Tuesday, July 3, 2018

√ Konservasi Sumberdaya Lahan


KONSERVASI SUMBERDAYA LAHAN KRITIS
DI DESA OEBOLA KABUPATEN KUPANG

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang mempunyai kekayaan alam yang melimpah akan sumber daya tambang. Perkembangan pertambangan di Indonesia sangat tinggi, dari pertambangan watu bara, minyak bumi, emas, timah, perak dan logam lainnya. Peningkatan luas lahan kritis merupakan kesatuan yang bersifat simultan antara kondisi biofisik, social ekonomi dan budaya yang berkaitan dengan pemanfatan lahan sebagai faktor produksi utama, serta penerapan kebijakan yang kurang mempertimbangkan kelestarian. Karena itu, dalam memilih tindakan pengendalian dan model pendekatan, perlu mempertimbangkan keterwakilan aspek sosial budaya beserta impian masyarakat setempat. Pertambahan lahan terdegradasi di Indonesia semakin meningkat. Hutan yang sudah dalam keadaan kritis seluas 48,5 juta ha dari 120,35 juta ha hutan yang ada di Indonesia dan 71,85 juta ha merupakan hutan yang masih sisa. Untuk luas lahan kritis di NTT telah mencapai 1.313.897 ha atau 27,74% dari total luas wilayah 4.735.000 ha. Kerusakan paling tinggi terjadi di luar daerah hutan sebanyak 1.016.575 ha dan 297.322 ha dalam daerah hutan. Eksploitasi terhadap sumberdaya lahan semakin intensif, tanpa diikuti dengan tindakan rehabilitasi dan pelestarian. Hal ini berimplikasi pada semakin kecilnya jumlah tutupan hutan yang ada dan rentannya krisis lingkungan.
Untuk memperoleh landasan teknik pendekatan dan pengendalian lahan kritis, perlu adanya sintesis teknologi yang bisa menjembatani kepentingan masyarakat dengan upaya rehabilitasi lahan tersebut. Kecamatan Fatuleu merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Kupang. Jumlah penduduknya 29.800 jiwa, dengan tingkat kepadatan penduduk ialah 30 jiwa per km², terdiri dari 11 desa dan 1 kelurahan. Mata pencaharian masyarakatnya 41,41% ialah pertanian dan peternakan. Model rehabilitasi lahan kritis yang diterapkan disesuai dengan akar permasalahan wilayah setempat lantaran teknologi rehabilitasi lahan kritis yang cenderung mengadopsi model yang telah berhasil di daerah lain dan “dipaksakan” untuk diterapkan pada daerah yang mempunyai perbedaan yang khas, sehinga pada umumnya kurang sanggup berhasil baik. Oleh lantaran itu, teknologi rehabilitasi lahan kritis di kelompok tani Fetomone, Desa Oebelo, Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang ialah pengembangan agroforestry sistem silvopastural.Penerapan sistem ini mempertimbangkan keunikan wilayah (site specific) beserta peluang dan tantangan dengan sistem budaya masyarakat setempat yang rata-rata ialah petani dan ternak yang hidup secara turun temurun. Pertimbangan fundamental lainnya ialah daerah ini didominasi tanah berkapur dan batubatuan sehingga pada tahap awal sanggup diterapkan agroforestry system silvopastoral dan 5 tahun kemudian dikembangkan sistem agrosilvopastural. Pendekatan sistem ini lebih gampang diterapkan dan diharapkan bisa meningkatkan partisipasi masyarakat, serta mendorong pemulihan lahan kritis.
Jenis lahan kritis dbedakan kedalam 4 (empat) tingkat kekritisan lahan yaitu potensial kritis, semi kritis, kritis dan sangan kritis dimana jumlah luas lahan kritis di Jawa Barat pada daerah hutan mencapai 474.006 ha yang terdiri dari daerah hutan lindung (101.690 ha), daerah hutan konservasi (34.664 ha) dan daerah hutan produksi (337.652 ha, Puslittanak, 1997).

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1997) telah mengklasifikasikan lahan kritis memakai empat parameter lahan yaitu (1) kondisi penuupan vegetasi, (2) tingkat korehan/kerapan drainase, (3) penggunaan lahan dan (4) kedalaman tanah. Sesuai dengan parameter-parameter lahan tersebut, lahan kritis dibedakan ke dalam empat tingkat kekritisan lahan yaitu potensial kritis, semi kritis, kritis dan sangat kritis.

