patogen tidak pertanda perbedaan nyata, maka ketahanan dari tanaman
tersebut disebut horizontal, sedang jikalau ada perbedaan aktual maka ketahanannya
disebut vertikal. Ketahanan horizontal reaksinya tidak deferensial, bekerja tidak
begitu menyolok,, tahan usang (stabil), gen-gen yang menentukan sulit
diidentifikasikan lantaran bersifat poligenik. Ketahanan vertikal reaksinya
deferensial, berkerja sangat kuat, tidak tahan lama, gennya sanggup diketahui
karena bersifat monogenik. Diantara ketahanan tersebut ada yang disebut
toleran, yaitu : tumbuhan masih bisa berproduksi meskipun sangat menderita
atau mengalami serangan berat.
Ketahanan vertical
Masa kini, banyak dipakai benih atau bibit yang mempunyai ketahanan
vertikal untuk mengejar hasil panen yang tinggi. Dari segi epidemiologi, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memakai ketahanan vertikal,
yaitu sebagai berikut :
1. Adanya variabilitas vertikal dari inang. Ketahanan vertikal gampang diterapkan
pada tumbuhan semusim, contohnya : cerealia, legum, sayuran, kentang, tomat,
tembakau, kapas, dan tumbuhan semusim lainnya. Untuk tumbuhan setahun atau
setengah keras, contohnya : tebu, pisang dan beberapa buah-buahan sulit
diterapkan, sedangkan untuk tumbuhan tahunan (keras), contohnya : teh, kopi,
kakao, karet, jeruk, apel, kelapa, dan tumbuhan hutan sangat tidak mudah atau
sama sekali tidak sanggup dilaksanakan. Perlu diperhatikan juga tentang
kemudahan untuk mengadakan pemuliaan. Variabilitas vertikal tumbuhan inang
mempunyai perbedaan individual antara spesies tanaman. Tebu yang lebih
mudah dimuliakan mempunyai variabilitas vertikal yang tinggi dibanding
triploid pisang yang lebih sulit dimuliakan.
2. Tipe epidemi penyakit tanaman. Adanya dua tipe epidemi yang secara
matematik analog dengan bunga tunggal dan bunga beragam dalam pinjam
meminjam uang di Bank. Ketahanan vertikal lebih mempunyai arti terhadap
penyakit tipe bunga tunggal dari pada tipe bunga majemuk. Fusarium,
Verticillium, dan layu basil merupakan penyebab penyakit tipe bunga
tunggal, sedangkan Phytophthora pada kentang merupakan penyebab penyakit
bunga majemuk.
3. Mutabilitas patogen atau fasilitas patogen mengalami mutasi. Ketahanan
vertikal agak tidak berarti terhadap patogen yang mempunyai mutabilitas
vertikal yang tinggi. Mutabilitas vertikal sanggup terjadi pada patogen tipe bunga
tunggal maupun tipe bunga majemuk. Synchitrium endobioticum dan beberapa
Fusarium mempunyai mutabilitas vertikal yang rendah, sedangkan
Pseudomonas solanacearum mempunyai mutabilitas vertikal yang tinggi.
Diantara penyakit tipe bunga beragam Fuccinia graminis mempunyai
mutabilitas vertikal yang lebih rendah jikalau dibandingkan Puccinia polysora
dan Phytophthora infestans yang sanggup menghasilkan patotipe vertikal dalam
satu ekspresi dominan dengan populasi yang sangat kecil. Ketahanan vertikal terhadap
penyakit, baik di lapangan maupun di laboratorium akan cepat dipatahkan.
4. Keragaman genetik tumbuhan inang. Ketahanan vertikal tidak begitu
mempunyai arti apabila populasi tumbuhan inang yang secara genetik seragam
(uniform) ditanam dalam areal yang luas sebagai kultivar tunggal (monokultur)
Misalnya pada pertanaman gandum, jumlah populasi patogen (Puccinia
antirhini dan Puccinia graminis) dari suatu kawasan biasanya sedikit, gennya
campuran dan jarang, tekanan seleksi pada patotipe vertikal yang gres akan
kecil, sebaliknya populasi tumbuhan gandum yang luas, gennya seragam dan
rapat maka seleksi pada patodem vertikal yang gres sangat besar, sehingga
ketahanan vertikal tumbuhan gandum akan patah.
