Petikan-petikan lembut menampar kabut. Hentakan waktu cepat-cepat berlalu. Keinginan menyenangkan telah dilupakan. Kebahagian pun tak menjanjikan. Semua bagaikan pleonasme yang naif terhadap waktu. Hidup tak selalu diatas terkadang dibawah semoga keadilan tetap berjalan. Tapi ketika hidup ini berada dibawah dan tak kembali keatas. Putus asa mungkin akan menjemput. Mendatangkan segala kebencian dan melukiskan segala pertanyaan. Jika variasi orygrafi sulit di mengerti. Tatanan sastra tak terasa istimewa. Rasa syukur bukannya dikubur. Mungkin hanya takdir yang sulit dimengerti.
Aku yaitu penulis yang bisa dibilang berbakat, paling tidak begitulah kata teman- temanku. Namun, apa yang mereka ungkapkan tak terasa dalam benakku. Memang pernah kukatakan “membaca buku yaitu hidupku, menulis yaitu jiwaku. Namun percayakah kalian keduanyalah yang membawaku ke daerah ini. Dengan sebuah lampu yang redup berhadapan dengan buku, penuh dengan kebencian dan haus akan kasih sayang.
Apa yang saya ungkapkan mungkin bertentangan dengan para penulis atau sastrawan rasakan, terlebih ayahku. Dua hal tersebut telah menjadi belahan hidupnya. Dengan mengoleksi buku karenanya ayahku mendirikan toko buku yang berjulukan R2, ya ... itulah namaku, Reyhan Rivai. Melalui hobby menulis karenanya karya prosanya sanggup menafkahi keluarga kami. Dengan disiplin menulis dan megirimkan cerpen setiap hari, selalu saja as pegawai. Pos yang tiba mengantarkan wesel gaji tulisannya. Bagi ayahku menulis tidak sekedar sarana berekspesi sebab acara itu ia mendapatkan aksesori penghasilan.
“kamu harus bisa menjadi penerus estafet talenta ayahmu, kalau bukan kau siapa lagi nak ?”
Ungkapan itu telalu sering saya dengar dari Ibu. Maklum, saya anak semata wayang anak yang diangan-angankan menjadi penulis sehebat ayahku. Dengan dasar yang telah kumiliki saya selalu berusaha. Tetapi bayang-bayang selalu menyelinap dibenakku, membuatku menyerupai orang waras melebihi tingkat kewarasan yang mengakibatkan Ayahku mengurungku disini.
Semuanya berawal ketika saya memasuki jenjang SMA. Kudapati guru yang menurutku seorang yamg paling bersemangat dalam hal mengenai tulis-menulis. Ia kenalkan saya dengan dunianya , dunia sastra. Anehnya, meskipun ayahku sastrawan namun hanya ketika itu saya merasa memulai sesuatu yang baru.
Ilustrasi yang lemah membuatku salah mengartikan dunianya. Sebuah pertanyaan, 1001 kata terpadu menjadi jawaban. Sangat sulit, apa lagi bagiku yang belum mahir linguistik dan belum tahu etimologi. Tapi ketika saya dan guruku menciptakan novel dengan waktu yang sama, sungguh sulit dipercaya, rangkaian ceritaku melahirkan sebuah novel. Hanya kurung waktu seminggu saya menyelesaikannya, sama dengan waktu yang diharapkan guruku.
“kau berhasil menembus tembok yang selama ini membelenggu ketika mengalirkan gagasan. Yang hebatnya, sepanjang dongeng melalui dialognya-dialognya, kau bisa menggambarkannya dengan amat terang bagaimana menjadi tokoh utama, bertutur begitu enak, tebal tipis bunyi tokoh rekannya dalam berbicara indah didengar, great novel” begitulah kata guruku dengan rasa gembira yang menurutku agak berlebihan terhadapku anak didiknya.
“aku hanya menguasai duduk kasus yang akan kuceritakan. Aku juga mengakibatkan kisah yang kupaparkan nampak amat hidup, sehngga membacanya tidak menyerupai membaca diklat yang kering, tetapi pembaca sanggup melihat menyerupai tanyangan film yang sarat konflik” jawabku dengan kalimat yang pernah diungkapkan Korie Layung Rampan. Penulis yang menjadi motivator bagiku.
“Seberapa jago si novelku sehingga bapak berkata demikian ? jawabku dengan nada penasaran.
“30 menit” jawab guruku dengan menunjuk novelnya.
