Teknik Kultur Anther Pada Pemuliaan Anthurium
Resume dari Jurnal Winarto, B. dan F. Rachmawati
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Pemuliaan anthurium umumnya melalui seleksi biji hasil dari hibridisasi untuk mendapat jenis tumbuhan gres dengan abjad yang diperbaiki dan bisa melaksanakan penyerbukan silang (Kamemoto dan Kuehnle, 1996). Karena dengan memakai cara hibridisasi membutuhkan waktu yang lama, sehingga tidak sanggup dilakukan pemuliaan secara cepat. Belum lagi dibutuhkan waktu yang sangat usang semenjak penyerbukan sampai biji masak, yaitu untuk A. andreanum membutuhkan waktu 6-7 bulan, sedangkan untuk A. scherzerianum sekitar 10-12 bulan. Pemuliaan tumbuhan anthurium sangat perlu dilakukan, lantaran untuk biji anthurium sendiri tidak sanggup disimpan dan harus segera ditanam. Belum lagi penilaian dari penyilangan hasil tumbuhan anthurium yang sangat lama, sekitar 2-3 tahun. Kondisi ini mengakibatkan perbaikan tumbuhan berjalan lambat dan turunan yang diperoleh tidak seragam. Meskipun terdapat variasi yang sangat besar dalam pembentukan bunga baik warna maupun bentunya tetapi hasil dari persilangan dibuang sebelum berbunga lantaran kualitasnya yang rendah (Geier, 1990).
Kultur anther menjadi salah satu teknik kultur jaringan yang sangat menjanjikan untuk pemuliaan tumbuhan dan telah diaplikasikan secara meluas pada tumbuhan serealia dan beberapa tumbuhan lain (Dunwell, 1996; Sopory dan Munshi, 1996). Untuk pemuliaan anthurium sendiri, baik kultur anther maupun mikrospora belum pernah dikembangkan, sehingga penelitian ini mempunyai arti penting di masa tiba untuk pengembangan tumbuhan anthurium. Hasil pengembangan anthurium ini nantinya sanggup meningkatkan keberhasilan pemuliaan tumbuhan maupun perbenihannya.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penggunaan kultur anther ini untuk tumbuhan anthurium yaitu untuk mendapat cara pengembangbiakkan tumbuhan anthurium dengan cepat dan seragam, serta mendapat benih anthurium yang tahan usang di kawasan penyimpanan benih. Selain itu dari studi penelitian ini diperoleh isu perkembangan spadik anthurium, rasio tahap perkembangan mikrospora, viabilitas mikrospora, teknik isolasi dan media inisiasi kultur anther dan/atau mikrospora.
Bab II Bahan dan Metode
2.1 Tipe kultur jaringan dan media yang digunakan
Dalam penelitian jurnal dikatakan bahwa peneliti memakai kultur anther sebagai cara pengembangbiakan tumbuhan anthurium. Peneliti menentukan kultur anther sebagai salah satu metode yang digunakan lantaran kultur anther ini salah satu teknik kultur jaringan yang sangat menjanjikan dan telah diaplikasikan secara meluas pada tumbuhan serealia dan beberapa tumbuhan lain (Dunwell, 1996; Sopory dan Munshi, 1996). Untuk materi tumbuhan yang digunakan yaitu anthurium kultivar Amigo, Carnaval, dan Tropical. Dari penggunaan kultur enther tersebut nantinya diperlukan sanggup diperoleh isu perkembangan spadik anthurium, rasio tahap perkembangan mikrospora, viabilitas mikrospora, teknik isolasi dan media inisiasi kultur anther dan/atau mikrospora.