5. Pola tanam dan pola waktu tanam. Pola tanam dari ketahanan vertikal di
lapangan yakni sangat penting terutama untuk menghadapi penyakit tipe
bunga majemuk. Monokultur mempengaruhi tekanan seleksi terhadap patogen
tertentu, menghindari monokultur merupakan salah satu cara pengendalian
penyakit tipe bunga majemuk. Pola waktu tanam dari pertanaman yang
memiliki ketahanan vertikal merupakan langkah sangat penting terutama
untuk menghadapi penyakit tipe bunga tunggal. Dalam rotasi tanaman, satu
atau lebih gen yang kuat untuk ketahanan vertikal harus tersedia untuk
menjamin bahwa tekanan stabilitas bekerja secara maksimal.
6. Alat perbanyakan tumbuhan inang. Ketahanan vertikal kurang berarti untuk
menghadapi penyakit yang ditularkan melalui alat perbanyakan vegetatif
inang. Beberapa penyakit ditularkan melalui alat-alat vegetatif. Bila alat-alat
perbanyakan vegetatif tersebut mempunyai ketahanan vertikal, maka akan
diikuti penularan patotipe vertikal yang sesuai. Inokulum awal kemudian
menjadi berkembang dan efek ketahanan vertikal akan hilang.
7. Tingkat proteksi ketahanan. Ketahanan vertikal akan cepat patah jika
perlindungan untuk ketahanan yang diberikan tidak sempurna.. Mekanisme
ketahanan vertikal harus memberi proteksi yang tepat terhadap
patotipe, tetapi kalau tidak tepat akan kurang mempunyai arti dan
berbahaya (sangat gampang dipatahkan ketahanannya).
8. Musim atau iklim. Ketahanan vertikal akan lebih mempunyai nilai apabila ada
musim yang menutup, contohnya ekspresi dominan kemarau yang panjang, akan
mengurangi populasi patogen patotipe baru. Hal ini sangat penting terutama
untuk menghadapi benalu obligat tipe bunga beragam pada tumbuhan semusim.
Pada tumbuhan tahunan tetap tidak berkhasiat dalam memakai ketahanan
vertikal meskipun ada ekspresi dominan yang menutup lantaran masih tersedianya jaringan
inang secara berkesinambungan (continue) selama ekspresi dominan kemarau, sehingga
patotipe gres tetap berkembang.
9. Pelaksanaan pengendalian legislatif. Ketahanan vertikal akan lebih
mempunyai arti jikalau pengendalian legislatif berjalan sesuai dengan peraturan
yang berlaku. Pengendalian legislatif antara lain larangan penanaman patodem
vertikal tertentu untuk mempertahankan kekuatan ketahanan vertikalnya.
Misalnya kultivar ketang dengan ketahanan vertikal terhadap penyakit kutil
(Synchitrium endobioticum). Patogen tersebut merupakan patogen golongan
parasit obligat dan prosedur ketahanan vertikal kentang memberi
perlindungan tepat terhadap patotipe vertikal yang tidak sesuai. Di bawah
keadaan tersebut patogen sanggup mempertahankan diri hanya dalam bentuk
spora istirahat yang merupakan patotipe vertikal asli, sehingga tidak dapat
dihasilkan patotipe vertikal gres dan ketahanan vertikal tak sanggup dipatahkan.
Bentuk lain pengendalian legislatif yang sanggup mempertahankan nilai
ketahanan vertikal yakni sertifikasi kesehatan benih dan pengendalian pola
pertanaman.