Mungkin ia bermaksud semoga saya sendiri yang menbandingkan novelnya dengan novelku. Seketika saya mengambil novelnya kemudian membaca dengan teknik yang cepat, semoga waktu 30 menit yang diberikan guruku tak habis percuma. Membaca dengan 2 belahan awal, 3 belahan pada pertengahan, dan 2 belahan akhir.
“ bagaimana pendapatmu nak ? ” pertanyaan yang impulsif dengan nada ingin tau ketika saya gres beberapa detik selesai membaca novelnya.
Segman ini yang paling saya benci, rasanya saya dihipnotis oleh kata-kata yang amat sering saya baca. Menyadarkanku bahwa hidup memang adil, terlampau sering kupermainkan kata-kata tapi kali ini terang kata-kata yang mempermainkanku. Sungguh tak kuduga jawaban yang keluar dari mulutku sangat tak pantas dilontarkan kepada seorang yang berperan penting dalam hidupku.
“ buku apa ini ? ” jawabku dengan balik bertanya. Lalu dengan trachea yang mengeras kuucapkan “ plagiat” sebuah kata yang mengandung makna tiruan, dikala itu otak kananku bisa merespon bahwa rangkain kata-katanya, konflik dan plot yang dipakai sama dikala saya memandang kreasi motivatorku. Ya, buku Korie Layun Rampan sama dengan buku karya guruku.
Aku tak heran jikalau guruku melayangkan tamparan kewajahku, penulis niscaya meluapkan amarah jikalau karya dikatakan plagiat. Semua rasa bangga, kagum, dan segala kata memuji bermetamorfosis menjadi untaian kata amarah dan kecewa.
“jika kau cerdik gunakalah dengan baik dan benar sehingga hatimu terbiasa untuk menjaga segala apa yang ingin kau ucapkan” inilah kata terakhir yang dikemukakan guruku terhadapku. Meski ada rasa takut dalam wajah jikalau saya melaporkannya kepada pihak yang berwenang. Mungkin itu alasan sehingga ia tak meluapkan amarahnya terhadapku.
Sangat kusesali, bukan hanya kataku tapi insiden itu membuatku malas sekaligus benci akan melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis. Ya…itulah arti membaca berdasarkan kamus. Pandanganku memperlihatkan kesan bahwa semua jawaban kegemaranku membaca. Memang insan pada hakikatnya menurui teks, tapi hidupku terasa menentang segalanya.
Untung saya sanggup meluapkan segalanya dalam karya prosa-prosaku. Meski kedua orang tuaku tak bisa mendapatkan apa yang tlah kuperbuat. Tapi kubiarkan semuanya mengalir apa adanya. Seperti kata guru yang selalu memberiku motivasi.
“yang indah hanya sementara, yang infinit yaitu kenangan, yang tulus hanya dari hati, yang tulus yaitu dari sanubari, bukan gampang mencari yang hilang, bukan gampang mengejar impian, namun ada yang lebih sulit yaitu mempertahankan apa yang ada. Karena yang terikat bisa terlepas, yang terhenggap kadang membelenggu, menyerupai kata pepatah bila kau tidak sanggup mempunyai apa yang kau sukai, maka sukailah apa yang kau miliki’.
.Tak terlepas dari novelku yang lain, saya juga menceritakan pengalamanku menyerupai karyaku yang lain yang tak direspon. Tapi entah mengapa kali ini para penulis dan sastrawan kembali kubuat gempar. Aku menciptakan novel yang tidak mungkin bagi mereka. Novel yang kulahirkan menceritakan seorang penulis dengan aura benci terhadap membaca. Mustahil bagi mereka, tapi inilah fakta. Segalanya terlukis dari apa yang kualami bukan apa yang kubaca. Penulis bagi mereka seharusnya mempunyai 3 prinsip yaitu membaca...membaca..dan menulislah.
Hingga ketika cahaya senja dipagi hari menerobos lewat beling jendela kamarku yang gordijn-nya tlah kubiarkan terbuka. Kicauan burung-burung terasa ternodai dengan bunyi klakson kendaraan beroda empat sempurna didepan rumahku. Tak usang kemudian terdengar bunyi ketukan pintu.
Langkah kaki ibuku terdengar mendekati pintu yang melewati depan kamarku, sejak konflik yang saya alami dengan guruku, kedua orang tuaku menjadi minin kasih sayang terhadapku. Bahkan membangunkanku pun ia enggan. Dia mengabaikanku, gegasnya hanya menuju pintu.
Sebelum kekecewaanku berakhir, kemudian ibuku memanggil namaku, tersentak kudatang dengan menampilkan keseriusan yang masih melor. Ternyata yang tiba yaitu 2 orang yang berasal dari penerbit yang ternama. Namanya pak Sunip dan pak Geta. Mereka tlah membaca novelku dan bermaksud untuk memberiku honor. Saat ibu membaca suratnya terdapat angka yang membuatnya tercengang.