Untuk media yang digunakan dalam perbanyakan kultur anther tumbuhan anthurium yaitu dengan memakai media MS semi padat dan cair untuk tahap pengembangan teknik isolasi anther dan mikrospora. Media padat biasanya berbentuk gel. Media padat merupakan media yang mengandung semua komponen kimia yang dibutuhkan oleh tumbuhan dan kemudian dipadatkan dengan menambahkan zat pemadat. Zat pemadat tersebut sanggup berupa agar-agar batangan, agar-agar bubuk, atau agar-agar kemasan. Metode padat dilakukan dengan tujuan mendapat kalus dan kemudian dengan medium diferensiasi yang berkhasiat untuk menumbuhkan akar dan tunas sehingga kalus dapat tumbuh menjadi planlet. kelemahan media padat salah satunya sulit menentukan tekstur media. Media yang terlalu padat akan menjadikan akar sukar tumbuh. Sedangkan media yang terlalu lembek akan mengakibatkan kegagalan dalam pekerjaan. Kegagalan ini sanggup berupa tenggelamnya eksplan yang ditanam. Metode padat sanggup digunakan untuk metode kloning, untuk menumbuhkan protoplasstelah diisolasikan, untuk menumbuhkan planlet dari protokormus setelah dipindahkan dari suspensi sel. Media padat mempunyai keunggulan diantaranya sanggup menompang tumbuhan dengan kuat, akar tumbuhan lebih besar lengan berkuasa dan tahan usang dalam penggunaanya.
Media cair merupakan media kultur yang masih dalam berbentuk cair. Dalam pembuatannya, media cair dalam pembuatannya tidak memakai pemadat. Pembuatan media cair jauh lebih cepat daripada media padat lantaran tidak dilakukan proses pemasakan. Kelemahan media cair yaitu penggunaan metode ini kurang simpel dibandingkan dengan metode padat, lantaran untuk menumbuhkan kalus pribadi dari eksplan sangat sulit sehingga keberhasilannya sangat kecil dan hanya tanaman-tanaman tertentu yang sanggup berhasil penggunaan media cair lebih ditekankan untuk suspensi sel, yaitu untuk menumbuhkan PLB (prtocorm like bodies) (Anonymous, 2012).
Pada litertur yang ada, medium awal yang sering digunakan untuk jenis Dicotyledoneae dalam kultur jaringan yaitu medium MS (Murashigie dan Skoog). Alasan digunakan medium ini, lantaran lebih banyak mengandung nitrat, amonium dan potasium dibandingkan dengan medium lainnya, sedangkan untuk Monocotyledoneae digunakan medium Schenk dan Hilderlrandt. Ini berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan oleh Winarto, yang mana tumbuhan anthurium merupakan jenis tumbuhan monokotil. Akan tetapi dalam penelitian Winarto ini, memakai media MS sebagai media dalam kultur anther lantaran memang media MS yaitu media paling potensial digunakan dalam kultur anther anthurium.
2.2 Perlakuan
Pada jurnal dijelaskan bahwa tumbuhan anthurium sendiri ditanam dalam pot-pot plastik (f15 cm) yang berisi adonan sekam dan pupuk sangkar (1:1 v/v), dirawat dengan penyiraman, pemupukan, dan disimpan dalam rumah beling yang telah diberi naungan paranet 50%. Lalu ketika tumbuhan sudah berbunga diamati secara periodik untuk mengetahu perubahan-perubahan yang terjadi semenjak spate membuka sampai spadik masak. Lalu dilanjutkan dengan metode destruktif dan histologi sederhana pada tahap perkembangan spadik anthurium. Tahap ini nantinya akan difokuskan untuk mengetahui masa reseptif yang optimal, ketika keluarnya serbuk sari, tipe kotak spora, dan jumlah mikrospora yang ada didalamnya. Lalu tahap selanjutnya yaitu tahap perkembangan mikrospora dengan melaksanakan pengecetan DNA yang ada dalam inti sel memakai 4,6-diamidino-2-phenylindole (DAPI) dan hanya dilakukan pada kultivar Tropical. Sebanyak 25-50µl larutan mikrospora yang telah disiapkan dimasukkan ke dalam eppendorf kecil dan sentrifugasi pada 4000rpm selama 2-4menit. Supernatan dipipet sampai hanya tersisa pellet dan sedikit supernatan. Kemudian ditambahkan 12,5µl larutan DAPI dan diaduk merata memakai ujung pipet. Sejumlah adonan mikrospora dalam larutan DAPI diletakkan diatas beling obyek kemudian ditutup dengan gelas penutup, dan dibiarkan minimal 4jam (1malam). Setelah inkubasi, dilakukan pengamatan di bawah mikrospora UV pada perbesaran 200, 400, dan 1000x. Diamati perkembangan mikrospora dan dicatat persentase pekembangannya.