10. Tingkat penggunaan ketahanan horizontal. Ketahanan vertikal tampaknya
lebih mempunyai arti jikalau diperkuat dengan tingkat pengunaan ketahanan
horizontal. Tingkat ketahanan horizontal biasanya nilainya sangat rendah,
tetapi ketahanan vertikal sanggup dipertinggi secara menyolok jikalau diperkuat
dengan tingkat ketahanan horizontal yang berguna. Suatu rujukan kultivar
kentang vertifolia yang diseleksi untuk ketahanan vertikal terhadap
Phytophthora infestans telah kehilangan ketahanan horizontalnya dalam
proses pemuliaan, sehingga alhasil paada waktu ketahanan vertikalnya
patah maka kultivar vertifolia sangat rentan terhadap Phytophthora. Fenomena
seperti ini disebut ‘vertifolia effect’.
Sepuluh hal tersebut di atas akan sulit dimengerti jikalau tidak ada ilustrasi
dalam praktek. Beberapa rujukan dalam praktek akan disampaikan berikut ini
agar sanggup diidentifikasi aturan-aturan di atas dengan cara diberi nomor dalam
kurung.
a) Layu Fusarium oxysporum. Patogen ini merupakan benalu fakultatif dari tipe
bunga tunggal (2). Tanaman inangnya yakni tumbuhan semusim (1) yang
paling sedikit diketahui ada satu gen yang kuat, sehingga rotasi tumbuhan dapat
dilakukan (5), dan pengendalian secara tepat sanggup dimungkinkan dengan
ketahanan vertikal. Pengendalian yang demikian sanggup berhasil pada tanaman
tomat dan kobis, tetapi akan gagal jikalau rotasi tumbuhan tidak dijalankan.
Pengendalian yang demikian tidak berhasil pada tumbuhan pisang panama
terhadap penyakit panama (Fusarium oxysporum), lantaran pisang merupakan
tanaman setahun (setengah keras) yang sangat sulit dimuliakan (1) dan
ditanam dalam areal yang luas dengan klon tunggal (4) dan penyakit juga
ditularkan melalui materi vegetatif (6).
b) Layu basil yang disebabkan oleh Pseudomonas solanacearum. Ketahanan
vertikal terhadap penyakit ini telah dipersiapkan pada kentang, akan tetapi
tidak mempunyai nilai lantaran patogen mempunyai mutabilitas vertikal yang
tinggi (3), kekurangan gen kuat, penyakit menular melalui umbi sebagai bibit
(6) dan kesulitan untuk mencapai pengendalian legislatif yang cocok (9) di
daerah pertanian tropika di mana penyakit tersebut menimbulkan kerugian.
Kenyataannya, strain SFR dari patogen telah berubah dari tipe bunga tunggal
menjadi tipe bunga beragam (2)
c) Karat kopi yang disebabkan oleh Hemileia vastatrix. Spora dari karat kopi
ditularkan melalui air. Hal ini berarti bahwa pada skala perkebunan, individu
populasi inang yakni pohon tunggal dan karat merupakan penyakit tipe bunga
tunggal. Pada skala pohon tunggal, individunya yakni daun tunggal dan karat
adalah penyakit bunga beragam (2). Oleh lantaran itu pola dalam ruang tidak
mempunyai arti, lantaran kopi merupakan tumbuhan tahunan jangka panjang (1),
terdapat jaringan inang secara berkesinambungan (6) yang akan membawa
patotipe vertikal yang sesuai, sehingga pola dalam waktu (5) tidak dapat
dilakukan. Penggunaan ketahanan vertikal terhadap karat kopi sangat
membawa resiko, akan tetapi resiko ini sanggup dikurangi lantaran mutabilitas
patogen (3) sangat rendah, disamping dimungkinkan mengurangi patogenisitas
horizontal dengan ketahanan vertikal yang kompleks. Di Pantai Gading telah
berhasil dikembangkan kopi Arabusta yang tahan terhadap Hemileia vastatrix
strain Afrika barat, kopi ini hasil persilangan kopi Arabika dan Robusta dan
menghasilkan kopi rasa Arabika dengan ketahanan Robusta.