1.2  Dampak Kerusakan
Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolahan lahan kritis dan tata air diwilayah ini ialah menyeimbangkan pinjaman dan pelestarian sumberdaya tanah dan air yang terbatas dengan semakin meningkatnya, kebutuhan manusia. Keragaman dan keunikan geografi dengan perbedaan tipologi agroklimat dan tipe lahan yang khas membutuhkan penanganan yang bersifat spesifik, khususnya untuk rehabilitasi lahan. Untuk itu sangat dibutuhkan masukan dan pembiasaan teknologi yang mempertimbangkan kondisi sosial, ekonomi, dan pola pemanfaatan lahan serta dibutuhkan kehatihatian dalam mengadopsi model rehabilitasi lahan yang berhasildi daerah lain.
Produktivitas lahan menurun lantaran rusaknya struktur alami tanah serta ikut hilangnya unsur hara yang ada di dalam tanah yang diperuntukkan bagi tanaman, hilang terbawa thermal, kecuali unsur K yang tidak sanggup terbakar. Selain itu secara pribadi mensugesti suhu yang semakin meningkat akhir pemanasan global  yang disebabkan lantaran meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akhir kegiatan manusia,termasuk hal kebakaran hutan tersebut,  meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrem sehingga mengakibatkan cuaca sangatlah panas. Selain itu lantaran tiadanya vegetasi yang ada di sekitar treking area hingga dengan pos 3, pos peristirahatan. Hanya berupa sabana yang sangatlah luas membentang dengan tanahnya yang sangatlah tandus dan gembur sehingga sangat gampang mengalami erosi, dengan injakan kaki para pendaki gunung sehingga menciptakan polusi udara lantaran banyak debu bertebaran sangat banyak.
Dengan banyak sekali pertimbangan factor kondisi lahan dan masyarakat yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian di bidang pertanian dan peternakan, maka tipe agroforestry yang sanggup dikebangkan didaerah ini antara lain: agrosilviculture, Sylvopasture, agrosilvopasture.
Laju kerusakan hutan yang disebabkan oleh banyak sekali faktor diprediksikan telah mencapai 1.6 juta hektar per tahunnya. Apabila hal ini dibiarkan maka berdasarkan Witular (2000) hutan alam tropika di Sumatera akan habis pada tahun 2005, sedangkan di Kalimantan akan habis pada tahun 2010. Sementara berdasarkan inventarisasi Depertemen kehutanan 2003, luas lahan kritis di Indonesia sekitar 43 juta hektar, dengan laju kerusakan hutan sekitar 3,5 juta hektar per tahun.
Kebutuhan materi baku industri sekitar 58.87 juta m3/tahun, sedangkan pemenuhan kayu yang diproduksi dari hutan alam, hutan rakyat, HTI dan PT Perhutani selama 5 tahun terakhir hanya sekitar 25 juta m3/tahun. (Direktorat Produksi Hasil Hutan, 2000). Emil Salim (2005) menyampaikan bahwa kebutuhan kayu di Indonesia sekitar 60 – 70 juta m3 setahun, sementara kayu yang bisa ditebang secara lestari dari hutan kita (alam, HTI dan Hutan Rakyat) hanya sekitar 20 juta m3/tahun. Sementara ilegal logging terus berjalan.
 Jadi mau tidak mau kita harus menanam dan tidak menebangi hutan alam
Sumber-sumber kerusakan hutan :
1. Alih fungsi dan penyerobotan daerah hutan
2. Bencana alam contohnya kebakaran, letusan gunung berapi, angin dan sebagainya
3. Penebangan (legal) yang berlebihan dan penebangan ilegal
4. Hama dan penyakit
Soekotjo dan Hani’in (1999) Kriteria kerusakan hutan sanggup mengacu pada akhir yang ditimbulkan oleh kerusakan tersebut terhadap :
1. Keanekaragaman hayati
2. Produktivitas dan vitalitas hutan
3. Margasatwa
4. Aestetik dan lain sebagainya.
Salah satu upaya dalam mengatasi masalah-masalah diatas ialah antara lain dengan:
a. Rehabilitasi lahan melalui banyak sekali cara, antara lain dengan : Reboisasi, penghijauan, penanaman kembali dengan tumbuhan perkebunan, tumbuhan pertanian, reklamasi lahan pada lahan bekas tambang, dll.
b. Koordinasi dengan banyak sekali stackholder dalam merancang pemanfaatan sumberdaya alam, secara arief, tanpa meninggalkan aspek kelestarian
c. Membuat skala prioritas dalam menuntaskan permasalahan yang ada.
Salah satu cara yang mungkin bisa dijadikan opsi dalam rangka rehabilitasi lahan kritis terutama yang berbenturan dengan banyak sekali persoalan khususnya masyarakat ialah antara lain dengan penerapan aplikasi silvikultur. Karena dengan penerapan aplikasi silvikultur akan bisa mewadai banyak sekali kepentingan yang berkait dengan rehabilitasi lahan kritis
.