Uji Viabilitas Mikrospora
Pengujian viabilitas sel mikrospora/pollen memakai Fluorescein diacetate (FDA). Kegiatan ini dimulai dengan penyiapan larutan mikrospora, kemudian dari larutan 90-180µl dipipet dan ditempatkan dalam ependorf yang telah dibungkus dengan aluminium foil, ditambahkan 10-20µl larutan stock FDA, diaduk secara merata dan di inkubasi dalam gelap selama 10 menit. Dipipet 50-100µl kultur mikrospora yang telah diberi perlakuan FDA dan ditempatkannya diatas beling obyek, ditutup dengan beling epilog dan segera dilakukan pengamatan di bawah mikroskop fluoresens. Diamati dan di hitung jumlah mikrospora yang memendarkan warna kuning atau hijau dengan segera dan dihitung jumlah sel yang mati. Pengamatan diulang minimal pada 5 bidang pandang. Viabilitas sel yang fluoresens dengan jumlah total sel yang mati pada satu bidang pandang dikalikan dengan 100%.
Pengembangan Teknik Isolasi Anther dan Mikrospora
Tiga teknik isolasi diuji coba dalam kegiatan ini, yaitu pelepasan impulsif dan homogenisasi yang diikuti oleh penyaringan. Teknik pelepasan impulsif dilakukan dengan membuka petal dan mengambil anther yang saling berpasangan memakai jarum ent yang dilakukan dibawah mikroskop.Anther yang terisolasi dipotong secara melintang pada kepingan pangkalnya dan dikultur dalam media semi padat MMS. Total anther yang dikultur yaitu 120 buah yang ditanam dalam 30 botol. Sedangkan pada media cair MMS yaitu 10 anther/botol isi 5ml media cair untuk total 12 botol. Pada medium cair pelepasan mikrospora kedalam medium dibantu dengan menekan dinding anther memakai batang gelas dan mengocoknya secara manual.
Teknik homogenisasi dan penyaringan diawali dengan mengisolasasi anther dalam jumlah banyak (50 anther). Anther selanjutnya dimasukkan dalam eppendorf ukuran 1 ml yang berisi 0,5 media cair, kemudian ditumbuk dengan hati-hati memakai batang plastik, sehabis itu disaring memakai penyaring nilon 48 (µl). Supernatan yang mengandung mikrospora kemudian dikonsentrasikan sampai 1 ml, dan di hitung kepadatan mikrosporanya. Selanjutnya kepadatan mikrospora dikonsentrasikan pada 30.000 sel/ml dan diukurmenggunakan erlenmeyer kecil (25 ml). Tiap erlenmeyer berisi 5 ml supernatan sel mikrospora. Total erlenmeyer yang digunakan untuk kultur yaitu 12 botol. Selain dikultur pada media cair, supernatan yang mengandung mikrospora juga dikultur pada media semi padat. Media semi padat diberi lubang dengan batang pengaduk sebanyak 5 lubang, kemudian tiap lubang di isi dengan 50µl supernatan yang mengandung mikrospora. Total botol untuk kultur yaitu 30 botol.
Semua kultur diinkubasi dalam kondisi gelap selama 1,5-2 bulan. Semua kultur memakai media cair diletakkan diatas shaker dengan goncangan 125 rpm, sedang yang memakai media semi padat diletakkan dalam kardus.
Bab III Hasil dan Pembahasan
3.1 Tahap Perkembangan Spadik Anthurium
Berdasarkan pengamatan sanggup diketahui bahwa 3 kultivar yang digunakan mempunyai kecepatan pertumbuhan bunga yang berbeda. Periode reseptif tercepat ditunjukkan oleh kultivar amigo dengan angka rerata 10 hari, diikuti oleh kultivar Tropical dan Carnaval. Keluarnya serbuk sari berkisar antara 14-18 hari dengan rerata relatif sama dengan ketiga kultivar yang diuji.