d) Penyakit hawar daun pada kentang yang disebabkan oleh Phytophthora
infestans. Penyakit hawar daun kentang merupakan penyakit tipe bunga
majemuk (2) yang disebabkan oleh patogen dengan mutabilitas vertikal yang
tinggi (3) yang dibawa oleh bagian-bagian vegetatif kentang (6) dari
pertanaman yang secara genetik seragam (4). Faktor-faktor tersebut lebih
menguntungkan kentang sebagai pertanaman semusim yang mekanisme
ketahanan vertikalnya memperlihatkan proteksi tepat terhadap patotipe
vertikal yang tidak sesuai (7) dari benalu obligat. Beberapa gen yang kuat
diketahui, ketahanan vertikal terhadap penyakit hawar daun sedemikian jauh
gagal untuk mengendalikan penyakit, akan tetapi kemungkinan pola
pertanaman (5) dan penguatan kembali dengan ketahanan horizontal (10)
dapat menolong.
e) Karat tropika pada jagung yang disebabkan oleh Puccinia polysora. Penyakit
karat jagung merupakan penyakit tipe bunga beragam (2) yang disebabkan
oleh patogen dengan mutabilitas vertikal yang tinggi (3), sehingga ketahanan
vertikal tumbuhan terhadap karat jagung tropika cepat patah dan tidak bernilai
lagi. Jagung merupakan tumbuhan dengan gen yang beraneka ragam dan
bersifat polinasi terbuka, sehingga menghasilkan tingkat ketahanan horizontal
yang memadai. Oleh lantaran itu ketahanan vertikal akan tidak berkhasiat dan
bahkan tidak diperlukan.
Budidaya tanaman
Untuk meningkatkan produksi materi makanan dilakukan perjuangan budidaya
yang intensif (intensifikasi) dan ekspansi areal (ekstensifikasi). Perubahan
lingkungan dari cara budidaya tradisional ke cara budidaya dengan teknologi
moderen mengundang resiko penyakit tumbuhan yang harus diperhitungkan.
Penggunaan tanah atau lahan yang bebas dari penyebab penyakit harus
diartikan bahwa tanah atau lahan tersebut relatif atau sama sekali bebas dari
patogen yang sanggup merugikan jenis tumbuhan yang akan dibudidayakan atau
ditanam dan boleh mengandung patogen tumbuhan lain. Di Bengkulu banyak
tanah bukaan baru, menyerupai bekas alang-alang atau bekas hutan sering merupakan
tanah atau lahan yang bebas patogen tergantung dari jenis tumbuhan yang akan
dibudidayakan. Tanah bekas hutan akan merupakan tanah atau lahan yang dapat
sangat berpotensi terhadap penyakit jikalau lahan tersebut kemudian dibudidayakan
tanaman tahunan juga, menyerupai : karet, kopi, teh, kakao, kelapa sawit dan
tanaman tahunan lainnya, lantaran pada lahan tersebut akan ada sisa-sisa patogen
akar dari pohon hutan yang sanggup merugikan tumbuhan tahunan yang
dibudidayakan.
Parasit yang terutama menyerang tumbuhan subur biasanya yakni parasit
obligat, yang hidupnya sangat tergantung kepada sel-sel hidup, menyerupai : patogen
karat (Puccinia arachidis) pada kacang tanah, patogen karat jagung (Puccinia
polysora), patogen bulai jagung (Scleroperonospora maydis), patogen tepung
pada karet, jeruk, tembakau (Oidium spp.), patogen cacar pada teh
(Exobasidium vexans), patogen karat pada kopi (Hemileia vastatrix), serta
paenyakit-penyakit yang disebabkan oleh virus, mikoplasma dan spiroplasma
pada macam-macam tumbuhan semusim maupun tahunan. Pemakaian nitrogen
yang terlampau banyak tidak mempunyai efek pribadi terhadap
timbulnya karat tetapi akan meningkatkan jumlah daun dan kandungan air.
