Cerpen: Misteri dibalik Senyum dan Tatapanmu
Hidup ini indah, bahkan sangat indah kalau kita sanggup senang dan tulus menjalaninya. Tidak ibarat aku, yang ke sekolah saja selalu terlambat, padahal saya telah bangkit sebelum ayam berkokok. Mungkin faktor M (MALAS) yang menciptakan hidupku terasa biasa.Pukul 7 tepat, saya gres berangkat ke sekolah, padahal saya sudah tahu kalau pagar sekolah akan tertutup rapat sempurna 10 menit dari sekarang. Mau bagaimana lagi? Inilah kebiasaanku setiap hari. Berlari ke sekolah yang berjarak 300 meter dari rumah sudah menjadi sarapan pagiku.
Hari ini, hari Selasa pelajaran pertama ialah Olahraga.
Hmm.. Lumayanlah, pemanasan sebelum dimulai.
5 langkah lagi, saya sudah akan berada di dalam sekolah, tapi pintu pagar telah setengah tertutup dan terlihat Bapak Vincent -penjaga pagar sekolah- telah berkemas-kemas menari di atas penderitaanku.
Baiklah, dengan kekuatan yang tersisa. Hap! Hap! Hap! Hap! Haaaappppp! Akhirnya berhasil. Yeayyyy! Aku bersorak dalam hati.
“Telat lagi, kapan berubahnya atuh, Neng?” tanya Pak Vincent. Orang Bandung yang bekerja di kota ini dan orang yang paling pertama akan mengomentari setiap keterlambatanku.
“Hmm.. Nanti saja ya, Pak. Saya masih enjoy ibarat ini kok,” jawabku.
“Telat kok jadi hobby sih? Kalau hobby mah yang kerenan dikit atuh, Neng!” pesan yang tersirat Pak Vincent.
“Setiap orang itu berbeda, Pak. Kalau semuanya sama, sanggup heboh dunia ini. Memangnya Bapak mau kalau semua orang ibarat Bapak? Istri Bapak nanti akan bingung, melihat Bapak ada dimana-mana. Hehe..” kataku.
“Dasar kamu!” kata Pak Vincent yang terlihat marah.
“Maapiiiiin ya Pak!” teriakku sambil berlari lagi.
Berlama-lama bercakap dengan Bapak Vincent akan membuatku lebih terlambat lagi masuk ke kelas. Sampai di kelas, saya disambut Eva, sahabatku.
“Waduh, Ratu terlambat gres tiba ya?” tanyanya setengah meledek.
“Hmm.. Sudahlah, jangan ibarat itu, sanggup kan?”
“Iya.. Iya.. Maaf ya!” katanya meminta maaf.
“Va, Bagaimana kekerabatan kau dengan Chicco? Ada perkembangan?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan. Chicco ialah sobat kecilku yang disukai Eva
“Jalan di tempat, tapi saya tenang-tenang saja. Karena, kini saya akan fokus untuk belajar. Pacaran? Urusan nanti.”
“Wah. Baru kali ini, saya mendengar kata-katamu itu!” kataku.
“Tapi, kalau hanya sekedar kagum saja, kan tidak problem juga. Hehe..”
“Dasar kamu!” sambil menjitak kepalanya.
“Winda, kita itu tidak akan mengetahui kapan dan pada siapa kita akan jatuh cinta.”
Beginilah Eva, santai menjalani hidup. Berbeda denganku, selalu terburu-buru.
Priiiiiiiiiit! Peluit Pak Ello terdengar, tanda bahwa kami harus segera berkumpul di lapangan. Aku pribadi berlari menarik tangan Eva yang sedang merapikan jilbabnya, seketika itu juga 1001 kata mutiara keluar dari lisan Eva.
Sampai di lapangan, saya mencari barisan sambil tertawa terbahak-bahak mendengar ceramah Eva, tapi itu tidak berlangsung lama, sebab saya terkesima melihat seorang lelaki yang masih mengenakan tas dipunggungnya berlari dengan cepat. Aku menyimpulkan, orang itu niscaya lebih terlambat dari aku. Tapi, saya gres melihatnya dan perasaan, pagar telah ditutup sehabis saya masuk.
Penasaran juga saya dengan orang itu.
Selesai berolahraga, saya mengajak Eva ke kantin. Hm.. gres kali ini, saya yang mengajaknya. Biasanya Eva yang mengajak sekaligus membayarkan belanjaanku. Haha. Begitu keterlaluannya saya dengan sahabatku sendiri.