3.2 Tahap perkembangan Mikrospora
Dari hasil isolasi mikrospora yang diikuti dengan pengecatan memakai DAPI dan dibawah mikroskop diketahui bahwa setiap kategori tahap perkembangan spadik mempunyai rasio tahapan perkembangan yang berbeda. Pada tabel diatas terlihat bahwa perkembangan spadik pada anthurium yang sesuai untuk tujuan pengembangan kultur anther dan mikrospora mempunyai kisaran yang lebih luas, dimulai dari tahap muda sampai reseptif optimal. Persentase mikrospora pada tahap inti tunggal sampai awal inti ganda terlihat paling tinggi. Rasio yang tinggi, inilah yang umumnya memberi potensi yang lebih tinggi untuk mendapat embrio sampai membentuk tumbuhan haploid atau haploid ganda melalui induksi perkembangan sporofitik mikrospora (Ferrie et al.1995). Perubahan penampilan spadik memperlihatkan imbas yang signifikan terhadap rasio persentase tehapan perkembangan mikrospora didalamnya.
3.3 Hasil Uji Viabilitas Mikrospora
Dari hasil uji viabilitas mikrospora terlihat bahwa 46-70% mikrospora yang terbentuk dalam anther anthurium viabel dan mempunyai kemampuan tumbuh pada tahap perkembangan selanjutnya. Persentanse viabilitas tertinggi ditunjukkan oleh kultivar amigo, kemudian diikuti oleh tropical dan carnaval. Pada tahap perkembangan selanjutnya sampai terbentuk polen, persentase viabilitas ini sanggup menurun. Penurunan persentase viabilitas sel ini berkisar antara 3-7% hal tersebut disebabkan lantaran tidak semua spora yang viabel bisa tumbuh dengan baik pada perkembangan selanjutnya jawaban acara metabolismenya yang menurun. Tidak setiap sel mikrospora mempunyai tingkat fluoresensi yang tinggi sehabis pengecatan memakai FDA, meskipun secara morfologi sel tersebut mempunyai bagian-bagian sel sel yang lengkap. Menurut pacini dan Franchi (1999) kondisi tersebut dipengaruhi oleh kompetisi perkembangan antar butiran polen dalam perkembangannya. Lebih jauh Pacini (1994) menjelaskan ada 3 faktor genetika utama yang mempengaruhi, yaitu (1) pembelahan meiosis kedua dari meiosite yang tidak sinkron, (2) pembelahan mitosis haploid pertama yang tidak sinkron, dan(3) segresi gen-gen tertentu. Sedangkan berdasarkan Bajaj (1987) kemampuan hidup dan viabilitas polen dipengaruhi oleh kondisi inti polen.
Dari data Tabel 3 terlihat bahwa potensi kultivar Amigo untuk dijadikan tumbuhan model untuk pengembangan kultur anther dan atau mkrospora pada anthurium lebih besar dibandingkan kedua kultivar lain. Kultivar tersebut juga potensial untuk dijadikan sebagai tetua jantan lantaran jumlah polen viabel yang dimilikinya. Tetapi potensi tersebut masih perlu dikaji lebih lanjut bagaimana potensi dan kemampuan tumbuh pada media buatan responsifnya terhadap beberapa perlakuan yang diberikan. Totipotensi sel pada proses proses embriogenesis sebagai Induced embriyogenic determined cell (IEDC), sedangkan pada proses organogenesis disebut urganogenik sel.
3.4 Pengembangan Teknik Isolasi Anther dan Mikrospora
Hasil studi memperlihatkan bahwa tiap teknik memperlihatkan hasil yang sangat berbeda (tabel 4). Berdasarkan tingkat kontaminasinya terlihat bahwa T-3 memperlihatkan tingkat kontaminasi terendah (18%), diikuti oleh T-1 (64%), T-2 (76%). Sedangkan pada T-4 semua kultur terkotori oleh kehadiran bakteri. Tetapi kalau didasarkan respons terjadinya pembentukan kalus, terlihat T-1 merupakan satu-satunya teknik isolasi yang memperlihatkan peluang terbentuknya kalus pada inkubasi, meskipun persentase pembentukan kalus hanya 4% dari total anther yang tidak terkontaminasi. Keberhasilan kultur anther dalam kegiatan ini sangat rendah, walaupun demikian potensi untuk membuatkan kultur anther mempunyai peluang lebih baik dibanding kultur mikrospora.