Intensitas penyakit dan kerentanan tumbuhan sangat dipengaruhi oleh
penggunaan nitrogen. Penyakit karat dan tepung dirangsang oleh N dari nitrat
(NO3) tetapi dihambat oleh N dari amonium (NH4). Bertambahnya berat
serangan penyakit tepung sebagai akhir dari NO3 dibarengi dengan
bertambahnya luas daun. Meskipun demikian ketahanan daun, yang tergantung
kepada umur, sanggup meningkat lagi sebagai hasil penambahan penggunaan
bentuk nitrogen. Patogen Desclera turcica pada jagung, justru timbulnya
penyakit pada varietas yang resisten (tahan) akan lebih berkurang lantaran NO3,
sebaliknya penggunaan NH4 pada varietas padi yang rentan akan menambah
timbulnya Pyricularia oryzae.
Tanaman yang lemah atau yang tumbuh pada tanah kurang subur mudah
menderita penyakit fisiologis dan gampang diserang oleh parasit-parasit lemah
yang biasanya mengakibatkan bercak daun dan bacin akar. Pada tanah-tanah
yang gres sedikit mengalami pelapukan dengan pH rendah (asam) akan
menguntungkan untuk hidupnya jamur-jamur akar, sedangkan tanah-tanah
dengan pH tinggi (5,2 – 5,7) gampang terjangkit penyakit kudis. Intensitas
penyakit bacin akar pada tembakau yang disebabkan oleh Thielaviopsis
basicola akan menurun jikalau diberi asam sulfat tetapi akan meningkat jikalau diberi
asam fosfat. Hal ini memperlihatkan bahwa penambahan unsur yang sama ke tanah
dari senyawa yang berbeda akan sanggup menjadikan perkembangan penyakit
yang berbeda pula.
Parasit yang penularannya lewat tanah kurang sanggup bertahan dalam tanah
yang terlalu basah, lantaran mikroorganisme lain yang bersifat antagonik
(misalnya : Trichoderma, Verticillium) akan menjadi lebih aktif. Tektur tanah
yang lebih ringan akan disukai oleh beberapa benalu menyerupai nematoda, jamur
akar merah bata (Poria hypolateritia), jamur akar coklat (Phellinus lamaensis),
sedangkan penyakit-penyakit basil pada kapas (Xanthomonas malvacearum),
jamur akar merah anggur (Ganoderma pseudoferreum), jamur akar merah ungu
(Spherotilbe repens) banyak terdapat pada tanah bertekstur berat.
Akar tumbuhan dan patogen tular tanah menempati lingkungan yang sama,
misalnya aerasinya. Perubahan aerasi tanah mungkin akan mempengaruhi
kerentanan tanaman, virulensi patogen atau kedua-duanya, sehingga timbulnya
penyakit akan dipengaruhi oleh keadaan aerasi tanah. Busuk akar tebu yang
disebabkan oleh Pythium arrenomones telah diteliti ada efek ‘salisylic
aldehyde’ yang biasanya terdapat pada tanah-tanah yang drainasenya jelek.
Substansi ini mengakibatkan adanya keracunan terhadap tebu dalam konsentrasi
yang relatif tinggi, tetapi mempunyai efek yang kecil dalam konsentrasi
rendah. Namun demikian pengurangan berat tumbuhan lantaran inokulasi dengan
jamur tersebut mendekati 6 kali jikalau ada salisylic aldehyde.
Daerah yang hujannya tidak teratur atau mempunyai periode kering yang
panjang, irigasi merupakan hal yang penting untuk meningkatkan produksi
pertanian. Namun demikian pemberian air akan mempengaruhi kelembaban
tanah dan pada umumnya menambah berat serangan dari patogen tular tanah,
misalnya : Sclerotium rolfsii, Rhizoctonia spp. Irigasi memang memungkinkan
menanam tumbuhan di luar musim, sehingga rotasi tumbuhan biasanya kurang
diperhatikan. Hal ini mengakibatkan terjadinya serangan yang lebih awal. Oleh
karena itu investasi alat-alat irigasi yang besar hanya menguntungkan jika
tanaman yang akan diusahakan mempunyai nilai pasar yang tinggi dan tindakan
perlindungan tumbuhan perlu dilakukan seawal mungkin. Untuk penyakitpenyakit
tertentu, contohnya bacin kaki hitam pada Rosela yang disebabkan oleh
Phytophthora parasitica, penggenangan air sedalam 20 cm atau lebih akan
mematikan patogen. Pengenangan satu bulan sebelum ditanami tembakau dapat
sangat mengurangi penyakit lanas yang disebabkan oleh Phytophthora
nicotianae dan membantu perkembangan jamur-jamur antagonis. Namun
demikian jikalau drainasenya buruk akan merupakan sarang patogen.