BAB II
KARAKTERISTIK DAN PERMASALAHAN
LAHAN KRITIS DI DESA OEBOLA KABUPATEN KUPANG


2.1 Karakteristik

Lahan pada beberapa pulau besar di Propinsi Nusa Tenggara Timur khususnya didaerah kupang sebagian besar telah dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian yang mencakup tumbuhan perkebunan, hortikultura, tumbuhan pangan, peternakan, dan tumbuhan hutan ibarat lontar, cendana, dan asam. Selain itu, wilayah ini mempunyai sumber daya kelautan (maritim) yang potensial untuk dikembangkan.
Dalam rangka kegiatan merehabilitasi lahan kritis, perlu memperhatikan beberapa faktor lingkungan.Beberapa faktor lingkungan tersebut ialah iklim, bentuk wilayah, materi induk tanah, vegetasi dan jenis-jenis tanah. Faktor-faktor tersebut saling kait-mengkait satu dengan yang lain yang hasilnya sagat memilih daya dukung lahan, termasuk daya dukung terhadap rehabilitasi lahan.
Iklim sebagai salah satu faktor lingkungan fisik yang sangat penting sanggup mensugesti pertumbuhan tanaman. Bebrapa unsur iklim yang penting ialah curah hujan, suhu, dan kelembaban. Di daerah tropika umumnya radiasi tinggi pada demam isu kemarau dan rendah pada demam isu penghujan. Namun demikian mengingat sifat saling berkaitan antara unsur iklim satu dengan yang lainnya, maka dalam uraian iklim ini akan diuraikan unsur-unsur iklim yang yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman, (Uftori, 2010).
Daerah Nusa Tenggara Timur secara umum mempunyai curah hujan yang relative rendah, dan tipe curah hujan yang cukup bervariasi dari mulai B hingga F (Schmidt & Ferguson, 1951). Namun demikian sebagaian besar tipe iklimnya ialah E dan F. Rata-rata curah hujan setahun berkisar antara 5000-3000 mm dengan hari hujan rata-rata 50 hingga 100 hari. Suhu maksimal rata-rata 31,6 derajat selsius dan suhu minimal 21,5 derajat selsius data curah hujan ini mengambarkan bahwa daerah ini tidak semuannya lahan kering, ada sebagian daerah ini merupakan daerah basah. Kondisi ibarat ini perlu dijadikan contoh dalam rehabilitasi lahan di daerah tersebut. Untuk materi induk tanah merupakan merupakan merupakan salah satu penentu karak teristik tanah. Di Nusa Tengga Timur, materi induk tanah yang dijumpai ialah materi alluvium, watu gamping, batuan sediment, batuan plutonik (batu beku dalam), dan batuan vulkanik (batu beku luar). Bahan alluvium ialah materi hasil proses pengendapan partikel yang dibawa oleh air (alluvium) atau angina (loess) yang merupakan materi lepas dan belum terkonsolidasi. Di dalam perhitungan ini juga termasuk materi yang pengendapannya terjadi oleh gaya gravitasi (colluvium ). Batu gamping merupakan batuan hasil sedimentasi materi kimia yang kandungan utamannya ialah senyawa karbon yaitu CaCo3 atau (CaMg)Co3. Di samping itu, terdapat materi adonan lainnya yaitu materi silikat dan aluminosilikat yang berukuran liat.