“haaa……1 milyar ?” matanya melotot kesurat itu kemudian menatap mataku. Dia bagaikan mimpi melewati 7 lapisan atmosfer yang berselang jatuh dengan kecepatan cahaya. Mungkin dengan mendapatkan kontrak ini membuatnya memaafkanku dan menghapus segala dosaku terhadapnya. Maka tanpa basa busuk kuambil kertas itu, rasa benci dalam otak menciptakan mataku tak ingin membacanya. dan hanya bergegas membubuhkan tanda tanganku. Ketika ku memalingkan pandangan ke ibu terdapat wajah yang gembira terlukis seakan melupakan segala yang pernah terjadi.
Dengan waktu seminggu yang diberikan penerbit. Novel yang kubut kebanyakan menentang atau pasrah kepada nasib dan takdir. “Entah novel ini menarik atau tidak, entah berhasil atau gagal, semuanya itu saya serahkan kepada para pembaca. Hanya masyarakat merupakan kritikus yang paling murni dan adil” tanyaku dengan hati yang pasrah. Sungguh, godaan emosional yang berasal dari lingkunganku membuatku hanya mengikuti apa yang kurasa dalam menciptakan novel penerbit. Hanya lampu malam menemaniku setiap saat, berulang-ulang sampai untaian kata menjadi sebuah novel. Seminggu berselang pak Sunip dan pak Geta kembali tiba kerumahku. Kali ini mereka membawa beberapa polisi. Mereka sangat ganas bagaikan bom, minyak, gas, dan bensin yang berteman kemudian siap untuk meledak. Mereka bukan lagi mengetuk pintu tapi menampar-nampar pintu. Kuhanya mendengar dari balik pintu kamarku. Ketika saya keluar, kudapati ibuku menangis. Ditangannya terdapat surat yang dulu saya bubuhkan tanda tangan. Lalu kubaca dengan secama isi surat itu. Disurat itu menjelaskan bahwa novel yang harus saya buat sebanyak 11 buah dalam waktu seminggu. Seminggu ini saya hanya menciptakan 1 novel berarti 10 novel lagi yang harus kubuat.
Gemetar tanganku dibuatnya. Semua insiden bahkan mengalahkan hal terpahit yang pernah kurasakan. Nyata dan infinit didalam jiwa, merenggut kebahagiaan. Bukan hanya aku. Ibu dan ayahku bahkan ikut larut dalam masalah. Polisi menahan ayah sebagai pengganti diriku yang belum sampaumur untuk menjadi tahanan. Tokoh buku ikut disita yang menciptakan ibu menjadi histeris. Pedihnya menyerupai diiris-iris sembilu. Entah siapa yang patut saya salahkan. Aku lalai sebab tidak membaca suratnya, ibuku terlalu silau akan harta, Ayah tidak peduli ketika itu ia hanya peduli pada segala kepentingannya, dan kedua orang itu mungkin yang kuasa telah menetapkan takdirnya menjadi penipu bagiku menyerupai namanya Sunip suka nipu dan Geta gemar berdusta. Tapi untaian kataku tak sanggup mengulang waktu.
Kumenangis meratapi semuanya diiringi ibu yang berselang kemudian. Namun inilah takdir yang kuasa yang sulit diterima. Sepertinya hanya kepedihan yang selalu tiba menertawakanku. Ku dikurung disini untuk menebus semua kesalahanku. Membuat banyak karya prosa namun dunia tak pernah melihatku. “Pelangi dimalam hari”. Ya itulah kata yang sempurna bagiku. Seorang penulis yang tak pernah dilihat, namun namanya telah ada dan abadi. Sebuah kalimat menjadi panutan untuk diriku tetap berkarya bahwa “ hidup layaknya sederet kata yang hanya menyisakan beberapa spasi, terkadang kita butuh koma untuk mengistirahatkan perjalanan yang lelah dan panjang. Seringkali muncul tanda tanya disaat kita kehilangan arah. Sesekali juga menghadirkan tanda seru ketika kenyataan tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Namun yakinlah…!! Titik bukanlah tamat dari segalanya, sebab masih ada banyak kata yang harus kita untai menjadi sebuah kehidupan yang indah. Indah bagaikan pelangi bahwasanya bukan sepertiku, pelangi dimalam hari.
Ditulis oleh : Rizal Dzul Fadly
Sumber http://www.maringngerrang.com/