Saat menyebar benih, dalamnya menanam dan jarak tanam merupakan
salah satu hal yang harus diperhatikan dalam mengendalikan penyakit tanaman,
karena besar lengan berkuasa terhadap lingkungan yang diciptakan dari pertumbuhan
tanaman dan persaingan unsur hara dalam tanah. Banyak tumbuhan yang lebih
rentan terhadap penyakit pada waktu masih muda. Untuk mengendalikan
penyakit bulai pada jagung dianjurkan untuk menanam jagung lebih awal,
sehingga pada waktu ekspresi dominan banyak hujan, tumbuhan sudah cukup besar dan
tahan terhadap penyakit bulai. Di Jepang penanaman padi yang lebih awal justru
menambah timbulnya penyakit blast, sebaliknya di Afrika penanaman kacang
tanah yang awal merupakan tindakan pencegahan terhadap penyakit roset yang
disebabkan oleh virus dan ditularkan oleh Aphis.
Penanaman yang terlalu dalam berarti memperbesar kemungkinan
terserang oleh benalu tular tanah, lantaran kecambah terlalu usang berada di dalam
tanah. Demikian juga penanaman yang terlalu rapat memperlihatkan lingkungan
yang sangat baik kepada parasit-parasit yang perkembangannya dibantu oleh
kelembaban yang tinggi, menyerupai : Pythium spp. penyebab penyakit busuk
batang, sebaliknya penanaman kacang tanah yang rapat sanggup mengurangi
infeksi virus yang ditularkan oleh aphis, menekan persaingan dengan gulma dan
dapat mempertinggi angka hasil.
Pemeliharaan tumbuhan yang dilakukan oleh petani pada umumnya berupa
perlakukan sanitasi yang kadang kala secara tidak sengaja membantu
penyebaran patogen. Sebagai rujukan : pada waktu menyiang atau mencari ulat,
penyakit virus yang sanggup ditularkan secara mekanik akan meluas, seperti
mosaik tembakau dan belang pada kacang tanah. Dalam penyiangan, kecuali
mengurangi kompetisi antara gulma dengan tumbuhan inang, sekaligus harus
diperhatikan tumbuhan sebagai inang lain dari vektor atau inang dari
patogennya sendiri. Misalnya untuk mosaik tembakau, tumbuhan inang lain
adalah tomat (Lycopersicon esculentum), ceplukan (Physalis angulaata), terong
(Solanum melongena), ketimun (Cucumis sativus), semangka (Cucumis sp.),
buncis (Phaseolus vulgaris), tembakau liar (Nicotiana glutinosa). Untuk
penyakit krupuk pada tembakau, pembawa patogen (vektor) yang berupa lalat
putih (Bemissia tabaci) sanggup bertahan pada gulma wedusan (Ageratum
conyzoides), srunen (Sunedrella nodiflora), dan tomat. Inang dari virus tungro
pada padi antara lain : rumput celulang (Eleusine indica), tuton (Echinochloa
colonum), jawan (Echinochloa crugalli) dan lain-lain. Seperti diketahui bahwa
penyakit virus tungro dan kerdil kuning ditularkan oleh wereng hijau
(Nephotettix impicticeps), sedangkan wereng coklat (Nilaparvata lugens)
menularkan virus kerdil rumput dan kerdil hampa pada padi, sehingga salah satu
pengendalian efektif yakni mengadakan pencucian rumput-rumput inang
virus dan sisa-sisa tumbuhan padi.