2.2 Permasalahan

Permasalahan lahan kritis di Indonesia semakin besar dengan semakin meluasnya deforestasi. Di samping itu, lahan juga sanggup menjadi kritis lantaran pemanfaatannya yang melebihi kapasitasnya. Menurut Menkokesra, 2005 dalam Nurcholis dan Sumarsih, (2007) Saat ini diperkirakan luas lahan kritis di Indonesia mencapai sekitar 25 juta ha. Hal ini juga semakin diperparah dengan adanya kegiatan perambahan hutan yang mengakibatkan 2,8 juta hektar per tahun hutan Indonesia rusak (http://www.tempointeraktif.com., 2007).
Ketersediaan pangan yang semakin hari semakin berat yang disebabkan oleh meningkatnya jumlah lahan kritis / degradasi lahan akhir pengelolaan yang tidak sempurna ditambah tingginya laju pertumbuhan penduduk.  Sedangkan untuk mengolah lahan kritis semoga menghasilkan produk pangan memerlukan biaya yang sangat tinggi sehingga sulit sekali dilakukan oleh petani secara sendiri-sendiri. Meskipun banyak sekali cara untuk menangani lahan kritis telah dilakukan oleh pemerintah ibarat melaksanakan penghijauan dan reboisasi tetapi belum mencapai hasil yang cukup memadai, yang dikarenakan kurang tepatnya metode yang digunakan dan atau tidak dilibatkannya masyarakat dengan sepenuhnya.  Sehingga masih sangat dibutuhkan banyak sekali inisiatif masyarakat terutama korporasi dalam menaggulangi permasalahan fundamental tersebut.
Alih fungsi hutan alami menjadi lahan pertanian dengan adanya acara ekstensifikasi bagi keberlangsungan ekosistem didalamnya. Kerusakan yang dialami pada lahan tempat abrasi disebabkan oleh kemunduran sifat-sifat kimia dan fisika tanah,yakni:
-       kehilangan unsur hara dan materi organik,
-       menurunnya kapasitas infiltrasi dan kemampuan lahan menahan air
-       meningkatnya kepadatan dan ketahanan penetrasi lahan,
-       serta berkurangnya kemantapan struktur lahan yang pada akhirnyamenyebabkan memburuknya pertumbuhan tumbuhan dan menurunnyaproduktivitas

kerusakan hutan sesudah terjadi kebakaran dan hilangnya margasatwa. Hilangnya tumbuh-tumbuhan mengakibatkan lahan terbuka, sehingga gampang tererosi, dan tidak sanggup lagi menahan banjir. Karena itu sesudah hutan terbakar, sering muncul peristiwa banjir pada demam isu hujan di banyak sekali daerah yang hutannya terbakar. Kerugian akhir banjir tersebut juga sulit diperhitungkan.Selain itu Biodiversitas yang terdapat pada daerah tersebut menjadi berkurang banyak, termasuk satwa-satwa yang ada di daerah tersebut.
Permasalahan lahan kritis di Indonesia semakin besar dengan semakin meluasnya deforestasi. Di samping itu, lahan juga sanggup menjadi kritis lantaran pemanfaatannya yang melebihi kapasitasnya. Menurut Menkokesra, 2005 dalam Nurcholis dan Sumarsih, (2007) Saat ini diperkirakan luas lahan kritis di Indonesia mencapai sekitar 25 juta ha. Hal ini juga semakin diperparah dengan adanya kegiatan perambahan hutan yang menimbulkan 2,8 juta hektar per tahun hutan Indonesia rusak (http://www.tempointeraktif.com., 2007).
Kegagalan acara rehabilitasi lahan kritis masa kemudian disebabkan lantaran pola pendekatan yang digunakan pada pelaksanaan rehabilitasi lahan kritis kurang tepat, peraturan dan penegakan aturan masih lemah, dampak negatif pembukaan hutan, perambahan hutan serta kuatnya konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian, pemukiman dan industri serta kerusakan daerah hutan oleh perjuangan penambangan.