Di kantin, saya melihat Chicco duduk dan terlihat asyik bercakap dengan temannya, dan Astagfirullah, ternyata sobat Chicco ialah seseorang yang terlambat tadi. Jadi, beliau erat dengan Chicco.
“Windaaaaaaaaaaaaaaa,” teriak Eva, sempurna di telingaku.
“Eva, kalau kau berteriak jangan ditelingaku dong!”
“Lalu, dimana lagi?”
“Cukup di dalam hati saja.”
“Bagaimana kau sanggup mendengarnya?”
“Ya, di kirim lewat telepati saja, supaya kau ekonomis bunyi juga.”
“Winda Natasya Nugraha setresssssssss,” teriak Eva (lagi)
“Eva, memangnya kau tidak aib berteriak di sini? Ada Chicco tuh,” bisikku.
Tanpa pikir panjang lagi, Eva membisu seribu bahasa. Dia tidak berani berbicara lagi, mukanya juga terlihat merah merona. Haha. Lucu juga melihatnya ibarat itu.
***
Di rumah, saya ingin tau dengan orang yang kulihat tadi. Aku bingung. Mengapa saya memikirkannya? Padahal saya gres melihatnya tadi pagi, hanya sebatas LIHAT juga. Tidak berbicara dan selebihnya.
Mungkin saya merasa aneh, melihat seseorang yang ternyata lebih terlambat dibanding aku.
Aku teringat Chicco. Dia niscaya tahu perihal orang itu. Beginilah aku, sekali ingin tau saya tak akan berhenti hingga semuanya jelas.
Setelah mencari informasi dari Chicco dan jejaring sosial yang diberitahu Chicco. Aku kini tahu, ternyata beliau berjulukan Arez Aditya. Hanya butuh beberapa menit untuk menjadi erat dengannya sebab ternyata beliau tahu nama dan mengenalku.
Ternyata saya cukup populer juga di kelasnya.
Setelah usang menganalisis, saya menyimpulkan bahwa beliau orangnya pintar, baik, ramah dan humoris. Setiap berkomunikasi dengannya, saya selalu tertawa dengan candaan yang ditulisnya.
“Winda, kau lagi apa sayang? kok tertawa terus?” tanya Bunda yang melihatku tertawa membaca akhir dari Adit. Aku memanggilnya dengan nama belakangnya, supaya lebih erat katanya.
“Aku tidak apa-apa Bunda.”
“Bunda lihat, kau sedang kagum dengan seseorang, benar tidak?” tebak Bunda.
“Tidak kok, Bun,” kataku mengelak.
“Kamu tidak perlu bohong sama Bunda. Bunda tidak akan melarang kamu, tapi kau harus hati-hati. Jangan ibarat teman-temanmu yang lain. Bunda tidak suka itu,” tegas Bunda.
“Tidaklah, Bun. Aku juga berteman sesuai dengan kriteria Bunda kok. Percaya deh sama Winda, anak Bunda yang paling imut ini. Hehe..,” kataku penuh manja.
Senyum mengembang dari wajah Bundaku yang tersayang. Air mataku hampir jatuh, terharu, sebab saya melihat Bunda yang begitu sayang denganku.
Maafkan semua salahku Bunda, Aku sangat sayang Bunda.
“Hm.. Tapi, kau harus kesepakatan sama Bunda. Jangan terlambat ke sekolah!”
“Memangnya ada apa Bun?” tanyaku.
“Bunda khawatir melihat kau yang setiap hari berlari ke sekolah. Bunda takut kau sakit.”
“Oke deh Bunda, Winda kesepakatan deh. Winda tidak akan terlambat lagi supaya Bunda tidak khawatir sama aku.”
***
Hari Rabu menjadi hariku yang baru, sebab pesan yang tersirat Bunda semalam yang membuatku sadar bahwa saya harus menghargai waktu dan membuang rasa MALAS-ku untuk selamanya. Pukul 06.30, saya sudah berada di sekolah. Aku tiba sebelum Pak Vincent menjaga pintu gerbang. Aku berjalan santai menuju kelas tapi, terhenti sebab saya melihat seseorang yang gres saya kenal.
“Hai Winda, wah, kabar baik nih. Kamu tiba lebih cepat dari biasanya,” kata Adit.
“Lho, saya kira kau sering terlambat. Ternyata kau sanggup tiba cepat juga ya?”
“Hmm.. Mengejek nih? Haha..”
“Bercanda kok, Dit. Eh, kau ada urusan apa di sini? Bukannya kelasmu jauh di ujung sana?”
“Aku lagi mencari seseorang, tapi sudah terlihat kok.”