Kendala utama dalam pengembangan kultur anther dan mikrospora anthurium yaitu tingginya kontaminasi yang disebabkan oleh kontaminasi laten oleh basil (Xanthomonas axonopodis cv. Dieffenbachiae). Eliminasi basil ini melalui sterilisasi menjadi sulit lantaran basil sanggup tumbuh dan berkembang secara sistemik, dengan menempati sel-sel parenkim dan ruang antarsel pada seluruh jaringan tanaman. Aktivitas basil meningkat dan bersifat merusak pada eksplan/tanaman inang ketika aktivitas/metabolisme sel-sel inang terganggu. Kondisi tersebut mengakibatkan mikroekosistem basil menjadi terganggu, terutama terkait dengan ketersediaan asam amino, ibarat metionin dan asam glutamat untuk stabilitas hidup dan pertumbuhannya. Akibatnya basil akan tumbuh cepat dan merusak jaringan tumbuhan inangnya.
Pendapat tersebut diatas diperkuat dengan kenyataan yang diamati selama kegiatan penelitian berlangsung, kalau antara proses isolasi sampai kultur berlangsung cepat (kurang dari 1 menit), selanjutnya anther segera ditanam dan di benamkan dalam media, diduga sel-sel dinding anther akan segera melaksanakan absorsi hara, vitamin, dan hormon yang tersedia dalam media untuk menjaga viabilitas sel-selnya, sehingga metabolisme dan mikroekosistem basil juga tetap terjaga. Sebaliknya kalau antara proses isolasi dan kultur pada media berlangsung usang dan mengakibatkan sel-sel anther kering, maka acara sel lebih usang pulihdan karenanya mikroekosistem basil terganggu serta bermetamorfosis patogen bagi sel-sel inang untuk tumbuh dan berkembang lebih cepat. Kenyataannya bahwa basil ini tidak sanggup bertahan hidup lebih dari 2 ahad pada media MS tanpa adanya tumbuhan inang (Norman dan Alvarez 1994). Fenomena ini sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut lebih lanjut dalam pengembangan aspek kultur jaringan anthurium dan menguak misteri kontaminasi laten tersebut.
Pada T-3, meskipun memperlihatkan tingkat kontaminasi yang rendah, tidak hanya respons mikrospora dalam membentuk kalus diduga disebabkan seluruh mikrospora yang dikultur mati dan tidak dapt bertahan hidup sehabis sejumlah medium cair yang disertakan ketika dikultur menjadi kering akibat penguapan. Hal lain diduga terjadi jawaban jumlah kepadatan mikrospora yang dikultur menjadi kering jawaban penguapan. Hal lain diduga terjadi jawaban jumlah kepadatan mikrospora yang dikultur belum optimal dan viabilitas yang menurun drastis.
Secara keseluruhan sanggup diketahui bahwa isolasi pribadi yang diiukti dengan pemotongan secara melintang pada kepingan pangkal anther, kemudian dilanjutkan dengan penanaman pada medium semi padat (T-1) merupakan teknik yang potensial digunakan dalam membuatkan kultur anther anthurium. Selanjutnya kultur anther memilki peluang yang lebih baik dibanding kultur mikrospora.
3.5 Seleksi Media Kultur Anther Anthurium
Berdasarkan hasil seleksi media awal, terlihat bahwa 6 media yang diuji untuk inisiasi kultur anther memberikan respons yang berbeda. M4 dan modifikasinya yang sesuai untuk induksi pertumbuhan kalus dan tunas adventif pada beberapa anthurium yang digunakan untuk perbanyakan cepat, ternyata tidak sesuai untuk diinduksi kalus pada kultur anther (Tabel 5). Dua puluh kotak anther yang dikultur pada media M4 dan modifikasinya, secara umum dikuasai mati dan tidak memperlihatkan respons. Hanya 1 kotak spora yang memperlihatkan adanya respons tumbuh dengan sedikit kalus yang terlihat. Respons yang sama juga terlihat pada anther yang ditanam dalam medium CPV-M. Sedangkan medium, diduga merupakan media yang mempunyai potensi untuk dikembangkan pada kultur mikrospora. Medium ini mapu bisa menginduksi 2 kotak spora dari 20 anther yang dikultur (10%) untuk tumbuh dan menghasilkan kalus yang banyak pada kotak spora dari anthurium jenis Tropical.