BAB III
PEMBAHASAN

3.1 STRATEGI PENYELESAIAN MASALAH
Reinjtjes dkk (1999) menyampaikan bahwa rancangan agroforestry menunjukkan perpaduan atau gabungan antara ciri ekosistem alami dan kebutuhan perjuangan tani. Oleh lantaran itu, agroforestry sebaiknya mempunyai fungsi ekologis, hemat dan sosial. Fungsi ekologis berarti mempunyai nilai konservasi terhadap sumber daya alam dengan pemanfaatan yang berkelanjutan (sustainable use). Fungsi ekonomi berarti melalui pola agroforestry, pendapatan petani pengelola lahan agroforestry sanggup ditingkatkan dengan cara diversifikasi kegiatan dan pengelolaan komponen agroforestry yang bernilai ekonomi tinggi. Fungsi social diartikan bahwa kegiatan agroforestry sedapat mungkin gampang dilaksanakan dan ditiru oleh masyarakat serta bisa merubah perilaku masyarakat terhadap sistem pertainan yang bersifat subsistem menuju sistem pertanian yang komersil. Vergara (1982) menyatakan bahwa agroforestry merupakan salah satu pola atau suatu sistem tata guna lahan yang lestari dan terpadu yaitu antara komponen tumbuhan budidaya (pertanian) dan tumbuhan pohon/kehutanan dengan atau tanpa komponen piaraan/peternakan atau perikanan ikan dan udang. Dengan demikian diharapkan produktivitas lahan menjadi optimal dan berkesi nambungan. Factor insan setempat (sosial, ekonomi dan budaya) perlu dijadikan pertimbangan, di samping faktor ekologi setempat (vegetasi, tanah, iklim, dan sebagainya).
Lahan merupakan belahan dari bentang lahan (Lanscape) yang mencakup lingkungan fisik  termasuk  iklim,  topografi  / relief, hidrologi  tanah dan keadaan vegetasi alami yang semuanya  secara  potensial  akan  berpengaruh  terhadap  penggunaan  lahan.  Kesadaran  akan  perlunya  konservasi  lahan  sebenarnya  sudah  sejak  lama,  akan tetapi selalu saja ada kesenjangan antara impian para petani pemilik lahan dengan para andal konservasi  tanah lantaran biasanya adanya keterbatasan biaya dari para petani untuk melaksanakan  perlakuan-perlakuan  yang  diperlukan.  Hal  ini  disebabkan  karena  pada pendekatan    lama  konsentrasi  kegiatan  konservasi  ada  pada  pembuatan  bangunan- bangunan  teras, saluran-saluran dan bangunan  lainnya dan sering dilakukan dengan cara melarang orang bertanam di lahan miring, dll.
abarnurdin  (2002)  menyatakan  bahwa  ada pendekatan gres konservasi  tanah yang disebut  land husbandry yang diwujudkan dalam perjuangan tani dengan pendekatan konservasi. Ciri dari pendekatan ini adalah:
1.    Memfokuskan  pada  hilangnya  tanah  dan  pengaruhnya  terhadap  hasil tumbuhan sehingga  perhatian  utamanya  bukan  lagi  pada  bangunan  fisik  tetapi  kepada metode  biologis untuk konservasi ibarat halnya penanaman epilog lahan.
2.    Memadukan  tindakan  konservasi  tanah  dan  konservasi  air  sehingga  masyarakat menerima laba pribadi dari perjuangan tersebut.
3.    Melarang  bertani  dilereng  bukan  penyelesaian  masalah.  Tindakan  seperti  ini  tidak bisa diterima secara sosial dan politis. Yang harus dicari ialah metode bertani yang bisa mempertahankan kelestarian sumberdaya lahan dan alam.
4.    Konservasi  lahan  akan  berhasil  bila  ada  partisipasi  dari  masyarakat  terutama  para petani. Motivasi masyarakat akan  timbul jikalau mereka melihat laba yang akan diperoleh.
5.    Yang  terpenting  lagi  adalah  perlu  adanya  pemahaman  bahwa  kegiatan  konservasi lahan ialah belahan integral dari perjuangan perbaikan sistem perjuangan tani.
Bagi daerah kering kehadiran pepohonan dalam sistem agroforestry selain berfungsi sebagai jaringan pengamanan daur hara juga menjaga kestabilan produktivitas (hasil panen per satuan luas ) dalam lahan model agroforestry. Ini disebabkan lantaran pepohonan mempunyai sistem perakaran luas sehingga lebih tahan kering dibandingkan dengan tumbuhan semusim yang berakar dangkal (Reijntjes dkk,1999). King dan Candra (1978), mengemukakan agroforestry adalah pola pengelolaan lahan yang sanggup mempertahankan dan meningkatkan produktifitas lahan secara keseluruhan yang merupakan kombinasi kegiatan kehutanan, pertanian, peternakan dan perikanan, baik secara bersama maupun berurutan dengan memakai administrasi simpel yang diubahsuaikan dengan pola budaya penduduk setempat. International Center for Research in Agroforestry/ICRAF (1983), mendefinisikan agroforestry ialah suatu nama kolektif untuk sistem tata guna lahan dan teknologi, dimana species tumbuhan keras (pohon, semak, bangsa palm, bamboo dan sebagainya) secara sengaja dengan tujuan tertentu ditanam atau diusahakan pada unit administrasi lahan yang sama, dengan tumbuhan pertanian dan hewan, baik dalam bentuk tata ruang yang sama atau dalam penataan berdasarkan urutan dimensi waktu. Di dalam agroforestry terjadi interaksi secara ekologis dan hemat antara komponen yang berbeda. Di samping sistem perakaran, adanya sisa-sisa tumbuhan (limbah tanama) juga sangat membantu pembentukan dan pemantapan agregat tanah. Adanya agregasi tanah yang baik, maka tanah akan lebih tahan terhadap pukulan air hujan. Jumlah dan kemantaapan pori-pori tanah meningkat sehingga kapasitas infiltrasi tanah juga meningkat. Pengaruh lain dari vegetasi terhadap abrasi tanah ialah meningkatkan kehilangan air tanah. Kehilanagan air tanah yang ada tanamannya, terjadi melalui evaporasi dan transpirasi, sedangkan tanah yang terbuka hanya terjadi melalui evaporasi saja. Dengan demikian tanah yang ditumbuhi tumbuhan akan cepat kering (lapar air), sehingga mempunyai kapasitas infiltrasi yang lebih besar, dengan demikian akan mengurangi volume ajaran permukaan (Suripin, 2002). Upaya rehabilitasi lahan sanggup berhasil dengan baik apabila adanya porsi/ukuran yang masuk akal bagi keterlibatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan pengelolaan lahan-lahan terdegradasi dan konservasi tanah dan air (Pratiwi, 2003).
Membawa atau merubah pola pemanfaatan lahan dari monokuler menjadi multikuler membutuhkan proses yang usang lantaran melibatkan sifat dan mental dari petani yang bersangkutan. Pelaksanaan kegiatan ini melibatkan tenaga- tenaga akademis sebagai perantara atau fasilitator dan motifator. Pemerintah desa atau tokoh masyarakat dilibatkan sebagai motifator dan pendamping tetap di lapangan. Pencapaian tujuan kegiatan ini dilakukan pendekatan dengan metode berikut.
1.            Penyuluhan wacana pemanfaatan model Agroforestry sistem silvopastoral, untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan ketrampilan petani.
2.            Realisasi fisik dilapangan yang terdiri dari persiapan lahan untuk pembibitan dan lahan penanaman, pembuatan teras, pengalian lubang, dan penanaman serta pemeliharaan.