Pemotongan bibit tebu sanggup mengakibatkan menularnya penyakit blendok
(Xanthomonas albilineans) yang sanggup dicegah dengan mendesinfeksi kapak
atau pemotong dengan lysol. Pemeliharaan bibit maupun tumbuhan perlu selalu
memperhatikan kebersihan pekerja dengan jalan mengadakan desinfeksi
menggunakan sabun trinatrium fosfat atau zat-zat penyamak untuk membuat
inaktif patogen. Tindakan sanitasi sanggup juga dilakukan dengan jalan
membinasakan tumbuhan yang sakit atau menghilangkan bagian-bagian tanaman
sakit secara hati-hati untuk mengurangi sumber penular, sehingga penyakit tidak
meluas. Misalnya menghilangkan cabang-cabang pohon jeruk yang terserang
Diplodia natalensis, memotong bagian-bagian tumbuhan yang terjangkit jamur
upas (Corticium salmonicolor)
Penggunaan pohon pelindung yang sering untuk menambah bahan
organik, mengurangi penguapan dan kadang kala untuk memperbaiki
kualitas produksi tumbuhan (misalnya pada teh), harus diperhitungkan akan
kerimbunannya. Pohon pelindung yang terlalu rimbun akan mempertinggi
kelembaban kebun dan mengurangi masuknya cahaya matahari. Hal ini akan
sangat membantu serangan macam-macam patogen khususnya Exobasidium
vexans penyebab penyakit cacar teh. Demikain juga jenis pohon pelindung perlu
diperhitungkan akan kepekaannya terhadap jamur-jamur akar, serangga vektor
yang sanggup menyerang tumbuhan pokok. Misalnya : Lamtoro (Leucaena glauca)
peka terhadap jamur akar coklat (Phellinus lamaensis), jamur akar hitam
(Rosellinia bunodes), jamur kanker belah (Armilaria melea), jamur leher akar
(Ustulina maxima) yang infeksinya biasanya melalui luka akhir penyiangan.
Pohon pelindung dadap (Erythrina subumbrans) banyak dipakai petani
Bengkulu selatan sebagai pohon pelindung tumbuhan kopi dan pohon panjat
tanaman lada. Dadap peka terhadap jamur akar coklat, jamur kanker belah,
jamur akar merah, jamur leher akar, dan jamur akar putih.
Pasca panen
Kerusakan tumbuhan dan hasil tumbuhan sering terjadi lantaran pemanenan
yang tidak tepat pada waktunya dan dijalankan kurang hati-hati. Penyadapan
getah karet yang terlalu berat dan dibantu dengan kelembaban yang tinggi akan
banyak menimbulkan penyakit, menyerupai : mouldy rot (Ceratostomella fimbriata),
kanker garis, kanker bercak dan kanker bekuan (Phytophthora palmivora) dan
penyakit kulit dalam coklat (Pythium complectans). Pemanenan tembakau yang
terlalu lambat dan berair akan memperbanyak serangan patik (Cercospora
nicotianae). Pemanenan umbi kentang dan rimpang jahe yang kurang hati-hati
akan mengakibatkan terjadinya luka, yang mempermudah jerawat Fusarium dan
bakteri pasca panen yang mengakibatkan bacin kering (Fusarium) dan busuk
basah (bakteri). Sepanjang masa penyimpanan harus diusahakan adanya
kombinasi antara suhu, kelembaban dan ventilasi. Akan menjadi kurang tepat
jika menyimpan buah-buahan dan sayuran segar asal tropika, menyerupai : mangga
(Manggifera indica) dan pisang (Musa paradisica) pada suhu yang rendah (
kurang dari 10oC) dalam waktu usang (lebih dari 12 jam), lantaran buah akan
rusak akhir pendinginan. Perlu diingat bahwa setiap materi mempunyai syarat
suhu tersendiri untuk sanggup tetap segar.