“Siapa sih?” tanyaku penasaran.
“Anak kecil, belum waktunya tahu.”
“Hm.. Dasar orang tua, belakang layar terus!” saya kesal, tapi pura-pura. Lagi pula untuk apa saya kesal cuma sebab Adit merahasiakan sesuatu denganku.
“Ih, Winda, jangan murka dong! Nanti saya ceritakan deh. Jangan murka ya! Please!” kata Adit membujukku.
Hm.. Untuk apa Adit membujukku ibarat itu, seakan beliau tidak mau kalau saya murka padanya. Aneh.
“Iya.. Iya.. tak perlu segitunya lagi, Dit.”
“Ya sudah, saya duluan ya, Win.”
“Iya. Bye.”
Aku melanjutkan perjalananku ke kelas, sambil memikirkan perlakuan Adit padaku. Tapi, saya tidak mau terlalu berbesar hati.
“Kalau kau sedang jatuh cinta, jadilah dirimu sendiri, seseorang yang sesuai dengan hatimu. Jangan menjadi seseorang yang ingin dilihat oleh beliau yang kau cintai.”
Aku kaget dan berbalik, ternyata Eva yang mengatakannya. Aku tersenyum mendengar kata-katanya. Aku bersyukur memiliki sahabat tampaknya yang sanggup mengerti aku.
“Cinta itu ibarat angin, Va. Kita hanya sanggup merasakannya tidak sanggup digenggam.”
“Kamu niscaya sedang jatuh cinta ya?” tanya Eva.
“Mungkin,” kataku. Hanya itu yang sanggup saya katakan, sebab saya bergotong-royong masih tidak tahu apa yang bergotong-royong saya rasakan.
***
Setelah beberapa bulan lebih saya mengenal Adit, saya makin resah dengan perasaanku juga perasaannya padaku. Dia begitu peduli, sangat peduli bahkan.
Saat saya resah dengan tugas-tugasku, dengan baiknya beliau mengerjakan dan menjelaskannya, kalau saya tidak mengerti. Dia juga selalu mengajarkanku sulap-sulapnya, walau teman-teman yang lainnya juga menginginkan rahasianya, tapi saya mendapatkannya dengan gratis dan cepat.
Hmm.. Apa artinya itu? Perhatian dan pengertiannya kepadaku?
“Yakinlah, orang yang peduli padamu ialah orang yang sangat menyayangimu,” kata Eva yang telah erat dengan Adit, sehabis kuperkenalkan.
Tapi, saya belum yakin dengannya. Aku masih mencicipi bahwa beliau hanya menganggapku sebagai sahabat saja. Walau dalam hatiku, saya berharap beliau memiliki perasaan yang sama padaku, yaitu cinta. Dibalik senyum dan tatapannya yang selalu ditujukan kepadaku dikala kami berpapasan, saya berharap beliau mencicipi hal yang sama denganku. Walau mungkin itu sesuatu yang mustahil. Tapi sekali lagi, senyum dan tatapannya seakan membenarkan harapanku. Dia selalu mencariku, menanyakanku kepada Eva setiap mereka berpapasan.
“Dalam cinta, kalau kau terus mencarinya, beliau akan menghindarimu, tapi kalau kau jadi orang yang pantas untuk dicinta, maka beliau akan mengelilingimu.”
Dengan kata itu, saya mencoba untuk membiarkan cinta itu mengalir begitu saja, tanpa mengganggunya. Aku hanya butuh menunggu dan bijaksana. Berhenti mengharapkannya. Karena kalau saya ialah orang yang pantas, saya tahu cinta itu akan tiba dengan sendirinya.
Berharap dibalik senyum dan tatapannya. Harapan itu akan menjadi misteri, hanya Adit sendiri yang tahu. Aku tidak akan memaksanya untuk memberitahu aku, apa misteri itu?
“Ikhlaslah dalam berbuat sesuatu sebab keikhlasan akan berbuah manis dalam kehidupan,” pesan Bunda. Saat ini, saya tulus menyimpan cita-cita dan misteri Adit di dalam hati sambil menunggu matahari berpancar indah di kerajaan hatiku untuk selamanya, sehingga menciptakan hidupku indah dan berarti.
Tamat
Cerpen di atas merupakan goresan pena sewaktu Sekolah Menengan Atas saya yang pernah saya upload dengan nama pengarang "Fhydhyrah", lolos moderasi pada tanggal 10 April 2014 dan dipublikasikan di sini. Mohon untuk menghargai hasil karya seseorang. Terima kasih 🙏
Sumber http://www.maringngerrang.com/