Pemecahan persoalan didasarkan pada kegiatan pennyuluhan yang dilakukan pada kelompok tani Fetomone. Selanjutnya, setiap kegiatan kunjungan dilakukan diskusidiskusi dan pemantawan kegiatan dilokasi pada kelompok tani Fetomone Pelaksanaan kegiatan pesemaian dan penanaman dilakuakn pada salah satu lahan demplot milik anggota kelompok tani Fetomone, yang dilakukan secara bahu-membahu dengan melibatkan semua anggota kelompok tani Fetomone. Lahan demplot ditanamai dengan banyak sekali tumbuhan kehutanan dan hijauan masakan ternak.
Khalayak target utama yang dilakukan didalam kegiatan ini ialah kelompok tani Fetomone. Dasar pertimbangan dalam penentuan khalayak target bahwa sebagian besar petani mengelola lahan milik sendiri. Diharapkan dengan antusiasnya petani dalam mendapatkan teknologi agroforestry sistem silvopastoral sanggup meningkatkan pen dapatan dalam kehidupan keseharian petani.
Metode yang diterapkan ialah pendekatan partisipatif dengan melaksanakan penyuluhan mengenai teknologi agroforestry sistem silvopastoral untuk rehabilitasi lahan kritis. Pembuatan model demplot dilakukan sesuai dengan kondisi biofisik lahan dan sosek masyarakat serta penerapan teknik silvikultur yang mencakup pemilihan jenis pohon, teknik pengelolaan lahan, teknik penanaman dan pemeliharaan; penyusunan paket teknologi sempurna guna rehabilitasi lahan kritis. Langkah-langkah kerja aplikasi sistem silvopastoral dalam rehabilitasi lahan kritis ialah sebagai berikut.
a. Penetapan lahan Lahan yang digunakan ialah lahan kelompok tani Fetomone.
b. Pengadaan bibit Pembelian bibit tumbuhan harus diperhitungkan umurnya yaitu sudah mencapai umur satu tahun atau lebih dan siap untuk ditanam.
c. Penanaman tumbuhan Penanaman tumbuhan dilakukan pada ketika demam isu hujan selanjutnya bibit tersebut disiram dengan air untuk menjaga ketegaran bibit di lapangan.
d. Pemeliharaan Setelah bibit ditanam dilakukan kegiatan pemeliharaan diantara diantaranya ialah penyiangan dan pendangiran.
e. Model yang diterapkan Model yang diterapkan ialah penanaman pada belahan yang tandus dan gersang.Untuk tumbuhan teras jenis tumbuhan yang digunakan ialah jenis kaliandra dan turi. Tanaman pokoknya ialah tumbuhan kehutanan yaitu mahoni, sengon, gemelina (jati putih).