Penyakit patogenik dari hasil tumbuhan yang disimpan sanggup dibedakan
yang terdapat pada bahan-bahan kering, menyerupai biji cerealia dan yang memerasit
tanaman inang yang berdaging. Yang pertama (bahan kering), biasanya bekerja
sangat lambat dan toleran terhadap batas-batas kelembaban dan suhu yang lebih
luas, sedangkan yang kedua (bahan berdaging) sering berkembang dengan
kecepatan yang tinggi dan memerlukan suhu di atas 35oF (=28oC) serta
kelembaban tinggi. Penyakit pasca panen pada padi dicirikan adanya pebusukan
kering dan kadang kala ada yang tidak memperlihatkan gejala. Umumnya
spora-spora jamur berkecambah pada kandungan air di atas 14%. Batas
kandungan air ini berbeda-beda untuk macam-macam spesies jamur, suhu dan
kelembaban tempat penyimpanan. Beberapa jamur sanggup mengeluarkan racun
(mikotoksin) yang berbahaya, contohnya Penicillium citrinum yang
mengeluarkan pigmen kuning dan substansi racun citrinin (C13H14O5), berupa
kristal, Penicillium slandicum menghasilkan subtansi racun berupa kristal
islanditoxin (C26H33O8N5Cl2) . Tidak semua beras kuning beracun, misalnya
beras kuning yang terjangkit oleh Trichoderma sp.dan Pseudomonas sp. maupun
beras kuning lantaran dipanen muda tidak beracun. Disarankan untuk
mengeringkan gabah atau beras hingga kandungan airnya kurang dari 14% dan
kelembaban udara tempat penyimpanan di bawah 70%. Mikotoksin yang
terdapat pada hasil-hasil pertanian, selain berbahaya bagi insan juga
berbahaya bagi ternak. Aflatoxin yang dihasilkan oleh golongan jamur
Aspergillus, mencakup : Aspergillus flavus, A. Parasiticus, A. Oryzae. A. Niger
dan juga beberapa jamur lain menyerupai : Penicillium puberulum, P. frequentants.
Diketahui ada delapan macam aflatoxin, yaitu : B1 (C17H12O6) ; B2 ; B2a ; G1
(C17H12O7), G2 ; G2a ; M1 dan M2. Aflatoxin B2 dan G2 berturut-turut
merupakan turunan dihidroaflatoxin B1 dan G1, aflatoxin B2a dan G2a
berturut-turut merupakan turunan 2-dihidroksiaflatoxin B2 dan G2, sedangkan
aflatoxin M1 dan M2 berturut-turut merupakan turunan 4-hidroksiaflatoxin B1
dan B2. Yang mempunyai daya meracun tinggi yakni aflatoxin B1, kemudian
diikuti oleh aflatoxin G1, B2 dan G2 gres aflatoxin M, sedangkan aflatoxin B2a
dan G2a boleh dikatakan tidak beracun. Disarankan supaya pada waktu
pengeringan (kacang-kacangan) dijaga jangan hingga banyak polong yang
pecah atau rusak lantaran faktor lain yang sanggup membantu perkembangan jamur
penghasil aflatoxin.
Pestisida
Istilah pestisida (pest = pengganggu + caedo = pembunuh) dari segi
bahasa yakni pembunuh pengganggu, tetapi istilah ini sering tidak dimengerti
oleh petani dan khalayak, kemudian diterjemahkan menjadi racun hama atau
obat anti hama. Istilah obat-pun menjadi membingungkan, lantaran dalam bahasa
sehari-hari arti obat yakni penyembuh penyakit. Untuk menghindari
kecelakaan dan hal-hal yang tidak diingini dalam bahasa penyuluhan
disarankan untuk memakai istilah racun hama untuk pestisida, racun
serangga untuk insektisida, racun tikus untuk rodensida, racun rumput untuk
herbisida, dan racun jamur untuk fungisida.
Penggunaan pestisida dalam pengendalian penyakit tumbuhan harus
diperhitungkan pengembalian ekonominya, termasuk persoalan keselamatan
manusia dan dampaknya terhadap lingkungan. Oleh lantaran itu disarankan
pengendalian secara “bioenvironmental control” (pengendalian hayati dengan
mempertimbangkan lingkungan) dijadikan prioritas utama, sedangkan