Masih rendahnya tingkat pembentukan kalus dari masing-masing kultivar diduga lantaran belum optimalnya media inisiasi yang digunakan dan waktu pengambilan sampel, serta umur fisiologi eksplan yang belum tepat. Menurut Aswath dan Biswas (1999), eksplan yang diambil dari spadik mempunyai kapasitas regenerasi yang tinggi, tetapi keseuaian dengan media pertumbuhan, perlakuan yang diberikan pada eksplan dan lingkungan tumbuh juga menjadi faktor penting yang harus diperhatikan. Anthurium merupakan tumbuhan parenial yang tumbuh lambat, baik pada perbanyakan konvesional maupun kultur jaringan.
Secara keseluruhan inisiasi kultur anther anthurium telah berhasil dilakukan, walaupun respons pembentukan kalusnya lambat dan menghabiskan waktu sekitar 2 bulan. Kultivar Tropical merupakan kultivar yang responsif dalam pembentukan kalus dibanding kultivar Carnival dan Amigo.
Bab IV Kesimpulan
1. Tiga kultivar anthurium yang diuji mempunyai abjad yang berbeda terhadap waktu munculnya kepala putik dengan waktu munculnya kepala putik tercepat terdapat pada kultivar amigo, sedangkan waktu muncul serbuk sari relatif sama. Sedangkan jumlah mikrospora per anther terbanyak ditemukan pada kultivar karnaval
2. Rasio perkembangan mikrospora berubah seiring perubahan tahap perkembangan spadikdengan persentase late-uninucleate tertinggi (76%) ketika spandik berada pada masa transisi.
3. Viabilitas mikrospora berkisar antara 40-70% dengan persentase tertinggi (70%) ditunjukkan oleh kultival amigo
4. T-1 (isolasi anther yang pribadi diikuti penanamannya dalam media) merupakan teknik isolasi yang potensial digunakan dalam membuatkan kultur anther pada anthurium.
5. Medium MMS merupakan mediumyang paling potensial digunakan dalam kultur anther anthurium.
6. Kultivar Tropical merupakan kultivar yang potensial digunakan sebagai tanamanmodel dalam kultur anther anthurium.
Daftar pustaka
Anonim. 2012. Media MS, (online), aciknadzirah.blogspot.com/search?q=kultur-jaringan. Diakses tanggal 8 Juli 2012.
Anonim.2001. Bachterial Diseases of Anthurium, Diefferbachie, Philodendron and Syngonium Rep. Plant Dis.616-6
Aswath, C. And B. Biswas Anthurium. In Parthasarathy, V.A., T.K. Bose and P.Das (Eds). Bio. Hort. Crops. Naya Prokash. India. 3:198-213.
Bajaj, Y.P.S. 1987. Cryopreservation of pollen dan Pollen Embryos, and the Establishment of Pollen Banks. In Giles, K.L. and J. Prakash (eds). International review of Cytology : Polen: Cytology and Developmen.t Academic Press Inc. New York. 07:397-420.
Barak, R. And I. Chet 1986Determination by Fluorescin Diacetate Staining; of Fungal Viability During Mycoparasitism. Soil Biol Biochem. 18 (3): 315-319.
Chapman, G.P. 1987. The Tapetum. In Giles K.L. and J.Prakash (Eds). International review of Cytology : Polen: Cytology and Development. Academic Press Inc. New York. P. 107:111-125
Chiang, M.S., S. Frechette, C.G Kuo, C. Chong and S.J. Delafield. 1985. Embriogenensis and haploid Plant Production From Anther Culture Of Cobbage, Can J, Plant Sci. 65:1033-1037
Sumber http://kickfahmi.blogspot.com