pelaksanaan kegiatan atau realisasi fisik dilokasi, yaitu ibarat berikut.
a. Persiapan lahan untuk pembibitan dan penanaman. Lahan yang dijadikan sebagai tempat pembibitan ialah lahan milik petani dan terletak erat sumber air sementara lahan yang dijadikan sebagai tempat penanaman ialah salah satu anggota kelompok tani seluas 1 ha. Lahan ini sebelumnya digunakan untuk penanaman beberapa tumbuhan untuk kebutuhabn sehari-hari contohnya jagung, tetapi keadaan lahan semakin kritis.
Hal ini sanggup dilihat dari hasil penanaman tumbuhan jagung yang penghasilannya semakin hari semakin menurun.
b. Pembuatan teras. Setelah lahan dibersikan dilakukan kegiatan pembuatan teras dengan memakai bingkai A. Dan dalam pembuatan teras ini dibentuk berdasarkan
kesesuaian garis kontur pada lahan tersebut tumbuhan yang digunakan untuk tanaman
teras ialah pakan ternak berupa lamtoro dan turi. Dalam kegiatan ini, seluruh anggota kelompok tani ikut berperan aktif dalam pembuatan teras ini.
c. Pengalian lubang. Lubang yang digali dalam kegiatan ini hanya untuk tumbuhan mahoni dengan ukuran pengalian 30x30x30 cm jumlah lubang diubahsuaikan dengan
jumlah anakan yaitu sebanyak 400 anakan. Dari semua kegiatan kegiatan pengalian lubang memerlukan waktu yang cukup usang semua ini lantaran lahan yang berbatu batuan.
d. Penanaman. Kegiatan penanaman sudah dilakukan pada areal demplot yang ada, akan tetapi meng ingat keadaan iklim yang panas dan hujan belum secara merata turun maka langkah yang diambil ialah dengan memeberikan irigasi tetes dengan memakai bambu dan memanfaatkan limbah plastik contohnya menggunakan
botol aqua yang berukuran 1½ liter. Sementara untuk tumbuhan teras belum dilakukan penaburan bibit lamtoro dan turi pada teras tersebut lantaran mengingat hujan yang belum merata.


BAB IV
KESIMPULAN & SARAN


4.1 Kesimpulan
Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai harganya lantaran didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan abrasi serta kesuburan tanah, dan sebagainya. Karena itu pemanfaatan dan perlindungannya diatur oleh Undang-undang dan peraturan pemerintah.  Berbagai upaya perbaikan yang perlu dilakukan antara lain dibidang penyuluhan kepada masyarakat khususnya yang berkaitan dengan faktor-faktor penyebab kebakaran hutan, peningkatan kemampuan aparatur pemerintah terutama dari Departemen Kehutanan, peningkatan akomodasi untuk mencegah dan menanggulagi kebakaran hutan, pembenahan bidang aturan dan penerapan sangsi secara tegas.
Dalam aplikasi teknologi Agroforestry sistem silvopastoral kepada petani di Desa Oebola khususnya kelompok tani Fetomone telah dilakukan dan dipraktekan oleh para penerima pada lahan demplot dan lahan demplot tersebut menjadi contoh bagi para petani yang lain untuk melakukan kegiatan yang sama pada setiap lahan milik petani tersebut. Responden tangapan masyarakat kelompok tani terhadap kegiatan ini cukup tinggi, hal ini dapat dilihat dengan begitu besarnnnya permintaaan dari anggota kelompok tani supaya pada setiap lahan milik mereka ditanaman dengan pola Agroforestry sistem silvopastoral
Kondisi lingkungan di Kawasan Nusa Tenggara Timur khususnya didaerah kupang  masih jauh dari fungsi konservasi dengan tingkat kekeringan yang sangat tinggi, Faktor – faktor yang mengakibatkan lahan kritis didaerah Kupang NTT,yaitu:
·         Adanya pemahaman yang sudah membudaya pada masyarakat untu selalu menanam tembakau pada setiap demam isu tanam, sehingga membentuk konsep pemikiran yang kurang bijaksana baik dari segi konservasi maupun ekonomi.
·         Adanya ketergantungan yang kuat akan produk hutan berupa kayu bakar maupun materi baku arang yang dimanfaatkan untuk mengurangi tekanan ekonomi akhir kegagalan perjuangan budidaya tumbuhan tembakau, telah membentuk rantai persoalan proses kerusakan lingkungan di kedua daerah gunung tersebut
·         Tingkat kesadaran masyarakat yang ada ketika ini belum terwujud dengan baik, komitmen dan persepsi mengenai arti pentingnya daerah konservasi.
·         Dukungan kebijakan dan acara terpadu dari pemerintah belum menawarkan hasil yang nyata,

Rehabilitasi lahan kritis telah dijadikan gerakan baik di tingkat pusat maupun regional Nusa Tenggara Timur. Di tingkat pusat digulirkan Gerakan Rehabilitasi Hutan Dan Lahan (GNRHL) sedang di Nusa Tenggara Timur ada Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK). Gerakan tersebut dilancarkan mengingat semakin meluasnya lahan kritis, sehingga menimbulkan dampak negative pada kondisi ekonomi,ekologi, tata air serta kondisi sosial budaya masyarakat.






4.2 Saran

Perlu adanya pendekatan yang mengarah padah mudahnya petani mendapatkan isu khususnya pemeliharaan prioritas komuditas yang akan ditanam.
 Perlu dilakukan kegiatan ini lantaran setiap lahan yang kritis perlu dilakukan penanaman kembali dengan cara mengaadopsi teknologi Agroforestri system silvopastoral.
 Masyarakat harus didorong untuk bisa melihat kedepan persoalan yang akan dihadapi oleh mereka, caranya melalui kegiatan dedikasi ini diharapkan masyarakat sanggup berbuat banyak dengan apa yang telah ditarapkan oleh kami.
Berbagai upaya perbaikan yang perlu dilakukan antara lain dibidang penyuluhan kepada masyarakat khususnya yang berkaitan dengan faktor-faktor penyebab kebakaran hutan, peningkatan kemampuan aparatur pemerintah terutama dari Departemen Kehutanan, peningkatan akomodasi untuk mencegah dan menanggulagi kebakaran hutan, pembenahan bidang aturan dan penerapan sangsi secara tegas.
Pelaksanaan rehabilitasi lahan kritis hendaknya memakai Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai satu kesatuan ekosistem melalui prinsip ” one river basin , one overall planning and one management system “. Mengingat setiap DAS mempunyai karakteristik berbeda, maka pola rehabilitasi lahan kritis hendaknya didasarkan pada spesifik lokalita ekosistem.
Masyarakat dipandang sebagai pelaku utama dalam perencanaan, pelaksanaan, pengambil keputusan dan pengambil manfaat, sedangkan pemerintah berfungsi sebagai pendamping dan pengendali kegiatan. Pelibatan masyarakat dalam GRLK direalisasikan dalam bentuk (1) penguatan kelembagaan masyarakat ibarat Kelompok Tani Hutan, Forum DAS, Forum Rehabilitasi Hutan dan Lahan dan Forum Hutan rakyat, (2) Pelatihan teknologi konservasi tanah dan bududaya tanaman, (3) Pengembangan perbenihan, (4) Pelaksanaan pekerjaan teknis sipil ibarat menciptakan terjupan ( drop spillway) untuk mencegah abrasi pada akses pembuangan teras







Daftar Pustaka


Abdurachman Adimiharja dan S. Sutono 2002, Teknologi Pengendalian Erosi Lahan Berlereng Dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Puslitnak, Bogor.

Achmad Hidayat dan Any Mulyani 2002. Lahan kering untuk pertanian Dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Puslitnak, BogorDjogo, A.P.Y. 1992. Agroforestry dan Sumbangan bagi Pembangunan Pertanian di Nusa Tenggara. Kupang: Politani.

Foresta,H. de dan G. Michon. 2000. Agroforestry Indoneia: Beda sistem Beda Pendekatan. Dalam Agroforestry Khas Indonesia. ICRAF. HAlam 1-17.

Juwadi, 1997. Agroforestry. Diktat Kuliah pada Fakultas Kehutanan UGM. Jogyakarta

Pratiwi., 2003. Teknologi dan Kelembagaan Rehabilitasi Lahan Terdegradasi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor

Reijntjes, C., Haverkort,B., Waters- Bayer, A. 1999. Pertanian Masa Depan. Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Penerbit kawan Tani, ILEIA dan Kanisius.

Suripin, 2002. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Yogyakarta: Andi.
Soepardja, E. 1991. Penanganan Lahan Kritis dari Masa ke Masa. Bandung: Angkasa.
Tinambunan, D. 1995. Rehabilitasi Lahan Kritis di Indonesia. Proceeding Seminar Mahasiswa Kehutanan Indonesia. Irian Jaya: Fakultas Pertanian Universitas Negeri Cenderawasih Manokwari.

Sumber http://kickfahmi.blogspot.com